BAB I
MUKADDIMAH
Khazanah kajian
sejarah peradaban Islam dari masa ke masa dengan umat Islam dan umat-umat
lainnya yang saling memiliki keterkaitan dari berbagai etnik dan asal usunya
merupakan suatu obyek kajian yang mampu di disajikan dalam berbagai bentuk dan
kronologis serta aspek-aspek dari mana sang peneliti sejarah tersebut dalam
meneliti dan kemudian menyajikannya.
Penulisan administrasi
dalam perkembangan sejarah peradaban Islam merupakan salah satu hal yang seakan
merupakan pelengkap atau penulisan yang tidak terlalu penting dan jika diukur
skala prioritas maka administrasi sebagai ujung tombak dari sejarah itu sendiri
merupakan prioritas skunder setelah Penulisan sejarah interpersonal tokoh, kekhilafahan dan kedaulatan Politik, sosial dan
budaya serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, padahal keberadaan
sumber-sumber kajian dari berbagai konteks sosio–budaya dari segala
perkembangan sejarah adalah bermula dari pola dan keteraturan administrasi yang
ada dan dikembangkan saat itu, sehingga dapat dilacak secara historis serta
mampu di dikembangkan dengan didukung peninggalan-peningalan administratif
maupun non administratif seperti bukti fisik secara biologis maupun bukti fisik
(material).
Fakta tersebut memang
sangat dipengaruhi oleh kesilauan umat Islam dengan pemikiran barat khususnya
mengenai term administrasi. Di Amerika suatu misal, masyarakatnya hanya
mengenal dua macam kelompok administrasi yaitu Public Administration (Administrasi Negara) dan Business Administration (Administrasi
Niaga). (Sidi Gazalba, 1994: 349).
Di Indonesia sendiri, pemahaman administrasi dalam
masyarakat kita secara umum sering disalah artikan subtansinya, masyarakat
Islam Indonesia yang awam khususnya, memahami dan mengejawantahkan administrasi
adalah sebatas pada pekerjaan atau kegiatan dalam bidang tata usaha di kantor
saja.
Sepanjang sejarah peradaban manusia ada satu ras manusia
yang mempunyai peranan sangat besar dalam pewarnaan administrasi sejarah
peradaban pra-modern yang secara nyata telah mempunyai bukti arkeologis dalam
pelaksanaan adminsitrasi yaitu ras dari bangsa Semit atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Bangsa Sumeria. Nabi Musa (Moses)
sebagai pendiri agama Yahudi dengan sepuluh perintah Tuhan (The Ten Command)
yang terbukukan. Nabi Isa (Jesus of
Nazaret) sebagai pendiri agama Nasrani dengan bibelnya, dan Ahmad
Ibn-Abdullah (Muhammadurrosuulullah),
dengan Al Qur-an dan Madinah Carternya
yang merupakan prototype Undang-Undang Dasar Negara demokratis dengan
menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia dalam pengembangan Masyarakat Madani (civil society), mereka semua merupakan
putra-putra keturunan bangsa Semit yang
secara genetika berdarah bangsawan dan Administrator yang handal.
Al-Din al-Islam adalah agama samawi
ketiga dan merupakan agama yang terakhir diantara agama-agama monoteisme
tersebut juga lahir di hamparan jazirah Arabia dimana tempat tersebut merupakan
tempat kelahiran Al-Din al-Islam yang
juga merupakan tanah air bangsa Semit (Sumeria).
Dalam perguliran waktu yang cukup
lama akhirnya keturunan Bangsa Semit menyebar sebagai nomad ke berbagai Wilayah
yang lebih subur dari daerah asalnya. Mereka berkembang masing-masing yang kemudian
dikenal sebagai bangsa Babylonia, Assyria, Phoenesia, dan bangsa Yahudi.
Semula nenek moyang bangsa
Babylonia, Assyria, Phoenesia, dan bangsa Yahudi bertempat tinggal dalam satu
kesatuan yang utuh, namun sekitar tahun 3500 SM, suku Akkadia salah satu cabang
keturunan dari bangsa Semit (Sumeria) hengkang meninggalkan tanah kelahirannya
dan menetap di suatu lembah diantara Sungai Tigris dan Euphrat yang pada saat
itu lembah tersebut telah didiami oleh bangsa yang telah mengenal peradaban,
yaitu bangsa Sumeria, Pertemuan mereka dalam akulturasi dan asimilasi dengan
bangsa sumeria ini pada akhirnya melahirkan suatu peradaban yang besar.
Sejarah Peradaban Timur terhempas ke Eropa
karena penaklukan Aleksander yang agung (The Great of Alexander) atas
bangsa Persia, kemudian bangsa Yunani mengembangkan peradaban tersebut kedalam
berbagai cabang dan melahirkan sebuah peradaban baru yang pada gilirannya mampu
mengungguli peradaban Timur dan Barat, dimana peradaban baru ini dikenal hingga
sekarang sebagai peradaban Yunani.
Ketika Bangsa Romawi
menaklukkan Yunani pada tahun 146 SM dan mewarisi peradaban Yunani, hingga
selanjutnya pada abad VII M peradaban Yunani tersebut di warisi
oleh umat Islam ketika Umat Islam menaklukkan Wilayah Persia dan Romawi. Jadi perjalanan sejarah
peradaban pra-modern yang berawal dari peradaban bangsa Semit tersebut akhirnya
menjadi cikal bakal pelacakan sejarah peradaban Islam.
Berawal dari kebesaran negeri Babylonia,
raja Hammurabi (2123 – 2081) adalah seorang administrator dan legislator yang
ulung keturuan bangsa Semit, hal ini terbukti dengan diketemukannya Susa’ oleh Arkeolog
Perancis M. de Morgan (1901-1902). Susa’
adalah lempengan batu yang (bentuk kapsul dari tahan liat yang dibakar -
seperti batu bata lonjong sekarang) diatasnya dituliskan hukum-hukum yang
dirumuskan oleh raja Hammurabi (hukum Hamurabi), dan akhirnya temuan ini
disebut dan dikukuhkan sebagai kitab hukum tertua dalam sejarah peradaban
manusia.
Pada awal-awal tumbuh dan
berkembagnnya agama Islam, meskipun Rasulullah SAW, dikenal dengan sebutan Niraksarawan atau Al Ummi (buta huruf), namun dalam sejarah semenanjung Arabia Nabi Muhammad
SAW adalah orang pertama mencapai keberhasilan yang gemilang didalam membentuk
suatu tatanan organisasi sosial berdasarkan agama alih-alih berdasarkan
keturunan.”(Syed Mahmudunnaser, 1994: 123).
Nabi
Muhammad SAW, tidak hanya pendiri agama dan pendiri masyarakat yang madani,
beliau juga seorang negarawan dan pembangun bangsa besar. Nabi Muhammad SAW, adalah:
kaisar dan paus dalam satu organ, tetapi beliau adalah kaisar tanpa legiun
kekaisaran dan paus tanpa keangkuhan seorang paus, beliau adalah kaisar yang
paling besar karena dia telah menciptakan suatu bangsa yang besar. Beliau
mendirikan Republik Madinah yang merupakan soko guru dari Masyarakat Madani (civil society), menyatukan unsur yang
berbeda dalam satu kesatuan yang kukuh dan menyusun sebuah kitab undang-undang
yang mengatur seluruh suku bangsa tanpa pembedaan kelas atau asal usul mereka.
Nabi
Muhammad SAW, berpembawaan seorang demokrat. Piagam yang diberikannya kepada
Madinah memberikan jaminan terhadap jiwa, hak milik, dan agama bagi semua unsur
tanpa membedakan kasta dan keimanan. Piagam itu juga merupakan titik awal dari
adanya Undang Undang tentang Hak Asasi Manusia, kebebasan, persamaan dan
persaudaraan. (The Freedom of peace).
Semangat kerukunan persaudaraan dan persahabatan mulia yang
ditanamkan oleh Nabi Muhammad SAW, di hati setiap orang yang akhlaknya rusak
membawa mereka menjadi suatu bangsa yang kuat dan padu dengan toleransi tinggi
dan mengutamakan permusyawaratan.
Pengamatan Prof. Hitti kiranya patut dikutip disini: “Didalam masa kehidupan moralnya yang sangat
singkat, dari bahan-bahan yang nampaknya tidak memungkinkan untuk mendukungnya,
Nabi Muhammad SAW, membangkitkan suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah
bersatu di dalam suatu negara yang sampai sekarang hanya merupakan pernyataan
geografis”.
Negara yang didirikannya merupakan negara demokratis yang sesungguhnya.
Negara persemakmuran yang baru tersebut pada birokrasi kedalamnya termasuk
orang-orang Yahudi, penyembah bintang, dan orang-orang Kristen sebagai warga
negara dengan status kewarganegaraan yang jelas sebagaimana umat Islam. Hal ini
didasarkan atas prinsip-prinsip persamaan umat manusia. Mereka di beri
kebebasan beragama, serta hak-hak politik dan hak-hak asasi lainnya sebagai
warga negara senantiasa dilindungi.
Semakin kita mengingat keluasannya selama lebih dari satu
dekade adalah waktu yang sangat singkat serta dibarengi dengan penyelesaian
berbagai penentangan yang sangat keras yang harus dihadapi, semakin kagum kita
pada kemampuan, keluwesan, kebijaksanaan dan kebijakan orang yang telah
menyelesaikan revolusi santun ini. Menurut kata-kata Edward Gibbon, “Revolusi
Islam merupakan revolusi yang sangat mengesankan, yang telah menanamkan suatu
karakter yang baru dan abadi atas bangsa di dunia”. (Syed Mahmudunnaser,
1994: 123).
Lebih kagum lagi jika kita memperhatikan kecermatan Nabi Muhammad SAW,
dalam pengelolaan organisasi dan administrasi, baik mengelola administrasi
negara, administrasi kemiliteran, administrasi kependidikan dan lain-lain yang
secara terus menerus diterapkan oleh para sahabat dan generasi selanjutnya
hingga sekarang menjadi administrasi global yang kita kenal dengan sistim Wide area network (WAN) dan Local arena network (LAN) dan system
administrasi maya yang mewarnai segala lini kehidupan kita sekarang ini.
Dengan adanya sumber-sumber kajian dari berbagai konteks sosio–budaya
adalah bermula dari keteraturan administrasi yang ada saat itu, sehingga dapat
dilacak serta mampu di dikembangkan dengan didukung peninggalan-peningalan non
administrasi seperti bukti fisik secara biologis maupun bukti fisik material.
1.
Bahasa dan Rumpunnya Sebagai Unsur
Utama Administrasi
Bahasa merupakan bagian yang tidak dapat terlepaskan
dari administrasi atau dengan kata lain dapat dikatakan bahasa merupakan unsur
utama dan unsur kunci terbentuknya suatu tatanan administrasi, bahasa memainkan
peranan yang sangat penting dalam kehidupan kita. Bahkan hal paling penting
yang membedakan antara manusia dengan binatang adalah kemampuan berbahasa.
Seperti dikatakan oleh Quintilian, "Tuhan,
Sang Pencipta Alam Yang Maha Kuasa serta Arsitek Dunia, telah memberikan kepada
manusia suatu sifat yang sangat tepat untuk membedakannya daripada hewan, yakni
daya bicara." (Mario Pei, 1970), dari daya bicara dalam term kita
adalah bahasa, timbul daya tulis dan akhirnya timbul daya
pengadministrasiannya.
Sudah menjadi konsensus umat
Islam di seluruh dunia bahwa bahasa al-Qur'an adalah bahasa Arab dan Nabi
Muhammad juga bangsa (orang) Arab, Ditinjau dari sejarahnya, sekurang-kurangnya
ada dua jenis klan besar Arab yang mendiami daerah Hijaz (Jazirah Arab). Yang pertama adalah Arab asli (True
Arabs) atau Arab al-'Ariba dan
yang kedua adalah Arab pendatang (Arabized
Arabs) atau Arab al-Musta'riba.
Arab asli adalah keraturunan dari Qathan, sedangkan Arab pendatang merupakan
keturunan dari Ismail, yang datang dari Babylonia
(Mesopotamia) dengan seperangkat peradabannya.
Pada masa menjelang lahirnya Muhammad, Makkah
sebagai pusat kota yang terpenting pada saat itu. Praktis dikuasai oleh orang Arab
pendatang yang populer dengan sebutan suku bangsa Quraisy. Didukung oleh
persekutuan antar kabilah yang kuat dalam perjanjian hilfulfudhul. Ketika
beberapa orang pemuda menggalang sebuah gerakan yang dikenal dengan nama
"Sumpah Pemuda" (Hilful-Fudhul), segera Muhammad pun bergabung
bersama mereka, karena gerakan itu sejalan dengan perilaku luhur dan
tujuan-tujuannya. maka bahasa Arab Quraisy secara de-facto telah menjadi lingua france (bahasa utama) di
seluruh Jazirah Arab pada masa itu. Oleh karena itu bahasa al-Qur'an adalah
bahasa Arab Quraisy. Singkatnya disebut dengan bahasa Araby.
Term Araby berasal dari kata Arab yang ditambah dengan huruf "ya nisbah", yaitu huruf "ya" di akhir kata yang
berfungsi sebagai penghubung dari kata itu. Dalam konteks bahasa, "ya nisbah" berfungsi untuk
merumpunkan suatu bahasa dengan kelompoknya. Seperti halnya bahasa Indonesia
adalah serumpun dengan bahasa Malaysia,
yakni termasuk dalam rumpun bahasa Melayu. Jadi, yang kita maksud bahasa
al-Qur'an sebagai bahasa Araby, adalah karena bahasa Arab Quraiys yang dipakai
al-Qur'an tersebut serumpun dengan bahasa Arab seumumnya.
Perbedaan antara bahasa Arab dengan bahasa al-Qur'an, adalah:
1. Bahasa Arab adalah bahasa
kontemporer yang masih mengalami proses perubahan dan perkembangan (bisa
bertambah dan berkurang). Sedang bahasa al-Qur'an adalah bahasa yang sudah baku dengan fleksibilitas
serta gramatika yang tinggi.
2. Secara struktur, bahasa Arab
tersusun dari kalimat, kata dan huruf tanpa ada ikatan yang kuat. Sedang bahasa
al-Qur'an terikat dalam kitab-kitab, surat-surat, ayat-ayat, kalimat-kalimat,
kata-kata, dan huruf dengan aturan pengucapan yang ketat.
Kajian bahasa sampai kini masih menjadi perdebatan
para peneliti. Salah satu pendapat menyatakan, bahasa mempunyai rumpun atau
keluarga. Ada
empat rumpun bahasa yang kita kenal di dunia ini. Rumpun Semit, Indo-Eropa,
Arya, dan Mongol. Meskipun secara ilmiah kurang diakui dengan populer bahwa
induk dari keempat rumpun bahasa tersebut adalah bahasa Al Qur’an atau bahasa
araby, suatu contoh: apabila kata "ardl"
dalam al-Qur'an kemudian kita bandingkan dengan earth (Inggris), terra (italia),
terre (Perancis), tierra (Spanyol), erde (Jerman), aarde (Belanda),
rat/rad (Jawa, bumi - Indonesia), maka dari ketujuh bahasa tersebut ada kemiripan
dalam bunyi ucapan (lafadz) dan
kesinoniman dalam makna yang dikandungnya.
Selain permainan kosa kata (utak-atik kata dan
bahasa), ada hasil penelitian dosen linguistik di sebuah universitas terkemuka
di Inggris, Prof. Dr. Tahiyya Abdul Aziz dalam bukunya yang berjudul Arabic Language The Origin of Languages
mengulas dan menyimpulkan bahwa bahasa Arab merupakan sumber dan asal-usul dari
semua bahasa yang ada di muka bumi ini. Sungguh pun bahasa Arab itu dipandang
dari sudut literatur adalah bahasa yang termuda diantara kumpulan bahasa-bahasa
Samyah (Semite), tetapi bahasa ini
lebih banyak mewarisi sifat-sifat asli bahasa induknya, yaitu bahasa Samyah
daripada bahasa Ibrani dan lain-lain bahasa yang bersaudara dengan itu (Philip
K. Hitti, Dunia Arab, Sejarah Ringkas, p.11). Dan tanah Arablah negeri asal
dari cikal-bakal suku-suku bangsa bani Samyah, yaitu, bangsa Babylonia,
Assyiria, Chaldea, Amorayah, Aram, Phunisia, Ibrani, Arab, dan Abessinia
(p.12).
Dalam Kitab Perjanjian Lama (The Old Testament) dikatakan, "Adapun seluruh bumi, satu
bahasanya dan satu logatnya." (Kejadian 11: 1). Kemudian dalam The Story of Language, Mario Pei
mengutip pernyataan Cowper, "Para
sarjana filologi, yang memburu sebuah suku-kata terengah-engah lewat ruang dan
waktu, mulai dari rumah, mengejarnya dalam gelap-gulita ke Gallia, ke Yunani,
ke Bahtera Nabi Nuh juga." Dalam beberapa pernyataan yang kita kutip
tersebut, bila kemudian dihubungkan dengan Surat ash-Shaaffaat ayat 83:
Dan
sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). Lalu disambung dengan Surat
al-A'laa ayat 18 dan 19, yang secara tegas menyebutkan, al-Qur'an hingga sampai
kepada Nabi Nuh. Sesungguhnya ini
benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim
dan Musa.
Dari suhuf Nabi Nuh sebagaimana al-A'laa ayat 18 dan
19 diatas, maka untuk menelusuri hingga Nabi Adam AS, tinggal menghubungkannya
melalui Nabi Idris. Inilah yang disebut sebagai Arabic language oleh Prof. Tahiyya sebagai asal-usul semua bahasa
di dunia ini. Bahasa wahyu, bahasa para Nabi. Sejak Adam hingga Muhammad. Dalam
kait-hubungan pertaliannya dengan bangsa Arab, bukan berarti wahyu al-Qur'an
yang mengikuti bangsa dan bahasa Arab, tatapi bahasa dan budaya bangsa Arablah
yang mengikuti bahasa dan budaya para Nabi (al-Qur'an, Injil, Taurat, Zabur,
Shukhuf al Ula, al-Asma dll).
Bahasa dalam bentuk aslinya yang pertama adalah
berupa suara atau rangkaian bunyi (ujaran) yang mengandung makna tertentu.
Bentuk bahasa ucap atau percakapan ini timbul penulisan, pemeliharaan dan
penyimpanan dokumen tersebut yang secara jujur adalah suatu proses
pengadministrasian.
a.
Bentuk - bentuk Bahasa
Bahasa yang diucapkan manusia merupakan bahasa ucap
atau bahasa lidah / bahasa lisan, bahasa inilah yang menjadi landasan bagi
semua bahasa. Bahasa wahyu yang didokumentasikan dalam al-Qur'an disebut
sebagai qaulan atau lisaanan yang artinya ucapan atau
perkataan lisan.
Disebabkan tenaga dari susunan bahasa Arab yang aneh, maka bahasa itu
sangat tepat untuk dipakai berbicara secara ringkas dan berisi. Sifat bahasa
dan watak yang aneh dari bangsa ini, seluruhnya dipergunakan oleh Islam itulah
sebabnya didapati “sifat ajaib” pada gaya dan susunan bahasa dalam Qur’an, yang
dikemukakan oleh kaum Muslimin sebagai bukti yang terkuat akan kebenaran
agamanya. Kemenangan Islam sedikit banyak berarti kemenangan bagi suatu bahasa,
terutama kemenangan suatu kitab dari sekian kitab Samawy, yaitu Al Qur’an Al
Karim.
Bahasa secara umum yang kita kenal ada dua bentuk
bahasa yaitu bahasa ucap atau bahasa lisan dan bahasa tulis, adapun perbedaan
antara bentuk bahasa ucap dan bahasa tulis antara lain:
1. Bahasa tulis sangat terikat
oleh tata bahasa, sedangkan bahasa ucap adalah bahasa operasional yang lebih
longgar dalam pengaplikasiannya.
2. Dalam bahasa ucap, intonasi
atau tinggi rendah tekanan (nada) suara sangat mempengaruhi makna yang
dikandungnya, sementara dalam bahasa tulis tidak ada persoalan dalam hal
intonasi. Namun mengutamakan susunan dan keteraturan tata bahasa.
3. Pihak-pihak yang berbicara biasanya
saling bertemu secara langsung dalam ruang dan waktu yang sama secara dialogis
dan interaktif (dalam bahasa ucap), sedangkan dalam bahasa tulis tidak
demikian.
4. Yang paling tahu dari suatu
ucapan adalah si pengucap itu sendiri. Bila objek (lawan bicara) tidak
mengerti, bisa langsung ditanyakan kepada yang bersangkutan saat itu juga.
Sedang dalam bahasa tulis, biasanya banyak sekali pemahaman, tafsiran, dan
interpretasi yang berbeda-beda. Bahkan kadang-kadang bertolak-belakang dengan
maksud si penulis, akan tetapi tidak bisa langsung dikonfirmasikan saat itu
juga.
Dengan memahami bahwa bahasa al-Qur'an sebenarnya adalah bahasa ucap atau
bahasa lisan yang ditulis (diabadikan) dalam mushaf, maka kita bisa lebih
berhati-hati, terutama dalam upaya melagukan atau menyanyikan al-Qur'an. Jangan
sampai sebuah kisah yang heroik di dalam al-Qur'an (misalnya Surat al-Kafirun) menjadi terdengar lucu,
karena keliru melafadzkannya, yakni dengan nada meratap misalnya. Atau
sebaliknya, yang seharusnya meratap menadahkan harapan dalam suasana syahdu,
tetapi malah dilagukan dengan semangat berapi-api.
Di samping itu, walaupun mempelajari tata bahasa itu
penting, tetapi al-Qur'an sebagai bentuk bahasa ucap atau lisan mempunyai teori
gramatika (tata bahasa) tersendiri. Tidak cukup hanya dengan sekadar belajar
Nahwu Sharaf (tata bahasa Arab biasa). Jadi, untuk belajar bahasa al-Qur'an
memang harus mempelajari tata bahasa al-Qur'an itu sendiri, sebagaimana firman
Nya dalam al-Qur'an Surat
al-Haaqqaah ayat 42-43 yang artinya: Dan
bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran
daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.
Bahasa al-Qur'an adalah bahasa
percakapan dari Tuhan Pencipta alam semesta kepada utusan-Nya, yang dari segi
bentuk maupun kandungannya mempunyai nilai yang sangat mulia (qaulu rasuulin kariimin). Al-Qur'an bukan termasuk bahasa semodel bahasa para sastrawan atau
penyair (syaa'irin) yang terlalu
berorientasi pada keindahan lahiriahnya saja. Bahasa al-Qur'an juga bukan
bahasa seperti bahasa para manterawan (kaahinin)
atau peramal atau dukun, karena bentuk bahasa model ini seringkali sulit
dinalar dan tidak komunikatif. Biasanya, bahasa jenis ini memerlukan juru
tafsir khusus.
b. Paradoks Bahasa dunia
As-Suyuthi dalam karyanya al-Itqan mengatakan, "Barangsiapa menyatakan telah memahami rahasi-rahasia yang
tersimpan dalam al-Qur'an, tetapi tidak menguasai makna lahiriahnya (tekstual),
maka ibaratnya sama dengan orang yang mengatakan bahwa dia telah sampai (masuk)
ditengah sebuah rumah, tetapi tidak melewati pintunya." Dari pendapat
as-Suyuthi ini bisa disimpulkan bahwa seseorang tidak mungkian mampu memahami
makna suatu bahasa tanpa menguasai bahasa tersebut, namun dalam pengalaman
belajar bahasa membuktikan bahwa bahasa merupakan media dalam menyampaikan
makna sama sekali tidak menentukan makna yang dikandungnya. Seperti kata
"ibarat", "umpama", "misal",
"bagaikan", "seperti", "penaka", dsb, walaupun
kata ini diungkapkan dengan istilah yang berbeda-beda, tetapi maksudnya tetap
sama. Inilah paradoks bahasa yang dimasudkan, di satu segi kita harus melalui
bahasa untuk mempelajari makna yang dikandungnya, di segi lain kita tidak boleh
terjebak pada bahasa sebagai alat penyampai makna yang secara prinsip sama
sekali tidak menentukan makna.
2. Administrasi
Terminologi
administrasi dalam kehidupan sehari-hari sering disamakan dengan Tata Usaha,
yaitu berupa kegiatan mencatat mengumpulkan dan menyimpulkan dan menyimpan suatu kegiatan atau hasil kegiatan
untuk membantu pimpinan dalam mengambil keputusan. Pengertian ini diambil dari
bahasa belanda Administratie yang
berarti setiap penyusunan keterangan secara sistematis dan pencatatan secara
tertulis dengan maksud untuk memperoleh suatu ihtisar mengenai
keterangan–keterangan itu dalam keseluruhannya dan dalam hubungannya satu sama
lain.
Uraian di atas
adalah tentang kehidupan pengertian administrasi dalam arti sempit, yang masih
kita jumpa dalam kehidupan sehari–hari. Suatu contoh, sebuah Koran membubuhkan
alamatnya dengan “Kantor Redaksi/Administrasi: “Yang dimaksudkan dengan ‘Adminitrasi”
oleh Lembaga Pers diatas adalah Tata Usaha. Pengertian administrasi kadang
dipersempit lagi, dan disamakan dengan “keuangan”. Misalnya ucapan seorang
pegawai kantor, “Bereskan dulu urusan administrasimu”. Yang dimaksud dengan
“administrasi” oleh si pegawai tersebut adalah “keuangan”.
Dalam arti luas,
administrasi berasal dari istilah Inggris, “administration”,
yang jabarannya sebagaimana dikemukakan para ahli berikut ini:
1. Menurut
Henri Fayol, administrasi dirumuskan sebagai berikut: Planning, organizing, Commanding, Cordinating and Controling (Perencanaan,
pengorganisasian, memberi komando, kordinasi dan mengadakan pengawasan).
2. Menurut
Pfifferner dan Prestus, administrasi adalah suatu aktifitas atau process
terutama mengenai cara – cara untuk mencapai tujuan.
3. Menurut
Ordway Tead dalam bukunya The Art of Administration: Administrasi adalah proses
dan kekegitan dari organisasi dan manajemen yang bertanggung jawab dan memberi
arah dalam penentuan tujuan).
4. Menurut
Leonard D. White dalam bukunya Introduction
to the Study of public Administration: Administrasi adalah suatu proses
yang biasanya terdapat dalam kelompok baik serupa usaha negara atau
perseorangan, sipil atau meliter, secara besar – besaran atau kecil – kecilan.
5. Menurut
Herbert A. Simon dalam bentuknya Administrative
behavior: Dalam pengertian yang paling luas, administrasi dapat diberi
batasan merupakan aktivitas dari kelompok yang mengadakan kerjasama untuk
mencapai tujuan.
6. Menurut
Prof. DR. Mr. S. Prajudi Atmosidordjo dalam bukunya Dasar – dasar Ilmu
Administrasi: Administrasi adalah sebagai fungsi dari pada atau apa yang harus
dijalankan oleh setiap orang yang bertugas / berkewajiban memimpin atau
mengepalai suatu organisasi.
7. Menurut
Sondang P. Siagian, dalam bukunya Filsafat Administrasi: Administrasi adalah
keseluruhan proses kerja sama antara dua orang manusia atau lebih yang
didasarkan atas rasionalitas tertentu mencapai tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya.
8. Menurut
Ensiklopedi Administrasi: Administrasi adalah segenap rangkaian perbuatan
penyelenggaraan setiap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan
tertentu.
Berbagai definisi
tersebut diatas tampaknya seperti tidak ada persamaan pendapat dan pemahaman.
Tetapi sebenarnya dari uraian – uraian tersebut ditarik mempunyai makna yang
terkandung dalam administrasi, yaitu:
(1)
administrasi
merupakan proses adanya sejumlah aktivitas,
(2)
adanya
sekelompok orang yang bekerjasama,
(3)
adanya
organisasi untuk wadah kerja sama,
(4)
adanya
penentuan tujuan tertentu.
Semua unsur
tersebut selalu ada dalam setiap kegiatan administrasi. Jika salah satu faktor
saja tidak ada, maka kegiatan tersebut tidak dapat disebut administrasi.
Misalnya seorang petani sawah bekerja sendirian dan mendapatkan hasil, tidaklah
dapat disebut administrasi, karena:
(1)
tidak
bergerak dalam unit organisasi, dan
(2)
tidak
ada unsur kerja sama: meskipun dalam usahanya merupakan proses.
Berdasarkan
definisi dan ulasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa lingkup kegiatan
administrasi tidak terbatas pada ketata – usahaan saja, melainkan jauh lebih
luas dari itu. (Dja’far Hentihu, 1990: 3-4)
3. Peradaban dan
Kebudayaan
Ketika
berbicara tentang kebudayaan, orang sering masuk ke ruang sempit, hanya
berkutat di sekitar kesenian, atau berkelana ke ruang yang begitu luas,
menjangkau seluruh rentang kehidupan, sehingga sering terjadi perbedaan
persepsi dalam diskursus. Pada batasan yang kadang-kadang tidak jelas itulah
orang sering mempertanyakan: kebudayaan itu urusan siapa, atau siapa yang
berhak mengurus kebudayaan?
Dengan
dibebani trauma atas pengalaman empirik pada masa Orba, Mh. Nurul Huda
menyatakan bahwa pemerintah atau negara tak berwenang menafsirkan budaya
rakyatnya karena elite pemerintah atau negara tidak memiliki kapasitas dan
kompetensi untuk itu, secara empiris para elite pemerintah umumnya tak memiliki
kepedulian, sebaliknya justru merusak kekayaan budaya masyarakat. Disamping itu
model negara Leviathan Hobbes sudah dianggap usang karena model ini tak mampu
mengakomodasi keragaman kebudayaan dan perbedaan pandangan dalam negara yang
plural dan heterogen (Kompas, 27.12.04) .
Kebudayaan
adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat,
manifestasi-manivestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan
peradaban, kebudayaan lebih direfleksikan pada: seni, sastra, religi
(keagamaan), dan moral, maka peradaban lebih luas hingga terefleksi pada
politik, Ekonomi dan teknologi (Effat Al Sarqawi, 1986: 5).
Secara
umum kebudayaan setidaknya mempunyai tiga wujud:
(1)
Wujud Ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peaturan dan sebagainya.
(2)
Wujud Kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktifitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam suatu masyarakat.
(3)
Wujud Benda, yaitu wujud kebudayaan dari benda-benda
hasil karya (Koentjaraningrat, 1985: 5).
Peradaban
sering dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur kebudayaan yang halus dan
indah. Peradaban dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang menyangkut sistim
teknologi dan seni, sistim kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan
kompleks. (M. Natsir, tt: 4)
Peradaban
(hadharah) dalam term bahasa Arab adalah antitesis dari keprimitifan (badawah).
Dalam peradaban terdapat sifat akomodatif terhadap perkembangan, yang
menetap dalam wilayah tertentu, serta berada dalam tatanan sosial yang stabil.
Sifat akomodatif orang-orang yang menetap dalam suatu kota terhadap kemajuan menghasilkan akumulasi
pencapaian peradaban. Dengannya, manusia dapat memperhalus realitas yang ada.
Dengan adanya akumulasi peradaban dan pertumbuhan budaya, yang dengannya jiwa
manusia menjadi halus, peradaban dan pembangunan manusia dapat berdiri.
Peradaban
adalah pembangunan dengan dua sayapnya: "berperadaban" yang
dengannya realitas materiil menjadi terhaluskan, dan "budaya" yang
dengannya jiwa manusia menjadi halus. Peradaban merupakan hasil dari sifat
akomodatif terhadap kemajuan yang menetap dalam perkotaan, perkampungan, dan
perumahan.
Dalam
Al-Qur'anul-Karim disebutkan, "Dan, tanyakanlah kepada Bani Israel tentang
negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari
Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka
terapung-apung di permukaan air, di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu
tidak datang kepada mereka. Demikianlah
Kami mencoba mereka disebabkan mereka berbuat fasik. "(al-A'raf: 163)
Dalam
hadits Nabi saw, juga dalam syair Arab terdapat pembandingan antara al-hadhir 'menetap di perkampungan dan kota' dan al-badi 'yang
tinggal di padang
pasir dan nomaden'. Serta antara peradaban dan keprimitifan.
Oleh
karena itu, term al-umran 'peradaban' dalam warisan intelektual
Mesir kuno, lebih tepat dalam menunjukkan pengertian peradaban dibandingkan
dengan term al-hadharah yang kemudian secara
populer digunakan pada masa modern ini. Ibnu Khaldun (732-808 H/1332-1406 M)
melakukan pembedaan antara pengertian kedua istilah itu, alhadharah dan al-umran, ketika ia melihat
perbedaan antara al-umran, yang berarti 'kemajuan
dan ketinggian' dengan al-hadharah, yang berarti 'fase awal
stagnasi kemajuan dan kemunduran peradaban'. Al hadharah menurutnya adalah kemewahan, sifat berlebihan,
konsumerisme yang melebihi produksi, meninggalkan usaha yang produktif,
mengandalkan kekuatan, dan menambah pekerjaan administratif dan supervisi yang
tidak didorong oleh kebutuhan, sehingga menambah neraca pengeluaran, dan
akibatnya adalah dinaikkannya pajak tanpa ada pertambahan kekayaan, serta usaha
yang ditumbuhkembangkan oleh keadilan. Dalam kondisi seperti itu, negara dan
para pejabatnya adalah pos-pos pengeluaran harta-harta rakyat.
Apa
yang disebut dengan istilah al-umran dalam warisan
intelektual Mesir Kuno, kemudian dikenal dengan istilah al-hadharah dalam warisan intelektual Mesir modern. Hal itu merupakan
akumulasi peradaban dan budaya, serta pembangunan yang menghiasi realitas
materiil dan jiwa manusia. Dengannya, manusia meningkatkan
realitas kesehariannya, dan realita yang berperadaban itu memberikan sahamnya
dalam membangun masyarakat sipil yang berperadaban, dalam bidang-bidang yang
beragam: agama, akhlak, keindahan, keilmuan, ekonomi, politik dan bidang-bidang
kemajuan peradaban lainnya.
Jika
demikian pengertian al hadhayah itu maka penelusuran perjalanan
perkembangan kelompok-kelompok manusia seluruhnya, dari beragam ras, warna
kulit, filsafat, dan agama sepanjang sejarah dan tempat, akan menyaksikan
kecenderungan manusia untuk selalu dan selamanya mengarah kepada hidup menetap,
membangun perkampungan, dan membangun peradaban mereka. Dengan tinggal dalam kota berperadaban,
manusia menggantikan kemudahan mereka dengan kesulitan, kesantaian dengan kerja
dan kelelahan, keamanan dengan bahaya dan ketakutan, kelembutan dengan
kekasaran, dan kebahagiaan dengan kesedihan. Mereka berkecenderungan dengan
fitrah dan kemaslahatannya sekaligus untuk mengambil faktor-faktor peradaban
dan kemajuan.
Banyak
orang tidak berbeda dalam menjawab pertanyaan ini. Jika mereka menjawab
pertanyaan itu dengan berpedoman pada "realitas" yang terwujud dalam
karakteristik-karakteristik kekhasan peradaban. Yang menggariskan
"batas-teritorial" bagi "negara-negara peradaban", yang
lebih kuat dan lebih panjang usianya, dalam kehidupan umat umat dan bangsa-bangsa,
daripada "batas-batas teritorial politik" bagi Negara-negara dan
kerajaan-kerajaan.
Sedangkan, kekhasan Barat sebagai peradaban adalah
realitas yang disepakati oleh para peneliti. Baik itu kekhasannya pada era
kejahilan Yunani kuno maupun kebangkitan Eropa modern, serta realitas
kontemporer kekinian yang kita saksikan bersama.
Hubungan
antara peradaban Islam dan peradaban barat masing-masing mempunyai kemampuan
untuk mempengaruhi, memberi, dan dapat diterima diluar batas-batas teritorial "negara
peradabannya". Keduanya saling berkompetisi hingga mencapai tingkat
konflik (bersenjata) dalam waktu yang panjang dalam sejarah. Sehingga,
persaingan-persaingan antara peradaban barat dan peradaban-peradaban Timur Jauh
biasanya hanya sebatas pada "dimensi ekonomi", sementara persaingan
antara Barat dan Islam adalah persaingan peradaban secara lengkap dalam seluruh
bidang. (Imarah, Muhammad, 1999).
Sebagian
pemikiran Barat tidak mengingkari "kekhasan historis" peradaban Islam
dibandingkan dengan peradaban-peradaban lainnya. Namun, banyak orang Barat yang
mengingkari kekhasan peradaban kita, sehingga mereka juga mengingkari kekhasan
Islam sebagai risalah agama dan syariat Ilahiah. Mereka hanya melihatnya
sebagai bentuk klenik dari Kristen, dan hasil proses eklektik dari
ajaran-ajaran Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Gaung pengaruh pemikiran
Salibis ini masih bercokol dalam dunia budaya dan visi Barat kontemporer. Yang
paling berbahaya dan aneh adalah sejumlah besar pemikir barat yang berpengaruh,
yang mengimani adanya pluralitas peradaban secara global, dan adanya
kekhasan-kekhasan peradaban dengan kekhasan budayanya kembali berbicara tentang
keharusan terjadinya benturan antar peradaban-peradaban. Mereka mengajak
kepada peradaban Barat untuk menyiapkan perangkat-perangkat kekuataan mereka
dalam bidang militer, ekonomi, budaya, dan politik untuk melumpuhkan peradaban-peradaban
non-Barat. Terutama dimulai dengan peradaban Islam.
Samuel
E Huntington menerima adanya pluralitas dan kekhasan masing-masing peradaban
sebagai suatu realitas, kemudian melihat masa depan pluralitas peradaban ini
berujung pada benturan, sehingga ia mengajak Barat untuk menghilangkan
pluralitas ini dari dunia realitas peradaban. kekhasan
peradaban-peradaban tersebut terjadi karena kekhasan budaya-budayanya.
Peradaban adalah bentuk budaya, tidah ada peradaban universal. Namun, yang ada
adalah dunia dari peradaban peradaban yang berbeda. Di dunia ini ada tujuh
atau delapan peradaban besar: peradaban Barat, Cina Konfusius, Jepang, Islam,
India, Ortodox Slavik, Amerika Latin, dan barangkali Afrika. Ketujuh peradaban
itu merupakan peradaban-peradaban yang masing-masing berbeda satu sama lain
karena faktor bahasa, sejarah, budaya, dan tradisi. Dan yang paling penting di
antaranya adalah agama. Anggota-anggota peradaban peradaban yang berbeda-beda
itu mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda tentang hubungan antara Tuhan dan
manusia, individu dan masyarakat, daerah dan negara, anak dan orang tuanya,
serta suami dan istrinya. Juga terdapat pemikiran-pemikiran yang berbeda tentang
takaran hak-hak dan tanggung jawab, kebebasan, kekuasaan, persamaan, dan bentuk
piramida masyarakat. Perbedaan-perbedaan ini terjadi akibat
perkembangan-perkembangan yang terjadi selama berabad-abad, dan tidak akan
hilang dalam waktu dekat. Karena ia lebih substansial dari perbedaan-perbedaan
antara ideologi-ideologi politik dan sistem-sistem politik.
Ia menyarankan untuk membagi fase benturan pada masa
depan itu menjadi dua fase, yakni sebagai berikut:
Pertama, yang dekat adalah fase "jangka
pendek". Pada fase ini Huntington
merekomendasikan pihak Barat untuk menyatukan dunia peradabannya, dan
mempergunakan seluruh perangkatnya, dari alat perang, hingga ekonomi, politik,
budaya, nilai hingga lembaga-lembaga internasional, serta memfokuskan diri pada
perseteruan melawan. peradaban Islam dan Cina. Ia berkata:
"Dalam jangka pendek, bagi kepentingan Barat adalah
memperbesar kerja sama dan penyatuan dalam lingkup peradabannya sendiri,
terutama di antara dua perumus peradaban inti, yaitu Eropa dan Amerika Utara.
Serta memasukkan masyarakat-masyarakt Eropa Timur dan Amerika Latin ke dalam
lingkup masyarakat Barat. Itu semua adalah masyarakat-masyarakat
yang mempunyai budaya yang dekat dengan budaya Barat, serta memperkuat dan
memelihara hubungan yang telah ada dengan Rusia dan Jepang. Juga menjadikan
perseteruan lokal diantara peradaban-peradaban menjadi perang-perang besar
diantara peradaban-peradaban, dan menekan agar tidak terjadi pembesaran
kekuatan militer negaranegara Asia dan Islam, serta menekan upaya pengurangan
kekuatan militer Barat Juga memelihara keunggulan militer di Timur dan Barat
Daya Asia. Juga memanfaatkan perselisihan dan perseteruan yang terjadi di Barat
untuk ditumpahkan di tengah-tengah peradaban lain. Memperkuat lembaga-lembaga
internasional yang mencerminkan dan memperjuangkan kepentingan dan nilai-nilai
Barat serta memberikan justifikasi terhadap tindakan-tindakannya. Kemudian,
mengajak kepada negara-negara non-Barat untuk bergabung dalam
organisasi-organisasi ini."
Yang dituntut oleh Barat dalam "jangka pendek"
perseteruan ini adalah sebagai berikut.
1.
Menyatukan elemen peradabannya,
memperkuat kerja sama di antara mereka, serta memasukkan Eropa Timur dengan
bagian Baratnya, dan seluruh Eropa bersama Amerika Utara dan Amerika Latin.
Atau, Barat budaya dan yang dekat dengan budaya Barat, Barat Kristen dengan
sekte-sekte yang beragam.
2.
Kerja sama, memperkecil dan menekan
perseteruan dalam seluruh lingkup peradaban Barat. Bahkan, memanfaatkan
masalah-masalah perseteruan dalam masyarakat Barat untuk, menjadi perseteruan
bagi masyarakat non-Barat, sehingga perseteruan Barat nantinya akan terfokuskan
untuk melawan Islam dan Cina.
3.
Mengurangi kemampuan militer kaum
muslimin dan Cina, serta menambah kekuatan militer Barat, dan menjaga keunggulan
militer Barat di Timur dan Barat Daya Asia. Atau, untuk menghadapi Cina dan
kaum muslimin.
4.
Memperkuat lembaga-lembaga
internasional yang berperan "memperjuangkan kepentingan dan nilai-nilai
Barat, serta memberikan justifikasi kepadanya, dan mengikutsertakan
negara-negara non-Barat untuk bergabung dalam lembaga lembaga ini.
Itu adalah poin-poin
strategi Huntington bagi kepentingan jangka pendek, dan fase pertama dari
perseteruan peradaban Barat, yang ia rekomendasikan untuk difokuskan pada dua
peradaban Islam dan Cina.
Sedangkan, fase kedua perseteruan Barat melawan
peradaban non-Barat ini adalah fase "jangka panjang", yang dalam
ungkapan Huntington adalah fase penguasaan Barat atas peradaban-peradaban
non-Barat, yang telah berhasil "memodernisasi" dirinya, sambil tetap
menjaga identitas peradaban non-Baratnya.
Setelah fase pertama perseteruan ini, fase penghancuran
kekuatan peradaban Islam dan peradaban Cina, datang fase kedua penguasaan
peradaban-peradaban lain yang non-Barat. Yang dilewati oleh Barat pada fase
pertama dari perseteruannya itu. Terutama yang telah berhasil dalam
bidang kekuatan modernisasi militer dan ekonomi.
Dalam ungkapan Huntington:
"Sedangkan, dalam jangka yang lebih
panjang, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang lain. Peradaban Barat adalah peradaban Barat dan modern sekaligus.
Peradaban-peradaban non-Barat telah berusaha menjadi modern tanpa menjadi
Barat. Hingga hari ini tidak ada yang berhasil kecuali Jepang.
Peradaban-peradaban non-Barat akan terus berusaha mencapai kekayaan,
teknologi, keahlian, permesinan, dan persenjataan, yang merupakan cermin dari
elemen bangunan peradaban modern. Peradaban-peradaban itu juga akan terus
berusaha menyelaraskan modernisme itu dengan budaya dan nilai-nilai
tradisionalnya. Sedangkan, kekuatan ekonomi dan militernya akan mengalahkan
Barat. Oleh karena itu, Barat dalam bentuk yang lebih besar, harus menguasai
peradaban-peradaban modern non-Barat itu, yang kekuatannya sudah hampir
mendekati kekuatan Barat, tetapi nilai-nilai dan kepentingannya berbeda dalam
jarak yang besar dari nilai dan kepentingan Barat. Oleh karena itu, Barat harus
menjaga kekuatan ekonomi dan militer yang diperlukanuntuk menjaga
kepentingannya yang berhubungan dengan peradaban-peradaban itu." (al-Hirsul Wathani, edisi Dzulqa'idah-Dzulhijjah, tahun 1416 /
Maret-April, tahun 1996, hlm. 84,90.)
No comments:
Post a Comment