BAB III
HIDUP MASA KEJAYAAN PENDIDIKAN
ISLAM
A. Latar belakang sosial politik
kejayaan pendidikan Islam
Bagi umat Islam, era globalisasi
dalam arti menjalin hubungan, tukar-menukar dan transmisi ilmu pengetahuan,
budaya, dan sebagainya sesungguhnya bukanlah hal baru. Globalisasi dalam arti
yang demikian, bagi umat Islam merupakan hal biasa. Pada zaman klasik (abad
ke-6 s. d. 13 M) umat Islam telah membangun hubungan dan komunikasi yang intens
serta efektif dengan berbagai pusat peradaban dan ilmu pengetahuan yang ada di
dunia, seperti India, Cina, Persia, Romawi, dan Yunani. Hasil dari komunikasi
ini umat Islam telah mencapai kejayaan, bukan hanya dalam bidang ilmu agama
Islam, melainkan dalam bidang ilmu pengetahuan umum, kebudayaan, dan peradaban,
yang warisannya masih dapat dijumpai hingga saat ini, seperti di India,
Spanyol, Persia, serta Turki.
Selanjutnya, pada zaman
pertengahan (abad ke-13 hingga 18 M), umat Islam telah membangun hubungan
dengan Eropa dan Barat. Saat itu, umat Islam memberikan kontribusi yang besar
bagi kemajuan Eropa dan Barat. Beberapa penulis Barat, misalnya WC Smith dan
Thomas W Arnold, mengakui bahwa kemajuan yang dicapai dunia Eropa dan Barat
saat ini karena sumbangan dari kemajuan Islam. Mereka telah mengadopsi ilmu
pengetahuan dan perabadan Islam tanpa harus menjadi orang Islam.
Pada zaman pertengahan itu, umat
Islam hanya mementingkan ilmu agama saja. Sementara itu, ilmu pengetahuan,
seperti matematika, astronomi, sosiologi, dan kedokteran tidak dipentingkan.
Bahkan, dibiarkan untuk diambil oleh Eropa dan Barat. Pada zaman ini, Eropa dan
Barat mulai bangkit mencapai kemajuan, sementara umat Islam berada dalam
keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban.
Setelah Rasulullah wafat tonggak
dakwah selanjutnya adalah para khulafaurrasyiddin yang melakukan pembebasan
wilayah diluar zajirah Arab terutama ke belahan utara, Barat dan timur Saudi
Arabia. Masyarakat muslim mulai berinteraksi dengan penduduk yan dibebaskan
Khalifah Umar mengirim para Da’i kedaerah yang baru dibebaskan dan memulai
membangun peradaban.
Masyarakat muslim mulai
berkenalan dengan Sains dengan masyarakat yang mereka datangi, hasil interaksi
ini menimbulkan semangat mengembanfgkan iptek diawali dengan timbulnya masa
penterjemahan. Sedangkan mesyarakat yang didatangi berkenalan dengan ilmu-ilmu
naqliyah (ilmu yang bersumber dari Al-qur’an yang di bawa para Da’I kedaerah
yang ditaklukan. Ilmu naqliyah terdiri dari fiqh, kalam tasauf, tafsir, hadist,
dansebagainya. Aqliyah terdiri dari filsafat, kedokteran, matematika fisika,
kimia. Pada masa itu bahasa arab mendapat tempat istimewa yang memunculkan sarjana
bahasa Arab yaitu:Isa bin Umar al-Saqafi(149H). fakta yang diakui dengan baik
bahwa Islam menempel sangat penting untuk mengejar pengetahuan dan pendidikan
karena membuat mencari pengetahuan diwajibkan atas setiap Muslim terlepas dari
warna, kasta dan gender. Ada banyak ayat-ayat Alquran atas kebajikan
pengetahuan dan keunggulan pendidikan, perlu untuk disebutkan semua di sini,
kecuali untuk menunjukkan bahwa kata 'Qur'ān' itu sendiri dari kata Qara, yang
berarti' untuk membaca', dan arti kata 'Qur'ān' adalah kata kerja tertulis yang
dibaca berulang-ulang.
Wahyu pertama ayat-ayat Alquran
yang diterima oleh Nabi Muhammad (semoga Allah memberkati dan menyambutnya) di
612 Masehi berkaitan dengan pendidikan dan kehidupan ilmu pengetahuan, di mana
Nabi diberi perintah untuk membaca.
Nabi Muhammad sendiri telah,
dalam beberapa ucapan, menekankan perlunya mencari ilmu dari buaian hingga
kuburan dan dianggap sebagai tugas suci setiap Muslim. Ucapan ini mencakup
ide-ide modern, seperti pendidikan wajib untuk jenis kelamin, dewasa dan
melanjutkan pendidikan, dan pertukaran di bidang pendidikan dan pembelajaran.
Menurut Nabi, tinta seorang ulama adalah lebih suci daripada darah seorang
martir. Oleh karena itu Imam Bukhari, compiler yang paling otentik kitab hadis
yang dikenal sebagai Shahih Bukhari, mengatakan mencari pengetahuan dalam Islam
datang sebelum iman dan ibadah. Pernyataan dari Imam Bukhari membuktikan
keunggulan pendidikan ilmu pengetahuan dan untuk menyembah dan iman. Mengingat
fakta ini disebut Islam adalah agama pengetahuan dan pendidikan, agama ilmu
pengetahuan, logika dan intelektual.
Keutamaan Islam yang mengubah
semua kota-kota dan negara menjadi universitas riset dan akademi di mana ia
masuk, meskipun sebelum datangnya Islam, semua kota dan negara ini meraba-raba
dalam kegelapan buta huruf dan kebodohan. Sebagai contoh, ketika matahari Islam
terbit di kota Makkah, hanya ada 17 orang, yang tahu cara membaca dan menulis.
Tapi Islam yang mendorong orang untuk membekali diri dengan seni membaca dan menulis
dan mengintensifkan upaya untuk mengekang buta huruf dan memerangi kebodohan
dan mengambil semua kemungkinan alat dan sarana untuk menyebarkan pengetahuan
dan pendidikan dari Non-Muslim, mempekerjakan guru untuk mempercayakan tahanan
terpelajar perang dengan tugas mengajar umat Islam buta huruf, seni membaca dan
menulis terhadap tebusan mereka. Dengan demikian seni membaca dan menulis di
kalangan umat Islam menyebar dengan cepat.
Patut dicatat untuk menyebutkan
bahwa Islam mendorong para pengikutnya untuk belajar, tanpa kecuali, setiap
cabang pengetahuan dan pendidikan, sebagaimana Nabi Muhammad memerintahkan Zaid
bin Sabit untuk belajar bahasa Ibrani, dan memerintahkan Hassan bin Tsabit
untuk menulis puisi aduk dalam membela Islam dan Muslim terhadap serangan kafir
Quraisy. Selain itu, Nabi Muhammad mendirikan kamp untuk dokter wanita muslim
Rofaida pertama selama Pertempuran Tabuk, sehingga ia bisa mengobati luka-luka
dalam pertempuran.
Nabi Muhammad memberi pengikutnya
pendidikan dan pelatihan militer, dan mengajarkan mereka strategi perang.
Secara singkat ia memberikan pengetahuan dan pendidikan bagi para pengikutnya
sesuai dengan minat dan kecenderungan mereka. Dengan cara ini ia menjadi sukses
dalam membuat sebuah sekolah dan mengubah mereka ke departemen pengetahuan
independen.
Cahaya pendidikan dan pengetahuan
yang tersebar di seluruh dunia dengan penyebaran Islam dan para pengikut Nabi
Muhammad muncul sebagai pembawa obor pendidikan Islam dan pengetahuan. Kota dan
negara yang paling menonjol di mana pendidikan ini berjalan lancar adalah Mekah
dan Madinah di Arab, Basra, Kufah dan Baghdad di Irak, Damaskus dan Yerusalem
di Suriah, Qartaba di Spanyol, Khurasan dan Marv di Persia, Lahore and Delhi
India, dll. Kota-kota Pendidikan ini sebagai pusat Ilmu Islam Fiqih (hukum),
Hadis, (tradisi), Tafsir (komentar dari Al Qur'an) dan Sejarah dalam periode
Ummayyid, dan dengan demikian ini telah menyumbang banyak untuk pengembangan
Ilmu Pengetahuan Islam dan diperkaya budaya Islam.
Selama periode Abbasiyah,
kota-kota atau Universitas Islam membuka pintu bagi ilmu-ilmu lain di bawah
pengaruh kebudayaan asing, mempercepat proses kebangkitan intelektual Islam,
menyumbang pada penciptaan budaya yang sejahtera dan keterampilan ilmiah
dimanfaatkan untuk pengembangan umat manusia. Dengan demikian, sastra Arab,
ilmu-ilmu agama, Sejarah, Geografi, dan Ilmu Umum termasuk filsafat, logika,
dan obat-obatan mencapai tingkat perkembangan yang luar biasa.
Penguasa Abbasiyah periode
pertama, seperti Khalifah Haroon al-Rashid dan al-Mamoon, yang secara resmi
memborong terjemahan Yunani, Persia dan Filsafat India, kedokteran dan
ilmu-ilmu lainnya ke dalam bahasa Arab, sebagai Khalifah al-Mamoon mendirikan
sebuah akademi penelitian dikenal sebagai "House of Wisdom" untuk
tujuan yang sama. Intelektualisme murni yang dihasilkan dari kegiatan ini
bereaksi pada agama Islam dan menghasilkan rasionalis terkenal gerakan
keagamaan Mu’tazilah.
Mu’tazilah gerakan yang pantas
disebutkan di sini karena ia memainkan peran yang sangat penting dalam memimpin
Ilmu-ilmu Islam ke tingkat perkembangan yang luar biasa, dan memberikan
keleluasaan bagi para filsuf Islam yang memperkaya perpustakaan Islam melalui
tulisan-tulisan mereka yang paling berharga di kemudian hari.
Menurut sumber-sumber sejarah,
ketika buku-buku filsafat yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa
Arab, orang-orang mulai membahas ajaran Islam dan dalam terang filsafat dan
mulai meningkatkan keraguan tentang prinsip-prinsip dasar Islam, serta beberapa
non-muslim intelektual terutama Kristen dan Yahudi menyerang prinsip-prinsip
Islam yang berhubungan dengan filsafat dan logika. Dalam situasi gelap ini
gerakan Mu’tazilah keluar untuk membela Islam, dan Islam yang disajikan dalam
terang sains dan filsafat, seperti Ahmad Amin menulis dalam bukunya yang
terkenal Zuha al-Islam:
"Sejarah Islam tidak
menyaksikan sebelum filosof Mu’tazilah pernyataan komprehensif tentang Allah,
sifat-sifat-Nya dan perbuatan dengan argumentasi tradisional dan rasional,
seperti yang disaksikan dalam Mu’tazilah, mereka membebaskan pikiran untuk
mendiskusikan tentang langit, bumi, Allah dan manusia, serta pada setiap hal
kecil dan hal-hal besar. Tidak ada lingkaran khusus tapi pikiran punya hak
untuk berenang di dalamnya, sebenarnya Allah telah menciptakan pikiran sehingga
tahu, dan memiliki kapasitas untuk mengetahui setiap hal meskipun metafisika,
kenyataannya adalah bahwa penelitian mereka pada metafisika lebih dalam dan
komprehensif dari fisika, karena mereka reformis, religius dan propagandis dari
sebuah prinsip. "
Dalam hasil dari pemikiran yang
komprehensif Mu’tazilah tentang alam, mereka serius meneliti secara mendalam
tentang filsafat dan metafisika, beberapa cabang pengetahuan baru yaitu
Teologi, Rhetorica, debat dan diskusi muncul menjadi ada. Di atas semua itu,
gerakan Mu’tazilah dilengkapi filsuf Islam yang datang kemudian, dengan
Filsafat Yunani. Ahmad Amin menulis lebih lanjut:
"Kredit prinsip-prinsip awal
pendirian teologi, retorika, debat dan diskusi bermula dari Mu’tazilah, serta
mereka adalah penyelamat pertama yang menerima bantuan dari filsafat Yunani dan
manfaat yang diperoleh darinya dalam mendukung mazhab mereka, beberapa ucapan
Nizam, Abu-al-Huzail dan Al-Jahiz adalah salinan murni dari beberapa pernyataan
filsafat Yunani dan dalam beberapa pernyataan ini, sedikit amandemen dilakukan.
"
Singkatnya, Mu’tazilah bukan
hanya sebuah sekte keagamaan tapi gerakan pendidikan umat Islam, yang membuka
pikiran orang dan memperluas makna pendidikan Islam sedemikian rupa sehingga
semua cabang pendidikan dikuasainya. Tapi patut disayangkan bahwa gerakan
intelektual murni dan rasional diletakkan untuk mengakhiri ortodoksi ulama.
Setelah gerakan Mu’tazilah berakhir,
pendidikan Islam mulai menurun karena penyempitan ruang lingkup pengetahuan dan
maknanya dengan jumlah terbatas Ilmu Pengetahuan Islam Tafsir (komentar dari Al
Qur'an), Hadis (Tradisi), Fiqh (fikih) dan Ilm al-Kalam (Teologi). Dalam semua
mata pelajaran ini juga, orang-orang tidak diizinkan untuk mendiskusikan
sebebas dulu selama Mu’tazilah. Orang-orang terikat untuk Taqleed atau peniruan
dari satu Imam di antara merangkak, dan menjaga diri mereka dari ijtihad atau
penilaian independen.
Dalam situasi seperti ini,
meningkatnya tasawuf menambahkan bensin ke dalam api. Gerakan sufi menjadi
ancaman bagi kaum Ulama ortodoks dan supremasi mereka seperti membuka jalan
bagi munculnya ulama seperti Imam Gazali untuk menduduki singgasana yang lebih
tinggi kehormatan di antara ulama ortodoks serta Gerakan sufi.
Imam Gazali dianggap sebagai salah
satu dari orang-orang besar Islam, ia adalah seorang jurisprudent yang sangat
baik, filsuf besar, teolog terbaik, dan sufi moderat. Imam Gazali adalah
manusia pertama yang mencoba mengkompromikan antara ulama ortodoks dan gerakan
tasawuf melalui bukunya yang terkenal al Minqiz min al-Zalal (penyelamat dari
kesesatan). Dalam buku ini, ia menyebutkan Sufisme dan ide filosofis, dan
menekankan bahwa tidak ada suatu sumber pengetahuan otentik, kecuali
"Mukashafa" atau wahyu. Terlepas dari ini, ia menulis sebuah buku
berjudul Tahafut al-Falasfa (runtuhnya para filsuf). Dalam buku ini, ia memuji
ilmu sosial, aritmetika dan logika di satu sisi, tapi sisi lain dia mencela
metafisika dan menghitung cabang pengetahuan ini memusuhi ajaran Islam dan
membuktikan filsuf Islam salah dalam ide-ide dan pemikiran mereka pada
metafisika.
Di bawah pengaruh buku Imam
Gazali, terutama buku kedua disebutkan di atas, ulama pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya terisolasi dari filsafat dan menempuh jalan tasawuf.
Sebelum ini, tren Taqleed atau imitasi telah berlaku di antara komunitas
Muslim, sehingga intelektual Islam dan gerakan kebangkitan pendidikan berada di
bawah macet dan penurunan.
Patut disebutkan di sini bahwa
sejak munculnya Islam sampai abad keempat dan yang pertama hingga abad kelima
Hijriah, maka Kuttab (tempat dasar pengajaran), halaqah dari Masjid (tempat
pendidikan tinggi), perpustakaan, dan pengadilan Ulama, adalah lembaga
pendidikan Islam, di mana semua cabang pendidikan, tanpa kecuali, diajarkan.
Dalam paruh kedua abad keempat sistem pendidikan Madrasah muncul di Nisapur dan
tersebar di seluruh dunia Islam sampai kemudian setengah abad di tangan wazir
Seljuk dari Alp Arsalan dan Maliksha "Nizam al - Mulk ", yang
mendirikan madrasah di Asphan, Nisapur, dan Baghdad yang dikenal sebagai
Nizamia. Dia (Nizam al-Mulk) Imam Gazali ditunjuk kepala guru di Nizamia
Baghdad yang sebenarnya merupakan markas Nizamias ini, di mana ia (Imam Gazali)
mengabdi sekitar lima tahun 1091-1095. Dari lembaga pendidikan ini ide-ide dan
pemikiran yang tersebar di seluruh dunia Muslim. Sistem baru ini berasal dari
sistem pendidikan Madrasah dengan mengadopsi secara terbatas, sempit, dan kaku
terfokus pada buku-buku kurikulum bukan pada mata pelajaran yang mewakili kredo
tertentu. Semua faktor ini memberikan kontribusi untuk membawa stagnasi
kemajuan pendidikan dan pembelajaran Islam. Ini berlangsung sampai serangan
Napoleon di Mesir pada tahun 1798, sekitar lima abad pendidikan stagnasi dan
penurunan. Dalam periode panjang ini Eropa mencapai prestasi yang luar biasa di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tentang dunia Muslim yang tidak sadar
dan pada waktu pertama serangan Napoleon ini membuat mereka menyadari hal itu.
B. Perkembangan lembaga
pendidikan Islam
Meskipun penanaman kesadaran akan
urgensi ilmu sudah dimulai pada masa Muhammad, bahkan pada masa-masa akhir
sebelum Muhammad wafat kesadaran akan pentingnya ilmu bagi kehidupan-dapat
dikatakan-sudah mendarah daging di kalangan umat Islam (Bilgrami, 1989), namun
cikal bakal pendidikan Islam (dalam sebuah institusi) baru dimulai pada masa
kekhalifahan Umar bin Khattab (Nasr, 1994).
Cikal bakal pendidikan Islam
dimulai ketika Umar, secara khusus, mengirimkan ‘petugas khusus’ ke berbagai
wilayah Islam untuk menjadi nara sumber (baca; guru) bagi masyarakat Islam di
wilayah-wilayah tersebut. Para ‘petugas khusus’ ini biasanya bermukim di masjid
(mungkin semacam ta’mir pada masa sekarang) dan mengajarkan tentang Islam
kepada masyarakat melalui halaqah-halaqah-majlis khusus untuk menpelajari agama
dan terbuka untuk umum (Nasr, 1994).
Pada perkembangan selanjutnya,
materi yang diperbincangkan pada halaqah-halaqah ini tidak hanya terbatas pada
pengkajian agama (baca; Islam), namun juga mengkaji disiplin dan persoalan lain
sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat. Selain itu, diajarkan pula
disiplin-disiplin yang menjadi pendukung kajian agama Islam. Dalam hal ini
antara lain kajian tentang bahasa dan sastra Arab, baik nahwu, sorof maupun
balagah. Selain terjadi pengembangan materi, terdapat pula perkembangan di
bidang sarana dan prasarana ‘pendidikan’, yakni adanya upaya untuk membuat
tempat khusus di (samping) masjid yang digunakan untuk melakukan kajian-kajian
tersebut. Tempat khusus ini kemudian dikenal sebagai Maktab. Maktab inilah yang
dapat dikatakan sebagai cikal bakal institusi pendidikan Islam (Nasr, 1994).
A-Ma’mun, salah satu khalifah
Daulat Bani Abbasiyah, mendirikan Bait al-Hikmah di Bagdad pada tahun 815 M—
sebuah institusi yang cukup layak disebut sebagai institusi pendidikan
–(Ibrahim Hassan, 1989). Pada Bait al-Hikmah ini terdapat ruang-ruang kajian,
perpustakaan dan observatorium (laboratorium). Meskipun demikian, Bait
al-Hikmah belum dapat dikatakan sebagai sebuah institusi pendidikan yang ‘cukup
sempurna’, karena sistem pendidikan masih sekedarnya dalam majlis-majlis kajian
dan belum terdapat ‘kurikulum pendidikan’ yang diberlakukan di dalamnya.
Institusi pendidikan Islam yang
mulai menggunakan sistem pendidikan ‘modern’ baru muncul pada akhir abad X M
dengan didirikannya Perguruan (Universitas) al-Azhar di Kairo oleh Jendral
Jauhar as-Sigli-seorang panglima perang dari Daulat Bani Fatimiyyah-pada tahun
972 M (Mahmud Yunus, 1990). Pada al-Azhar, selain dilengkapi dengan
perpustakaan dan laboratorium, mulai diberlakukan sebuah ‘kurikulum
pengajaran’. Pada kurikulum ini diatur urutan materi beserta disiplin-disiplin
yang harus diajarkan kepada peserta didik. Meski pendirian al-Azhar bertujuan
sebagai wadah ‘kaderisasi’ bagi kader-kader Syi’ah, namun kurikulum yang
berlaku dapat dianggap sebagai sebuah kurikulum yang berimbang. Pada kurikulum
al-Azhar diajarkan disiplin-disiplin ilmu agama dan juga disiplin-disiplin ilmu
‘umum’ (aqliyyah). Ilmu agama yang ada dalam kurikulum al-Azhar antara lain tafsir,
hadis, fiqh, qira’ah, teologi (kalam), sedang ilmu akal yang ada dalam
kurikulum al-Azhar antara lain filsafat, logika, kedokteran, matematika,
sejarah dan geografi (Mahmud Yunus, 1990) Ketika Salahuddin al-Ayyubi (seorang
sunni) pada abad XI M berhasil menguasai Kairo, sebagai pusat Bani Fatimiyyah,
ia memandang adanya al-Azhar sebagai sebuah institusi pendidikan sebagai
sesuatu yang sangat penting, sehingga keberadaan al-Azhar tidak diusik sama
sekali, selain peniadaan materi-materi yang berbau syi’ah. Bahkan pada masa
Salahuddin inilah al-Azhar berada dalam puncak kejayaan, di mana al-Azhar,
menurut beberapa kalangan, dianggap mampu melaksanakan kurikulum yang berimbang
antara materi agama dan pengembangan intelektual (Bilgrami, 1989).
Institusi pendidikan Islam ideal
dari masa kejayaan Islam lainnya adalah Perguruan (Madrasah) Nizamiyah.
Perguruan ini diprakarsai dan didirikan oleh Nizam al-Mulk-perdana menteri pada
kesultanan Seljuk pada masa Malik Syah-pada tahun 1066/1067 M di Bagdad dan
beberapa kota lain di wilayah kesultanan Seljuk. Madrasah Nizamiyah sebenarnya
didirikan sebagai upaya membendung arus propaganda syi’ah yang berpusat di
Kairo dengan al-Azharnya. Madrasah Nizamiyah pun telah memiliki spesifikasi
khusus sebagai sebuah institusi pendidikan dengan spesifikasi pada teologi dan
hukum Islam. Dan karena spesifikasi ini pulalah Madrasah Nizamiyah sering
disebut sebagai Universitas Ilmu Pengetahuan Teologi Islam (Nakosteen, 1996).
Madrasah Nizamiyah merupakan
perguruan pertama Islam yang menggunakan sistem sekolah. Artinya, dalam
Madrasah Nizamiyah telah ditentukan waktu penerimaan siswa, test kenaikan
tingkat dan juga ujian akhir kelulusan. Selain itu, Madrasah Nizamiyah telah
memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, memiliki kelengkapan
fasilitas pendidikan-dengan perpustakaan yang berisi lebih dari 6000 judul buku
yang telah diatur secara katalog dan juga laboratorium–, memiliki sistem
perekrutan tenaga pengajar yang ketat dan pemberian bea siswa untuk yang
berprestasi. Sehingga Charles Michael Stanton menyatakan bahwa Madrasah
Nizamiyah merupakan Perguruan Islam modern yang pertama (Charles M. Stanton,
1992).
Meski Madrasah Nizamiyah memiliki
spesifikasi pada kajian teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang
digunakan terdapat pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu
keagamaan (tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah
(filsafat, logika, matematika, kedokteran dan lailnnya). Bahkan, pada masa itu,
kurikulum Nizamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya
(Bilgrami, 1989).
Selain adanya institusi
pendidikan yang memiliki kapabilitas tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan
keilmuan benar-benar mendapat perhatian ’serius’ dari pemerintah. Sehingga
kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat
benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa
mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka
untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum.
(Ahmad Warid Khan, Okt 1998). Namun setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M,
dunia pendidikan Islam pun mengalami kemunduran dan kejumudan. Paradigma
pendidikan Islam pun mengalami distorsi besar-besaran. Dari serbuah paradigma
yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi
paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.
Tujuan akhir pendidikan dalam
Islam adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan
fitrah keberadaannya (al-Attas, 1984). Hal ini meniscayakan adanya kebebasan
gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik– untuk
mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa
kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah
pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia
pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun
terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasid-defensif.
Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses ‘isolasi diri’ dan termarginalkan
dari lingkungan di mana ia berada.
Dari gambaran masa kejayaan dunia
pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai
upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada
peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam
sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni :
Pertama, menempatkan kembali
seluruh aktifitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work agama. Artinya,
seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama
(baca; Islam), di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah
upaya menegakkan agama dan mencari ridlo Allah.
Kedua, adanya perimbangan
(balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam
kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia
pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian
agama dan memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama,
bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara
materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah
keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah
masyarakat.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan
kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara
maksimal.. Karena, selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan
wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan
sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Dengan menghilangkan, minimal
membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi
perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang,
tentunya, akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia
pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba
melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang
dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses
pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi
yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan
strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya
yang benar-benar mampu menghadapi tantangan jaman dan peka terhadap lingkungan.
Kumudian, satu faktor lain yang
akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin
(pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam
ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan
kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya
diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya
sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat.
C. Berdirinya madrasah-madrasah
Secara kelembagaan, madrasah
tidaklah hadir pada saat Islam lahir. Madrasah lahir kemudian ketika Islam,
secara politik dan ekonomi, mulai lebih mapan.
Dilihat dari artinya, madrasah
berarti tempat untuk belajar. Madrasah berasal dari (d-r-s), yang berarti
“belajar” atau “mengajar”. Karena mengacu pada pedoman (wazn) kata Arab “maf’al”,
maka dengan tambahan huruf “mim” berarti tempat, sehingga kata madrasah berarti
tempat kegiatan belajar dan mengajar. Asal kata ini, mewakili inti dari
madrasah itu sendiri, yakni kegiatan transformasi keilmuan.
Semasa Rasulullah saw masih hidup
dan era-era berikutnya, perjalanan proses pendidikan belum terorganisir dalam
lembaga pendidikan madrasah, tetapi masih berlangsung di zawiyah-zawiyah
masjid. Madrasah berkembang dari tiga fase pendidikan dalam Islam, yang
pertama, masjid itu sendiri (jami’), yang kedua, adalah bangunan tambahan dari
masjid yang berfungsi sebagai tempat belajar mengajar dan asrama (masjid-khan),
yang ketiga, madrasah dalam arti sebuah lembaga pendidikan.
Pada awal sejarah Islam, kegiatan
keilmuan yang terorganisir dalam bentuk madrasah berasal dari kegiatan majlis
ta’lim di masjid-masjid. Hampir setiap masjid mempunyai seorang pimpinan ilmu
yang di sebut shaikh. Para shaikh inilah yang secara intensif mengajarkan
ilmu-ilmu agama (Qur’an, Hadits, akhlak, fiqih) di antara waktu-waktu shalat di
masjid-masjid.
Kegiatan ini pada mulanya
berlangsung di zawiyah-zawiyah (tempat-tempat khusus di luar ruang utama)
masjid, tetapi lambat laun karena faktor perlunya tempat yang permanen untuk
kegiatan belajar mengajar, maka dibangunlah bangunan-bangunan di luar masjid,
namun masih dalam satu komplek dengan masjid yang dikhususkan untuk kegiatan
belajar mengajar dan juga asrama bagi para murid yang berasal dari luar daerah.
Hal ini mempertegas fungsi masjid (jami’) yang menyatu dengan fungsi pendidikan
(jami’ah) dalam satu komunitas kolektif (jama’ah) dalam pembentukan peradaban
dan kebudayaan Islam.
Selain itu, tempat-tempat yang
disedikan oleh penguasa waktu itu (waqf) juga dipergunakan untuk
bangunan-bangunan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar. Perlu diketahui,
bahwa para penguasa muslim secara umum menaruh perhatian pada kemajuan ilmu dan
pendidikan dengan mengalokasikan banyak dana untuk itu. Pada tahun 859 M,
secara kelembagaan, madrasah pertama kali didirikan oleh Fatimah Al-Fihri,
puteri dari seorang saudagar bernama Muhammad Al-Fihri, di Fez, Maroko, yang
diberi nama Jami’at Al-Qarawiyyin. Sebagaimana, tradisi pendidikan Islam saat
itu, Jami’ah Al-Qarawiyyin (Universitas Al-Qarawiyin) juga berada di dalam
komplek masjid Al-Qarawiyun. Model ini kemudian dikembangkan oleh Jami’ah
Al-Azhar di Mesir 970 M, Jami’ah Nizamiyah di Baghdad 1091, dan Jami’ah
Al-Mustansyiriyah di Baghdad 1233 M. Namun, yang masih bertahan hingga saat ini
hanya Jami’ah al-Azhar. Ilmu yang dipelajari meliputi Al-Qur’an, akidah, fiqih
(hukum Islam), bahasa, sastra, dan etika Islam (akhlak).
Dunia pendidikan Islam yang
tampak menjulang hanya pendidikan tingginya, dengan berbagai universitas yang
lahir dan mewarnai peradaban, se-dangkan pendidikan dasar dan menengah tidak
begitu menonjol. Universitas-universitas yang lahir dari peradaban Islam
merupakan pengembangan dari sistem pendidikan yang lebih rendah, seperti maktab
dan madrasah.
Kalau maktab mengacu pada tahapan
pendidikan dasar dan menengah (elementary dan primary school, TK-SMP),
sedangkan madrasah mengacu pada tahap pendidikan tinggi (high school, SMU-PT).
Secara umum, dalam penggunaan teknis, madrasah dipakai untuk menamakan
“lembaga” yang menjadi wadah bagi kegiatan belajar mengajar, baik paling dasar
sampai tinggi. Penyebutan madrasah di sini mengacu pada konsep awal sejarah
Islam tentang madrasah, bukan madrasah dalam arti yang dipahami sehari-hari
sebagai sekolah agama saja.
D. Madrasah di Era Keemasan Islam
(Abad IX-XV)
Dengan melihat seluruh sejarah
yang terkait dengan perkembangan model pembelajaran dalam tradisi muslim,
konsep madrasah dapat dikelompokkan dalam beberapa penjenjangan. Penjejangan
ini didasarkan pada tingkatan ilmu yang diberikan didasarkan pada usia dan
metode pengajarannya, serta luas dan tidaknya cakupan ilmu yang diajarkan.
Penjenjangan tersebut sebagai
berikut: pertama, Maktab/Kuttab. Merupakan tahap awal dalam sejarah pendidikan
dalam Islam. Tahap pertama dari maktab ini, seorang anak harus mulai belajar
sejak usia 6 tahun. Mata pelajaran yang dipelajari meliputi mata pelajaran
dasar, yakni Al-Qur’an, aqidah, akhlak, bahasa, sastra, dan ketrampilan.
Materi-materi tersebut diberikan sampai anak berusia 14 tahun. Setelah itu,
tahap kedua dari maktab yakni setelah usia 14 tahun, seorang anak belajar
materi-materi spesifik untuk mendukung keahlian tertentu. Hal ini dimaksudkan
untuk mempersiapkan masa depan anak. Pada tahap ini, anak harus memilih
spesialisasi tertentu, apakah sastra, kedokteran, kimia, geometri, ekonomi dan
perdagangan, teknik, dan lain sebagainya.
Mengacu pada Ibn Khaldun, metode
pengajaran (turuq at-ta’lim) yang digunakan adalah talqin (belajar dengan
meresapkan dalam hati) untuk materi Al-Qur’an, akidah, dan akhlak; hifdz
(menghapal) untuk materi-materi Al-Qur’an, Hadits, tafsir, bahasa, dan sastra;
imla’ (mencatat) untuk ilmu-ilmu thabi’iyyah (sains). Sampai abad ke X M,
metode ini berkembang pesat di wilayah-wilayah muslim, seperti di Baghdad,
Cairo, Maroko, Cordoba, Granada, Sevilla, dan Damascus. Setelah era itu, ada
pembaharuan-pembaharuan dalam model pendidikan, terutama ketika Turki Usmani
berkuasa mulai abad XIII M.
Kedua, Madrasah. Model ini muncul
sejak para penguasa muslim atau para saudagar Muslim “menformalkan” kegiatan belajar
mengajar di masjid dengan membangun ruang tambahan yang secara khusus digunakan
untuk kegiatan tersebut. Meskipun kegiatan masih terfokus pada seorang shaikh,
tetapi materi-materi dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Setelah model
madrasah ini muncul, proses pendidikan di dunia muslim berkembang pesat.
Madrasah merupakan bentuk lanjutan dari sistem maktab, yang materi-materinya
tergolong materi “tinggi”, di antaranya seperti filsafat, sejarah, musik,
etika, fisika, biologi, logika, matematika, kimia, kedokteran, astronomi, dan
lain sebagainya.
Di sini telah terjadi penyebaran
antara ilmu yang berbasis teologi dengan ilmu yang berbasis alam dan
masyarakat. Di dalam model madrasah ini, seorang murid harus menfokuskan kajian
pada disiplin ilmu tertentu, meskipun tidak terbatas pada jenis ilmu tertentu.
Artinya, seorang murid bisa saja memelajari berbagai macam ilmu dalam kurun
masa belajarnya. Di samping itu, model belajar yang berkembang juga masih
menginduk pada masjid.
Sampai abad ke XI M, sistem
madrasah menjadi acuan model pendidikan dalam Islam. Sejak Dinasti Ayyubiyah
dan Mamluk di Asia Barat, Seljuk dan Turki Usmani di Asia Tengah, model
madrasah diperkaya dengan model-model baru dalam metode pengajarannya. Di
samping itu, pengembangan madrasah menjadi jami’ah (universitas) juga menjadi
awal dari perubahan metode pendidikan dalam Islam, yang di dalamnya berbagai
macam ilmu diajarkan. Metode utama yang digunakan dalam sistem madrasah dan
jami’ah ini adalah pengkajian berdasarkan riset, yang meliputi tiga unsur
utama, yakni khilaf (pengkajian beberapa gejala dari berbagai perspektif yang
berbeda), jadal (dialektika, diskusi dengan mencari relasi antar peristiwa),
munazarah (diskusi), di samping tiga metode yang digunakan pada tahap awal (talqin,
hifdz, dan imla’).
Ketiga, Jami’ah (universitas).
Universitas yang tumbuh dalam sejarah Islam tidak bisa dipisahkan dari sejarah
madarasah itu sendiri. Karena di samping model madrasah yang berkembang, model
universitas juga muncul sejalan dengan banyaknya wilayah kajian Islam. Ibn
Khaldun membedakan wilayah kajian Islam dalam dua kategori besar, yakni ilmu
yang didasarkan pada interpretasi yang bersifat spekulatif (al-ilm al-naqliyah)
dan ilmu yang didasarkan pada pengamatan (al-ilm al-aqliyah). Kelompok ilmu
yang pertama lebih mengandalkan pemikiran atas nas-nas yang tercantum dalam
Al-Qur’an atau Hadits seperti tafsir, kalam, fikih, dan sebagainya. Adapun
kelompok kedua lebih menonjolkan pengamatan yang visible, seperti logika,
matematika, aritmatika, geografi, kimia dan turunannya, biologi dan turunannya,
fisika dan turunannya, dan sebagainya. Semua kelompok ilmu ini berkembang dan
dipelajari dalam madrasah.
Karena jenis ilmu yang demikian
beragam dan banyak, maka dibangun tempat-tempat yang secara spesifik mengkaji
tentang berbagai disiplin ilmu itu dalam sebuah lembaga yang relatif lebih
kompleks dari madrasah, meskipun masih dalam konteks madrsah pula. Lembaga itu
kemudian dikenal dengan al-jami’ah (universitas) yang didasarkan atas banyaknya
disiplin ilmu yang dikaji.
Pada abad X, pengembangan
madrasah yang paling prestisius adalah Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir,
yang diikuti oleh Universitas Nizamiyah di Baghdad abad XII, dan Universitas
Al-Mustansiriyah juga di Baghdad, serta Universitas Nizamiyah di Naisabur,
kemudian menyusul Universitas Cordoba, Seville, Granada dan berbagai
universitas yang lahir di Spanyol. Untuk keperluan riset, sejarah umat Islam
telah melahirkan berbagai perpustakaan dan laboratorium, seperti Dar Al-‘Ilmi
di Mesir dan Dar Al-Hikmah di Baghdad, Perpustakaan Iskandariyah di Mesir, dan
sebagainya. Tidak mengherankan jika pada era itu lahirl ilmuwan-ilmuwan genius
dari umat muslim yang telah mencetak peradaban besar dunia.
E. Pendidikan wanita
Pengenaan ketat kode moral publik
terhadap perempuan adalah indikator lain dari transformasi pendidikan Islam ke
dalam pendidikan agama; wanita dilarang untuk menghadiri tempat-tempat belajar
seperti gila ā ris (jamak madrasah) dan masjid-masjid meskipun wanita
ditransmisikan secara formal dan informal yang budaya untuk anak-anak mereka
serta anak-anak lain dan untuk laki-laki dan perempuan di dalam dan di luar
rumah pada awal dan pramodern masyarakat Muslim, dan mereka masih sampai batas
tertentu. (Iqnácz Goldziher, "Pendidikan [Muslim], " dalam The
Encyclopedia of Religion and Ethics, vol. 5, 1960, hlm. 199-207.) Muslim anak
laki-laki dan perempuan yang diajarkan di rumah dan dihadiri Kuttab formal (SD
sekolah-sekolah agama); bahkan anak-anak belajar di ā ris marah ketika mereka pertama
kali didirikan. Tidak ada catatan sejarah menyebutkan perempuan sebagai alimāt
berpengetahuan di cabang-cabang ilmu-ilmu Al-Quran seperti tafsir, kalam
(filsafat Islam / teologi), dan fiqh, khususnya setelah resmi pendidikan tinggi
di madrasah, meskipun Shalaby (1979) mencatat bahwa banyak perempuan telah
dibentuk atau lembaga-lembaga seperti itu diberkahi. Selain itu, banyak
sumber-sumber muslim primer (seperti al-Suyuti [w. 1505] dan lain-lain
terdaftar oleh Goldziher, Nasr, dan Shalaby) melaporkan bahwa hingga abad
kelima belas, ada wanita yang luar biasa yang hafal dan meriwayatkan hadis,
penghasilan mereka judul dari muhaddithāt (periwayat perempuan) di antara
murid-murid mereka; ada orang lain yang terkenal di sufi. Namun, seperti yang
dinyatakan sebelumnya, bahkan kualifikasi ini tidak membantu perempuan,
termasuk sahabat wanita Madinah awal, menjadi peserta dalam masyarakat proses
pengambilan keputusan atau dalam pengembangan pemikiran Islam (Barazangi,
2004).
Serangan pada budaya Islam sebagai
"penindas perempuan" Tentara Salib Eropa, orientalis, dan pemerintah
kolonial, dikombinasikan dengan pembedaan antara domain pribadi dan umum,
menyebabkan pemimpin Muslim pramodern melupakan esensi pendidikan Islam,
khususnya dalam sektor informal, dan mengambil sikap ekstrem dengan
mengorbankan kebangkitan Islam tradisional. Di anak benua India, misalnya,
sebagian besar gadis menghadiriKuttab Al-Quran tidak hanya ditolak kesempatan
untuk melanjutkan pendidikan agama mereka setelah mereka mencapai pubertas
namun jarang diperintahkan oleh keluarga mereka, seperti praktek di kalangan
keluarga muslim belajar sebelum penjajahan Inggris dan interaksi dengan praktik
pendidikan Barat. Gerakan untuk menghidupkan kembali Islam tradisional yang
sebagian besar dipimpin oleh laki-laki, mulai dengan orang-orang dari abad
kedelapan belas gerakan puritan Wahhabi, juga menyebarkan pandangan bahwa
perempuan membutuhkan jenis pendidikan yang berbeda karena perhatian utama
mereka adalah rumah. Meskipun pendaftaran di kuttābs mereka di masa lalu,
misalnya, gadis-gadis Saudi tidak diperbolehkan untuk mendaftar di
lembaga-lembaga keagamaan pendidikan tinggi seperti Umm al-Qura di Mekah sampai
tahun 1970 dan 1971, ketika hanya delapan puluh wanita dibandingkan dengan
lebih dari dua ribu orang diakui (Saad al-Salem, 1981). "Reformis"
seperti Mesir Muhammad Abduh (1845-1905) menekankan cita-cita Islam perempuan
mempunyai status yang lebih tinggi dalam Islam dan kewajiban laki-laki dan
perempuan untuk mencari pengetahuan, namun, dalam praktiknya, mereka tidak
mengenali perempuan mempunyai hak untuk mengakses pengetahuan mendalam tentang
Quran sebagai kunci perkembangan intelektual Islam.
Revivalis, seperti Sayyid Quthb
(1906-1966) dan Sayyid Abu al-Ala Maududi (1903-1979), walaupun berusaha untuk
mengembalikan pendidikan Islam di pasca Perang Dunia II negara-bangsa,
menggunakan pemikiran tradisional tentang wanita pendidikan dan telah
menegaskan bahwa perempuan secara "alami" disposisi adalah untuk
menularkan budaya kepada generasi berikutnya (baik laki-laki dan perempuan),
tetapi mereka tidak merestrukturisasi praktek-praktek tradisional mengajar
Islam untuk memungkinkan transmisi ini. Tujuan utama pendidikan wanita di era
Muhammad Quthb (1961-1981) kurikulum adalah untuk mempersiapkan mereka untuk
aspek-aspek emosional biologis dan peran mereka sebagai ibu dan ibu rumah
tangga. Tujuan seperti itu lebih bingung dan terpinggirkan oleh pendidikan
perempuan dalam Islam. Neotraditionalists adalah reemphasizing tujuan ini dalam
menghadapi globalisasi, tetapi gagal untuk mendengarkan suara perempuan
terbebaskan dari dalam Islam.
Pasca-1969 "Islamisasi"
gerakan membungkuk ke arah politik Islam dan memiliki implikasi bagi para
perempuan Islam dan pendidikan agama. Berlawanan dengan Islamizationists
'tradisi intelektual, yang berpuncak pada Ismail Raji Al-Faruqi's (1921-1986)
konsep "Islamisasi Pengetahuan, " para pendukung gerakan ini
menekankan moralitas, yang dianggap mereka dibayangi tujuan: untuk
merestrukturisasi sistem sekuler pendidikan tinggi untuk menangani kebutuhan
agama dan budaya masyarakat Muslim sebagai bagian dari strategi pembangunan
baru. Malay pemerintah Indonesia dan kebijakan pembangunan yang melibatkan
semua segmen penduduk dalam pendidikan dan pelatihan, yang dilaporkan oleh
Ahmat dan Siddique (1987), tampaknya menjadi langkah pertama menuju ʾ s
mengakui peran perempuan dalam pembangunan sosial. Penekanan pada moralitas,
bagaimanapun, terutama ketika perempuan menjadi bagian dari madrasah malay
1970-an dan 1980-an, menyebabkan pendidikan agama untuk mengambil bentuk dogma
moral. Sistem pesantren di Indonesia, yang didirikan di daerah pedesaan pada
awal abad kesembilan belas dan menyebar ke pembangunan perkotaan pada 1970-an
dan 1980-an, mempertahankan suatu sistem yang terintegrasi, dan perempuan
Indonesia, tidak seperti yang ada di negara Islam lainnya, menempati berbagai
agama -peran kepemimpinan. Armijo (2007) juga menunjukkan bahwa dalam
"barat daya Cina, kaum perempuan Muslim pada umumnya mengambil bagian
dalam doa komunal di masjid-masjid, " sementara "di Cina Tengah, ada
tradisi berabad-abad perempuan yang terpisah memiliki masjid-masjid mereka
sendiri. " Armijo menambahkan, " tidak hanya ada sejarah panjang imam
perempuan di wilayah ini. .. perempuan mempunyai keterlibatan aktif baik dalam
pendidikan Islam dan kepemimpinan agama. "Masjid harus dipahami
sebagai" multi-tujuan membangun: sebuah tempat untuk ibadah, pertemuan
politik, untuk negosiasi dan penilaian, untuk doa pribadi dan untuk pelajaran
agama dan belajar "(Küng, 2007), dalam rangka untuk menghargai pentingnya
bagi perempuan sebagai pembangunan identitas Islam, apalagi untuk anak-anak
Islam dalam character building.
Neo-tradisionalis telah berusaha
untuk "membebaskan Islam dari budaya Barat kolonialisme" pada tahun
1980 dan telah memberikan pendidikan perempuan bentuk kadang-kadang disebut
"terbalik feminisme, " dipisahkan menekankan pendidikan untuk peran
yang berbeda namun tidak setara. Tren ini tengah menjamur di Amerika Utara dan
Eropa Barat negara, di mana laki-laki muslim satu-seks menuntut sekolah dan,
dalam pribadi mereka "Islam / Islam" sekolah, yang memisahkan
anak-anak dari kelas pertama dan seterusnya. Kurikulum di sekolah-sekolah ini
sama seperti yang di sekolah-sekolah umum kecuali bahwa kursus mengenai agama
dan bahasa Arab dimasukkan (Barazangi, 1998). Gerakan yang sama pemisahan
pendidikan mengambil terus kuat di Pakistan dan Afghanistan pada akhir abad
kedua puluh sampai pembatasan perempuan dari lembaga pendidikan apapun.
No comments:
Post a Comment