BAB VII
PENGGUNAAN MEDIA PENDIDIKAN DI KELAS BERBASIS AL QUR’AN
Perkembangan Islam dengan budaya tinggi mampu menyebar ke
seluruh penjuru dunia ini bukan hanya terpilihnya Muhammad sang arif, Al Amin
dan berbagai gelar atas karekter beliau, namun Islam berkembang dengan budaya
yang tinggi tersebut dikarenakan dukungan mediasi hidup dalam melaksanakan
dakwah Islamiah.
Kalau masa sebelumnya pendidikan hanya sebagai jawaban
dan termasuk hasil akulturasi terhadap tantangan dari pola parade budaya yang
telah berkembang dari bangsa-bangsa yang baru memeluk agama Islam, tetapi
sekarang harus merupakan jawaban terhadap tantangan perkembangan dan kemajuan
kebudayaan Islam sendiri yang berjalan demikian pesat. Pesatnya kebudayaan
telah sehingga mengungguli dan bahkan menjadi puncak budaya umat manusia pada
zamannya. Kebudayaan Islam pada masa jayanya ini, bukan saja mendatangkan
kesejahteraan bagi kaum muslimin saja, tetapi juga mendatangkan kesejahteraan
bagi umat manusia pada umumnya.
Dalam perkembangan kebudayaan Islam selanjutnya, nampak
adanya dua faktor yang saling mempengaruhi, yaitu faktor intern atau pembawaan dari ajaran Islam itu sendiri, dan faktor ekstern, yaitu berupa rangsangan
dan tantangan dari luar. Tetapi sebenarnya pengaruh dari luar tersebut, hanyalah
berupa sekedar sebagai rangsangan, tantangan dan reaksi saja, agar potensi
pembawaan dari ajaran Islam itu sendiri bisa tumbuh dan berkembang. yang paling
menentukan adalah jiwa dan semangat kaum muslimin. Terutama para ahlinya dalam
penghayatan dan pengamalan ajaran Islam sebagaimana terangkum dalam AI-Qur’an.
Ayat-ayat Al-Qur’an kalau dihayati dan dilaksanakan
sesuai dengan jiwa dan semangatnya berdasarkan fitrah manusia memang akan
menghasilkan perkembangan budaya yang tinggi yang mengarah kepada rahmatan lil’älamin, Tetapi manakala
umat Islam telah kehilangan semangat dan jiwa Al-Quran dan sudah tidak
memperhatikan atau mengabaikan penghayatan dan pengamalannya secara benar, akan
berhenti dan mandeglah perkembangan Islam sebagaimana yang nampak pada masa
kemunduran kebudayaan Islam. (Dra. Zuhairini, 1997: 88-89)
A. Pengertian, Fungsi dan Karekteristik Media Pembelajaran.
Kata media berasal dari
bahasa Latin yang adalah bentuk jamak dari medium batasan mengenai pengertian
media sangat luas, namun kita membatasi pada media pendidikan saja yakni media
yang digunakan sebagai alat dan bahan kegiatan pembelajaran.
Media adalah sebuah alat
yang mempunyai fungsi menyampaikan pesan (Bovee, 1997). Media pembelajaran
adalah sebuah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan pembelajaran.
Pembelajaran adalah sebuah proses komunikasi antara pembelajar, pengajar
melalui bahan ajar. Komunikasi tidak akan berjalan tanpa bantuan sarana
penyampai pesan atau media.
Proses belajar mengajar
hakekatnya adalah proses komunikasi, penyampaian pesan dari pengantar ke
penerima. Pesan berupa isi/ajaran yang dituangkan ke dalam simbol-simbol
komunikasi baik verbal (kata-kata & tulisan) maupun non-verbal, proses ini
dinamakan encoding. Penafsiran
simbol-simbol komunikasi tersebut oleh siswa dinamakan decoding.
Penafsiran (decoding) ada kalanya berhasil,
adakalanya juga mengalami kegagalan. Kegagalan/ ketidakberhasilan (barriers atau noise) dalam memahami apa
yang didengar, dibaca, dilihat atau diamati. Semakin banyak verbalisme dalam encoding semakin abstrak pemahaman yang
diterima oleh siswa dalam kegiatan belajar mengajar.
Fungsi media
pembelajaran adalah meningkatkan motivasi pembelajar dan tujuan penggunaan
media memberikan motivasi kepada pembelajar. Selain itu media juga harus
merangsang pembelajar mengingat apa yang sudah dipelajari selain memberikan
rangsangan belajar baru. Media yang baik juga akan mengaktifkan pembelajar
dalam memberikan tanggapan, umpan balik dan juga mendorong siswa untuk
melakukan praktek-praktek dengan benar.
Ada beberapa kriteria
untuk menilai keefektifan sebuah media. Hubbard mengusulkan sembilan kriteria
untuk menilainya (Hubbard, 1983). Biaya, Fasilitas, Kelas, keringkasan,
kemampuan untuk dirubah, waktu dan tenaga penyiapan, pengaruh yang ditimbulkan,
kerumitan dan yang terakhir adalah kegunaan. Semakin banyak tujuan pembelajaran
yang bisa dibantu dengan sebuah media semakin baiklah media itu.
Kriteria di atas lebih
diperuntukkan bagi media konvensional. Thorn mengajukan enam kriteria untuk menilai
multimedia interaktif (Thorn, 1995). Kriteria penilaian yang pertama adalah
kemudahan navigasi. Sebuah program harus dirancang sesederhana mungkin.
Kriteria yang kedua adalah kandungan kognisi, kriteria yang lainnya adalah
pengetahuan dan presentasi informasi. Kedua kriteria ini adalah untuk menilai
isi dari program itu sendiri, apakah program telah memenuhi kebutuhan
pembelajaran si pembelajar atau belum. Kriteria keempat adalah integrasi media
di mana media harus mengintegrasikan aspek dan ketrampilan yang harus
dipelajari. Untuk menarik minat pembelajar program harus mempunyai tampilan
yang artistik maka estetika juga merupakan sebuah kriteria. Kriteria penilaian
yang terakhir adalah fungsi secara keseluruhan. Program yang dikembangkan harus
memberikan pembelajaran yang diinginkan oleh pembelajar. Sehingga pada waktu
seorang selesai menjalankan sebuah program dia akan merasa telah belajar
sesuatu.
Secara umum media mempunyai fungsi:
1.
memperjelas pesan agar
tidak terlalu verbalistis.
2.
mengatasi keterbatasan
ruang, waktu tenaga dan daya indra.
3.
menimbulkan gairah
belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar.
4.
memungkinkan anak
belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori &
kinestetiknya.
5.
memberi rangsangan yang
sama, mempersama-kan pengalaman & menimbulkan persepsi yang sama.
Selain itu, kontribusi
media pembelajaran menurut Kemp and Dayton, 1985:
1.
Penyampaian pesan
pembelajaran dapat lebih terstandar
2.
Pembelajaran dapat lebih
menarik
3.
Pembelajaran menjadi
lebih interaktif dengan menerapkan teori belajar
4.
Waktu pelaksanaan
pembelajaran dapat diperpendek
5.
Kualitas pembelajaran
dapat ditingkatkan
6.
Proses pembelajaran
dapat berlangsung kapanpun dan dimanapun diperlukan
7.
Sikap positif siswa
terhadap materi pembelajaran serta proses pembelajaran dapat ditingkatkan
8.
Peran guru berubahan
kearah yang positif
Karakteristik dan
kemampuan masing-masing media perlu diperhatikan oleh guru agar mereka dapat
memilih media mana yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Sebagai contoh
media kaset audio, merupakan media auditif yang mengajarkan topik-topik
pembelajaran yang bersifat verbal seperti pengucapan (pronounciation) bahasa
asing. Untuk pengajaran bahasa asing media ini tergolong tepat karena bila
secara langsung diberikan tanpa media sering terjadi ketidaktepatan yang akurat
dalam pengucapan pengulangan dan sebagainya. Pembuatan media kaset audio ini
termasuk mudah, hanya membutuhkan alat perekam dan narasumber yang dapat
berbahasa asing, sementara itu pemanfaatannya menggunakan alat yang sama pula.
B. Prinsip Pengembangan Media Pendidikan
Semakin sadarnya orang
akan pentingnya media yang membantu pembelajaran sudah mulai dirasakan.
Pengelolaan alat bantu pembelajaran sudah sangat dibutuhkan. Bahkan pertumbuhan
ini bersifat gradual. Metamorfosis dari perpustakaan yang menekankan pada
penyediaan media cetak, menjadi penyediaan-permintaan dan pemberian layanan
secara multi-sensori dari beragamnya kemampuan individu untuk menyerap
informasi, menjadikan pelayanan yang diberikan mutlak wajib bervariatif dan
secara luas. Selain itu, dengan semakin meluasnya kemajuan di bidang komunikasi
dan teknologi, serta diketemukannya dinamika proses belajar, maka pelaksanaan
kegiatan pendidikan dan pengajaran semakin menuntut dan memperoleh media
pendidikan yang bervariasi secara luas pula.
Karena memang belajar
adalah proses internal dalam diri manusia maka guru bukanlah merupakan
satu-satunya sumber belajar, namun merupakan salah satu komponen dari sumber
belajar yang disebut orang. AECT (Associationfor
Educational Communication and Technology) membedakan enam jenis sumber
belajar yang dapat digunakan dalam proses belajar, yaitu:
1.
Pesan; didalamnya
mencakup kurikulum (GBPP) dan mata pelajaran.
2.
Orang; didalamnya
mencakup guru, orang tua, tenaga ahli, dan sebagainya.
3.
Bahan; merupakan suatu
format yang digunakan untuk menyimpan pesan pembelajaran, seperti buku paket,
buku teks, modul, program video, film, OHT (over head transparency), program
slide,alat peraga dan sebagainya (biasa disebut software).
4.
Alat; yang dimaksud di
sini adalah sarana (piranti, hardware) untuk menyajikan bahan pada butir 3 di
atas. Di dalamnya mencakup proyektor OHP, slide, film tape recorder, dan
sebagainya.
5.
Teknik; yang dimaksud
adalah cara (prosedur) yang digunakan orang dalam memberikan pembelajaran guna
tercapai tujuan pembelajaran. Di dalamnya mencakup ceramah, permainan
/simulasi, tanya jawab, sosiodrama (roleplay), dan sebagainya.
6.
Latar (setting) atau
lingkungan; termasuk didalamnya adalah pengaturan ruang, pencahayaan, dan
sebagainya.
C.
Media Pembelajaran Dalam
Perjanjian Lama dan yang Digunakan oleh Yesus.
Tuhan tidak hanya
menggunakan media visual seperti mujizat, namun juga menempatkan alat-alat lain
yang lebih abadi di tengah-tengah bangsa Israel. Contohnya, Dia menobatkan para
nazir Allah sebagai pengingat visual akan tujuan dan fungsi khusus bangsa
Israel di dunia. Para nazir Allah itu dipilih secara sukarela dengan masa tugas
meliputi jangka waktu, mulai tiga puluh hari sampai seumur hidup. Dalam jangka
waktu itu, para nazir Allah harus bebas dari minuman anggur, buah anggur, dan
minuman-minuman yang memabukkan. Mereka tidak boleh memotong rambut atau
menyentuh orang mati. Maksud dari janji itu, yang ditetapkan Allah, adalah
untuk menanggalkan keduniawian dan mengkhususkan diri bagi Allah. Para pria dan
wanita yang memegang nazar itu adalah pengingat yang dapat dilihat oleh seluruh
bangsa Israel, bahwa mengkhususkan diri bagi Allah adalah suatu keharusan jika
Israel hendak menggenapi takdirnya di dunia.
Sedangkan Analisa Injil
yang teliti menyatakan bahwa Yesus secara bebas menggunakan media visual untuk
membuat ilustrasi dan menguatkan pesan yang diberikan Allah kepada-Nya. "Lihatlah burung di udara," perintah-Nya,
dengan menunjuk burung-burung yang terbang di atas kepala ketika Ia ingin
menekankan bahwa kecemasan adalah sia-sia. "Perhatikanlah
bunga-bunga bakung yang tumbuh di padang," tambah-Nya untuk menekankan
konsep yang sama (Matius 6:26,28).
Perumpamaan yang
digunakan kebanyakan mengambil gambaran kehidupan sehari-hari, yang digunakan
untuk menyampaikan kebenaran yang abstrak. "Seorang
penabur keluar untuk menabur," Ia memulai dengan memberikan ilustrasi
yang memungkinkan untuk diresponi. Penabur dan biji adalah hal yang umum,
sesuatu yang dimengerti oleh semua yang mendengarkan-Nya. Di saat yang lain, Ia
memulai dengan, "Hal Kerajaan Sorga
itu seumpama orang yang menaburkan benih yang baik di ladangnya," (Matius 13:24-30;
lihat juga Matius 13:31-33)
dan mengajar mereka kenyataan tentang kebaikan dan kejahatan yang tetap ada di
dunia sampai hari penghakiman. Dalam setiap perumpamaan, Dia membangun
pemahaman sifat kerajaan Allah.
Yesus menggambarkan
kasih Bapa dalam perumpamaan lainnya. "Bagaimana
pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba dan seekor di antaranya
sesat, tidakkah ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di
pegunungan dan pergi mencari yang sesat itu?" (Matius 18:12-14;
lihat juga Lukas 15:4-7).
Karena tahu bahwa mereka adalah gembala dan domba, pendengar-Nya segera
membayangkan seekor domba yang tidak patuh yang sedang dicari oleh gembalanya
yang baik, dan mereka menangkap pandangan tentang Tuhan. Dia memberikan
ilustrasi tentang kebenaran yang sama dengan menceritakan seorang wanita yang
dengan cermat mencari uangnya yang hilang dan juga seorang ayah yang dengan
sabar menunggu anaknya yang memberontak (Lukas 15:8-32).
Perjamuan Allah dimulai
oleh Yesus sebagai penanda visual pengorbanan-Nya untuk semua dosa manusia. "Ambillah dan makanlah; inilah
tubuh-Ku," perintah Yesus ketika memberikan roti perjamuan kepada
murid-murid-Nya. "Minumlah, kamu
semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang
ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa," kata-Nya sambil
mengambil cawan Perjamuan Terakhir (Matius 26:26-29;
Lukas 22:15-20;
dan 1Korintus 10:16).
Sampai saat ini perjamuan menandakan penderitaan dan kematian Yesus bagi semua
orang yang percaya.
Setiap orang yang ingin
menghabiskan waktunya dengan membaca Alkitab dapat menemukan lebih banyak lagi
contoh-contoh visual yang digunakan Yesus dalam mengajar. yang disebutkan di
atas hanyalah sedikit contoh dari begitu banyaknya alat mengajar yang
digunakan- Nya untuk menyampaikan ide-ide yang abstrak (Introduction to
Christian Education, 1980, 162-165)
D. Media Pembelajaran dalam Al Qur’an dan as Sunnah
Kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen,
yaitu siswa sebagai peserta didik, guru (pendidik), tujuan pembelajaran, isi
pelajaran, metode mengajar, media dan evaluasi. Al Qur’an adalah suatu petunjuk
dan penjelasan tentang petunjuk termasuk mediasi dalam menjelaskan media
tersebut melalui as Sunnah.
“Bulan Ramadan, yang didalamnya
diturunkan (permulaan) al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan
penjelasan-penjelasan tentang petunjuk itu, dn pembeda (antara yang hak dan
yang bathil)” (Al baqarah: 185)
Tujuan pembelajaran adalah perubahan prilaku yang positif
dari peserta didik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran, seperti: perubahan
yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku yang dapat diamati
melalui indera orang lain baik tutur katanya, motorik dan gaya hidupnya.
Tujuan pembelajaran diatas tidak akan tercapai secara
signifikan jika tidak ada petunjuk berikut penjelasannya untuk mencapai tujuan
pembelajaran tersebut, dengan menggunakan petunjuk tersebut, maka pendidikan
islam layak disebut pendidikan konservatif atau pendidikan yang mendalam.
Pendidikan yang mendalam menuntut para pengajar untuk
menguasai pengetahuan mengenai suatu bidang studi secara menyeluruh. Guru
bahasa Inggris, umpamanya, harus mengenal tata bahasa luar-dalam, dan jangan
membuang waktu dengan mengajarkan omong-kosong, seperti; 'bagaimana berbahasa Inggris supaya kamu disukai teman-temanmu'.
Guru-guru harus ketat disiplinnya. Jangan lagi menghamburkan kertas-kertas
ulangan yang diberi nilai A atau 10 padahal disesaki kata-kata yang ejaannya
kacau dan susunannya pun tidak karuan, sedangkan sang guru bahkan tidak
melingkari apa yang salah dengan pensil supaya si anak tahu di mana salahnya,
padahal untuk menunjukkan kesalahan si anak tersebut adalah sebuah media
pembelajaran.
Media pembelajaran dalam al Qur’an dan as Sunnah adalah
media qur’ani yang hidup dengan unsur penyampaian: pertama media kebenaran, pembelajaran
diberikan dengan benar oleh guru yang benar (dengan keikhlasan yang tinggi
hanya pengharapan ridla) dan yang disampaikan itu efektif mengenai kesadaran
yang tinggi tentang kebenaran akan membuka berbagai perspektif penguasaan siswa
yang sebanding dengan upaya yang dilakukan oleh para guru;
Kedua, unsur penyampaian efektifitas Al Qur’an adalah media
pembelajaran yang menggunakan efektifitas khususnya efektifitas waktu dalam
menghubungkan realitas dengan waktu purba (Azali) penciptaan dan karena mediasi
itu sendiri memulai suatu waktu yang istimewa: seperti waktu pewahyuan,
kenabian Muhammad dan para sahabat yang solih;
Ketiga, sepontan, Al Qur’an sebagai media itu merupakan pancaran
terus menerus dari kepastian-kepastian yang tidak bersandarkan pada pembuktian,
melainkan pada keseuaian yang mendasar dengan semangat-semangat yang permanen
dalam kepekaan manusia;
Keempat, media simbol, bisa dilihat dari simbol surga sebagai “surga tuhan yang penuh dengan
bidadari-bidadari yang merangsang birahi dan di situ mengalir sungai-sungai
anggur dan madu”. dengan suatu bangunan simbol luas, Al-Qur’an membanjiri
hati nurani manusia. Hingga hari ini bangunan simbol luas itu tak
henti-hentinya memberikan ilham kepada orang-orang beriman untuk berpikir dan
bertindak. Dalam Al-Qur’an unsur-unsur media simbolis itu adalah: a) “simbolisme kesadaran akan kesalahan” yang
oleh refleksi teologi, yuridis dan moral akan disederhanakan dalam peraturan
formal dan kaku ; b) “simbolisme
cakrawala eskatologis” yang menugasi sejarah dengan satu makna, yakni
pengarahan dan pemaknaan. Orang-orang masuk Islam, dengan demikian, mendapatkan
dirinya termasuk dalam Sejarah Sakral dari umat Tuhan; sebagai agen-agen
ungkapan terakhir Kehendak Sakral—Muhammad telah menutup dengan pasti rangkaian
para Rasul—mereka menjadi umat terpilih yang mesti menunjukkan cakrawala
keselamatan kepada orang-orang lain; c) ”simbolisme
umat” yang menerjemahkan apa yang telah lalu dan menerima proyeksi sejarah
konkret di Madinah pada tahun 1H/622 M.; d)”simbolisme
hidup dan mati”.
Simbolisme-simbolisme yang berbeda-beda di atas ini
saling mengisi, saling memperkuat untuk membangun suatu visi dari pembelajaran
yang benar, yakni suatu visi fungsional yang disesuaikan secara sempurna dengan
pencarian keselamatan. Untuk sekadar mengambil contoh, simbolisme menyangkut
kesadaran akan kejahatan tampak misalnya pada surat Al-Fatihah dalam ungkapan iyyaka na’budu..., sirat mustaqim, magdlubi
alaihim, dlaallin dan lain-lain. Maka, dalam Islam khususnya, visi
imajinatif transhistoris akan mengalahkan visi metavisis yang merasionalkan.
Analisis simbolis
ini memungkinkan media performatif atau media yang mempunyai kekuatan kreatif (force effectuante). Ciri performatif
ini, yang memang merupakan ciri yang paling mencolok dalam bahasa keagamaan,
juga berlaku pada Al-Qur’an. Baginya, “wacana” performatif” adalah “parole yang
‘mengatakan’ apa yang saya buat dan pada waktu yang bersamaan merupakan parole
yang membuat saya menyempurnakan atau menyelesaikan tindakan saya”. Dengan
demikian, wacana performatif bukanlah wacana tentang “tindakan”, melainkan
wacana yang diucapkan bersamaan dengan dilakukannya “tindakan”. Segi
performatif inilah yang memungkin Al-Qur’an menjadi parole bagi siapa saja yang
mengujarkannya sebagaimana ia dulu menjadi parole nabi Muhammad SAW. Ketika
kita membaca “ar rahman ar rahim, misalnya, kita tidak hanya mengatakan-- atau
membuat konstatasi tentang--suatu tindakan, melainkan juga sedang menciptakan
tindakan, entah itu pengharapan (mohon pengampunan dari ar rahman ar rahim),
pengakuan, penyerahan diri, permintaan kepada-Nya dan seterusnya.
Dari uraian diata sebut satu contoh saja ayat dalam Al
Qur'an jika kita memahami maknanya, jika kita tidak bisa membaca Al Qur’an atau
terjemahannya saja maka kita akan mendapati bahwa tidak ada satu ayat pun yang
tidak berkesan hidup, seluruh ayat Al Qur’an merupakan media hidup dalam segi
pembacaan, pemaknaan, penceritaan, perumpamaan dan sebagainya.
E. Media Pembelajaran Mutakhir (E-learning)
Guru dalam kegiatan belajar berbasis al Qur’an adalah
guru yang senantiasa menimba ilmu karena selalu menyadari kekurangan dan
kebodohannya, oleh karenanya dengan berkembangnya media pembelajaran baru tidak
ada alasan sedikitpun guru untuk tidak belajar, menguasai pengoperasian
komputer dan internet adalah sebuah keniscayaan bagi guru sekarang, jika tidak
ingin ketinggalan kualitas.
Media
pembelajaran baru tersebut adalah media pembelajaran E-learning. E-learning
adalah media pembelajaran paling mutakhir yang digunakan oleh banyak lembaga
pendidikan baik dalam maupun luar negeri, ada banyak alternatif yang bisa
dicoba untuk meningkatkan pengetahuan, memperluas wawasan, dan menggali
keterampilan baru tanpa harus meninggalkan pekerjaan yang sekarang sedang
ditekuni, salah satu opsi yang bisa dicoba adalah e-learning.
Menurut
Allan J. Henderson, e-learning adalah
pembelajaran jarak jauh yang menggunakan teknologi komputer, atau biasanya
Internet. Henderson menambahkan juga bahwa e-learning
memungkinkan pembelajar untuk belajar melalui komputer di tempat mereka
masing-masing tanpa harus secara fisik pergi mengikuti pelajaran di kelas.
William Horton menjelaskan bahwa e-learning
merupakan pembelajaran berbasis web (yang bisa diakses dari Internet). E-learning memungkinkan pembelajar untuk
menimba ilmu tanpa harus secara fisik menghadiri kelas. Pembelajar bisa saja
berada di Jakarta, sementara “instruktur”
dan pelajaran yang diikuti berada di kota lain bahkan di negara lain.
Namun, interaksi masih bisa dijalankan secara langsung ataupun dengan jeda
waktu beberapa saat. Dengan cara ini, pembelajar bisa mengatur sendiri waktu
belajar, dan tempat ia mengakses ilmu yang dipelajari dengan menggunakan media
elektronik yang terhubung dengan Internet (world
wide web yang menghubungkan semua unit komputer di seluruh dunia yang terkoneksi
dengan Internet) dan Intranet (jaringan yang bisa menghubungkan semua unit
komputer dalam sebuah perusahaan/lembaga).
Dengan
cara ini, jumlah pembelajar yang bisa ikut berpartisipasi bisa jauh lebih besar
dari pada cara belajar secara konvensional di ruang kelas (jumlah siswa tidak
terbatas pada besarnya ruang kelas). Teknologi ini juga memungkinkan
penyampaian pelajaran dengan kualitas yang relatif lebih standar dari pada
pembelajaran di kelas yang tergantung pada “mood”
dan kondisi fisik dari instruktur.
Dalam
e-learning, modul-modul yang sama
(informasi, penampilan, dan kualitas pembelajaran) bisa diakses dalam bentuk
yang sama oleh semua siswa yang mengaksesnya, sedangkan dalam pembelajaran
konvensional di kelas, karena alasan kesehatan atau masalah pribadi, satu
instruktur pun bisa memberikan pelajaran di beberapa kelas dengan kualitas yang
berbeda.
E-learning dalam arti luas bisa mencakup
pembelajaran yang dilakukan di media elektronik (internet) baik secara formal
maupun informal. E-learning secara formal, misalnya adalah pembelajaran dengan
kurikulum, silabus, mata pelajaran dan tes yang telah diatur dan disusun
berdasarkan jadwal yang telah disepakati pihak-pihak terkait (pengelola
e-learning dan pembelajar sendiri). Pembelajaran seperti ini biasanya tingkat
interaksinya tinggi dan diwajibkan oleh perusahaan pada karyawannya, atau
pembelajaran jarak jauh yang dikelola oleh universitas dan
perusahaan-perusahaan (biasanya perusahan konsultan) yang memang bergerak di
bidang penyediaan jasa e-learning untuk umum.
E-learning
bisa juga dilakukan secara informal dengan interaksi yang lebih sederhana,
misalnya melalui sarana mailing list, e-newsletter atau website pribadi,
organisasi dan perusahaan yang ingin mensosialisasikan jasa, program, pengetahuan
atau keterampilan tertentu pada masyarakat luas (biasanya tanpa memungut
biaya).
Pembelajaran
yang di tunjang oleh para ahli di bidang masing-masing. Walaupun sepertinya
e-learning diberikan melalui komputer (yang adalah benda mati), e-learning
ternyata disiapkan, ditunjang, dikelola dan “dihidupkan” oleh tim yang terdiri
dari para ahli di bidang masing-masing, yaitu: Subject Matter Expert (SME),
Instructional Designer (ID), Graphic Designer (GD) dan para ahli di bidang
Learning Management System (LMS). SME merupakan nara sumber dari pelatihan yang
disampaikan. ID bertugas untuk secara sistematis mendesain materi dari SME
menjadi materi e-learning dengan memasukkan unsur metode pengajaran agar materi
menjadi lebih interaktif, lebih mudah dan lebih menarik untuk dipelajari. GD
mengubah materi text menjadi bentuk grafis dengan gambar, warna, dan layout
yang enak dipandang, efektif dan menarik untuk dipelajari. Para ahli di bidang
LMS mengelola sistem di website yang mengatur lalu lintas interaksi antara instruktur
dengan siswa, antarsiswa dengan siswa lainnya. Di sini, pembelajar bisa melihat
modul-modul yang ditawarkan, bisa mengambil tugas-tugas dan test-test yang
harus dikerjakan, serta melihat jadwal diskusi secara maya dengan instruktur,
nara sumber lain, dan pembelajar lain. Melalui LMS ini, siswa juga bisa melihat
nilai tugas dan test serta peringkatnya berdasarkan nilai (tugas ataupun test)
yang diperoleh. Jadi, e-learning tidak diberikan semata-mata oleh mesin, tetapi
seperti juga pembelajaran secara konvensional di kelas, e-learning ditunjang
oleh para ahli di berbagai bidang terkait.
Ada
tiga persamaan dalam hal manfaat yang bisa dinikmati dari e-learning. Pertama: Fleksibilitas. Jika
pembelajaran konvensional di kelas mengharuskan siswa untuk hadir di kelas pada
jam-jam tertentu (seringkali jam ini bentrok dengan kegiatan rutin siswa), maka
e-learning memberikan fleksibilitas dalam memilih waktu dan tempat untuk
mengakses pelajaran. Siswa tidak perlu mengadakan perjalanan menuju tempat
pelajaran disampaikan, e-learning bisa diakses dari mana saja yang memiliki
akses ke Internet. Bahkan, dengan berkembangnya mobile technology (dengan
laptop, bahkan telepon selular jenis tertentu), semakin mudah mengakses
e-learning. Berbagai tempat juga sudah menyediakan sambungan internet gratis
(di bandara internasional dan cafe-cafe tertentu), dengan demikian dalam
perjalanan pun atau pada waktu istirahat makan siang sambil menunggu hidangan
disajikan, Anda bisa memanfaatkan waktu untuk mengakses e-learning.
Kedua: “Independent Learning”. E-learning memberikan kesempatan
bagi pembelajar untuk memegang kendali atas kesuksesan belajar masing-masing,
artinya pembelajar diberi kebebasan untuk menentukan kapan akan mulai, kapan
akan menyelesaikan, dan bagian mana dalam satu modul yang ingin dipelajarinya
terlebih dulu. Ia bisa mulai dari topik-topik ataupun halaman yang menarik
minatnya terlebih dulu, ataupun bisa melewati saja bagian yang ia anggap sudah
ia kuasai. Jika ia mengalami kesulitan untuk memahami suatu bagian, ia bisa
mengulang-ulang lagi sampai ia merasa mampu memahami. Seandainya, setelah
diulang masih ada hal yang belum ia pahami, pembelajar bisa menghubungi
instruktur, nara sumber melalui email atau ikut dialog interaktif pada
waktu-waktu tertentu. Jika ia tidak sempat mengikuti dialog interaktif, ia bisa
membaca hasil diskusi di message board yang tersedia di LMS (di Website
pengelola). Banyak orang yang merasa cara belajar independen seperti ini lebih
efektif daripada cara belajar lainnya yang memaksakannya untuk belajar dengan
urutan yang telah ditetapkan.
Ketiga: Biaya. Banyak biaya yang bisa dihemat dari
cara pembelajaran dengan e-learning. Biaya di sini tidak hanya dari segi
finansial tetapi juga dari segi non-finansial. Secara finansial, biaya yang
bisa dihemat, antara lain biaya transportasi ke tempat belajar dan akomodasi
selama belajar (terutama jika tempat belajar berada di kota lain dan negara
lain), biaya administrasi pengelolaan (misalnya: biaya gaji dan tunjangan
selama pelatihan, biaya instruktur dan tenaga administrasi pengelola pelatihan,
makanan selama pelatihan), penyediaan sarana dan fasilitas fisik untuk belajar
(misalnya: penyewaan ataupun penyediaan kelas, kursi, papan tulis, LCD player,
OHP). Dalam hal biaya finansial William Horton (Designing Web-Based Training,
2000) mengutip komentar beberapa perusahaan yang telah menikmati manfaat
pengurangan biaya, antara lain: Buckman Laboratories berhasil mengurangi biaya
pelatihan karyawan dari USD 2.4 juta menjadi USD 400,000; Aetna berhasil
menghemat USD 3 juta untuk melatih 3000 karyawan; Hewlett-Packard bisa memotong
biaya pelatihan bagi 700 insinyur mereka untuk produk-produk chip yang selalu
diperbaharui, dari USD 7 juta menjadi USD 1.5 juta; Cisco mengurangi biaya
pelatihan per karyawan dari USD 1200 - 1800 menjadi hanya USD 120 per orang.
Biaya non-finansial yang bisa dihemat juga banyak, antara lain: produktivitas
bisa dipertahankan bahkan diperbaiki karena pembelajar tidak harus meninggalkan
pekerjaan yang sedang pada posisi sibuk untuk mengikuti pelatihan (jadwal
pelatihan bisa diatur dan disebar dalam satu minggu ataupun satu bulan), daya
saing juga bisa ditingkatkan karena karyawan bisa senantiasa meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaannya, sementara bisa
tetap melakukan pekerjaan rutinnya.
Seperti
halnya pembelajaran dengan cara lain, e-learning bisa memberikan manfaat yang
optimal jika beberapa kondisi berikut terpenuhi:
1.
Tujuan.
Sebelum
memutuskan untuk mengikuti e-learning, perlu menentukan tujuan belajar Anda,
sehingga bisa memilih topik, modul, lama belajar, biaya, dan sarana belajar
secara elektronik yang sesuai. Tujuan ini hendaknya dikaitkan dengan tujuan
pribadi ataupun tujuan bisnis Anda secara langsung yang spesifik dan terukur.
2.
Pembelajar.
Cara belajar
dengan e-learning memberikan peluang untuk menjadi pembelajar independen. Jadi,
untuk mendapatkan manfaat optimal dari e-learning, juga harus senang belajar
secara independen, memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran dan perluasan
wawasan (memiliki motivasi tinggi untuk menguasai topik yang diambil,
menganggap belajar bukan sebagai beban tetapi sebagai peluang untuk
meningkatkan kualitas, mampu menerapkan disiplin dalam belajar), memiliki
sarana belajar yang menunjang (misalnya: komputer, akses internet, fax,
printer), keterampilan dan strategi untuk belajar secara independen di dunia
maya (keterampilan dasar menggunakan komputer dan internet, strategi untuk
mengelola waktu).
3.
Dukungan.
Sama seperti cara
belajar lain, cara belajar dengan e-learning akan lebih mudah jika mendapat
dukungan dari orang-orang terkait dengan pembelajar (misalnya: atasan,
perusahaan tempat bekerja, rekan sekerja, sahabat dan keluarga). Dengan
dukungan dari berbagai pihak (baik berupa dana, dukungan moril, maupun dukungan
fasilitas), semangat belajar yang terkadang turun bisa tetap dipertahankan,
bahkan dipacu lebih tinggi, masalah yang dihadapi dalam belajar bisa
dituntaskan, sehingga proses belajar dan penyelesaian program bisa lebih mudah
dijalankan.
4.
Media lain.
E-learning
hanyalah sebuah “alat” yang dapat digunakan untuk mencapai suatu tujuan. “Alat”
ini jika digunakan bersama “alat-alat” akan mempercepat dan mempermudah
pencapaian tujuan. Dengan demikian, e-learning tidak harus digunakan secara
murni, tetapi bisa diharmonisasikan dengan penggunaan media lain untuk saling
menunjang meraih tujuan si pembelajar. Jadi, jika memang ada kesempatan untuk
menggunakan media lain untuk belajar (pembelajaran konvensional di kelas,
pembelajaran melalui mailing list, video, radio, fax, atau korespondensi),
mengapa tidak saling dikoordinasikan?
5.
Pilih yang perlu.
Jika hanya perlu
bepergian dengan mobil, tidak perlu menggunakan pesawat terbang. Jika hanya
memerlukan informasi dan pengetahuan umum untuk memperluas wawasan, tidak perlu
memerlukan sarana untuk memperluas wawasan di bidang tertentu, tak perlu
mengeluarkan biaya untuk mengikuti e-learning lengkap,
E-learning memberikan
cara alternatif untuk belajar. Pemanfaatan e-learning secara optimal pun tergantung
dari beberapa kondisi yang perlu dipenuhi. Namun, apa pun cara belajar yang
dipilih, semua berpulang kepada si pembelajar. Tanpa komitmen dan kendali diri,
tak ada satu cara belajar pun yang akan berhasil.
No comments:
Post a Comment