Wednesday, 15 March 2017

Sejarah Administrasi dan Kontribusinya terhadap Peradaban Islam 1

BAB I
MUKADDIMAH
Khazanah kajian sejarah peradaban Islam dari masa ke masa dengan umat Islam dan umat-umat lainnya yang saling memiliki keterkaitan dari berbagai etnik dan asal usunya merupakan suatu obyek kajian yang mampu di disajikan dalam berbagai bentuk dan kronologis serta aspek-aspek dari mana sang peneliti sejarah tersebut dalam meneliti dan kemudian menyajikannya.
Penulisan administrasi dalam perkembangan sejarah peradaban Islam merupakan salah satu hal yang seakan merupakan pelengkap atau penulisan yang tidak terlalu penting dan jika diukur skala prioritas maka administrasi sebagai ujung tombak dari sejarah itu sendiri merupakan prioritas skunder setelah Penulisan sejarah interpersonal tokoh, kekhilafahan dan kedaulatan Politik, sosial dan budaya serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, padahal keberadaan sumber-sumber kajian dari berbagai konteks sosio–budaya dari segala perkembangan sejarah adalah bermula dari pola dan keteraturan administrasi yang ada dan dikembangkan saat itu, sehingga dapat dilacak secara historis serta mampu di dikembangkan dengan didukung peninggalan-peningalan administratif maupun non administratif seperti bukti fisik secara biologis maupun bukti fisik (material).
Fakta tersebut memang sangat dipengaruhi oleh kesilauan umat Islam dengan pemikiran barat khususnya mengenai term administrasi. Di Amerika suatu misal, masyarakatnya hanya mengenal dua macam kelompok administrasi yaitu Public Administration (Administrasi Negara) dan Business Administration (Administrasi Niaga). (Sidi Gazalba, 1994: 349).
Di Indonesia sendiri, pemahaman administrasi dalam masyarakat kita secara umum sering disalah artikan subtansinya, masyarakat Islam Indonesia yang awam khususnya, memahami dan mengejawantahkan administrasi adalah sebatas pada pekerjaan atau kegiatan dalam bidang tata usaha di kantor saja.
Sepanjang sejarah peradaban manusia ada satu ras manusia yang mempunyai peranan sangat besar dalam pewarnaan administrasi sejarah peradaban pra-modern yang secara nyata telah mempunyai bukti arkeologis dalam pelaksanaan adminsitrasi yaitu ras dari bangsa Semit atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bangsa Sumeria. Nabi Musa (Moses) sebagai pendiri agama Yahudi dengan sepuluh perintah Tuhan (The Ten Command) yang terbukukan. Nabi Isa (Jesus of Nazaret) sebagai pendiri agama Nasrani dengan bibelnya, dan Ahmad Ibn-Abdullah (Muhammadurrosuulullah), dengan Al Qur-an dan Madinah Carternya yang merupakan prototype Undang-Undang Dasar Negara demokratis dengan menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia dalam pengembangan Masyarakat Madani (civil society), mereka semua merupakan putra-putra keturunan bangsa Semit yang secara genetika berdarah bangsawan dan Administrator yang handal.
Al-Din al-Islam adalah agama samawi ketiga dan merupakan agama yang terakhir diantara agama-agama monoteisme tersebut juga lahir di hamparan jazirah Arabia dimana tempat tersebut merupakan tempat kelahiran Al-Din al-Islam yang juga merupakan tanah air bangsa Semit (Sumeria).
Dalam perguliran waktu yang cukup lama akhirnya keturunan Bangsa Semit menyebar sebagai nomad ke berbagai Wilayah yang lebih subur dari daerah asalnya. Mereka berkembang masing-masing yang kemudian dikenal sebagai bangsa Babylonia, Assyria, Phoenesia, dan bangsa Yahudi.
Semula nenek moyang bangsa Babylonia, Assyria, Phoenesia, dan bangsa Yahudi bertempat tinggal dalam satu kesatuan yang utuh, namun sekitar tahun 3500 SM, suku Akkadia salah satu cabang keturunan dari bangsa Semit (Sumeria) hengkang meninggalkan tanah kelahirannya dan menetap di suatu lembah diantara Sungai Tigris dan Euphrat yang pada saat itu lembah tersebut telah didiami oleh bangsa yang telah mengenal peradaban, yaitu bangsa Sumeria, Pertemuan mereka dalam akulturasi dan asimilasi dengan bangsa sumeria ini pada akhirnya melahirkan suatu peradaban yang besar.
Sejarah Peradaban Timur terhempas ke Eropa karena penaklukan Aleksander yang agung (The Great of Alexander) atas bangsa Persia, kemudian bangsa Yunani mengembangkan peradaban tersebut kedalam berbagai cabang dan melahirkan sebuah peradaban baru yang pada gilirannya mampu mengungguli peradaban Timur dan Barat, dimana peradaban baru ini dikenal hingga sekarang sebagai peradaban Yunani.
Ketika Bangsa Romawi menaklukkan Yunani pada tahun 146 SM dan mewarisi peradaban Yunani, hingga selanjutnya pada abad VII M peradaban Yunani tersebut di warisi oleh umat Islam ketika Umat Islam menaklukkan Wilayah Persia dan Romawi. Jadi perjalanan sejarah peradaban pra-modern yang berawal dari peradaban bangsa Semit tersebut akhirnya menjadi cikal bakal pelacakan sejarah peradaban Islam.
Berawal dari kebesaran negeri Babylonia, raja Hammurabi (2123 – 2081) adalah seorang administrator dan legislator yang ulung keturuan bangsa Semit, hal ini terbukti dengan diketemukannya Susa’ oleh Arkeolog Perancis M. de Morgan (1901-1902). Susa’ adalah lempengan batu yang (bentuk kapsul dari tahan liat yang dibakar - seperti batu bata lonjong sekarang) diatasnya dituliskan hukum-hukum yang dirumuskan oleh raja Hammurabi (hukum Hamurabi), dan akhirnya temuan ini disebut dan dikukuhkan sebagai kitab hukum tertua dalam sejarah peradaban manusia.
Pada awal-awal tumbuh dan berkembagnnya agama Islam, meskipun Rasulullah SAW, dikenal dengan sebutan Niraksarawan atau Al Ummi (buta huruf), namun dalam sejarah semenanjung Arabia Nabi Muhammad SAW adalah orang pertama mencapai keberhasilan yang gemilang didalam membentuk suatu tatanan organisasi sosial berdasarkan agama alih-alih berdasarkan keturunan.”(Syed Mahmudunnaser, 1994: 123).
Nabi Muhammad SAW, tidak hanya pendiri agama dan pendiri masyarakat yang madani, beliau juga seorang negarawan dan pembangun bangsa besar. Nabi Muhammad SAW, adalah: kaisar dan paus dalam satu organ, tetapi beliau adalah kaisar tanpa legiun kekaisaran dan paus tanpa keangkuhan seorang paus, beliau adalah kaisar yang paling besar karena dia telah menciptakan suatu bangsa yang besar. Beliau mendirikan Republik Madinah yang merupakan soko guru dari Masyarakat Madani (civil society), menyatukan unsur yang berbeda dalam satu kesatuan yang kukuh dan menyusun sebuah kitab undang-undang yang mengatur seluruh suku bangsa tanpa pembedaan kelas atau asal usul mereka.
Nabi Muhammad SAW, berpembawaan seorang demokrat. Piagam yang diberikannya kepada Madinah memberikan jaminan terhadap jiwa, hak milik, dan agama bagi semua unsur tanpa membedakan kasta dan keimanan. Piagam itu juga merupakan titik awal dari adanya Undang Undang tentang Hak Asasi Manusia, kebebasan, persamaan dan persaudaraan. (The Freedom of peace).
Semangat kerukunan persaudaraan dan persahabatan mulia yang ditanamkan oleh Nabi Muhammad SAW, di hati setiap orang yang akhlaknya rusak membawa mereka menjadi suatu bangsa yang kuat dan padu dengan toleransi tinggi dan mengutamakan permusyawaratan.
Pengamatan Prof. Hitti kiranya patut dikutip disini: “Didalam masa kehidupan moralnya yang sangat singkat, dari bahan-bahan yang nampaknya tidak memungkinkan untuk mendukungnya, Nabi Muhammad SAW, membangkitkan suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah bersatu di dalam suatu negara yang sampai sekarang hanya merupakan pernyataan geografis”.
Negara yang didirikannya merupakan negara demokratis yang sesungguhnya. Negara persemakmuran yang baru tersebut pada birokrasi kedalamnya termasuk orang-orang Yahudi, penyembah bintang, dan orang-orang Kristen sebagai warga negara dengan status kewarganegaraan yang jelas sebagaimana umat Islam. Hal ini didasarkan atas prinsip-prinsip persamaan umat manusia. Mereka di beri kebebasan beragama, serta hak-hak politik dan hak-hak asasi lainnya sebagai warga negara senantiasa dilindungi.
Semakin kita mengingat keluasannya selama lebih dari satu dekade adalah waktu yang sangat singkat serta dibarengi dengan penyelesaian berbagai penentangan yang sangat keras yang harus dihadapi, semakin kagum kita pada kemampuan, keluwesan, kebijaksanaan dan kebijakan orang yang telah menyelesaikan revolusi santun ini. Menurut kata-kata Edward Gibbon, “Revolusi Islam merupakan revolusi yang sangat mengesankan, yang telah menanamkan suatu karakter yang baru dan abadi atas bangsa di dunia”. (Syed Mahmudunnaser, 1994: 123).
Lebih kagum lagi jika kita memperhatikan kecermatan Nabi Muhammad SAW, dalam pengelolaan organisasi dan administrasi, baik mengelola administrasi negara, administrasi kemiliteran, administrasi kependidikan dan lain-lain yang secara terus menerus diterapkan oleh para sahabat dan generasi selanjutnya hingga sekarang menjadi administrasi global yang kita kenal dengan sistim Wide area network (WAN) dan Local arena network (LAN) dan system administrasi maya yang mewarnai segala lini kehidupan kita sekarang ini.
Dengan adanya sumber-sumber kajian dari berbagai konteks sosio–budaya adalah bermula dari keteraturan administrasi yang ada saat itu, sehingga dapat dilacak serta mampu di dikembangkan dengan didukung peninggalan-peningalan non administrasi seperti bukti fisik secara biologis maupun bukti fisik material.
1. Bahasa dan Rumpunnya Sebagai Unsur Utama Administrasi
Bahasa merupakan bagian yang tidak dapat terlepaskan dari administrasi atau dengan kata lain dapat dikatakan bahasa merupakan unsur utama dan unsur kunci terbentuknya suatu tatanan administrasi, bahasa memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan kita. Bahkan hal paling penting yang membedakan antara manusia dengan binatang adalah kemampuan berbahasa. Seperti dikatakan oleh Quintilian, "Tuhan, Sang Pencipta Alam Yang Maha Kuasa serta Arsitek Dunia, telah memberikan kepada manusia suatu sifat yang sangat tepat untuk membedakannya daripada hewan, yakni daya bicara." (Mario Pei, 1970), dari daya bicara dalam term kita adalah bahasa, timbul daya tulis dan akhirnya timbul daya pengadministrasiannya.
Sudah menjadi konsensus umat Islam di seluruh dunia bahwa bahasa al-Qur'an adalah bahasa Arab dan Nabi Muhammad juga bangsa (orang) Arab, Ditinjau dari sejarahnya, sekurang-kurangnya ada dua jenis klan besar Arab yang mendiami daerah Hijaz (Jazirah Arab). Yang pertama adalah Arab asli (True Arabs) atau Arab al-'Ariba dan yang kedua adalah Arab pendatang (Arabized Arabs) atau Arab al-Musta'riba. Arab asli adalah keraturunan dari Qathan, sedangkan Arab pendatang merupakan keturunan dari Ismail, yang datang dari Babylonia (Mesopotamia) dengan seperangkat peradabannya.
Pada masa menjelang lahirnya Muhammad, Makkah sebagai pusat kota yang terpenting pada saat itu. Praktis dikuasai oleh orang Arab pendatang yang populer dengan sebutan suku bangsa Quraisy. Didukung oleh persekutuan antar kabilah yang kuat dalam perjanjian hilfulfudhul. Ketika beberapa orang pemuda menggalang sebuah gerakan yang dikenal dengan nama "Sumpah Pemuda" (Hilful-Fudhul), segera Muhammad pun bergabung bersama mereka, karena gerakan itu sejalan dengan perilaku luhur dan tujuan-tujuannya. maka bahasa Arab Quraisy secara de-facto telah menjadi lingua france (bahasa utama) di seluruh Jazirah Arab pada masa itu. Oleh karena itu bahasa al-Qur'an adalah bahasa Arab Quraisy. Singkatnya disebut dengan bahasa Araby.
Term Araby berasal dari kata Arab yang ditambah dengan huruf "ya nisbah", yaitu huruf "ya" di akhir kata yang berfungsi sebagai penghubung dari kata itu. Dalam konteks bahasa, "ya nisbah" berfungsi untuk merumpunkan suatu bahasa dengan kelompoknya. Seperti halnya bahasa Indonesia adalah serumpun dengan bahasa Malaysia, yakni termasuk dalam rumpun bahasa Melayu. Jadi, yang kita maksud bahasa al-Qur'an sebagai bahasa Araby, adalah karena bahasa Arab Quraiys yang dipakai al-Qur'an tersebut serumpun dengan bahasa Arab seumumnya.

Perbedaan antara bahasa Arab dengan bahasa al-Qur'an, adalah:
1. Bahasa Arab adalah bahasa kontemporer yang masih mengalami proses perubahan dan perkembangan (bisa bertambah dan berkurang). Sedang bahasa al-Qur'an adalah bahasa yang sudah baku dengan fleksibilitas serta gramatika yang tinggi.
2.  Secara struktur, bahasa Arab tersusun dari kalimat, kata dan huruf tanpa ada ikatan yang kuat. Sedang bahasa al-Qur'an terikat dalam kitab-kitab, surat-surat, ayat-ayat, kalimat-kalimat, kata-kata, dan huruf dengan aturan pengucapan yang ketat.
Kajian bahasa sampai kini masih menjadi perdebatan para peneliti. Salah satu pendapat menyatakan, bahasa mempunyai rumpun atau keluarga. Ada empat rumpun bahasa yang kita kenal di dunia ini. Rumpun Semit, Indo-Eropa, Arya, dan Mongol. Meskipun secara ilmiah kurang diakui dengan populer bahwa induk dari keempat rumpun bahasa tersebut adalah bahasa Al Qur’an atau bahasa araby, suatu contoh: apabila kata "ardl" dalam al-Qur'an kemudian kita bandingkan dengan earth (Inggris), terra (italia), terre (Perancis), tierra (Spanyol), erde (Jerman), aarde (Belanda), rat/rad (Jawa, bumi - Indonesia), maka dari ketujuh bahasa tersebut ada kemiripan dalam bunyi ucapan (lafadz) dan kesinoniman dalam makna yang dikandungnya.
Selain permainan kosa kata (utak-atik kata dan bahasa), ada hasil penelitian dosen linguistik di sebuah universitas terkemuka di Inggris, Prof. Dr. Tahiyya Abdul Aziz dalam bukunya yang berjudul Arabic Language The Origin of Languages mengulas dan menyimpulkan bahwa bahasa Arab merupakan sumber dan asal-usul dari semua bahasa yang ada di muka bumi ini. Sungguh pun bahasa Arab itu dipandang dari sudut literatur adalah bahasa yang termuda diantara kumpulan bahasa-bahasa Samyah (Semite), tetapi bahasa ini lebih banyak mewarisi sifat-sifat asli bahasa induknya, yaitu bahasa Samyah daripada bahasa Ibrani dan lain-lain bahasa yang bersaudara dengan itu (Philip K. Hitti, Dunia Arab, Sejarah Ringkas, p.11). Dan tanah Arablah negeri asal dari cikal-bakal suku-suku bangsa bani Samyah, yaitu, bangsa Babylonia, Assyiria, Chaldea, Amorayah, Aram, Phunisia, Ibrani, Arab, dan Abessinia (p.12).
Dalam Kitab Perjanjian Lama (The Old Testament) dikatakan, "Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya." (Kejadian 11: 1). Kemudian dalam The Story of Language, Mario Pei mengutip pernyataan Cowper, "Para sarjana filologi, yang memburu sebuah suku-kata terengah-engah lewat ruang dan waktu, mulai dari rumah, mengejarnya dalam gelap-gulita ke Gallia, ke Yunani, ke Bahtera Nabi Nuh juga." Dalam beberapa pernyataan yang kita kutip tersebut, bila kemudian dihubungkan dengan Surat ash-Shaaffaat ayat 83:
Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). Lalu disambung dengan Surat al-A'laa ayat 18 dan 19, yang secara tegas menyebutkan, al-Qur'an hingga sampai kepada Nabi Nuh. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa.
Dari suhuf Nabi Nuh sebagaimana al-A'laa ayat 18 dan 19 diatas, maka untuk menelusuri hingga Nabi Adam AS, tinggal menghubungkannya melalui Nabi Idris. Inilah yang disebut sebagai Arabic language oleh Prof. Tahiyya sebagai asal-usul semua bahasa di dunia ini. Bahasa wahyu, bahasa para Nabi. Sejak Adam hingga Muhammad. Dalam kait-hubungan pertaliannya dengan bangsa Arab, bukan berarti wahyu al-Qur'an yang mengikuti bangsa dan bahasa Arab, tatapi bahasa dan budaya bangsa Arablah yang mengikuti bahasa dan budaya para Nabi (al-Qur'an, Injil, Taurat, Zabur, Shukhuf al Ula, al-Asma dll).
Bahasa dalam bentuk aslinya yang pertama adalah berupa suara atau rangkaian bunyi (ujaran) yang mengandung makna tertentu. Bentuk bahasa ucap atau percakapan ini timbul penulisan, pemeliharaan dan penyimpanan dokumen tersebut yang secara jujur adalah suatu proses pengadministrasian.
a.    Bentuk - bentuk Bahasa
Bahasa yang diucapkan manusia merupakan bahasa ucap atau bahasa lidah / bahasa lisan, bahasa inilah yang menjadi landasan bagi semua bahasa. Bahasa wahyu yang didokumentasikan dalam al-Qur'an disebut sebagai qaulan atau lisaanan yang artinya ucapan atau perkataan lisan.
Disebabkan tenaga dari susunan bahasa Arab yang aneh, maka bahasa itu sangat tepat untuk dipakai berbicara secara ringkas dan berisi. Sifat bahasa dan watak yang aneh dari bangsa ini, seluruhnya dipergunakan oleh Islam itulah sebabnya didapati “sifat ajaib” pada gaya dan susunan bahasa dalam Qur’an, yang dikemukakan oleh kaum Muslimin sebagai bukti yang terkuat akan kebenaran agamanya. Kemenangan Islam sedikit banyak berarti kemenangan bagi suatu bahasa, terutama kemenangan suatu kitab dari sekian kitab Samawy, yaitu Al Qur’an Al Karim.
Bahasa secara umum yang kita kenal ada dua bentuk bahasa yaitu bahasa ucap atau bahasa lisan dan bahasa tulis, adapun perbedaan antara bentuk bahasa ucap dan bahasa tulis antara lain:
1.  Bahasa tulis sangat terikat oleh tata bahasa, sedangkan bahasa ucap adalah bahasa operasional yang lebih longgar dalam pengaplikasiannya.
2.  Dalam bahasa ucap, intonasi atau tinggi rendah tekanan (nada) suara sangat mempengaruhi makna yang dikandungnya, sementara dalam bahasa tulis tidak ada persoalan dalam hal intonasi. Namun mengutamakan susunan dan keteraturan tata bahasa.
3.  Pihak-pihak yang berbicara biasanya saling bertemu secara langsung dalam ruang dan waktu yang sama secara dialogis dan interaktif (dalam bahasa ucap), sedangkan dalam bahasa tulis tidak demikian.
4.  Yang paling tahu dari suatu ucapan adalah si pengucap itu sendiri. Bila objek (lawan bicara) tidak mengerti, bisa langsung ditanyakan kepada yang bersangkutan saat itu juga. Sedang dalam bahasa tulis, biasanya banyak sekali pemahaman, tafsiran, dan interpretasi yang berbeda-beda. Bahkan kadang-kadang bertolak-belakang dengan maksud si penulis, akan tetapi tidak bisa langsung dikonfirmasikan saat itu juga.
Dengan memahami bahwa bahasa al-Qur'an sebenarnya adalah bahasa ucap atau bahasa lisan yang ditulis (diabadikan) dalam mushaf, maka kita bisa lebih berhati-hati, terutama dalam upaya melagukan atau menyanyikan al-Qur'an. Jangan sampai sebuah kisah yang heroik di dalam al-Qur'an (misalnya Surat al-Kafirun) menjadi terdengar lucu, karena keliru melafadzkannya, yakni dengan nada meratap misalnya. Atau sebaliknya, yang seharusnya meratap menadahkan harapan dalam suasana syahdu, tetapi malah dilagukan dengan semangat berapi-api.
Di samping itu, walaupun mempelajari tata bahasa itu penting, tetapi al-Qur'an sebagai bentuk bahasa ucap atau lisan mempunyai teori gramatika (tata bahasa) tersendiri. Tidak cukup hanya dengan sekadar belajar Nahwu Sharaf (tata bahasa Arab biasa). Jadi, untuk belajar bahasa al-Qur'an memang harus mempelajari tata bahasa al-Qur'an itu sendiri, sebagaimana firman Nya dalam al-Qur'an Surat al-Haaqqaah ayat 42-43 yang artinya: Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.
Bahasa al-Qur'an adalah bahasa percakapan dari Tuhan Pencipta alam semesta kepada utusan-Nya, yang dari segi bentuk maupun kandungannya mempunyai nilai yang sangat mulia (qaulu rasuulin kariimin). Al-Qur'an bukan termasuk bahasa semodel bahasa para sastrawan atau penyair (syaa'irin) yang terlalu berorientasi pada keindahan lahiriahnya saja. Bahasa al-Qur'an juga bukan bahasa seperti bahasa para manterawan (kaahinin) atau peramal atau dukun, karena bentuk bahasa model ini seringkali sulit dinalar dan tidak komunikatif. Biasanya, bahasa jenis ini memerlukan juru tafsir khusus.
b. Paradoks Bahasa dunia
As-Suyuthi dalam karyanya al-Itqan mengatakan, "Barangsiapa menyatakan telah memahami rahasi-rahasia yang tersimpan dalam al-Qur'an, tetapi tidak menguasai makna lahiriahnya (tekstual), maka ibaratnya sama dengan orang yang mengatakan bahwa dia telah sampai (masuk) ditengah sebuah rumah, tetapi tidak melewati pintunya." Dari pendapat as-Suyuthi ini bisa disimpulkan bahwa seseorang tidak mungkian mampu memahami makna suatu bahasa tanpa menguasai bahasa tersebut, namun dalam pengalaman belajar bahasa membuktikan bahwa bahasa merupakan media dalam menyampaikan makna sama sekali tidak menentukan makna yang dikandungnya. Seperti kata "ibarat", "umpama", "misal", "bagaikan", "seperti", "penaka", dsb, walaupun kata ini diungkapkan dengan istilah yang berbeda-beda, tetapi maksudnya tetap sama. Inilah paradoks bahasa yang dimasudkan, di satu segi kita harus melalui bahasa untuk mempelajari makna yang dikandungnya, di segi lain kita tidak boleh terjebak pada bahasa sebagai alat penyampai makna yang secara prinsip sama sekali tidak menentukan makna.
2. Administrasi
Terminologi administrasi dalam kehidupan sehari-hari sering disamakan dengan Tata Usaha, yaitu berupa kegiatan mencatat mengumpulkan dan menyimpulkan dan menyimpan suatu kegiatan atau hasil kegiatan untuk membantu pimpinan dalam mengambil keputusan. Pengertian ini diambil dari bahasa belanda Administratie yang berarti setiap penyusunan keterangan secara sistematis dan pencatatan secara tertulis dengan maksud untuk memperoleh suatu ihtisar mengenai keterangan–keterangan itu dalam keseluruhannya dan dalam hubungannya satu sama lain.
Uraian di atas adalah tentang kehidupan pengertian administrasi dalam arti sempit, yang masih kita jumpa dalam kehidupan sehari–hari. Suatu contoh, sebuah Koran membubuhkan alamatnya dengan “Kantor Redaksi/Administrasi: “Yang dimaksudkan dengan ‘Adminitrasi” oleh Lembaga Pers diatas adalah Tata Usaha. Pengertian administrasi kadang dipersempit lagi, dan disamakan dengan “keuangan”. Misalnya ucapan seorang pegawai kantor, “Bereskan dulu urusan administrasimu”. Yang dimaksud dengan “administrasi” oleh si pegawai tersebut adalah “keuangan”.
Dalam arti luas, administrasi berasal dari istilah Inggris, “administration”, yang jabarannya sebagaimana dikemukakan para ahli berikut ini:
1.  Menurut Henri Fayol, administrasi dirumuskan sebagai berikut: Planning, organizing, Commanding, Cordinating and Controling (Perencanaan, pengorganisasian, memberi komando, kordinasi dan mengadakan pengawasan).
2. Menurut Pfifferner dan Prestus, administrasi adalah suatu aktifitas atau process terutama mengenai cara – cara untuk mencapai tujuan.
3. Menurut Ordway Tead dalam bukunya The Art of Administration: Administrasi adalah proses dan kekegitan dari organisasi dan manajemen yang bertanggung jawab dan memberi arah dalam penentuan tujuan).
4. Menurut Leonard D. White dalam bukunya Introduction to the Study of public Administration: Administrasi adalah suatu proses yang biasanya terdapat dalam kelompok baik serupa usaha negara atau perseorangan, sipil atau meliter, secara besar – besaran atau kecil – kecilan.
5. Menurut Herbert A. Simon dalam bentuknya Administrative behavior: Dalam pengertian yang paling luas, administrasi dapat diberi batasan merupakan aktivitas dari kelompok yang mengadakan kerjasama untuk mencapai tujuan.
6. Menurut Prof. DR. Mr. S. Prajudi Atmosidordjo dalam bukunya Dasar – dasar Ilmu Administrasi: Administrasi adalah sebagai fungsi dari pada atau apa yang harus dijalankan oleh setiap orang yang bertugas / berkewajiban memimpin atau mengepalai suatu organisasi.
7. Menurut Sondang P. Siagian, dalam bukunya Filsafat Administrasi: Administrasi adalah keseluruhan proses kerja sama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
8. Menurut Ensiklopedi Administrasi: Administrasi adalah segenap rangkaian perbuatan penyelenggaraan setiap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu.
Berbagai definisi tersebut diatas tampaknya seperti tidak ada persamaan pendapat dan pemahaman. Tetapi sebenarnya dari uraian – uraian tersebut ditarik mempunyai makna yang terkandung dalam administrasi, yaitu:
(1)  administrasi merupakan proses adanya sejumlah aktivitas,
(2)  adanya sekelompok orang yang bekerjasama,
(3)  adanya organisasi untuk wadah kerja sama,
(4)  adanya penentuan tujuan tertentu.
Semua unsur tersebut selalu ada dalam setiap kegiatan administrasi. Jika salah satu faktor saja tidak ada, maka kegiatan tersebut tidak dapat disebut administrasi. Misalnya seorang petani sawah bekerja sendirian dan mendapatkan hasil, tidaklah dapat disebut administrasi, karena:
(1)  tidak bergerak dalam unit organisasi, dan
(2)  tidak ada unsur kerja sama: meskipun dalam usahanya merupakan proses.
Berdasarkan definisi dan ulasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa lingkup kegiatan administrasi tidak terbatas pada ketata – usahaan saja, melainkan jauh lebih luas dari itu. (Dja’far Hentihu, 1990: 3-4)
3. Peradaban dan Kebudayaan
Ketika berbicara tentang kebudayaan, orang sering masuk ke ruang sempit, hanya berkutat di sekitar kesenian, atau berkelana ke ruang yang begitu luas, menjangkau seluruh rentang kehidupan, sehingga sering terjadi perbedaan persepsi dalam diskursus. Pada batasan yang kadang-kadang tidak jelas itulah orang sering mempertanyakan: kebudayaan itu urusan siapa, atau siapa yang berhak mengurus kebudayaan?
Dengan dibebani trauma atas pengalaman empirik pada masa Orba, Mh. Nurul Huda menyatakan bahwa pemerintah atau negara tak berwenang menafsirkan budaya rakyatnya karena elite pemerintah atau negara tidak memiliki kapasitas dan kompetensi untuk itu, secara empiris para elite pemerintah umumnya tak memiliki kepedulian, sebaliknya justru merusak kekayaan budaya masyarakat. Disamping itu model negara Leviathan Hobbes sudah dianggap usang karena model ini tak mampu mengakomodasi keragaman kebudayaan dan perbedaan pandangan dalam negara yang plural dan heterogen (Kompas, 27.12.04) .
Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat, manifestasi-manivestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban, kebudayaan lebih direfleksikan pada: seni, sastra, religi (keagamaan), dan moral, maka peradaban lebih luas hingga terefleksi pada politik, Ekonomi dan teknologi (Effat Al Sarqawi, 1986: 5).

Secara umum kebudayaan setidaknya mempunyai tiga wujud:
            (1)      Wujud Ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peaturan dan sebagainya.
            (2)      Wujud Kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam suatu masyarakat.
            (3)      Wujud Benda, yaitu wujud kebudayaan dari benda-benda hasil karya (Koentjaraningrat, 1985: 5).
Peradaban sering dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur kebudayaan yang halus dan indah. Peradaban dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang menyangkut sistim teknologi dan seni, sistim kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. (M. Natsir, tt: 4)
Peradaban (hadharah) dalam term bahasa Arab adalah antitesis dari keprimitifan (badawah). Dalam peradaban terdapat sifat akomodatif terhadap perkembangan, yang menetap dalam wilayah tertentu, serta berada dalam tatanan sosial yang stabil. Sifat akomodatif orang-orang yang menetap dalam suatu kota terhadap kemajuan menghasilkan akumulasi pencapaian peradaban. Dengannya, manusia dapat memper­halus realitas yang ada. Dengan adanya akumulasi peradaban dan pertumbuhan budaya, yang dengannya jiwa manusia menjadi halus, peradaban dan pembangunan manusia dapat berdiri.
Peradaban adalah pembangunan dengan dua sayapnya: "berper­adaban" yang dengannya realitas materiil menjadi terhaluskan, dan "budaya" yang dengannya jiwa manusia menjadi halus. Peradaban merupakan hasil dari sifat akomodatif terhadap kemajuan yang menetap dalam perkotaan, perkampungan, dan perumahan.
Dalam Al-Qur'anul-Karim disebutkan, "Dan, tanyakanlah kepada Bani Israel tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berbuat fasik. "(al-A'raf: 163)
Dalam hadits Nabi saw, juga dalam syair Arab terdapat pemban­dingan antara al-hadhir 'menetap di perkampungan dan kota' dan al-badi 'yang tinggal di padang pasir dan nomaden'. Serta antara peradaban dan keprimitifan.
Oleh karena itu, term al-umran 'peradaban' dalam warisan intelek­tual Mesir kuno, lebih tepat dalam menunjukkan pengertian peradaban dibandingkan dengan term al-hadharah yang kemudian secara populer digunakan pada masa modern ini. Ibnu Khaldun (732-808 H/1332-1406 M) melakukan pembedaan antara pengertian kedua istilah itu, al­hadharah dan al-umran, ketika ia melihat perbedaan antara al-umran, yang berarti 'kemajuan dan ketinggian' dengan al-hadharah, yang berarti 'fase awal stagnasi kemajuan dan kemunduran peradaban'. Al hadharah menurutnya adalah kemewahan, sifat berlebihan, konsumerisme yang melebihi produksi, meninggalkan usaha yang produktif, mengandalkan kekuatan, dan menambah pekerjaan administratif dan supervisi yang tidak didorong oleh kebutuhan, sehingga menambah neraca pengeluar­an, dan akibatnya adalah dinaikkannya pajak tanpa ada pertambahan kekayaan, serta usaha yang ditumbuhkembangkan oleh keadilan. Dalam kondisi seperti itu, negara dan para pejabatnya adalah pos-pos pengeluar­an harta-harta rakyat.
Apa yang disebut dengan istilah al-umran dalam warisan intelektual ­Mesir Kuno, kemudian dikenal dengan istilah al-hadharah dalam warisan intelektual Mesir modern. Hal itu merupakan akumulasi peradaban dan budaya, serta pembangunan yang menghiasi realitas materiil dan jiwa manusia. Dengannya, manusia meningkatkan realitas kesehariannya, dan realita yang berperadaban itu memberikan sahamnya dalam mem­bangun masyarakat sipil yang berperadaban, dalam bidang-bidang yang beragam: agama, akhlak, keindahan, keilmuan, ekonomi, politik dan bidang-bidang kemajuan peradaban lainnya.
Jika demikian pengertian al hadhayah itu maka penelusuran per­jalanan perkembangan kelompok-kelompok manusia seluruhnya, dari beragam ras, warna kulit, filsafat, dan agama sepanjang sejarah dan tempat, akan menyaksikan kecenderungan manusia untuk selalu dan selamanya mengarah kepada hidup menetap, membangun perkam­pungan, dan membangun peradaban mereka. Dengan tinggal dalam kota berperadaban, manusia menggantikan kemudahan mereka dengan kesulitan, kesantaian dengan kerja dan kelelahan, keamanan dengan bahaya dan ketakutan, kelembutan dengan kekasaran, dan kebahagiaan dengan kesedihan. Mereka berkecenderungan dengan fitrah dan ke­maslahatannya sekaligus untuk mengambil faktor-faktor peradaban dan kemajuan.
Banyak orang tidak berbeda dalam menjawab pertanyaan ini. Jika mereka menjawab pertanyaan itu dengan berpedoman pada "realitas" yang terwujud dalam karakteristik-karakteristik kekhasan peradaban. Yang menggariskan "batas-teritorial" bagi "negara-negara peradaban", yang lebih kuat dan lebih panjang usianya, dalam kehidupan umat umat dan bangsa-bangsa, daripada "batas-batas teritorial politik" bagi Negara-negara dan kerajaan-kerajaan.
Sedangkan, kekhasan Barat sebagai peradaban adalah realitas yang disepakati oleh para peneliti. Baik itu kekhasannya pada era kejahilan Yunani kuno maupun kebangkitan Eropa modern, serta realitas kontemporer kekinian yang kita saksikan bersama.
Hubungan antara peradaban Islam dan peradaban barat masing-masing mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi, memberi, dan dapat diterima diluar batas-batas teritorial "negara peradabannya". Keduanya saling berkompetisi hingga mencapai tingkat konflik (bersenjata) dalam waktu yang panjang dalam sejarah. Sehingga, persaingan-persaingan antara peradaban barat dan peradaban-peradaban Timur Jauh biasanya hanya sebatas pada "dimensi ekonomi", sementara persaingan antara Barat dan Islam adalah persaingan peradaban secara lengkap dalam seluruh bidang. (Imarah, Muhammad, 1999).
Sebagian pemikiran Barat tidak mengingkari "kekhasan historis" peradaban Islam dibandingkan dengan peradaban-peradaban lainnya. Namun, banyak orang Barat yang mengingkari kekhasan peradaban kita, sehingga mereka juga mengingkari kekhasan Islam sebagai risalah agama dan syariat Ilahiah. Mereka hanya melihatnya sebagai bentuk klenik dari Kristen, dan hasil proses eklektik dari ajaran-ajaran Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Gaung pengaruh pemikiran Salibis ini masih bercokol dalam dunia budaya dan visi Barat kontemporer. Yang paling berbahaya dan aneh adalah sejumlah besar pemikir barat yang ber­pengaruh, yang mengimani adanya pluralitas peradaban secara global, dan adanya kekhasan-kekhasan peradaban dengan kekhasan budayanya kembali berbicara tentang keharusan terjadinya benturan antar per­adaban-peradaban. Mereka mengajak kepada peradaban Barat untuk menyiapkan perangkat-perangkat kekuataan mereka dalam bidang militer, ekonomi, budaya, dan politik untuk melumpuhkan peradaban-­peradaban non-Barat. Terutama dimulai dengan peradaban Islam.
Samuel E Huntington menerima adanya pluralitas dan ­kekhasan masing-masing peradaban sebagai suatu realitas, kemudian melihat masa depan pluralitas peradaban ini berujung pada benturan, sehingga ia mengajak Barat untuk menghilangkan pluralitas ini dari dunia realitas peradaban. kekhasan peradaban-peradaban tersebut terjadi karena kekhasan budaya-budayanya. Peradaban adalah bentuk budaya, tidah ada peradaban universal. Namun, yang ada adalah dunia dari peradaban­ peradaban yang berbeda. Di dunia ini ada tujuh atau delapan peradaban besar: peradaban Barat, Cina Konfusius, Jepang, Islam, India, Ortodox Slavik, Amerika Latin, dan barangkali Afrika. Ketujuh peradaban itu merupakan peradaban-peradaban yang masing-masing berbeda satu sama lain karena faktor bahasa, sejarah, budaya, dan tradisi. Dan yang paling penting di antaranya adalah agama. Anggota-anggota peradaban­ peradaban yang berbeda-beda itu mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda tentang hubungan antara Tuhan dan manusia, individu dan masyarakat, daerah dan negara, anak dan orang tuanya, serta suami dan istrinya. Juga terdapat pemikiran-pemikiran yang berbeda tentang takaran hak-hak dan tanggung jawab, kebebasan, kekuasaan, persamaan, dan bentuk piramida masyarakat. Perbedaan-perbedaan ini terjadi akibat perkembangan-perkembangan yang terjadi selama berabad-abad, dan tidak akan hilang dalam waktu dekat. Karena ia lebih substansial dari perbedaan-perbedaan antara ideologi-ideologi politik dan sistem-sistem politik.
Ia menyarankan untuk membagi fase benturan pada masa depan itu menjadi dua fase, yakni sebagai berikut:
Pertama, yang dekat adalah fase "jangka pendek". Pada fase ini Huntington merekomendasikan pihak Barat untuk menyatukan dunia peradabannya, dan mempergunakan seluruh perangkatnya, dari alat perang, hingga ekonomi, politik, budaya, nilai hingga lembaga-lembaga internasional, serta memfokuskan diri pada perseteruan melawan. peradaban Islam dan Cina. Ia berkata:
"Dalam jangka pendek, bagi kepentingan Barat adalah memperbesar kerja sama dan penyatuan dalam lingkup peradabannya sendiri, terutama di antara dua perumus peradaban inti, yaitu Eropa dan Amerika Utara. Serta memasukkan masyarakat-masyarakt Eropa Timur dan Amerika Latin ke dalam lingkup masyarakat ­Barat. Itu semua adalah masyarakat-masyarakat yang mempunyai budaya yang dekat dengan budaya Barat, serta memperkuat dan memelihara hubungan yang telah ada dengan Rusia dan Jepang. Juga menjadikan perseteruan lokal diantara peradaban-peradaban menjadi perang-perang besar diantara peradaban-peradaban, dan menekan agar tidak terjadi pembesaran kekuatan militer negara­negara Asia dan Islam, serta menekan upaya pengurangan kekuat­an militer Barat Juga memelihara keunggulan militer di Timur dan Barat Daya Asia. Juga memanfaatkan perselisihan dan perseteruan yang terjadi di Barat untuk ditumpahkan di tengah-tengah per­adaban lain. Memperkuat lembaga-lembaga internasional yang mencerminkan dan memperjuangkan kepentingan dan nilai-nilai Barat serta memberikan justifikasi terhadap tindakan-tindakannya. Kemudian, mengajak kepada negara-negara non-Barat untuk ber­gabung dalam organisasi-organisasi ini."
Yang dituntut oleh Barat dalam "jangka pendek" perseteruan ini adalah sebagai berikut.
1.      Menyatukan elemen peradabannya, memperkuat kerja sama di antara mereka, serta memasukkan Eropa Timur dengan bagian Baratnya, dan seluruh Eropa bersama Amerika Utara dan Amerika Latin. Atau, Barat budaya dan yang dekat dengan budaya Barat, Barat Kristen dengan sekte-sekte yang beragam.
2.      Kerja sama, memperkecil dan menekan perseteruan dalam seluruh lingkup peradaban Barat. Bahkan, memanfaatkan masalah-masalah perseteruan dalam masyarakat Barat untuk, menjadi perseteruan bagi masyarakat non-Barat, sehingga perseteruan Barat nantinya akan terfokuskan untuk melawan Islam dan Cina.
3.      Mengurangi kemampuan militer kaum muslimin dan Cina, serta menambah kekuatan militer Barat, dan menjaga keunggulan militer Barat di Timur dan Barat Daya Asia. Atau, untuk menghadapi Cina dan kaum muslimin.
4.      Memperkuat lembaga-lembaga internasional yang berperan "mem­perjuangkan kepentingan dan nilai-nilai Barat, serta memberikan justifikasi kepadanya, dan mengikutsertakan negara-negara non-­Barat untuk bergabung dalam lembaga lembaga ini.
Itu adalah poin-poin strategi Huntington bagi kepentingan jangka pendek, dan fase pertama dari perseteruan peradaban Barat, yang ia rekomendasikan untuk difokuskan pada dua peradaban Islam dan Cina.
Sedangkan, fase kedua perseteruan Barat melawan peradaban non­-Barat ini adalah fase "jangka panjang", yang dalam ungkapan Huntington adalah fase penguasaan Barat atas peradaban-peradaban non-Barat, yang telah berhasil "memodernisasi" dirinya, sambil tetap menjaga identitas peradaban non-Baratnya.
Setelah fase pertama perseteruan ini, fase penghancuran kekuatan peradaban Islam dan peradaban Cina, datang fase kedua penguasaan peradaban-peradaban lain yang non-Barat. Yang dilewati oleh Barat pada fase pertama dari perseteruannya itu. Terutama yang telah berhasil dalam bidang kekuatan modernisasi militer dan ekonomi.
 Dalam ung­kapan Huntington: "Sedangkan, dalam jangka yang lebih panjang, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang lain. Peradaban Barat adalah peradaban Barat dan modern sekaligus. Peradaban-peradaban non-Barat telah berusaha menjadi modern tanpa menjadi Barat. Hingga hari ini tidak ada yang berhasil kecuali Jepang. Peradaban-peradaban non­-Barat akan terus berusaha mencapai kekayaan, teknologi, keahlian, permesinan, dan persenjataan, yang merupakan cermin dari elemen bangunan peradaban modern. Peradaban-peradaban itu juga akan terus berusaha menyelaraskan modernisme itu dengan budaya dan nilai-nilai tradisionalnya. Sedangkan, kekuatan ekonomi dan militer­nya akan mengalahkan Barat. Oleh karena itu, Barat dalam bentuk yang lebih besar, harus menguasai peradaban-peradaban modern non-Barat itu, yang kekuatannya sudah hampir mendekati kekuatan Barat, tetapi nilai-nilai dan kepentingannya berbeda dalam jarak yang besar dari nilai dan kepentingan Barat. Oleh karena itu, Barat harus menjaga kekuatan ekonomi dan militer yang diperlukanuntuk menjaga kepentingannya yang berhubungan dengan peradaban-peradaban itu." (al-Hirsul Wathani, edisi Dzulqa'idah-Dzulhijjah, tahun 1416 / Maret-April, tahun 1996, hlm. 84,90.)

No comments:

Post a Comment