Saturday, 11 March 2017

Pembelajaran berbasis Al Qur'an 3




BAB III

 KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
Islam adalah agama samawi yang menempatkan pendidikan dalam posisi utama dan yang pertama, bukanlah suatu yang kebetulan jika lima ayat pertama yang diwahyukan Allah kepada nabi Muhammad SAW, dalam surat al Alaq, dimulai dengan perintah membaca, Iqro’ (Bacalah), disamping itu pesan-pesan Al Qur-an dalam hubungannya dengan pendidikan pun dapat dijumpai dalam berbagai ayat dan surat dengan aneka ungkapan pernyataan dan pertanyaan serta kisah-kisah. Lebih khusus lagi jika kata ilm dan derifasinya digunakan paling dominan dalam al Qur-an untuk menunjukkan perhatian Islam yang luar biasa terhadap pendidikan. (Frans Rosenthal dalam Husni Rahim, 1970). Peradaban Islam sejak awal juga menunjukkan prestasi yang sangat berarti dalam bidang keilmuan dan pendidikan, pada masa permulaan Islam, nabi Muhammad Saw, sendiri dalam menyebarkan agama Islam menggunakan pendekatan pendidikan dan bukan pemaksaan dalam pengaplikasiannya, hal ini dapat dilakukan untuk mengajarkan Islam pada lingkaran-lingkaran khusus yang disebut halaqah (Baca Kelas) di rumah Arqam.
Pendidikan pertama yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, adalah membina pribadi Muslim agar menjadi kader-kader yang berjiwa kuat dan tangguh dari segala cobaan untuk dipersiapkan menjadi masyarakat Islam dan muballigh serta pendidik yang baik. (Hasan Buro, 2006:117)
Besarnya perhatian nabi Muhammad Saw, sendiri terlihat ketika ia memutuskan (membebaskan) tahanan perang non-muslim dengan syarat atau tebusan bahwa yang bersangkutan terlebih dahulu mengajarkan tulis baca kepada orang-orang muslim yang masih buta huruf. Dalam perkembangan Islam selanjutnya, masjid yang pada dasarnya berfungsi sebagai tempat ibadah, justru menjadi tempat pendidikan yang menonjol hingga dua abad pertama sejarah peradaban Islam, tradisi ini terus berlanjut dan berkembang khususnya pada masa keemasan peradaban Islam dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan yang bervariasi mulai dari dar al qur-an, dar al-hikmah, dar al-hadits, zawiyah, hangah, bimatristan, sampai dengan madrasah. Lembaga yang terakhir ini kemudian diakui oleh banyak sarjana sebagai lembaga pendidikan tinggi dalam Islam, yang memberikan sumbangan penting bagi perkembangan tradisi college dan universitas modern di barat. (George Makdisi, 1990).

Sejauh ini para pakar dan praktisi pendidikan memandang filsafat yang membahas tentang konsep dan praktek pendidikan secara integral dan konprehensif sebagai bagian yang amat penting dalam menentukan keberhasilan suatu proses pendidikan. Apalagi, di tengah perkembangan global dan arus modernisasi yang melaju demikian pesat, proses pendidikan harus terus diberi inovasi-inovasi baru sehingga tak ketinggalan oleh perkembangan dan memiliki arah tujuan yang jelas. Di sinilah diperlukan konstruksi filosofis pendidikan yang mampu mengarahkan proses pendidikan kepada keberhasilan secara substantif.

Perkembangan Pendidikan Islam dewasa ini secara global di satu sisi menunjukkan adanya kemajuan yang pesat dengan berbagai penyesuaian serta proses asimilasinya dengan perkembangan pendidikan barat yang lebih layak kita istilahkan sistim tambal sulam dalam rangka mencapai kesempurnaan program serta upaya menunjukkan potensi fleksibilitasnya sesuai dengan percepatan arus informasi dan tuntutan zaman, sementara di sisi lain pesatnya dunia pendidikan dewasa ini mendatangkan tantangan dan permasalahan internal yang amat komplek hingga mencapai pada level yang memperihatinkan.

Upaya yang dilakukan oleh lembaga pendidikan kita baik lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah maupun lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dengan menciptakan tawaran program yang handal seperti sekolah unggulan, terpadu, plus, Akselerasi dan berbagai sebutan lain sehingga menimbulkan beberapa fenomena baru, pertama, bahwa masyarakat Indonesia yang secara ekonomis sudah terpuruk menjadi semakin tidak mampu membeli program-program pendidikan yang telah ditawarkan oleh berbagai lembaga pendidikan tersebut sehingga muncul suatu pemikiran bahwa pendidikan yang bagus dan amat mahal harganya, sedangkan menyekolahkan anak ke madrasah reguler dengan munculnya berbagai tawaran program pendidikan ungulan tersebut membuat masyarakat merasa gengsi, terbelakang dan tidak bonafide serta khawatir akan masa depan anak-anak mereka akan kurangnya pendidikan yang memadai, kedua, lembaga pendidikan seperti Madrasah Ibtida’iyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah yang selama ini telah mendarah daging dan kita perjuangkan dan yang lebih penting lagi adalah lembaga tersebut telah menyokong keberhasilan kita dalam pendidikan selama ini telah berubah dan mengalami pergeseran menjadi sekolah nomor dua dan menimbulkan label (trade mark) kurang bagus dari masyarakat yang bermuara pada merosotnya kepercayaan masyarakat akan lembaga pendidikan Islam yang berlabel madrasah. Ketiga, dengan menjadikan lembaga pendidikan yang satu dengan lembaga pendidikan yang lainnya semakin berlomba untuk mencapai suatu titik terbaik dari yang lainnya, maka ketulusan dalam memperjuangkan pendidikan Islam diawali dan dijalankan dengan niatan dan motivasi yang kurang tepat dan terlepas dari nuansa pendidikan Islam yang notabene adalah pendidikan rahmat. Keempat, penataan sistem khususnya pada filsafat pendidikan Islam tidak berdasarkan apa yang ada dalam pedoman normatif (Al Qur-an dan al Hadits) yang sesuai, namun rezim dari kelompok mana yang menentukan suatu kebijakan politik pendidikan di negeri ini dengan saratnya keterpihakan pada lembaga pendidikan yang di prakarsai oleh salah satu kelompok tertentu dengan mempersempit ruang gerak kelompok yang lainnya, meskipun mereka mempunyai basis baik kultur maupun agama yang sama.

Proses kristalisasi konsep pendidikan stakeholder yang lahir dari proto type pendidikan berbasis masyarakat (Board Based Education) dengan aplikasi Prioritas Life skills siswa dari Schooling ke Learning, dengan penekanan pada aspek-aspek kecerdasan (kognitif), pembentukan kepribadian (afektif) dan ketrampilan (psikomotorik) adalah sekolah mandiri hasil proses akulturasi pendidikan lingkungan pesantren yang mengalami perubahan secara signifikan ketika pesantren memasukkan sistem madrasah berikut kurikulumnya sebagai imbangan terhadap pesatnya pertumbuhan sekolah-sekolah yang memakai sistem pendidikan Barat (Pendidikan pada masa Kolonialisme belanda).

Dengan masuknya sistem madrasah tersebut, jenjang-jenjang pendidikan pesantren juga ikut menyesuaikan diri dengan jenjang madrasah. perkembangan tersebut terpolakan menjadi suatu konsep pendidikan Islam moderat yang terjadi pada tahun 70 – an, konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia khususnya pada pendidikan Islam telah teruji dengan tercetaknya para sarjana dari kalangan santri serta berduyun-duyunnya para mahasiswa dari negeri tetangga untuk untuk menimba ilmu di negeri ini. Hal itu terjadi disamping terjaminya stabilitas politik di Indonesia juga dikarenakan konsistesi masing-masing lembaga dalam menata konsep bersama tanpa adanya perasaan superioritas di salah satu kelompok masyarakat serta belum gencarnya inovasi filsafat pendidikan barat dengan prinsip trial and error. Masuknya budaya dari barat yang diparadekan telah memporak porandakan sistem pendidikan Islam di Indonesia, dengan terjadinya pergeseran-pergeseran baik pergeseran nilai maupun persepsi masyarakat kita secara luas untuk mengadopsi filsafat dasar pendidikan dari barat dengan berbagai bentuk dan modelnya yang kemudian menghasilkan keterpurukan pendidikan khususnya pendidikan Islam seperti kondisi nyata yang dialami oleh bangsa kita sekarang ini.

Langkah tepat yang harus ditempuh adalah memformulasikan kembali filsafat pendidikan Islam melalui perpaduan format pondok pesantren dengan pendidikan masyarakat yang ada sambil merumuskan dan menentukan kebijakan-kebijakan bersama dengan mentransformasikan inovasi pendidikan Islam dari negara lain sebagai bahan perbandingan serta penentuan kebijakan mendatang. Kebijakan pengembangan pendidikan Islam pada masa depan harus diorientasikan pada target integralisasi kompetensi, mengingat tantangan kompetisi baik pada tingkat lokal maupun global yang semakin keras. Watak diversifikasi dari kelembagaan pendidikan Islam merupakan modal dasar yang dapat dikembangkan untuk memacu kemajuan pendidikan Islam secara keseluruhan. Watak inipun hendaknya diikuti oleh pola kebijakan yang adil dan tidak diskriminatif dengan memberikan peluang dan dukungan yang seimbang terhadap semua bentuk lembaga pendidikan yang berkembang di masyarakat. Penetapan kebijakan pendidikan yang adil menjadi sangat penting mengingat perubahan politik di Indonesia yang terjadi dewasa ini, usaha demokratisasi tampaknya menjadi salah satu target perubahan dengan membagi secara lebih seimbang antara peran pemerintah dan masyarakat, serta mendistribusikan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (otonomi daerah). Sebagaimana dalam penjelasan umum undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 Pembaruan sistem pendidikan nasional perlu pula disesuaikan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kecenderungan ini dapat dipandang sebagai momentum untuk merumuskan kebijakan pengembangan pendidikan Islam yang lebih adil sebagai bagian integral dari pendidikan nasional. (DR. Husni Rahim, 2001).

A.   Wujud Islam yang Paripurna Perlu di-konfigurasikan di Kelas.

Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang pendidikan Islam, adalah amat wajar kita memahami hakikat dan sifat-sifat dari Islam itu sendiri. Islam adalah agama Allah SWT yang telah diturunkan untuk hamba-hamba Nya melalui Rasulullah Saw. Islam diturunkan dengan lengkap dan sempurna untuk dipedomani manusia dalam melaksanakan ubudiyah sepenuhnya kepada Allah SWT. Agama ini telah direalisasikan serta dihayati secara sempurna oleh Rasulullah SAW bersama-sama generasi yang  pertama  di  dalam  kehidupan  individu maupun kehidupan bermasyarakat.

Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya bersifat universal. Rangkaian ajarannya yang meliputi bidang hukum, keimanan, etika dan sikap hidup menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyah). Salah satu ajaran Islam yang dengan sempurna menampilkan nilai-nilai universalnya adalah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada pemeluknya, baik secara individu maupun secara kelompok bermasyarakat. Seperti kebebasan berkeyakinan (beragama) tanpa ada paksaan untuk pindah agama.

Berdasarkan Surah Al-'Ashr, kita dapati ada tiga bentuk pendidikan yang mampu menyelamatkan konfigurasi kegiatan belajar mengajar di kelas dari keterbelakangan dan keterpurukan. Keselamatan dari resiko dan akibat fatal kesalahan konsep pendidikan Islam dapat dicapai melalui tiga bentuk konfigurasi kegiatan belajar mengajar sebagai berikut : Pertama, konfigurasi kegiatan belajar mengajar secara individu yang akan membawa peserta didik kepada kekuatan sugesti serta memperkokoh keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT yang dalam hal ini akan melahirkan kompetensi pada kesalehan pribadi siswa dan proses pendidikan dikonfigurasikan pada kompetensi keagamaan siswa serta sentuhan ruhaniah (sentuhan spirital, seperti doa-doa)  yang khusus diprioritaskan untuk siswa sebagai peserta didik sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, dan para pengikutnya; kedua, Konfigurasi pendidikan kesalehan secara umum yang dimulai oleh masing-masing diri khususnya bagi guru untuk mentransmisikan serta mengaplikasikan pengetahuan serta amalan-amalan shalehnya dengan harapan akan dibawa siswa kepada masyarakat mereka dengan amal saleh dalam menjalani kehidupan seharian; dan ketiga, Konfigurasi pendidikan berbasis masyarakat (Board Based Education) yang dirumuskan dan didiskusikan secara bersama-sama dengan tujuan membawa manusia kepada sikap saling berpesan  dalam kebenaran dan saling memberi kekuatan ketika menghadapi kesulitan yang pada intinya semuanya ditujukan untuk beribadah kepada Allah SWT."

Konfigurasi kegiatan belajar mengajar perlu ditransformasikan dengan kultur maupun struktur pendidikan yang mencorakkan masyarakat Islam dan bukanlah sistem pendidikan yang berasaskan sesuatu yang asing bagi kultur Islam, sebagaimana konfigurasi kegiatan belajar mengajar hasil adopsi dari barat atau yang telah disempurnakan dengan memasukkan beberapa unsur Islam ke dalamnya kerana sebagai contoh kebanyakan sistem yang ada dengan berbagai penyempurnaannya masih saja mengalami kekeringan aspek-aspek kerohanian, hal demikian terjadi karena sistem yang diadopsi tersebut adalah sistim sekuler murni yang mengandalkan kemajuan dan peningkatan sisi intelektual saja atau dengan kata lain hanya memfokuskan pada sisi kognitif saja.



Sesuatu sistem pendidikan hanya dapat dianggap sebagai sistem pendidikan Islam apabila segala prinsip, kepercayaan serta isi dan kandungannya berasaskan Islam dan yang lebih penting adalah konfigurasi dan akselerasinya didalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Pendidikan Islam yang terdapat dalam al-Quran adalah pendidikan yang menyeluruh, paripurna, tidak terbatas kepada ibadat dan melupakan tingkah laku, atau memberatkan individu dan melupakan amal, tetapi meliputi segala aspek kehidupan manusia.

B.    Sifat Pendidikan Islam dan Konsep Keilmuan

Term Pendidikan tidak sama artinya dengan pembelajaran atau pengajaran tetapi merupakan rangkuman dari keduanya ditentukan sifatnya oleh pandangan hidup (Weltanschauung) sesuatu kebudayaan kerana ia merupakan alat terpenting untuk merealisasikan tujuan-tujuan dari pandangan hidup itu. Oleh kerana ruang lingkup agama Islam melipusi semua aspek kehidupan insan sebagai homo sapien, homo politicus, homo aeconomicus, homo religious, dan sebagai theomorphic being (makhluk yang dapat mengenal Tuhan dan mencapai penghampiran dengan Nya) maka pendidikan Islam mempunyai sifat yang serba melingkupi.

Kecenderungan pendidikan Islam ialah menyatukan semua ilmu pengetahuan di bawah otoritas dan pengendalian Al Quran dan Sunnah yang merupakan ruh atau inti di dalam sistem pendidikannya dan kebudayaan Islam secara keseluruhan.

Dalam kebulatan dan kesatuan ilmu-ilmu tersebut akidah Islamiah yang menjadi pusatnya yang menentukan orientasi dan methodologi dari cabang ilmu-ilmu lain, oleh kerana hakikat pendidikan Islam membicarakan soal-soal yang terpenting di dalam kehidupan manusia - dari mana ia datang, apakah sifat manusia yang sebenarnya, untuk apakah ia dijadikan dan untuk apakah alam raya ini diciptakan, kemana ia akan pergi dan bagaimanakah seharusnya ia melakukan hubungan dengan penciptanya dan bagaimanakah ia harus menjalani hidup di dunia ini. kebenaran-kebenaran mutlak yang terkandung di dalam "ilmu agama" (baik dalam bidang akidah, kerohanian, ibadah, akhlak, ilmu Al-Quran dan Hadith) mewarnai dan menjiwai seluruh pendekatan seorang Muslim kepada ilmu-ilmu lain seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu kemanusiaan dan ilmu kemasyarakatan.

Konsep pendidikan Islam yang dipadukan (unified) ini didasarkan kepada konsep ilmu yang integral merupakan keistimewaan Islam yang berlawanan sekali dengan aliran pemikiran yang memisahkan ilmu ke dalam dua aliran ("water-tigh compartments") yang tidak dapat di damaikan yaitu yang disebut di Barat sebagai "theology" dan "science" atau "religious knowledge" dengan "secular knowledge" atau faith dan knowledge. Pengkotakan yang berlawanan (antagonistic) ini tidak dapat dibenarkan berlaku di dalam teori pendidikan Islam, oleh kerana isi kandungan "theology" dan "science" di dalam Islam tidak mengkontradiksikan satu sama lain dan malah ia bersifat saling mengisi dan saling melengkapi secara integral. Kedua-duanya lahir dari pandangan (outlook) yang satu yaitu Tauhid. sebaliknya sejarah peradaban Barat dari zaman pertengahan sampai zaman moden menunjukkan pertarungan yang hebat antara "theology" dan "science" yang akhirnya dimenangkan oleh science.

Dengan terpisahnya gereja dari Negara, terpisahlah juga "science" dari "religion", sehingga berkembanglah sains di atas dinamikanya sendiri, lepas dan bebas (autonomous) dari segala norma-norma agama. Akhirnya akal yang tidak lagi dikendalikan oleh norma-norma transcendant (samawi) membawa para cendekiawan kepada faham scientism atau pendewaan sains dengan segala akibat-akibat buruk yang dapat dilihat dalam zaman technocentric ini.

Pendidikan Islam yang terdiri dari pendidikan formal dan nonformal adalah pendidikan "sepanjang hayat". Di dalam pendidikan informal yang sangat berkesan ialah pendidikan dalam lingkungan keluarga, kerana di sinilah seorang muslim mendapat asas pembentukan peribadinya. Selanjutnya pendidikan di dalam masyarakat, melalui proses sosialisasi seorang muslim, tidak kurang besar pengaruhnya di atas pertumbuhan peribadi muslim. Pendidikan formal dan pendidikan informal di dalam Islam mempunyai pengaruh timbal balik dan hubungan yang complementary (tidak dapat berdiri sendiri tanpa mengalami suatu ketidakseimbangan).

C.   Tujuan Kegiatan Belajar Mengajar di Kelas Berbasis Al Qur’an

Secara umum Tujuan Kegiatan Belajar Mengajar di Kelas Berbasis Al Qur’an yang pertama, utama dan yang tertinggi ialah untuk membawa manusia mengenal penciptanya, mengabdikan diri sepenuhnya hanya kepada Allah, melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya dengan penuh keikhlasan. Tujuan konfigurasi kegiatan belajar mengajar secara umum dapat digolongkan menjadi tiga bentuk kegiatan pendidikan yaitu Pendidikan Fisik (tarbiyah al jismiah), Pendidikan mental (tarbiyah al-aqliyah) dan Pendidikan ruhaniah (tarbiyah al-ruhiah).

Sedangkan tujuan khusus dari Tujuan Kegiatan Belajar Mengajar di Kelas Berbasis Al Qur’an adalah :

1.      Menanamkan dasar-dasar Aqidah Islam, usul-usul ibadah (fiqh), dan cara-cara melaksanakan-nya dengan benar kepada para peserta didik, membiasakan mereka mematuhi segala atauran-aturan Islam serta mengaplikasikannya kedalam kehidupan sehari-hari dengan menghormati pendapat maupun aturan saudara mereka yang mempunyai prinsip dan pandangan berbeda sepanjang subtansinya tidak melanggar norma agama ;
2.      Menumbuhkan kesadaran yang benar dalam diri masing-masing peserta didik tentang agama, termasuk prinsip-prinsip, dan dasar-dasar akhlak yang mulia, kebisaaan buruk yang ada pada diri peserta didik perlu ditahukan dan kemudian disadarkan untuk meninggalkannya;
3.      Menanamkan keimanan kepada Allah, malaikat, rasul, kitab-Nya dan hari akhirat dengan pemahaman, kesedaran dan kehalusan perasaan ;
4.      Mendidik jiwa, motivasi dan keinginan anak-anak, membentenginya dengan aqidah serta membiasakan mereka menahan rangsangan nafsu, memenej emosi dan membimbingnya dengan baik; dan
5.      Membersihkan hati anak-anak dari sifat-sifat madzmumah seperti dengki, hasud, iri hati, benci, kasar, zalim, ego, menipu, khianat, nifak, ragu-ragu serta sifat-sifat buruk dan hina lainnya.

Tujuan utama kegiatan belajar mengajar di kelas berbasis Al Qur-an adalah memperkenalkan kepada siswa tentang unsur-unsur keimanan, membiasakan dirinya dengan rukun Islam serta mendidiknya dengan prinsip-prinsip syariat yang mulia sejak usia dini dan tamyiz (Baligh, berakal). yang dimaksudkan dengan unsur-unsur keimanan ialah semua permasalahan yang berkaitan dengan hakikat keimanan serta permasalahan spiritual seperti beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, Rasul dan dengan rukun iman yang lain.

Tujuan Kegiatan Belajar mengajar di kelas berbasis Al Qur-an telah dijelaskan dengan panjang dan terperinci oleh Muhammad Qutb di dalam bukunya, ‘Manhaj Tarbiyah Islamiyah’ yang subtansinya sebagai berikut :

1.      Menanamkan kesadaran diri siswa terhadap ayat kauniyah (ciptaan Allah berupa alam dan segala isinya) dan membawa diri siswa merasakan bagian dari ciptaan tersebut dengan senantiasa menyadari bahwa kekuasaan Allah tidak terbatas; hal ini jelas bahwa kelas adalah bukan merupakan suatu ruangan yang tertutup dan penuh dengan disiplin yang ketat, namun sesekali kelas adalah berbentuk kegiatan darmawisata, kegiatan sosial dan pemahaman kultur disekitar peserta didik.
2.      Menanamkan kesadaran diri siswa dengan merasakan bahwa Allah  tidak pernah tidur dan selalu memperhatikan diri siswa dengan tidak terbatas ruang dan waktu sehingga akan muncul kesadaran untuk jujur pada diri sendiri bahwa setiap sesuatu yang ada tidak lepas dari pengawasan Allah dan setiap tindakan yang dilakukan siswa baik maupun buruk, Allah akan memberi balasan terhadap perbuatan tersebut; penanaman disiplin yang keras dan kaku tidak menjamin siswa sebagai peserta didik untuk bersikap jujur, karena jika disiplin ditegakkan dengan keras dan kaku, akan menjadikan siswa hanya memenuhi ketentuan yang didisiplinkan sehingga dalam pemenuhan tersebut siswa akan melakukan berbagai cara agar ketentuan disiplin tersebut terpenuhi, hal ini fokus pemahaman siswa hanyalah pada kesisiplinan dan bukan pada pengawasan Allah yang terus menerus.

3.      Menanamkan ingatan (Dzikr) terhadap Allah dengan perasaan taqwa dan tunduk terus menerus kepada-Nya ; dalam sisitim pendidikan Islam sekarang siswa dipacu kecerdasannya dengan mengabaikan bahwa kecerdasan tersebut datangnya hanyalah dari Allah, oleh karenanya perlu adanya keseimbangan antara dzikir dan fikir yang diaplikasikan dalam kelas.
4.      Menanamkan kesadaran akan cinta terhadap Allah dan berusaha terus menerus untuk memperoleh keridloan-Nya; penanaman pendidikan sekarang adalah peningkatan prestasi akademik (sisi kognitif) saja, akan tetapi pencapaian pendidikan afeksi senantiasa menjadi slogan saja dan tidak nampak hasilnya ketika siswa menyelesaikan studinya.
5.      Menanamkan kedamaian dan ketentraman bersama Allah ketika berada dalam keadaan apapun, serta menerima takdir-Nya dengan ikhlas dan sabar. Siswa akan sabar dan menyerah atas kekalahannya dalam pencapaian prestasi belajarnya namun akan tidak menyalahkan pihak lain atas kekalahannya tesebut.

Dengan orientasi pada moral dan pengembangan wawasan yang menyatukan ilmu-ilmu syari’ah dan ilmu-ilmu aqliah dalam wadah keimanan, kegiatan belajar mengajar berbasis al Qur’an telah lengkap untuk memenuhi keperluan hakiki tentang pendidikan terhadap kehidupan manusia. Al-Quran telah menegaskan berkali-kali bahwa :

1.      Status manusia yang kekal abadi ialah sebagai "hamba Allah".

2.      Peranan manusia di dunia ialah melaksanakan kehendak Allah dan memanfaatkan alam ini untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat kelak. Peranan ini dikenal sebagai peranan Khalifah Allah di bumi.

3.      Alam dijadikan untuk manusia dalam mengambil manfaat seluas-luasnya dan bukan merusaknya.

Status hamba dan wacana khalifah ini adalah ibarat "dua sisi mata uang". Dari ilmu-ilmu agama dan ilmu umum manusia dididik untuk merealisasikan sepenuhnya arti status hamba dalam wacana Khalifah. Manusia memerlukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengelola dan memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya. Dalam mengolah sumber-sumber daya alam baik yang fisik maupun yang non fisik dengan "know-how" yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia sebagai "Khalifah" tidak akan menjadi sebab timbulnya ketidak seimbangan ekologi (ecological imbalance) dalam alam, eksploitasi yang rakus dan tamak didorong oleh suatu kebudayaan yang "power oriented", penemuan-penemuan yang berbahaya kepada keselamatan manusia atau penggunaan Ilmu Pengetahuan dan teknologi untuk tujuan-tujuan yang sempit. Ringkasnya, penyalahgunaan ilmu tidak dapat dan tidak dibenarkan berlaku dalam Islam oleh kerana wacana Khalifah tersebut diawasi dan dikendalikan oleh norma-norma yang tumbuh dari status hamba Allah yang juga mencakup di dalamnya tentang prinsip-prinsip sebagai berikut :

1.      Prinsip menjauhi perilaku dholim baik terhadap diri sendiri maupun terhadap masyarakat luas termasuk pada alam sekitarnya.
2.      Prinsip senantiasa berdzikir kepada Allah secara terus menerus serta menyadari adanya Kontak (hubungan) antara sang pencipta dengan makhluknya serta implikasi dari Kontak (hubungan) tersebut.
3.      Prinsip bersyukur kepada Allah atas limpahan kurnia dan kemurahan Nya dalam menyediakan kemudahan-kemudahan yang tak terhitung banyaknya. Prinsip syukur atas kemurahan Allah menimbulkan keinginan yang kuat untuk menggunakan segala infrastruktur dalam batas-batasannya secara proporsional. Rasa syukur bersama rasa bimbang akan kemurkaan Allah menimbulkan suatu mekanisme pengawasan diri sendiri yang "built-in". Dengan itu power yang begitu hebat yang diberikan oleh Ilmu Pengetahuan dan teknologi moden kepada manusia tidak akan disalahgunakan atau dijadikan sasaran pendewaan dalam bentuk scientism. Tujuan akhir Khalifah Allah tidak lain melainkan "hasanah fi'd-dunya" dan "hasanah fi'l-akhirah". (Dr. Mohd Kamal Hassan, 1976).

D.   Visi, Misi dan Implementasi Kegiatan Belajar Mengajar di Kelas Berbasis Al Qur’an

1.      Visi dan misi Kegiatan Belajar Mengajar di Kelas Berbasis Al Qur’an.

Pendidikan di Kelas Berbasis Al Qur’an mempunyai visi dan misi yang sangat jelas dan gamblang dalam aplikasinya, di antara Visi dan misi tersebut adalah :

·        QS At Tahrim ayat 6
“… jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. adalah merupakan suatu visi yang paling tinggi dari kegiatan belajar mengajar di kelas berbasis Al Qur’an, karena ayat tersebut mengandung subtansi utama yaitu mencetak generasi rabbani dan generasi Qur’ani (ahli al Qur’an) dalam aplikasi dengan konotasi Misi menjadikan siswa mampu melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan Allah sebagaimana yang tertuang dalam Al Qur’an serta yang lebih penting lagi adalah mampu menjadikan siswa menggenggam warisan Rasululah Saw, dan mempertahankannya dengan geraham mereka (dengan sungguh-sungguh), dalam artian secara profesional, tidak hanya ahli membaca namun tidak ahli dalam menelaah serta menerepkan dalam research setiap ayat yang tekandung didalamnya.

·        QS 14:40 (do’a Nabi Ibrahim a.s.)
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku”. adalah misi dalam tatanan praktis yaitu mendidik anak agar menjadi seorang yang tetap mendirikan sholat.
        QS Al Furqan : 74
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.
Adalah visi praktis anak shaleh adalah anak yang selalu berbakti kepada orang tuanya serta tidak menyakiti hati karena itu mereka menjadi (Pelita hati), misi dari kegiatan belajar mengajar di kelas berbasis al qur’an adalah membentuk karakter anak yang baik dan senantiasa menyenangkan orang lain khususnya pada orang tua serta saudara terdekatnya termasuk para guru mereka seperti berakhlaq karimah, ber IQ, EQ, SQ tinggi dan sebagainya. Pesan aplikatif dari ayat ini urgensinya adalah visi dan misi ke depan, yaitu mencetak siswa untuk menjadi Khalifah, imam (pemimpin) ummat di masa depan.

2.      Implementasi Pendidikan di Kelas Berbasis Al Qur’an.
Sebagaimana Khalifah Umar RA menyatakan bahwa satu-satunya hak anak terhadap pendidikannya adalah diajarkan Al Qur’an. Sedangkan At-Thabrani meriwayatkan dari Ali ra. bahwa Nabi bersabda : "Didiklah anak-anak kamu pada tiga perkara : mencintai Nabi kamu, mencintai ahli baitnya dan membaca Al-Quran. Sebab, orang yang memelihara Al Qur'an itu berada dalam lindungan singgasana Allah pada hari dimana tidak ada perlindungan selain perlindunga-Nya beserta para Nabi-Nya dan orang-orang suci". Hal-hal yang harus dan musti diajarkan kepada mereka adalah cara hidup yang telah diuswahkan (dicontohkan) oleh Rasulullah, perjalanan hidup para Shahabat, serta kepribadian para ulama’. Subtansinya adalah agar pada kegiatan belajar mengajar di kelas berbasis al qur’an mampu mengkondisikan peserta didik meneladani perjalanan hidup orang-orang mukmin terdahulu baik segi keimanannya, aktivitasnya maupun perjuangan mereka yang mereka capai dengan professional dan dengan disiplin yang tinggi. Disamping itu agar anak-anak terikat dengan sejarah kejayaan Islam, oleh karena itu cerita yang diambil dari al qur’an perlu dimodivikasi dengan cara pembawaan dan penguasaan yang baik melalui inovasi pendidikan agar cerita tersebut tampak hidup dan mudah dipahami serta di terapkan oleh peserta didik. Adalah aspek mendasar dalam kegiatan belajar mengajar di kelas berbasis al Qur’an yaitu kita harus mampu mengimplementasikan visi dan misi kedalam kehidupan kita itu secara baik.
Dalam implementasi praktis ini banyak prinsip dan kiat-kiat yang secara otomatis bisa kita dapatkan dari sumber utama. Hadits Rasulullah Saw, mengatakan bahwa hikmah itu adalah milik orang mu’min dan siapa (orang mu’min) yang menemukannya maka dia berhak terhadapnya. Ini juga tentunya termasuk ilmu-ilmu pendidikan dan psikologi anak yang dikembangkan di berbagai lembaga pendidikan. Selama hal-hal tersebut baik dan dapat kita arahkan sesuai dengan kesiapan dan visi kita tentang pendidikan anak, maka tidak ada salahnya kalau hal-hal tersebut kita manfaatkan.

E.   Ruag Ligkup Kegiatan Belajar mengajar di kelas berbasis Al Qur-an
Ruang lingkup Kegiatan Belajar mengajar di kelas berbasis Al Qur-an dikategorikan menjadi beberapa aspek yang merupakan sistematika dari seluruh Kegiatan Belajar mengajar di kelas. Aspek-aspek tersebut  adalah :
1.      Pendidikan Kerohanian dan Keimanan
Hal yang menjadikan pembeda antara pendidikan umum dan pendidikan Islam adalah diajarkannya pendidikan keimanan terlebih dahulu, pendidikan keimanan diberikan kepada siswa agar mereka mempunyai ikatan dengan dasar-dasar keimanan, dasar-dasar keislaman serta aplikasi syari’ah semenjak anak mulai mengerti dan mampu memahami sesuatu.
Dasar-dasar pendidikan keimanan diberikan mulai dari pemberitaan yang benar, pengajaran hakikat keimanan dan hal-hal yang ghoib. Guru mempunyai kewajiban untuk menumbuhkan pemahaman keimanan tersebut sesuai dengan jenjang dan kemampuan siswa, agar mereka mengenal Islam sebagai agama yang dipeluknya secara sadar.
Pendidikan Kerohanian dan Keimanan dapat dimulai dengan aktifitas keimanan yang dapat diaplikasikan oleh para siswa mengenai : pertama, mengenalkan kepada anak tentang halal dan haram, baik dan buruk, perintah dan larangan termasuk larangan berbuat maksiat, sebagaimana hadits Nabi : “Ajarkanlah mereka untuk taat kepada Allah dan takut berbuat maksiat kepada Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk mentaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Karena hal itu akan memelihara mereka dan kamu dari api neraka.
Kedua, melatih siswa melaksanakan ibadah sholat ketika berusia 7 tahun, sebagaimana hadits Nabi : “Perintahkan anak-anakmu menjalankan ibadah sholat jika mereka berusia tujuh tahun. Dan jika mereka sudah berusia sepuluh tahun pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya dan pisahkanlah tempat tidur mereka”. Pelatihan dan pembiasaan ritual ibadah sholat pada hadits diatas berselang waktu tiga tahun, memang hadits ini memerintahkan kepada orang tua untuk mendidiknya, namun pada zaman sekarang dengan kesibukan orang tua serta kondisi masyarakat seperti sekarang ini, kurikulum pendidikan tingkat dasar hendaknya mengintegrasikan pendidikan sholat wajib berikut prakteknya secara lengkap sejak siswa menginjak kelas 1 hingga kelas 3.
Ketiga, termasuk dalam kerangka pendidikan keimanan adalah siswa dididik untuk mencintai Rasul, Keluarganya dan membaca Al Qur’an, Nabi bersabda : "Didiklah anak-anak kamu pada tiga perkara : mencintai Nabi kamu, mencintai ahli baitnya dan membaca Al-Quran. Sebab, orang yang memelihara Al Qur'an itu berada dalam lindungan singgasana Allah pada hari dimana tidak ada perlindungan selain perlindunga-Nya beserta para Nabi-Nya dan orang-orang suci". Pendidikan pada fase ini adalah ketika siswa menjelang tamyiz, siswa dididik untuk mencintai Nabinya dalam artian mencintai aktifitas kerohanian, aktifitas jasmaniah dan aktifitas sosial dengan cara melibatkan mereka, dan mencintai ahli baitnya adalah bahwa ahli bait merupakan pendukung utama dakwah Nabi Muhammad Saw, dan pendidikan Membaca Al Qur’an pada fase ini kita perlu mencontoh formulasi kurikulum yang dikembangkan oleh KH Dahlan Salim dari semarang dengan metode Qiroatinya, dengan metode qiroati yang dikembangkan tersebut pada fase ini (siswa ketika kelas 4 Sekolah Dasar sudah  memasuki Tingkatan Kelas Ta’limul Qur’an lil Aulad) siswa sudah mampu membaca Al Qur’an secara tartil dan menghafal surat-surat pendek serta menguasai ilmu tajwid, ghorib dan Musykilatnya dan siap merima pengajaran tafsir, fiqih dan hadits. 
2.      Pendidikan Akhlak
Jika pada pendidikan keimanan diatas diorientasikan pada siswa seputar Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar hingga kelas tiga, maka pendidikan akhlak yang lebih mendalam seyogyanya disampaikan pada kelas berikutnya, ini bukan berarti pada masa sebelumnya tidak disampaikan, namun fokus atau prioritas utama yang perlu disesuaikan. Pendidikan tentang prinsip dasar akhlak dan keutamaan sikap serta watak (Caracter Building), diberikan pada usia menjelang mukallaf, akan berhasil sebagai buah dari pendidikan keimanan.



Pada dasarnya, kualitas karakter yang rendah adalah yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah beresiko besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan (habit) yang terus menerus dilakukan.
Fenomena empiris menunjukan bahwa pada saat ini terdapat banyak kasus penyimpangan di kalangan generasi muda. Isu tentang tindak kekerasan, membudayanya gosip dan fitnah, konsumsi minuman keras dan narkoba, serta banyak lagi penyimpangan-penyimpangan lainnya yang selalu mewarnai kehidupan pada zaman ini. Timbulnya kasus-kasus tersebut memang bukanlah semata-mata karena kegagalan pendidikan agama di sekolah, namun bagaimanapun semuanya itu hendaknya dapat menggerakkan guru pendidikan agama sebagai penggung jawab moral di sekolah untuk dapat mencermati kembali dan mencari solusi lewat pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam untuk tidak hanya berjalan secara konvensional - tradisional.
Kegagalan pendidikan akhlak pada fase ini akan mengakibatkan siswa jauh dari aqidah, dan tumbuh dengan penyimpangan perilaku, menjalani kehidupan dengan penuh kefasikan dan mengumbar hawa nafsu dan angkara murka. Permasalahan ini mengganggu hubungan dengan orang dewasa dan panutan dan bertentangan dengan pendidikan yang diterima di sekolah.
3.      Pendidikan Akal
Islam memandang pendidikan akal (mind) adalah pendidikan yang sangat penting, dengan akal akan menumbuhkan kesadaran mempelajari dan memperdalam ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya, dengan pendidikan akal sebagai ruang lingkup dan landasan suatu kegiatan belajar mengajar berbasis al qur’an agar siswa mampu mencapai pemahaman secara mendalam serta mencerna ilmu pengatahuan murni dengan pertimbangan yang matang dan benar.
Beranjak dari berbagai permasalahan di atas, Manusia diciptakan sebagai al khalifatu fil al ardl dibekali dengan kehebatan potensi daya pikir dan daya analisis yang sama, namun sejauhmana mereka memberdayakan massa protoplasma paling unik dan komplek yang pernah dikenal didunia ini, yakni organ sensitif yang paling berkembang dan mampu mempelajari dirinya sendiri, dapat aktif dan kreatif juga dapat menimbulkan rangsangan. Ada tiga bagian dasar otak manusia : batang (otak reptil), sistim limbik (otak mamalia), dan neokortek  (Bobby De Porter & Mickey Hernacky, 2000 : 26) ketiga bagian tersebut masing-masing berkembang berdasarkan tugas tertentu serta kurun perkembangan yang berbeda. bagian tersebut secara garis besar merupakan  perkembangan evolousi manusia yang mempunyai unsur batang (otak) yang sama dengan otak reptilia. Otak ini mempunyai kecerdasan paling rendah dari spesies manusia.
Pendidikan akal juga tidak boleh serta merta diisi dengan segudang ilmu saja, namun dalam term pendidikan akal ini juga harus diperhatikan tentang menjaganya dari gangguan kerusakan otak yang mengakibatkan melemahnya daya ingat seperti minuman keras dan jenis obat terlarang lainnya, rangsangan seksual melalui pornografi dan berbagai jenisnya.
Pendidikan akal yang mengarah pada pengembangan Inteligensi mengacu pada suatu kemampuan mental umum untuk memberi alasan, memecahkan permasalahan, berpikir secara komplek, belajar dan memahami material baru, dan mengambil hikmah dari pengalaman masa lalu. Dan Pendidikan akal ini mendukung berbagai proses mental, mencakup memori, pelajaran, persepsi, pengambilan keputusan dan pemikiran.
4.      Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani adalah merupakan tanggung jawab guru agar anak didik dengan kondisi fisik yang kuat, sehat, bergairah dan penuh semangat dalam belajar. Pendidikan jasmani selama ini dikonotasikan pada pendidikan olahraga dan kesehatan saja, termasuk mengkonsumsi makanan yang bergizi, namun aturan dan ukuran masih kurang diperhatikan. Oleh karena itu pada pendidikan jasmani disini kita harus memperhatikan hadits Nabi : “Tidak ada suatu tempat yang lebih buruk yang dipenuhi oleh perut anak Adam. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap saja, asal dapat menegakkan tulang rusuknya. Tetapi, apabila ia terpaksa melakukannya, maka hendaklah sepertiga (dari perutnya itu) diisi dengan makanan, sepertiganya dengan minuman dan sepertiganya lagi untuk pernafasan.
Pendidikan jasmani secara umum adalah aktivitas yang mengakibatkan peningkatan kekuatan otot, aktivitas yang mempromosikan kebugaran fisik yang meliputi unsur semua format latihan, gerak badan dan sistem lain dimakan karat, latihan rutin akan meningkatkan kesehatan mental dan fisik.
Peningkatan kontraksi otot di bawah kendali sadar, menjadi peristiwa fisiologis yang utama selama latihan ketika otot dapat berkontraksi secara aktif, sementara pada tingkatan molekular, ketika protein yang berupa zat actin dan myosin meluncur bersama-sama untuk memendekkan serabut otot. Energi untuk relaksasi ketika otot disajikan oleh suatu molekul berhubungan zat adenosine triphosphate (ATP). yaitu suatu high-energy molekul yang membentuk uraian glukosa (zat gula) yang berfungsi menurunkan kegemukan. glukosa dapat disimpan di dalam otot sebagai glycogen, dan masuk kedalam otot melalui darah.
Metabolisme glycogen atau glukosa untuk menyediakan energi untuk latihan terjadi di dalam salah satu dari dua jalan, melalui oksigen yang tersedia kepada otot, yang (mana) pada gilirannya tergantung pada jenis latihan yang sedang dilakukan. Jika oksigen tidaklah tersedia, glycogen atau glukosa akan dipecah dan tubuh menjadi letih. Jika oksigen tersedia, akan jadi proses metabolisme (yang dikenal sebagai cuka asam). Kapanpun oksigen siap tersedia, glukosa bereaksi dengan sepenuhnya dengan oksigen untuk menghasilkan gas asam-arang dan air. Sebagian dari energi bebas dari molekul glukosa yang digunakan untuk menghasilkan ATP.
Selama proses metabolisme tidak berjalan, uraian glukosa terhenti pada suatu titik dan memproduksi asam laktat atau asam susu dan molekul ATP. metabolisme yang terhenti ini menghasilkan suatu yang disebut hutang oksigen. Ketika otot melakukan pekerjaan berat, rasa sakit seperti nyeri akan terasa sebagai akibat produksi asam laktat atau asam susu. 
Pendidikan Jasmani dalam Islam merupakan latihan aerobic yang meliputi berjalan, latihan berlari konstan, dan berenang, dan menjadi format merekomendasikan untuk mengurangi resiko penyakit jantung dan terus meningkat daya tahan tubuh, dalam pendidikan Jasmani ini pula harus diterapkan cara-cara sholat dengan benar dan implikasinya terhadap kesehatan.

No comments:

Post a Comment