Saturday, 11 March 2017

Pembelajaran berbasis Al Qur'an 6





BAB VI

HUMANISASI SISWA SEBAGAI SUBYEK PENDIDIKAN DI KELAS BERBASIS AL QUR’AN



Krisis multidimensi masih menyelimuti segala lini kehidupan bangsa Indonesia. tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Pendidikan yang dipandang sebagai suatu proses memanusiakan manusia, masih sebatas wacana saja. pendidikan hanya dijadikan sebagai alat politik para penguasa, pendidikan masih digunakan sebagai media dalam mengejar status sosial dan ekonomi, dan bahkan malpraktek pendidikan yang merajalela yang diiringi dengan kekerasan fisik dan mental oleh guru terhadap siswanya semakin menjadi-jadi. Fenomena tersebut mengisyarat-kan adanya krisis yang dialami dunia pendidikan kita sangat kronis dan perlu dilakukan penanganan yang serius.

Belum lagi masalah standard kompetensi yang dipaksakan oleh sistem, program yang disunat anggarannya oleh pihak birokrasi pendidikan, dan sebagainya yang semuanya itu sesungguhnya adalah sebuah upaya pembodohan terhadap generasi yang akan datang.
Humanisasi adalah perikemanusiaan, di dalam filosofi merupakan sikap yang menekankan martabat yang menyangkut individu. Suatu pendapat dasar perikemanusiaan adalah manusia adalah mahluk berakal yang memiliki kapasitas untuk kebaikan dan kebenaran. Istilah humanisme adalah paling sering digunakan untuk menguraikan suatu pergerakan budaya dan berkaitan kesusasteraan yang menyebar melalui Eropa barat dalam abad 15. Kebangkitan kembali kajian ilmu bangsa Roma dan Yunani yang menekankan nilai dari zaman klasik demi mereka sendiri.
Pergerakan humanis dimulai dari Italia, pada masa pertengahan yang dipelopori oleh penulis Italia Dante, Giovanni Boccaccio, dan Francesco Petrarch yang menyokong sangat kepada pemeliharaan dan penemuan klasik. Humanis yang ideal dengan penuh ancaman dinyatakan oleh Italia yang lain, Pico della Mirandola, di dalam Pidatonya atas martabat manusia. Pergerakan ini dirangsang oleh penerangan dari sarjana Byzantium yang datang ke Italia setelah kejatuhan Constantinople (Istanbul sekarang ini).

A.   Antisipasi Humanisasi Sebagai Tujuan Pendidikan.
Sebagaimana penulis bahas secara singkat dalam muqaddimah bahwa Value of Concept tentang Final Process pendidikan budi pekerti adalah anak sholeh. Out put kegiatan belajar mengajar tuntas adalah insan kamil hal ini selaras dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang dituangkan dalam pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 20 tahun 2003 tentang sistim pendidikan nasional “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Kita menjumpai pada banyak lembaga pendidikan Islam yang selain mengarahkan tujuan pendidikan yang dilaksanakannya sebagaimana pada tujuan pendidikan nasional diatas, juga ditambah tujuan naïf lainnya seperti guru mengkondisikan siswanya untuk menjaga jarak dengan memaksa siswa mengakui bahwa guru serba dan pasti tahu segalanya, guru adalah sosok kharismatik yang wajib dihormati, dan siswa adalah bodoh dan wajib selalu taat dan patuh serta menghormati pada gurunya.
Siswa menghormati guru adalah wajib ketika pengormatan itu tidak dipaksakan tidak pula diminta untuk dilebih-lebihkan, jika hal itu terjadi maka seperti sekaranglah keadaannya, siswa yang karena takut jika tidak menghormati berlebihan kepada gurunya, ketika keluar dari sekolah dan kembali kepada masyarakat maka siswa tersebut mempunyai mental yang penjilat, suka mengadu, dan tidak mau menjalankan perintah tanpa adanya penolakan sedikitpun.
Sementara sisi lain guru memaksakan rasa patriotisme yang berlebihan akan mencetak siswa mempunyai kepekaan sosial yang berlebihan, sehingga siswa ketika mengalami ketidakpuasan terhadap realitas, mereka akan berlaku sebagai penerasi penerus suatu tokoh, bahkan akan mudahnya mengaku sebagai titisannya, padahal secara genetika mereka tidak ada hubungan sama sekali dengan tokoh yang diidolakan, hal ini dikarenakan siswa menganggap hanya sosok pahlawan tersebutlah yang mampu mengatasi permasalahan sosial yang mereka hadapi.
Jadi inti dari hunanisasi dalam kegiatan belajar mengajar berbasis al Qur’an adalah kita berupaya menjadikan anak sholeh yang notabene adalah insan kamil.

B.    Humanisasi sebagai proses Penyadaran Intelektual
Manusia sebagai makhluk sosial (Homo Sosius), yang dibekali Tuhan dengan akal, di mana akal akan menjadikan manusia mengetahui segala sesuatu. Sesuatu yang sepele terkadang terlupakan begitu saja dalam kehidupan. Manusia sering terfokus kepada persoalan besar, namun sering kali terlena pada permasalahan yang sepele.
Padahal bila ditinjau secara filosofis, akan menjadi fondasi untuk membangun kesadaran intelektual. Maka dari itu manusia seharusnya memahami hakekat diri dan lingkungan dalam proses perubahan. Proses penyadaran di sini menjadi amat penting di dalam kehidupan manusia.
Pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di belahan dunia manapun. Namun pendidikan yang diharapkan sebagai bagian dari proses kehidupan yang dapat mengentaskan manusia dari penindasan dan kesengsaraan ternyata menjadi bagian yang menindas manusia itu sendiri.
Oleh karena itu bagaimana sekarang memposisikan proses pembelajaran sebagai hal yang suci dan sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu sebuah proses pembelajaran yang tidak menindas dan tidak ada yang tertindas. Ketika seseorang merasakan hak-haknya dirampas, maka seharusnya ia menuntut.
Pada dasarnya tidak ada yang dapat mengubah nasib kita kecuali diri kita sendiri. Oleh karena itu, setiap manusia harus berusaha keluar dari segala bentuk penindasan dan berusaha memerangi setiap bentuk penindasan. Selama ini kita melihat penindasan justru lahir dari dunia pendidikan yang selama ini kita banggakan.
Sekolah selama ini dijadikan sebuah pabrik, di mana lulusan-lulusannya siap menjadi tenaga kerja siap pakai. Maka sebagian fungsi sekolah yang ada di Indonesia tidak lebih hanya sebagai cara untuk mencari bekal untuk kerja. Tidak mengherankan ketika siswa tidak menjadi semakin cerdas, tapi menjadi semakin beringas dan brutal.
Tawuran pelajar terjadi dimana-mana dan banyak sekali penyalahgunaan NARKOBA yang dilakukan oleh pelajar. Hal itu merupakan bukti ketidakberhasilan sekolah untuk membentuk siswa menjadi manusia pembelajar. Pembelajar adalah individu-individu yang dapat memilah dan memilih mana yang baik dan yang buruk.
Beberapa contoh di atas merupakan pertanda bahwa pendidikan hanya dijadikan ajang penindasan bagi siswa. Erat kaitannya dengan hal tersebut, Freire yang adalah seorang tokoh pendidikan menggagas adanya concientizacao (kesadaran untuk melakukan). Concientizacao adalah kesadaran untuk melakukan pembelaan kemanusiaan. Dapat memberantas buta huruf di kalangan orang dewasa misalnya, dimaknai sebagai usaha membebaskan manusia dari belenggu kebodohan.
Freire mengklarifikasikan kesadaran dalam tiga hal. Pertama, kesadaran magis (magical conciousness) yaitu kesadaran yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan yang lainnya, dalam hal ini melihat faktor di luar manusia. Kedua, kesadaran naf (Naival consciousness) yaitu manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Ketiga, kesadaran kritis (critical conciousness) yaitu sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Kritis penyadaran struktur dan sistem politik, sosial, ekonomi, budaya pada masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa kritisme sangatlah penting di dalam pelembagaan penyadaran masyarakat.
Sebuah kenyataan tidak harus menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka tugas manusia untuk merubahnya, agar sesuai dengan apa yang seharusnya. Kenyataan tersebut sering disebut dengan fitrah. Fitrah manusia sejati adalah pelaku (subyek), bukan obyek atau penderita. Fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan menjadi bebas. Kesemuanya itu sering disebut dengan tujuan humanisasi Freire.
Freire juga menyebutkan pendidikan seharusnya berorientasi kepada pengenalan realitas dari manusia dan dirinya. Hal itu berarti bahwa pendidikan bukan hanya sebagai ajang transfer of knowledge akan tetapi bagaimana ilmu pengetahuan dijadikan sarana untuk mendidik manusia agar mampu membaca realitas sosial. Hal ini juga didukung oleh Lodge yang menyatakan life is education, education is life.

C.   Upaya Pendidikan Bagi Pemberdayaan Manusia
Konsep dan proses pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam, harus dapat melihat kedudukan manusia sebagai subjek didik yang memiliki potensi untuk diberdayakan dan dikembangkan. Artinya pendidikan merupakan proses humanisasi dengan menghargai segala potensi yang dimiliki manusia.
Proses humanisasi dalam pendidikan, dimaksudkan sebagai upaya megembangkan manusia sebagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang dengan segala potensi [fitrah] yang ada padanya. Manusia dapat dibesarkan [potensi jasmaniah] dan diberdayakan [potensi rohaniah] agar dapat berdiri sendiri serta dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam proses humanisasi, berarti menusia bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologisnya saja, tetapi juga menusia harus bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap kesejahteraan masyarakatnya.
 Maka dalam konteks ini, manusia harus belajar untuk bertanggungjawab, mengenal dan menghayati serta melaksanakan nilai-nilai moral [knowing is doing]., sebab tanpa tanggungjawab dan melaksanakan nilai-nilai moral tidak mungkin akan tercipta suatu masyarakat yang aman dan tenteram di mana kepribadian dapat berkembang.
Manusia menurut al-Qur’an dianggap sebagai makhluk yang memiliki potensi yang tidak terbatas, sebagai makhluk Allah yang paling sempurna: “yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai dari penciptaan manusia dari tanah”. [ As Sajdah: 7], memiliki potensi [fitrah] bawaan yang tidak terbatas, dapat diberdayakan, dapat dididik dan mendidik [melakukan proses mengajar] sehingga manusia menjadi makhluk terdidik dan unggul dalam kehidupnya; “Maka hadapkanlah wajahnu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah diatas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan menurut fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [Ar Rum: 30].
Proses humanisasi “merupakan proses yang terbuka, di mana manusia diberdayakan dan dioptimalkan potensi [fitrah] bawaannya sehingga manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi serta penerapannya dan penghayatan pada seni serta budaya, dan sebagainya”. Ini berarti, peran dan fungsi pendidikan sangat sentral dalam upaya proses humanisasi tersebut.
Pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam, harus dapat meletakkan kedudukan manusia sebagai subjek dalam proses pembinaan dan pengembangan potensi [fitrah] bawaannya. Dengan demikian dalam proses humanisasi, sangat dibutuhkan konsep pendidikan yang betul-betul dapat memberi gambaran yang komprehensip sebagai solusi dalam upaya memanusiakan manusia [humanisasi] dengan menekankan keharmonisan hubungan baik sesama manusia, masyarakat, maupun dengan lingkungan yang didasarkan pada nilai-nilai normatif ilahiyah.
Pendidikan dalam konsep Islam sebenarnya telah menetapkan dasar dan bertujuan untuk membangun manusia sebagai insan kamil, yaitu manusia paripurna, integral, totalitas dalam membangun hidup dan kehidupannya.
Pendidikan Islam, meletakan kedudukan manusia sangat sentral sebagai subjek didik dalam upaya pembinaan dan pengembangannnya. Proses pendidikan berusaha untuk “melatih sensibilitas manusia [peserta didik] sedemikian rupa, sehingga dalam perilaku mereka terhadap kehidupan, langkah-langkah dan keputusan, begitu pula pendekatan mereka terhadap semua ilmu pengetahuan diatur dan didasarkan pada nilai-nilai etika Islam.
Mereka akan terlatih dan secara mental yang sangat disiplin, sehingga pengetahuan yang dimiliki bukan hanya untuk pemuasan rasa ingin tahu intelektuan atau untuk manfaat yang sifat duniawi, tetapi juga untuk tumbuh sebagai makhluk rasional, makhluk yang berbudi, bermoral dan spiritual dalam kehidupannya secara menyeluruh bagi kesejahteraan masyarakat dan umat manusia.
Proses pendidikan harus berupaya mengembangkan manusia agar memiliki pengetahuan, keterampilan, spritual, dan berpikir rasional, sehingga tumbuh perilaku manusia yang mencintai demokrasi, perdamaian, hidup selaras, stabil, berbudi dan berbudaya sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial yang hidup bersama manusia lain dengan tujuan memakmurkan, mengontrol dan mengatur alam semesta berdasarkan otoritas Tuhan. Artinya proses pendidikan Islam akan menghasilkan manusia yang beramal ilahiyah dan berilmu ilahiyah sebagai manusia yang unggul [insan kamil]. Dengan dasar ini, pengembangan konsep dasar pendidikan Islam harus bersumber dari konsep ilahiyah [ketuhanan], konsep insaniyah [humanisme] dan konsep lingkungan yang integratif dan seimbang.
A. Malik Fadjar, menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk pengemban atau pemegang amanah khalifahan mempunyai potensi yang luar biasa besarnya, sehingga dapat mendayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka membangun peradaba4 berdasarkan nilai-nilai ilahiyah. Potensi [fitrah] bawaan manusia itu, menyangkut dengan potensi ilahiyah [ketuhanan] dan potensi kehidupan yang dilengkapi dengan hati nurani, akal pikirannya [cipta], rasa, karsa, serta dilengkapi dengan kemampuan kebebasan.
Manusia juga memiliki kemampuan kebebasan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan pilihan-pilihannya [taqwa dan fujur] yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, makhluk fungsional, makhluk bercirikan etika-religius, makhluk berbudaya, yang kesemuanya itu merupakan nilai-nilai yang akan terkonstruksi dalam hidup dan kehidupan manusia itu sendiri.
Manusia sebagi makhluk Tuhan yang memiliki potensi [fitrah] bawaan ini bersifat integral-holistik. Dengan demikian pengembangan sistem pendidikan harus berorientasi kepada potensi [fitrah] tersebut, baik menyangkut dengan potensi ukhrawi dan duniawi sekaligus secara integral. Pengembangan sistem pendidikan Islam tidak hanya berorientasi kepada persoalah ukhrawi [akhirat] saja, tetapi harus terintegrasi dengan persoalan-persoalan duniawi, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, sosial kemasyarakatan, dan sebaginya.
Apabila konsep pendidikan Islam dapat mengintegrasikan persoalan ukhrawi dengan duniawi, maka konsep pendidikan Islam akan tampil berbeda dengan konsep pendidikan lainnya, karena secara integratif dapat mengembangkan pendidikan ukrawiyah dan duniawiyah secara integral sekaligus. Pandangan ini, didasarkan pada konsep ajaran Islam, bahwa ajaran Islam “tidak menghendaki penghayatan agama yang mengarah pada pelarian diri dari kehidupan duniawi, tetapi bahkan sebaliknya, Islam mengajarkan asketisme duniawi, yaitu memakmurkan dan memajukan kehidupan dunia, tanpa tenggelam dalam kenikmatan semu”.
Uraian di atas, menegaskan bahwa dalam sistem pendidikan Islam “manusia dipahami sebagai zat theomorfis, maksudnya, manusia berorientasi untuk menjadi pribadi yang bergerak di antara dua titik ekstrem yaitu antara taqwa dan fujur, antara Allah dan setan dan manusia juga memiliki kehendak bebas. Artinya, manusia mampu membentuk nasibnya sendiri dan bertanggungjawab, sehingga manusia mampu menerima amanah khusus dari Allah”
Al Qur’an memberikan gambaran, bahwa para malaikat bersujud kepadanya [Adam], karena ia memiliki potensi yang integral, sehingga manusia mampu menjadi khalifah fil ardli. Allah menciptakan dan melengkapi manusia dengan potensi atau daya-daya yang ada dalam dirinya, kemudian perkembangan selanjutnya terserah pada manusia sendiri dan manusia dapat menentukan nasibnya sendiri. Tugas manusialah yang dapat memberdaya-kan potensi-potensi tersebut, karena daya-daya untuk mewujudkan kehendak itu telah ada dalam diri manusia sebelum ada perbuatan. Maka dari sini, posisi dan peran pendidikan dalam sistem pendidikan Islam adalah sangat senteral untuk memberdayakan dan mengaktualisasikan potensi fitrah, melalui pendidikan sehingga memperoleh ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan, seni dan budaya berdarkan nilai-nilai ilahiyah.
Dalam al-Qur’an, Allah telah memberikan postulat-postulat atau aksioma sebagai kunci dalam memahami, mengembangkan, dan memberdayakan manusia, antara lain: [1] Allah telah memerintahkan manusia agar senantiasa berpikir dan menggunakan akal pikirannya dalam memcahkan persoalan-persoalan hidup yang dihadapi, seperti berpolitik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Ini artinya, Allah telah menyediakan potensi [fitrah] pada manusia untuk diberdayakan, sehingga menjadi manusia yang fungsional. [2] Allah telah melakukan liberalisasi dalam bidang ilmu dan semua manusia [khususnya muslim] baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan mencari ilmu kepada siapa saja dan di mana saja [Hadis]. [3] Dengan potensi akal, manusia diperintahkan untuk membuktikan kekuasaan Allah dengan cara mengkaji dan mengolah alam demi keperluan hidupnya dan dilarang berbuat semena-mena, kerusakan dan pertumpahan darah. Allah telah memberikan pertanyaan-pertanyaan penting dalam al-Qur’an tentang potensi-potensi besar yang ada di darat, laut dan angkasa. Al-Qur’an memberikan postulat-postulat atau aksioma sebagai kunci bagi manusia untuk memahami dan mendayagunakan alam. [4] Manusia diperintahkan untuk fantasirun fil ardl [mengembara di muka bumi] dalam rangka mencari ilmu pengetahuan. Ini artinya, setiap manusia, masyarakat, dan bangsa, oleh Allah diberi keistimewaan masing-masing, ilmu pengetahuan dan perkembangan pemikiran umat manusia tidak berhenti. [5] Kecintaan terhadap informasi atau pengetahuan yang akhirnya menumbuhkan kecintaan kepada kegiatan belajar. Al-Qur’an pada ayat pertama kali turun adalah perintah iqra’, mengandung perintah untuk membaca dan belajar yang berorientasi pada upaya mengkaji tentang hakekat Tuhan [ilahiyah], mengkaji hakekat manusia [insaniyah], mengkaji penomena-penomena alam semesta [sunatullah], dan hubungan antara ketiganya serta fungsinya masing-masing secara terus menerus dalam rangka mewujudkan manusia dan masyarakat yang unggul dan terbaik dalam kehidupan.
Dengan potensi [fitrah] tersebut, manusia memiliki kecenderungan untuk dibina dan dikembangkan sesuai dengan potensinya, karakteristiknya dan hakekat kemanusian, sehingga dapat fungsional dalam kehidupan yang betul-betul eksis sebagai pemegang amanah khalifah fil ardl. Untuk itu, pendidikan yang berdasarkan konsep dasar pendidikan Islam, harus memandang manuasi sebagai makhluk pemegang amanah khalifah fil ardl, manusia dapat didik, dilatih dan diberdayakan untuk melahirkan manusia beriman, manusia yang sempurna, bermoral tinggi [anggung dalam moralnya], memiliki pengetahuan, berwawasan luas, sebagai manipestasi dari liberalisasi Allah terhadap kewajiban seorang muslim untuk menuntut ilmu.
Hal ini diujudkan dengan perintah Allah untuk membaca [iqra’] dan fantasirun fil ardl dalam rangka eksplorasi ilmu pengetahuan. Selain itu, manusia juga berkemampuan untuk mengintegrasi-kan nilai-nilai spritual ilahiyah dengan nilai-nilai kultural duniyawiyah dalam konstruksi yang kokoh, seimbang, harmonis, dinamis dan kreatif dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, potret manusia semacam inilah yang dikehendaki dalam bangunan pendidikan Islam berdasarkan konsep potensi [fitrah] yang bernilai ilahiyah yang aktual dalam hidup dan kehidupan manusia.
Pengembangan pendidikan, harus tetap memperhatikan aspek potensi dasar manusia yang ideal dan fungsional tersebut, karena semua potensi yang dimiliki manusia akan menjadi sasaran pendidikan untuk dikembangkan melalui kondisi-kondisi yang diciptakan dengan memberikan rangsangan sesuai dengan kondisi yang diinginkan dan dikehndaki. Kondisi ini mungkin saja dapat mempengaruhi potensi, baik yang tercipta melalui proses alamiah maupun situasi yang diciptakan dalam proses pendidikan. Dengan pengembangan potensi tersebut, memungkinkan manusia tumbuh dan berkembang secara utuh, harmonis, integratif sesuai dengan nilai-nilai dan hakekat humanisasi. Maka, melalui proses pendidikan, dapat “menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spritual ilahiyah, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan terhadap perkembangan manusia. Karena itu, proses pendidikan seharusnya menyediakan dan menciptakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya, yaitu aspek spritual ilahiyah, intelektual, imaginatif, fisikal, ilmiah, linguistik”, baik secara individual maupun secara kolektif serta dapat memotivasi semua aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan manusia [insan kamil].
Sejalan dengan pandangan di atas, maka pendidikan sesuai dengan fungsi dan perannya diharapkan mampu melahirkan manusia dan masyarakat yang memiliki kemampuan spritual, berilmu, bermoral, memiliki kemampuan profesional, kemampuan inovasi dalam membangun dan menata kehidupan dunia yang rahmatan lil ‘alamin. Usman Abu Bakar, menyatakan bahwa output pendidikan Islam sekurang-kurangnya diharapkan mampu melahirkan manusia yang memiliki kemampuan spritual ilahiyah yang tinggi, ketinggian ilmu, memiliki komitmen terhadap profesionalisme, memiliki akhlak al-karimah, yaitu akhlak terhadap dirinya, akhlak terhadap Allah Sang Pencipta-Nya dan akhlak terhadap makhluk-Nya yang mencerminkan “keanggunan moralitas” manusia dalam keluarga, masyarakat dan berbangsa yang merupakan ciri masyarakat madani. Jadi manusia dan masyarakat yang unggul adalah manusia dan masyarakat yang “melakukan liberalisasi dalam bidang berpikir dan ilmu pengetahuan. Masyarakat dan bangsa yang tidak menganggap dirinya paling maju, bangsa yang terbuka untuk menerima ilmu dari mana saja, bangsa agresif dan mendunia. Bukan bangsa yang tertutup, arogan, dan mengaggap ilmu orang lain sebagai ilmu sekuler, ilmu kafir, dan sebagainnya”.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa “manusia” dan “masyarakat” yang unggul dalam masyarakat madani Indonesia, yaitu: [1] Manusia dalam menjalankan hidupnya merupakan pengabdian kepada Allah semata [QS.51:56], karena Islam mengajarkan hidup dan seluruh aspeknya harus diniatkan sebagai pengabdian [ibdah] kepada Allah. [2] Cara terbaik untuk mendapatkan prestasi dalam hidup ini adalah dengan mempunyai ilmu dan memiliki etos kerja yang tinggi. Rasulullah saw, bersabda yang artinya: “Barang siapa menghendaki kebahagian kehidupan dunia haruslah dengan ilmu dan barang siapa menghendaki kebahagian akhirat haruslah dengan ilmu dan barang siapa menghendaki kebahgian keduanya haruslah dengan ilmu pula” [al-Hadis]. [3] Berorientasi ke masa depan, kerja keras, teliti, hati-hati, menghargai waktu, penuh rasa tanggungjawab dan berorientasi pada prestasi [achievement oriented] dan bukan prestige semata. Jadi, manusia dan masyarakat yang unggul yang dikehendaki dalam kehidupan masyarakat madani adalah manusia yang: [a] memiliki ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, untuk peningkatan derajat dan martabatnya, [b] mempunyai cita-cita, visi dan misi, dalam kehidupan, [c] memiliki keunggulan kompetitif, komporatif, dan keunggulan inovatif, [d] taat hukum, menghargai hak asasi manusia, dan menghargai perbedaan [pluralisme], [e] memiliki rasa tanggungjawab, karena “semua masalah dalam kehidupan harus dihadapi dengan penuh rasa tanggungjawab [responsibility] dan penuh perhitungan [accountability], [f] bersikap rasional,menghargai waktu, memperhatikan masa depan [membuat perencanaan hidup] dan perubahan, kreatif dan berkarya execelence”, sehingga tercipa “manusia madani” dalam arti manusia yang mengota, elite, dan berbudaya tinggi.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa manusia berkualitas adalah manusia yang memiliki ciri sebagai hamba Allah yang berimanan, berilmu pengetahuan dan keterampilan, yang dapat memberikan manfaat bagi sesama manusia. Ketiga cirri utama ini didapatkan pada manusia yang taqwa, sehingga manusia dan masyarakat berkualitas dapat pula diartikan sebagai manusia yang beriman, bertaqwa kepada Allah dengan memiliki sikap tawakkal, sabar, pemaaf, muhsin, dan selalu mau bersyukur. Manusia yang berusaha meningkatkan diri dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki kemampuan inovasi, kemampuan melakukan perubahan serta mengajak orang untuk meningkat. 
Tuntutannya, peranan pendidikan dibutuhkan untuk mensosialisasikan nilai-nilai tersebut dalam rangka mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang unggul, sehingga keberadaannya secara fungsional menjadi pemeran utama bagi terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan masyarakat madani Indonesia yang demokratis.

No comments:

Post a Comment