Thursday, 23 March 2017

Sejarah Pendidikan Islam 3

BAB III
HIDUP MASA KEJAYAAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Latar belakang sosial politik kejayaan pendidikan Islam
Bagi umat Islam, era globalisasi dalam arti menjalin hubungan, tukar-menukar dan transmisi ilmu pengetahuan, budaya, dan sebagainya sesungguhnya bukanlah hal baru. Globalisasi dalam arti yang demikian, bagi umat Islam merupakan hal biasa. Pada zaman klasik (abad ke-6 s. d. 13 M) umat Islam telah membangun hubungan dan komunikasi yang intens serta efektif dengan berbagai pusat peradaban dan ilmu pengetahuan yang ada di dunia, seperti India, Cina, Persia, Romawi, dan Yunani. Hasil dari komunikasi ini umat Islam telah mencapai kejayaan, bukan hanya dalam bidang ilmu agama Islam, melainkan dalam bidang ilmu pengetahuan umum, kebudayaan, dan peradaban, yang warisannya masih dapat dijumpai hingga saat ini, seperti di India, Spanyol, Persia, serta Turki.
Selanjutnya, pada zaman pertengahan (abad ke-13 hingga 18 M), umat Islam telah membangun hubungan dengan Eropa dan Barat. Saat itu, umat Islam memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa dan Barat. Beberapa penulis Barat, misalnya WC Smith dan Thomas W Arnold, mengakui bahwa kemajuan yang dicapai dunia Eropa dan Barat saat ini karena sumbangan dari kemajuan Islam. Mereka telah mengadopsi ilmu pengetahuan dan perabadan Islam tanpa harus menjadi orang Islam.
Pada zaman pertengahan itu, umat Islam hanya mementingkan ilmu agama saja. Sementara itu, ilmu pengetahuan, seperti matematika, astronomi, sosiologi, dan kedokteran tidak dipentingkan. Bahkan, dibiarkan untuk diambil oleh Eropa dan Barat. Pada zaman ini, Eropa dan Barat mulai bangkit mencapai kemajuan, sementara umat Islam berada dalam keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban.
Setelah Rasulullah wafat tonggak dakwah selanjutnya adalah para khulafaurrasyiddin yang melakukan pembebasan wilayah diluar zajirah Arab terutama ke belahan utara, Barat dan timur Saudi Arabia. Masyarakat muslim mulai berinteraksi dengan penduduk yan dibebaskan Khalifah Umar mengirim para Da’i kedaerah yang baru dibebaskan dan memulai membangun peradaban.
Masyarakat muslim mulai berkenalan dengan Sains dengan masyarakat yang mereka datangi, hasil interaksi ini menimbulkan semangat mengembanfgkan iptek diawali dengan timbulnya masa penterjemahan. Sedangkan mesyarakat yang didatangi berkenalan dengan ilmu-ilmu naqliyah (ilmu yang bersumber dari Al-qur’an yang di bawa para Da’I kedaerah yang ditaklukan. Ilmu naqliyah terdiri dari fiqh, kalam tasauf, tafsir, hadist, dansebagainya. Aqliyah terdiri dari filsafat, kedokteran, matematika fisika, kimia. Pada masa itu bahasa arab mendapat tempat istimewa yang memunculkan sarjana bahasa Arab yaitu:Isa bin Umar al-Saqafi(149H). fakta yang diakui dengan baik bahwa Islam menempel sangat penting untuk mengejar pengetahuan dan pendidikan karena membuat mencari pengetahuan diwajibkan atas setiap Muslim terlepas dari warna, kasta dan gender. Ada banyak ayat-ayat Alquran atas kebajikan pengetahuan dan keunggulan pendidikan, perlu untuk disebutkan semua di sini, kecuali untuk menunjukkan bahwa kata 'Qur'ān' itu sendiri dari kata Qara, yang berarti' untuk membaca', dan arti kata 'Qur'ān' adalah kata kerja tertulis yang dibaca berulang-ulang.
Wahyu pertama ayat-ayat Alquran yang diterima oleh Nabi Muhammad (semoga Allah memberkati dan menyambutnya) di 612 Masehi berkaitan dengan pendidikan dan kehidupan ilmu pengetahuan, di mana Nabi diberi perintah untuk membaca.
Nabi Muhammad sendiri telah, dalam beberapa ucapan, menekankan perlunya mencari ilmu dari buaian hingga kuburan dan dianggap sebagai tugas suci setiap Muslim. Ucapan ini mencakup ide-ide modern, seperti pendidikan wajib untuk jenis kelamin, dewasa dan melanjutkan pendidikan, dan pertukaran di bidang pendidikan dan pembelajaran. Menurut Nabi, tinta seorang ulama adalah lebih suci daripada darah seorang martir. Oleh karena itu Imam Bukhari, compiler yang paling otentik kitab hadis yang dikenal sebagai Shahih Bukhari, mengatakan mencari pengetahuan dalam Islam datang sebelum iman dan ibadah. Pernyataan dari Imam Bukhari membuktikan keunggulan pendidikan ilmu pengetahuan dan untuk menyembah dan iman. Mengingat fakta ini disebut Islam adalah agama pengetahuan dan pendidikan, agama ilmu pengetahuan, logika dan intelektual.
Keutamaan Islam yang mengubah semua kota-kota dan negara menjadi universitas riset dan akademi di mana ia masuk, meskipun sebelum datangnya Islam, semua kota dan negara ini meraba-raba dalam kegelapan buta huruf dan kebodohan. Sebagai contoh, ketika matahari Islam terbit di kota Makkah, hanya ada 17 orang, yang tahu cara membaca dan menulis. Tapi Islam yang mendorong orang untuk membekali diri dengan seni membaca dan menulis dan mengintensifkan upaya untuk mengekang buta huruf dan memerangi kebodohan dan mengambil semua kemungkinan alat dan sarana untuk menyebarkan pengetahuan dan pendidikan dari Non-Muslim, mempekerjakan guru untuk mempercayakan tahanan terpelajar perang dengan tugas mengajar umat Islam buta huruf, seni membaca dan menulis terhadap tebusan mereka. Dengan demikian seni membaca dan menulis di kalangan umat Islam menyebar dengan cepat.
Patut dicatat untuk menyebutkan bahwa Islam mendorong para pengikutnya untuk belajar, tanpa kecuali, setiap cabang pengetahuan dan pendidikan, sebagaimana Nabi Muhammad memerintahkan Zaid bin Sabit untuk belajar bahasa Ibrani, dan memerintahkan Hassan bin Tsabit untuk menulis puisi aduk dalam membela Islam dan Muslim terhadap serangan kafir Quraisy. Selain itu, Nabi Muhammad mendirikan kamp untuk dokter wanita muslim Rofaida pertama selama Pertempuran Tabuk, sehingga ia bisa mengobati luka-luka dalam pertempuran.
Nabi Muhammad memberi pengikutnya pendidikan dan pelatihan militer, dan mengajarkan mereka strategi perang. Secara singkat ia memberikan pengetahuan dan pendidikan bagi para pengikutnya sesuai dengan minat dan kecenderungan mereka. Dengan cara ini ia menjadi sukses dalam membuat sebuah sekolah dan mengubah mereka ke departemen pengetahuan independen.
Cahaya pendidikan dan pengetahuan yang tersebar di seluruh dunia dengan penyebaran Islam dan para pengikut Nabi Muhammad muncul sebagai pembawa obor pendidikan Islam dan pengetahuan. Kota dan negara yang paling menonjol di mana pendidikan ini berjalan lancar adalah Mekah dan Madinah di Arab, Basra, Kufah dan Baghdad di Irak, Damaskus dan Yerusalem di Suriah, Qartaba di Spanyol, Khurasan dan Marv di Persia, Lahore and Delhi India, dll. Kota-kota Pendidikan ini sebagai pusat Ilmu Islam Fiqih (hukum), Hadis, (tradisi), Tafsir (komentar dari Al Qur'an) dan Sejarah dalam periode Ummayyid, dan dengan demikian ini telah menyumbang banyak untuk pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam dan diperkaya budaya Islam.
Selama periode Abbasiyah, kota-kota atau Universitas Islam membuka pintu bagi ilmu-ilmu lain di bawah pengaruh kebudayaan asing, mempercepat proses kebangkitan intelektual Islam, menyumbang pada penciptaan budaya yang sejahtera dan keterampilan ilmiah dimanfaatkan untuk pengembangan umat manusia. Dengan demikian, sastra Arab, ilmu-ilmu agama, Sejarah, Geografi, dan Ilmu Umum termasuk filsafat, logika, dan obat-obatan mencapai tingkat perkembangan yang luar biasa.
Penguasa Abbasiyah periode pertama, seperti Khalifah Haroon al-Rashid dan al-Mamoon, yang secara resmi memborong terjemahan Yunani, Persia dan Filsafat India, kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya ke dalam bahasa Arab, sebagai Khalifah al-Mamoon mendirikan sebuah akademi penelitian dikenal sebagai "House of Wisdom" untuk tujuan yang sama. Intelektualisme murni yang dihasilkan dari kegiatan ini bereaksi pada agama Islam dan menghasilkan rasionalis terkenal gerakan keagamaan Mu’tazilah.
Mu’tazilah gerakan yang pantas disebutkan di sini karena ia memainkan peran yang sangat penting dalam memimpin Ilmu-ilmu Islam ke tingkat perkembangan yang luar biasa, dan memberikan keleluasaan bagi para filsuf Islam yang memperkaya perpustakaan Islam melalui tulisan-tulisan mereka yang paling berharga di kemudian hari.
Menurut sumber-sumber sejarah, ketika buku-buku filsafat yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, orang-orang mulai membahas ajaran Islam dan dalam terang filsafat dan mulai meningkatkan keraguan tentang prinsip-prinsip dasar Islam, serta beberapa non-muslim intelektual terutama Kristen dan Yahudi menyerang prinsip-prinsip Islam yang berhubungan dengan filsafat dan logika. Dalam situasi gelap ini gerakan Mu’tazilah keluar untuk membela Islam, dan Islam yang disajikan dalam terang sains dan filsafat, seperti Ahmad Amin menulis dalam bukunya yang terkenal Zuha al-Islam:
"Sejarah Islam tidak menyaksikan sebelum filosof Mu’tazilah pernyataan komprehensif tentang Allah, sifat-sifat-Nya dan perbuatan dengan argumentasi tradisional dan rasional, seperti yang disaksikan dalam Mu’tazilah, mereka membebaskan pikiran untuk mendiskusikan tentang langit, bumi, Allah dan manusia, serta pada setiap hal kecil dan hal-hal besar. Tidak ada lingkaran khusus tapi pikiran punya hak untuk berenang di dalamnya, sebenarnya Allah telah menciptakan pikiran sehingga tahu, dan memiliki kapasitas untuk mengetahui setiap hal meskipun metafisika, kenyataannya adalah bahwa penelitian mereka pada metafisika lebih dalam dan komprehensif dari fisika, karena mereka reformis, religius dan propagandis dari sebuah prinsip. "
Dalam hasil dari pemikiran yang komprehensif Mu’tazilah tentang alam, mereka serius meneliti secara mendalam tentang filsafat dan metafisika, beberapa cabang pengetahuan baru yaitu Teologi, Rhetorica, debat dan diskusi muncul menjadi ada. Di atas semua itu, gerakan Mu’tazilah dilengkapi filsuf Islam yang datang kemudian, dengan Filsafat Yunani. Ahmad Amin menulis lebih lanjut:
"Kredit prinsip-prinsip awal pendirian teologi, retorika, debat dan diskusi bermula dari Mu’tazilah, serta mereka adalah penyelamat pertama yang menerima bantuan dari filsafat Yunani dan manfaat yang diperoleh darinya dalam mendukung mazhab mereka, beberapa ucapan Nizam, Abu-al-Huzail dan Al-Jahiz adalah salinan murni dari beberapa pernyataan filsafat Yunani dan dalam beberapa pernyataan ini, sedikit amandemen dilakukan. "
Singkatnya, Mu’tazilah bukan hanya sebuah sekte keagamaan tapi gerakan pendidikan umat Islam, yang membuka pikiran orang dan memperluas makna pendidikan Islam sedemikian rupa sehingga semua cabang pendidikan dikuasainya. Tapi patut disayangkan bahwa gerakan intelektual murni dan rasional diletakkan untuk mengakhiri ortodoksi ulama.
 Setelah gerakan Mu’tazilah berakhir, pendidikan Islam mulai menurun karena penyempitan ruang lingkup pengetahuan dan maknanya dengan jumlah terbatas Ilmu Pengetahuan Islam Tafsir (komentar dari Al Qur'an), Hadis (Tradisi), Fiqh (fikih) dan Ilm al-Kalam (Teologi). Dalam semua mata pelajaran ini juga, orang-orang tidak diizinkan untuk mendiskusikan sebebas dulu selama Mu’tazilah. Orang-orang terikat untuk Taqleed atau peniruan dari satu Imam di antara merangkak, dan menjaga diri mereka dari ijtihad atau penilaian independen.
Dalam situasi seperti ini, meningkatnya tasawuf menambahkan bensin ke dalam api. Gerakan sufi menjadi ancaman bagi kaum Ulama ortodoks dan supremasi mereka seperti membuka jalan bagi munculnya ulama seperti Imam Gazali untuk menduduki singgasana yang lebih tinggi kehormatan di antara ulama ortodoks serta Gerakan sufi.
Imam Gazali dianggap sebagai salah satu dari orang-orang besar Islam, ia adalah seorang jurisprudent yang sangat baik, filsuf besar, teolog terbaik, dan sufi moderat. Imam Gazali adalah manusia pertama yang mencoba mengkompromikan antara ulama ortodoks dan gerakan tasawuf melalui bukunya yang terkenal al Minqiz min al-Zalal (penyelamat dari kesesatan). Dalam buku ini, ia menyebutkan Sufisme dan ide filosofis, dan menekankan bahwa tidak ada suatu sumber pengetahuan otentik, kecuali "Mukashafa" atau wahyu. Terlepas dari ini, ia menulis sebuah buku berjudul Tahafut al-Falasfa (runtuhnya para filsuf). Dalam buku ini, ia memuji ilmu sosial, aritmetika dan logika di satu sisi, tapi sisi lain dia mencela metafisika dan menghitung cabang pengetahuan ini memusuhi ajaran Islam dan membuktikan filsuf Islam salah dalam ide-ide dan pemikiran mereka pada metafisika.
Di bawah pengaruh buku Imam Gazali, terutama buku kedua disebutkan di atas, ulama pada khususnya dan masyarakat pada umumnya terisolasi dari filsafat dan menempuh jalan tasawuf. Sebelum ini, tren Taqleed atau imitasi telah berlaku di antara komunitas Muslim, sehingga intelektual Islam dan gerakan kebangkitan pendidikan berada di bawah macet dan penurunan.
Patut disebutkan di sini bahwa sejak munculnya Islam sampai abad keempat dan yang pertama hingga abad kelima Hijriah, maka Kuttab (tempat dasar pengajaran), halaqah dari Masjid (tempat pendidikan tinggi), perpustakaan, dan pengadilan Ulama, adalah lembaga pendidikan Islam, di mana semua cabang pendidikan, tanpa kecuali, diajarkan. Dalam paruh kedua abad keempat sistem pendidikan Madrasah muncul di Nisapur dan tersebar di seluruh dunia Islam sampai kemudian setengah abad di tangan wazir Seljuk dari Alp Arsalan dan Maliksha "Nizam al - Mulk ", yang mendirikan madrasah di Asphan, Nisapur, dan Baghdad yang dikenal sebagai Nizamia. Dia (Nizam al-Mulk) Imam Gazali ditunjuk kepala guru di Nizamia Baghdad yang sebenarnya merupakan markas Nizamias ini, di mana ia (Imam Gazali) mengabdi sekitar lima tahun 1091-1095. Dari lembaga pendidikan ini ide-ide dan pemikiran yang tersebar di seluruh dunia Muslim. Sistem baru ini berasal dari sistem pendidikan Madrasah dengan mengadopsi secara terbatas, sempit, dan kaku terfokus pada buku-buku kurikulum bukan pada mata pelajaran yang mewakili kredo tertentu. Semua faktor ini memberikan kontribusi untuk membawa stagnasi kemajuan pendidikan dan pembelajaran Islam. Ini berlangsung sampai serangan Napoleon di Mesir pada tahun 1798, sekitar lima abad pendidikan stagnasi dan penurunan. Dalam periode panjang ini Eropa mencapai prestasi yang luar biasa di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tentang dunia Muslim yang tidak sadar dan pada waktu pertama serangan Napoleon ini membuat mereka menyadari hal itu.

B. Perkembangan lembaga pendidikan Islam
Meskipun penanaman kesadaran akan urgensi ilmu sudah dimulai pada masa Muhammad, bahkan pada masa-masa akhir sebelum Muhammad wafat kesadaran akan pentingnya ilmu bagi kehidupan-dapat dikatakan-sudah mendarah daging di kalangan umat Islam (Bilgrami, 1989), namun cikal bakal pendidikan Islam (dalam sebuah institusi) baru dimulai pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab (Nasr, 1994).

Cikal bakal pendidikan Islam dimulai ketika Umar, secara khusus, mengirimkan ‘petugas khusus’ ke berbagai wilayah Islam untuk menjadi nara sumber (baca; guru) bagi masyarakat Islam di wilayah-wilayah tersebut. Para ‘petugas khusus’ ini biasanya bermukim di masjid (mungkin semacam ta’mir pada masa sekarang) dan mengajarkan tentang Islam kepada masyarakat melalui halaqah-halaqah-majlis khusus untuk menpelajari agama dan terbuka untuk umum (Nasr, 1994).
Pada perkembangan selanjutnya, materi yang diperbincangkan pada halaqah-halaqah ini tidak hanya terbatas pada pengkajian agama (baca; Islam), namun juga mengkaji disiplin dan persoalan lain sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat. Selain itu, diajarkan pula disiplin-disiplin yang menjadi pendukung kajian agama Islam. Dalam hal ini antara lain kajian tentang bahasa dan sastra Arab, baik nahwu, sorof maupun balagah. Selain terjadi pengembangan materi, terdapat pula perkembangan di bidang sarana dan prasarana ‘pendidikan’, yakni adanya upaya untuk membuat tempat khusus di (samping) masjid yang digunakan untuk melakukan kajian-kajian tersebut. Tempat khusus ini kemudian dikenal sebagai Maktab. Maktab inilah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal institusi pendidikan Islam (Nasr, 1994).
A-Ma’mun, salah satu khalifah Daulat Bani Abbasiyah, mendirikan Bait al-Hikmah di Bagdad pada tahun 815 M— sebuah institusi yang cukup layak disebut sebagai institusi pendidikan –(Ibrahim Hassan, 1989). Pada Bait al-Hikmah ini terdapat ruang-ruang kajian, perpustakaan dan observatorium (laboratorium). Meskipun demikian, Bait al-Hikmah belum dapat dikatakan sebagai sebuah institusi pendidikan yang ‘cukup sempurna’, karena sistem pendidikan masih sekedarnya dalam majlis-majlis kajian dan belum terdapat ‘kurikulum pendidikan’ yang diberlakukan di dalamnya.
Institusi pendidikan Islam yang mulai menggunakan sistem pendidikan ‘modern’ baru muncul pada akhir abad X M dengan didirikannya Perguruan (Universitas) al-Azhar di Kairo oleh Jendral Jauhar as-Sigli-seorang panglima perang dari Daulat Bani Fatimiyyah-pada tahun 972 M (Mahmud Yunus, 1990). Pada al-Azhar, selain dilengkapi dengan perpustakaan dan laboratorium, mulai diberlakukan sebuah ‘kurikulum pengajaran’. Pada kurikulum ini diatur urutan materi beserta disiplin-disiplin yang harus diajarkan kepada peserta didik. Meski pendirian al-Azhar bertujuan sebagai wadah ‘kaderisasi’ bagi kader-kader Syi’ah, namun kurikulum yang berlaku dapat dianggap sebagai sebuah kurikulum yang berimbang. Pada kurikulum al-Azhar diajarkan disiplin-disiplin ilmu agama dan juga disiplin-disiplin ilmu ‘umum’ (aqliyyah). Ilmu agama yang ada dalam kurikulum al-Azhar antara lain tafsir, hadis, fiqh, qira’ah, teologi (kalam), sedang ilmu akal yang ada dalam kurikulum al-Azhar antara lain filsafat, logika, kedokteran, matematika, sejarah dan geografi (Mahmud Yunus, 1990) Ketika Salahuddin al-Ayyubi (seorang sunni) pada abad XI M berhasil menguasai Kairo, sebagai pusat Bani Fatimiyyah, ia memandang adanya al-Azhar sebagai sebuah institusi pendidikan sebagai sesuatu yang sangat penting, sehingga keberadaan al-Azhar tidak diusik sama sekali, selain peniadaan materi-materi yang berbau syi’ah. Bahkan pada masa Salahuddin inilah al-Azhar berada dalam puncak kejayaan, di mana al-Azhar, menurut beberapa kalangan, dianggap mampu melaksanakan kurikulum yang berimbang antara materi agama dan pengembangan intelektual (Bilgrami, 1989).
Institusi pendidikan Islam ideal dari masa kejayaan Islam lainnya adalah Perguruan (Madrasah) Nizamiyah. Perguruan ini diprakarsai dan didirikan oleh Nizam al-Mulk-perdana menteri pada kesultanan Seljuk pada masa Malik Syah-pada tahun 1066/1067 M di Bagdad dan beberapa kota lain di wilayah kesultanan Seljuk. Madrasah Nizamiyah sebenarnya didirikan sebagai upaya membendung arus propaganda syi’ah yang berpusat di Kairo dengan al-Azharnya. Madrasah Nizamiyah pun telah memiliki spesifikasi khusus sebagai sebuah institusi pendidikan dengan spesifikasi pada teologi dan hukum Islam. Dan karena spesifikasi ini pulalah Madrasah Nizamiyah sering disebut sebagai Universitas Ilmu Pengetahuan Teologi Islam (Nakosteen, 1996).
Madrasah Nizamiyah merupakan perguruan pertama Islam yang menggunakan sistem sekolah. Artinya, dalam Madrasah Nizamiyah telah ditentukan waktu penerimaan siswa, test kenaikan tingkat dan juga ujian akhir kelulusan. Selain itu, Madrasah Nizamiyah telah memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, memiliki kelengkapan fasilitas pendidikan-dengan perpustakaan yang berisi lebih dari 6000 judul buku yang telah diatur secara katalog dan juga laboratorium–, memiliki sistem perekrutan tenaga pengajar yang ketat dan pemberian bea siswa untuk yang berprestasi. Sehingga Charles Michael Stanton menyatakan bahwa Madrasah Nizamiyah merupakan Perguruan Islam modern yang pertama (Charles M. Stanton, 1992).
Meski Madrasah Nizamiyah memiliki spesifikasi pada kajian teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah (filsafat, logika, matematika, kedokteran dan lailnnya). Bahkan, pada masa itu, kurikulum Nizamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya (Bilgrami, 1989).
Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian ’serius’ dari pemerintah. Sehingga kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum. (Ahmad Warid Khan, Okt 1998). Namun setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia pendidikan Islam pun mengalami kemunduran dan kejumudan. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami distorsi besar-besaran. Dari serbuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya (al-Attas, 1984). Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik– untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasid-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses ‘isolasi diri’ dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni :
Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama (baca; Islam), di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridlo Allah.
Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal.. Karena, selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Dengan menghilangkan, minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang, tentunya, akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan jaman dan peka terhadap lingkungan.
Kumudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat.

C. Berdirinya madrasah-madrasah
Secara kelembagaan, madrasah tidaklah hadir pada saat Islam lahir. Madrasah lahir kemudian ketika Islam, secara politik dan ekonomi, mulai lebih mapan.
Dilihat dari artinya, madrasah berarti tempat untuk belajar. Madrasah berasal dari (d-r-s), yang berarti “belajar” atau “mengajar”. Karena mengacu pada pedoman (wazn) kata Arab “maf’al”, maka dengan tambahan huruf “mim” berarti tempat, sehingga kata madrasah berarti tempat kegiatan belajar dan mengajar. Asal kata ini, mewakili inti dari madrasah itu sendiri, yakni kegiatan transformasi keilmuan.
Semasa Rasulullah saw masih hidup dan era-era berikutnya, perjalanan proses pendidikan belum terorganisir dalam lembaga pendidikan madrasah, tetapi masih berlangsung di zawiyah-zawiyah masjid. Madrasah berkembang dari tiga fase pendidikan dalam Islam, yang pertama, masjid itu sendiri (jami’), yang kedua, adalah bangunan tambahan dari masjid yang berfungsi sebagai tempat belajar mengajar dan asrama (masjid-khan), yang ketiga, madrasah dalam arti sebuah lembaga pendidikan.
Pada awal sejarah Islam, kegiatan keilmuan yang terorganisir dalam bentuk madrasah berasal dari kegiatan majlis ta’lim di masjid-masjid. Hampir setiap masjid mempunyai seorang pimpinan ilmu yang di sebut shaikh. Para shaikh inilah yang secara intensif mengajarkan ilmu-ilmu agama (Qur’an, Hadits, akhlak, fiqih) di antara waktu-waktu shalat di masjid-masjid.
Kegiatan ini pada mulanya berlangsung di zawiyah-zawiyah (tempat-tempat khusus di luar ruang utama) masjid, tetapi lambat laun karena faktor perlunya tempat yang permanen untuk kegiatan belajar mengajar, maka dibangunlah bangunan-bangunan di luar masjid, namun masih dalam satu komplek dengan masjid yang dikhususkan untuk kegiatan belajar mengajar dan juga asrama bagi para murid yang berasal dari luar daerah. Hal ini mempertegas fungsi masjid (jami’) yang menyatu dengan fungsi pendidikan (jami’ah) dalam satu komunitas kolektif (jama’ah) dalam pembentukan peradaban dan kebudayaan Islam.
Selain itu, tempat-tempat yang disedikan oleh penguasa waktu itu (waqf) juga dipergunakan untuk bangunan-bangunan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar. Perlu diketahui, bahwa para penguasa muslim secara umum menaruh perhatian pada kemajuan ilmu dan pendidikan dengan mengalokasikan banyak dana untuk itu. Pada tahun 859 M, secara kelembagaan, madrasah pertama kali didirikan oleh Fatimah Al-Fihri, puteri dari seorang saudagar bernama Muhammad Al-Fihri, di Fez, Maroko, yang diberi nama Jami’at Al-Qarawiyyin. Sebagaimana, tradisi pendidikan Islam saat itu, Jami’ah Al-Qarawiyyin (Universitas Al-Qarawiyin) juga berada di dalam komplek masjid Al-Qarawiyun. Model ini kemudian dikembangkan oleh Jami’ah Al-Azhar di Mesir 970 M, Jami’ah Nizamiyah di Baghdad 1091, dan Jami’ah Al-Mustansyiriyah di Baghdad 1233 M. Namun, yang masih bertahan hingga saat ini hanya Jami’ah al-Azhar. Ilmu yang dipelajari meliputi Al-Qur’an, akidah, fiqih (hukum Islam), bahasa, sastra, dan etika Islam (akhlak).
Dunia pendidikan Islam yang tampak menjulang hanya pendidikan tingginya, dengan berbagai universitas yang lahir dan mewarnai peradaban, se-dangkan pendidikan dasar dan menengah tidak begitu menonjol. Universitas-universitas yang lahir dari peradaban Islam merupakan pengembangan dari sistem pendidikan yang lebih rendah, seperti maktab dan madrasah.
Kalau maktab mengacu pada tahapan pendidikan dasar dan menengah (elementary dan primary school, TK-SMP), sedangkan madrasah mengacu pada tahap pendidikan tinggi (high school, SMU-PT). Secara umum, dalam penggunaan teknis, madrasah dipakai untuk menamakan “lembaga” yang menjadi wadah bagi kegiatan belajar mengajar, baik paling dasar sampai tinggi. Penyebutan madrasah di sini mengacu pada konsep awal sejarah Islam tentang madrasah, bukan madrasah dalam arti yang dipahami sehari-hari sebagai sekolah agama saja.

D. Madrasah di Era Keemasan Islam (Abad IX-XV)
Dengan melihat seluruh sejarah yang terkait dengan perkembangan model pembelajaran dalam tradisi muslim, konsep madrasah dapat dikelompokkan dalam beberapa penjenjangan. Penjejangan ini didasarkan pada tingkatan ilmu yang diberikan didasarkan pada usia dan metode pengajarannya, serta luas dan tidaknya cakupan ilmu yang diajarkan.
Penjenjangan tersebut sebagai berikut: pertama, Maktab/Kuttab. Merupakan tahap awal dalam sejarah pendidikan dalam Islam. Tahap pertama dari maktab ini, seorang anak harus mulai belajar sejak usia 6 tahun. Mata pelajaran yang dipelajari meliputi mata pelajaran dasar, yakni Al-Qur’an, aqidah, akhlak, bahasa, sastra, dan ketrampilan. Materi-materi tersebut diberikan sampai anak berusia 14 tahun. Setelah itu, tahap kedua dari maktab yakni setelah usia 14 tahun, seorang anak belajar materi-materi spesifik untuk mendukung keahlian tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan masa depan anak. Pada tahap ini, anak harus memilih spesialisasi tertentu, apakah sastra, kedokteran, kimia, geometri, ekonomi dan perdagangan, teknik, dan lain sebagainya.
Mengacu pada Ibn Khaldun, metode pengajaran (turuq at-ta’lim) yang digunakan adalah talqin (belajar dengan meresapkan dalam hati) untuk materi Al-Qur’an, akidah, dan akhlak; hifdz (menghapal) untuk materi-materi Al-Qur’an, Hadits, tafsir, bahasa, dan sastra; imla’ (mencatat) untuk ilmu-ilmu thabi’iyyah (sains). Sampai abad ke X M, metode ini berkembang pesat di wilayah-wilayah muslim, seperti di Baghdad, Cairo, Maroko, Cordoba, Granada, Sevilla, dan Damascus. Setelah era itu, ada pembaharuan-pembaharuan dalam model pendidikan, terutama ketika Turki Usmani berkuasa mulai abad XIII M.
Kedua, Madrasah. Model ini muncul sejak para penguasa muslim atau para saudagar Muslim “menformalkan” kegiatan belajar mengajar di masjid dengan membangun ruang tambahan yang secara khusus digunakan untuk kegiatan tersebut. Meskipun kegiatan masih terfokus pada seorang shaikh, tetapi materi-materi dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Setelah model madrasah ini muncul, proses pendidikan di dunia muslim berkembang pesat. Madrasah merupakan bentuk lanjutan dari sistem maktab, yang materi-materinya tergolong materi “tinggi”, di antaranya seperti filsafat, sejarah, musik, etika, fisika, biologi, logika, matematika, kimia, kedokteran, astronomi, dan lain sebagainya.
Di sini telah terjadi penyebaran antara ilmu yang berbasis teologi dengan ilmu yang berbasis alam dan masyarakat. Di dalam model madrasah ini, seorang murid harus menfokuskan kajian pada disiplin ilmu tertentu, meskipun tidak terbatas pada jenis ilmu tertentu. Artinya, seorang murid bisa saja memelajari berbagai macam ilmu dalam kurun masa belajarnya. Di samping itu, model belajar yang berkembang juga masih menginduk pada masjid.
Sampai abad ke XI M, sistem madrasah menjadi acuan model pendidikan dalam Islam. Sejak Dinasti Ayyubiyah dan Mamluk di Asia Barat, Seljuk dan Turki Usmani di Asia Tengah, model madrasah diperkaya dengan model-model baru dalam metode pengajarannya. Di samping itu, pengembangan madrasah menjadi jami’ah (universitas) juga menjadi awal dari perubahan metode pendidikan dalam Islam, yang di dalamnya berbagai macam ilmu diajarkan. Metode utama yang digunakan dalam sistem madrasah dan jami’ah ini adalah pengkajian berdasarkan riset, yang meliputi tiga unsur utama, yakni khilaf (pengkajian beberapa gejala dari berbagai perspektif yang berbeda), jadal (dialektika, diskusi dengan mencari relasi antar peristiwa), munazarah (diskusi), di samping tiga metode yang digunakan pada tahap awal (talqin, hifdz, dan imla’).
Ketiga, Jami’ah (universitas). Universitas yang tumbuh dalam sejarah Islam tidak bisa dipisahkan dari sejarah madarasah itu sendiri. Karena di samping model madrasah yang berkembang, model universitas juga muncul sejalan dengan banyaknya wilayah kajian Islam. Ibn Khaldun membedakan wilayah kajian Islam dalam dua kategori besar, yakni ilmu yang didasarkan pada interpretasi yang bersifat spekulatif (al-ilm al-naqliyah) dan ilmu yang didasarkan pada pengamatan (al-ilm al-aqliyah). Kelompok ilmu yang pertama lebih mengandalkan pemikiran atas nas-nas yang tercantum dalam Al-Qur’an atau Hadits seperti tafsir, kalam, fikih, dan sebagainya. Adapun kelompok kedua lebih menonjolkan pengamatan yang visible, seperti logika, matematika, aritmatika, geografi, kimia dan turunannya, biologi dan turunannya, fisika dan turunannya, dan sebagainya. Semua kelompok ilmu ini berkembang dan dipelajari dalam madrasah.
Karena jenis ilmu yang demikian beragam dan banyak, maka dibangun tempat-tempat yang secara spesifik mengkaji tentang berbagai disiplin ilmu itu dalam sebuah lembaga yang relatif lebih kompleks dari madrasah, meskipun masih dalam konteks madrsah pula. Lembaga itu kemudian dikenal dengan al-jami’ah (universitas) yang didasarkan atas banyaknya disiplin ilmu yang dikaji.
Pada abad X, pengembangan madrasah yang paling prestisius adalah Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir, yang diikuti oleh Universitas Nizamiyah di Baghdad abad XII, dan Universitas Al-Mustansiriyah juga di Baghdad, serta Universitas Nizamiyah di Naisabur, kemudian menyusul Universitas Cordoba, Seville, Granada dan berbagai universitas yang lahir di Spanyol. Untuk keperluan riset, sejarah umat Islam telah melahirkan berbagai perpustakaan dan laboratorium, seperti Dar Al-‘Ilmi di Mesir dan Dar Al-Hikmah di Baghdad, Perpustakaan Iskandariyah di Mesir, dan sebagainya. Tidak mengherankan jika pada era itu lahirl ilmuwan-ilmuwan genius dari umat muslim yang telah mencetak peradaban besar dunia.

E. Pendidikan wanita
Pengenaan ketat kode moral publik terhadap perempuan adalah indikator lain dari transformasi pendidikan Islam ke dalam pendidikan agama; wanita dilarang untuk menghadiri tempat-tempat belajar seperti gila ā ris (jamak madrasah) dan masjid-masjid meskipun wanita ditransmisikan secara formal dan informal yang budaya untuk anak-anak mereka serta anak-anak lain dan untuk laki-laki dan perempuan di dalam dan di luar rumah pada awal dan pramodern masyarakat Muslim, dan mereka masih sampai batas tertentu. (Iqnácz Goldziher, "Pendidikan [Muslim], " dalam The Encyclopedia of Religion and Ethics, vol. 5, 1960, hlm. 199-207.) Muslim anak laki-laki dan perempuan yang diajarkan di rumah dan dihadiri Kuttab formal (SD sekolah-sekolah agama); bahkan anak-anak belajar di ā ris marah ketika mereka pertama kali didirikan. Tidak ada catatan sejarah menyebutkan perempuan sebagai alimāt berpengetahuan di cabang-cabang ilmu-ilmu Al-Quran seperti tafsir, kalam (filsafat Islam / teologi), dan fiqh, khususnya setelah resmi pendidikan tinggi di madrasah, meskipun Shalaby (1979) mencatat bahwa banyak perempuan telah dibentuk atau lembaga-lembaga seperti itu diberkahi. Selain itu, banyak sumber-sumber muslim primer (seperti al-Suyuti [w. 1505] dan lain-lain terdaftar oleh Goldziher, Nasr, dan Shalaby) melaporkan bahwa hingga abad kelima belas, ada wanita yang luar biasa yang hafal dan meriwayatkan hadis, penghasilan mereka judul dari muhaddithāt (periwayat perempuan) di antara murid-murid mereka; ada orang lain yang terkenal di sufi. Namun, seperti yang dinyatakan sebelumnya, bahkan kualifikasi ini tidak membantu perempuan, termasuk sahabat wanita Madinah awal, menjadi peserta dalam masyarakat proses pengambilan keputusan atau dalam pengembangan pemikiran Islam (Barazangi, 2004).
Serangan pada budaya Islam sebagai "penindas perempuan" Tentara Salib Eropa, orientalis, dan pemerintah kolonial, dikombinasikan dengan pembedaan antara domain pribadi dan umum, menyebabkan pemimpin Muslim pramodern melupakan esensi pendidikan Islam, khususnya dalam sektor informal, dan mengambil sikap ekstrem dengan mengorbankan kebangkitan Islam tradisional. Di anak benua India, misalnya, sebagian besar gadis menghadiriKuttab Al-Quran tidak hanya ditolak kesempatan untuk melanjutkan pendidikan agama mereka setelah mereka mencapai pubertas namun jarang diperintahkan oleh keluarga mereka, seperti praktek di kalangan keluarga muslim belajar sebelum penjajahan Inggris dan interaksi dengan praktik pendidikan Barat. Gerakan untuk menghidupkan kembali Islam tradisional yang sebagian besar dipimpin oleh laki-laki, mulai dengan orang-orang dari abad kedelapan belas gerakan puritan Wahhabi, juga menyebarkan pandangan bahwa perempuan membutuhkan jenis pendidikan yang berbeda karena perhatian utama mereka adalah rumah. Meskipun pendaftaran di kuttābs mereka di masa lalu, misalnya, gadis-gadis Saudi tidak diperbolehkan untuk mendaftar di lembaga-lembaga keagamaan pendidikan tinggi seperti Umm al-Qura di Mekah sampai tahun 1970 dan 1971, ketika hanya delapan puluh wanita dibandingkan dengan lebih dari dua ribu orang diakui (Saad al-Salem, 1981). "Reformis" seperti Mesir Muhammad Abduh (1845-1905) menekankan cita-cita Islam perempuan mempunyai status yang lebih tinggi dalam Islam dan kewajiban laki-laki dan perempuan untuk mencari pengetahuan, namun, dalam praktiknya, mereka tidak mengenali perempuan mempunyai hak untuk mengakses pengetahuan mendalam tentang Quran sebagai kunci perkembangan intelektual Islam.
Revivalis, seperti Sayyid Quthb (1906-1966) dan Sayyid Abu al-Ala Maududi (1903-1979), walaupun berusaha untuk mengembalikan pendidikan Islam di pasca Perang Dunia II negara-bangsa, menggunakan pemikiran tradisional tentang wanita pendidikan dan telah menegaskan bahwa perempuan secara "alami" disposisi adalah untuk menularkan budaya kepada generasi berikutnya (baik laki-laki dan perempuan), tetapi mereka tidak merestrukturisasi praktek-praktek tradisional mengajar Islam untuk memungkinkan transmisi ini. Tujuan utama pendidikan wanita di era Muhammad Quthb (1961-1981) kurikulum adalah untuk mempersiapkan mereka untuk aspek-aspek emosional biologis dan peran mereka sebagai ibu dan ibu rumah tangga. Tujuan seperti itu lebih bingung dan terpinggirkan oleh pendidikan perempuan dalam Islam. Neotraditionalists adalah reemphasizing tujuan ini dalam menghadapi globalisasi, tetapi gagal untuk mendengarkan suara perempuan terbebaskan dari dalam Islam.
Pasca-1969 "Islamisasi" gerakan membungkuk ke arah politik Islam dan memiliki implikasi bagi para perempuan Islam dan pendidikan agama. Berlawanan dengan Islamizationists 'tradisi intelektual, yang berpuncak pada Ismail Raji Al-Faruqi's (1921-1986) konsep "Islamisasi Pengetahuan, " para pendukung gerakan ini menekankan moralitas, yang dianggap mereka dibayangi tujuan: untuk merestrukturisasi sistem sekuler pendidikan tinggi untuk menangani kebutuhan agama dan budaya masyarakat Muslim sebagai bagian dari strategi pembangunan baru. Malay pemerintah Indonesia dan kebijakan pembangunan yang melibatkan semua segmen penduduk dalam pendidikan dan pelatihan, yang dilaporkan oleh Ahmat dan Siddique (1987), tampaknya menjadi langkah pertama menuju ʾ s mengakui peran perempuan dalam pembangunan sosial. Penekanan pada moralitas, bagaimanapun, terutama ketika perempuan menjadi bagian dari madrasah malay 1970-an dan 1980-an, menyebabkan pendidikan agama untuk mengambil bentuk dogma moral. Sistem pesantren di Indonesia, yang didirikan di daerah pedesaan pada awal abad kesembilan belas dan menyebar ke pembangunan perkotaan pada 1970-an dan 1980-an, mempertahankan suatu sistem yang terintegrasi, dan perempuan Indonesia, tidak seperti yang ada di negara Islam lainnya, menempati berbagai agama -peran kepemimpinan. Armijo (2007) juga menunjukkan bahwa dalam "barat daya Cina, kaum perempuan Muslim pada umumnya mengambil bagian dalam doa komunal di masjid-masjid, " sementara "di Cina Tengah, ada tradisi berabad-abad perempuan yang terpisah memiliki masjid-masjid mereka sendiri. " Armijo menambahkan, " tidak hanya ada sejarah panjang imam perempuan di wilayah ini. .. perempuan mempunyai keterlibatan aktif baik dalam pendidikan Islam dan kepemimpinan agama. "Masjid harus dipahami sebagai" multi-tujuan membangun: sebuah tempat untuk ibadah, pertemuan politik, untuk negosiasi dan penilaian, untuk doa pribadi dan untuk pelajaran agama dan belajar "(Küng, 2007), dalam rangka untuk menghargai pentingnya bagi perempuan sebagai pembangunan identitas Islam, apalagi untuk anak-anak Islam dalam character building.

Neo-tradisionalis telah berusaha untuk "membebaskan Islam dari budaya Barat kolonialisme" pada tahun 1980 dan telah memberikan pendidikan perempuan bentuk kadang-kadang disebut "terbalik feminisme, " dipisahkan menekankan pendidikan untuk peran yang berbeda namun tidak setara. Tren ini tengah menjamur di Amerika Utara dan Eropa Barat negara, di mana laki-laki muslim satu-seks menuntut sekolah dan, dalam pribadi mereka "Islam / Islam" sekolah, yang memisahkan anak-anak dari kelas pertama dan seterusnya. Kurikulum di sekolah-sekolah ini sama seperti yang di sekolah-sekolah umum kecuali bahwa kursus mengenai agama dan bahasa Arab dimasukkan (Barazangi, 1998). Gerakan yang sama pemisahan pendidikan mengambil terus kuat di Pakistan dan Afghanistan pada akhir abad kedua puluh sampai pembatasan perempuan dari lembaga pendidikan apapun.

No comments:

Post a Comment