BAB VI
HUMANISASI SISWA SEBAGAI SUBYEK PENDIDIKAN DI KELAS
BERBASIS AL QUR’AN
Krisis multidimensi masih menyelimuti segala lini
kehidupan bangsa Indonesia. tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Pendidikan
yang dipandang sebagai suatu proses memanusiakan manusia, masih sebatas wacana
saja. pendidikan hanya dijadikan sebagai alat politik para penguasa, pendidikan
masih digunakan sebagai media dalam mengejar status sosial dan ekonomi, dan
bahkan malpraktek pendidikan yang merajalela yang diiringi dengan kekerasan
fisik dan mental oleh guru terhadap siswanya semakin menjadi-jadi. Fenomena
tersebut mengisyarat-kan adanya krisis yang
dialami dunia pendidikan kita sangat kronis dan perlu dilakukan penanganan yang
serius.
Belum lagi masalah standard kompetensi yang dipaksakan
oleh sistem, program yang disunat anggarannya oleh pihak birokrasi pendidikan,
dan sebagainya yang semuanya itu sesungguhnya adalah sebuah upaya pembodohan
terhadap generasi yang akan datang.
Humanisasi adalah perikemanusiaan, di dalam filosofi
merupakan sikap yang menekankan martabat yang menyangkut individu. Suatu
pendapat dasar perikemanusiaan adalah manusia adalah mahluk berakal yang
memiliki kapasitas untuk kebaikan dan kebenaran. Istilah humanisme adalah
paling sering digunakan untuk menguraikan suatu pergerakan budaya dan berkaitan
kesusasteraan yang menyebar melalui Eropa barat dalam abad 15. Kebangkitan
kembali kajian ilmu bangsa Roma dan Yunani yang menekankan nilai dari zaman
klasik demi mereka sendiri.
Pergerakan humanis dimulai dari Italia, pada masa
pertengahan yang dipelopori oleh penulis Italia Dante, Giovanni Boccaccio, dan
Francesco Petrarch yang menyokong sangat kepada pemeliharaan dan penemuan
klasik. Humanis yang ideal dengan penuh ancaman dinyatakan oleh Italia yang
lain, Pico della Mirandola, di dalam Pidatonya atas martabat manusia.
Pergerakan ini dirangsang oleh penerangan dari sarjana Byzantium yang datang ke
Italia setelah kejatuhan Constantinople (Istanbul sekarang ini).
A.
Antisipasi Humanisasi Sebagai
Tujuan Pendidikan.
Sebagaimana penulis
bahas secara singkat dalam muqaddimah bahwa Value
of Concept tentang Final Process pendidikan
budi pekerti adalah anak sholeh. Out put kegiatan
belajar mengajar tuntas adalah insan kamil hal ini selaras dengan fungsi dan
tujuan pendidikan nasional yang dituangkan dalam pasal 3 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor: 20 tahun 2003 tentang sistim pendidikan nasional “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Kita menjumpai pada
banyak lembaga pendidikan Islam yang selain mengarahkan tujuan pendidikan yang
dilaksanakannya sebagaimana pada tujuan pendidikan nasional diatas, juga
ditambah tujuan naïf lainnya seperti guru mengkondisikan siswanya untuk menjaga
jarak dengan memaksa siswa mengakui bahwa guru serba dan pasti tahu segalanya,
guru adalah sosok kharismatik yang wajib dihormati, dan siswa adalah bodoh dan
wajib selalu taat dan patuh serta menghormati pada gurunya.
Siswa menghormati guru
adalah wajib ketika pengormatan itu tidak dipaksakan tidak pula diminta untuk
dilebih-lebihkan, jika hal itu terjadi maka seperti sekaranglah keadaannya,
siswa yang karena takut jika tidak menghormati berlebihan kepada gurunya,
ketika keluar dari sekolah dan kembali kepada masyarakat maka siswa tersebut
mempunyai mental yang penjilat, suka mengadu, dan tidak mau menjalankan
perintah tanpa adanya penolakan sedikitpun.
Sementara sisi lain guru
memaksakan rasa patriotisme yang berlebihan akan mencetak siswa mempunyai
kepekaan sosial yang berlebihan, sehingga siswa ketika mengalami ketidakpuasan
terhadap realitas, mereka akan berlaku sebagai penerasi penerus suatu tokoh,
bahkan akan mudahnya mengaku sebagai titisannya, padahal secara genetika mereka
tidak ada hubungan sama sekali dengan tokoh yang diidolakan, hal ini
dikarenakan siswa menganggap hanya sosok pahlawan tersebutlah yang mampu
mengatasi permasalahan sosial yang mereka hadapi.
Jadi inti dari
hunanisasi dalam kegiatan belajar mengajar berbasis al Qur’an adalah kita
berupaya menjadikan anak sholeh yang notabene adalah insan kamil.
B.
Humanisasi sebagai
proses Penyadaran Intelektual
Manusia sebagai makhluk
sosial (Homo Sosius), yang dibekali Tuhan dengan akal, di mana akal akan
menjadikan manusia mengetahui segala sesuatu. Sesuatu yang sepele terkadang
terlupakan begitu saja dalam kehidupan. Manusia sering terfokus kepada
persoalan besar, namun sering kali terlena pada permasalahan yang sepele.
Padahal bila ditinjau
secara filosofis, akan menjadi fondasi untuk membangun kesadaran intelektual.
Maka dari itu manusia seharusnya memahami hakekat diri dan lingkungan dalam
proses perubahan. Proses penyadaran di sini menjadi amat penting di dalam
kehidupan manusia.
Pendidikan merupakan
proses yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di belahan dunia manapun. Namun
pendidikan yang diharapkan sebagai bagian dari proses kehidupan yang dapat
mengentaskan manusia dari penindasan dan kesengsaraan ternyata menjadi bagian
yang menindas manusia itu sendiri.
Oleh karena itu
bagaimana sekarang memposisikan proses pembelajaran sebagai hal yang suci dan
sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu sebuah proses pembelajaran yang tidak
menindas dan tidak ada yang tertindas. Ketika seseorang merasakan hak-haknya
dirampas, maka seharusnya ia menuntut.
Pada dasarnya tidak ada
yang dapat mengubah nasib kita kecuali diri kita sendiri. Oleh karena itu,
setiap manusia harus berusaha keluar dari segala bentuk penindasan dan berusaha
memerangi setiap bentuk penindasan. Selama ini kita melihat penindasan justru
lahir dari dunia pendidikan yang selama ini kita banggakan.
Sekolah selama ini
dijadikan sebuah pabrik, di mana lulusan-lulusannya siap menjadi tenaga kerja
siap pakai. Maka sebagian fungsi sekolah yang ada di Indonesia tidak lebih
hanya sebagai cara untuk mencari bekal untuk kerja. Tidak mengherankan ketika
siswa tidak menjadi semakin cerdas, tapi menjadi semakin beringas dan brutal.
Tawuran pelajar terjadi
dimana-mana dan banyak sekali penyalahgunaan NARKOBA yang dilakukan oleh
pelajar. Hal itu merupakan bukti ketidakberhasilan sekolah untuk membentuk
siswa menjadi manusia pembelajar. Pembelajar adalah individu-individu yang
dapat memilah dan memilih mana yang baik dan yang buruk.
Beberapa contoh di atas
merupakan pertanda bahwa pendidikan hanya dijadikan ajang penindasan bagi
siswa. Erat kaitannya dengan hal tersebut, Freire yang adalah seorang tokoh
pendidikan menggagas adanya concientizacao (kesadaran untuk melakukan). Concientizacao
adalah kesadaran untuk melakukan pembelaan kemanusiaan. Dapat memberantas buta
huruf di kalangan orang dewasa misalnya, dimaknai sebagai usaha membebaskan
manusia dari belenggu kebodohan.
Freire
mengklarifikasikan kesadaran dalam tiga hal. Pertama, kesadaran magis (magical conciousness) yaitu
kesadaran yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan yang
lainnya, dalam hal ini melihat faktor di luar manusia. Kedua, kesadaran naf (Naival
consciousness) yaitu manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat.
Ketiga, kesadaran kritis (critical conciousness) yaitu sistem dan
struktur sebagai sumber masalah. Kritis penyadaran struktur dan sistem politik,
sosial, ekonomi, budaya pada masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa kritisme
sangatlah penting di dalam pelembagaan penyadaran masyarakat.
Sebuah kenyataan tidak
harus menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka
tugas manusia untuk merubahnya, agar sesuai dengan apa yang seharusnya.
Kenyataan tersebut sering disebut dengan fitrah. Fitrah manusia sejati adalah
pelaku (subyek), bukan obyek atau penderita. Fitrah manusia adalah menjadi
merdeka dan menjadi bebas. Kesemuanya itu sering disebut dengan tujuan
humanisasi Freire.
Freire juga menyebutkan
pendidikan seharusnya berorientasi kepada pengenalan realitas dari manusia dan
dirinya. Hal itu berarti bahwa pendidikan bukan hanya sebagai ajang transfer
of knowledge akan tetapi bagaimana ilmu pengetahuan dijadikan sarana untuk
mendidik manusia agar mampu membaca realitas sosial. Hal ini juga didukung oleh
Lodge yang menyatakan life is education, education is life.
C.
Upaya Pendidikan Bagi
Pemberdayaan Manusia
Konsep dan proses pendidikan dalam hal ini pendidikan
Islam, harus dapat melihat kedudukan manusia sebagai subjek didik yang memiliki
potensi untuk diberdayakan dan dikembangkan. Artinya pendidikan merupakan
proses humanisasi dengan menghargai segala potensi yang dimiliki manusia.
Proses humanisasi dalam pendidikan, dimaksudkan sebagai
upaya megembangkan manusia sebagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang
dengan segala potensi [fitrah] yang
ada padanya. Manusia dapat dibesarkan [potensi
jasmaniah] dan diberdayakan [potensi
rohaniah] agar dapat berdiri sendiri serta dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Dalam proses humanisasi, berarti menusia bukan hanya
sekedar memenuhi kebutuhan biologisnya saja, tetapi juga menusia harus
bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap kesejahteraan
masyarakatnya.
Maka dalam konteks
ini, manusia harus belajar untuk bertanggungjawab, mengenal dan menghayati
serta melaksanakan nilai-nilai moral [knowing
is doing]., sebab tanpa tanggungjawab dan melaksanakan nilai-nilai moral
tidak mungkin akan tercipta suatu masyarakat yang aman dan tenteram di mana
kepribadian dapat berkembang.
Manusia menurut al-Qur’an dianggap sebagai makhluk yang
memiliki potensi yang tidak terbatas, sebagai makhluk Allah yang paling
sempurna: “yang membuat segala sesuatu
yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai dari penciptaan manusia dari
tanah”. [ As Sajdah: 7], memiliki potensi [fitrah] bawaan yang tidak
terbatas, dapat diberdayakan, dapat dididik dan mendidik [melakukan proses
mengajar] sehingga manusia menjadi makhluk terdidik dan unggul dalam
kehidupnya; “Maka hadapkanlah wajahnu
dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah diatas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan menurut fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [Ar
Rum: 30].
Proses humanisasi “merupakan
proses yang terbuka, di mana manusia diberdayakan dan dioptimalkan potensi
[fitrah] bawaannya sehingga manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan,
keterampilan, teknologi serta penerapannya dan penghayatan pada seni serta
budaya, dan sebagainya”. Ini berarti, peran dan fungsi pendidikan sangat
sentral dalam upaya proses humanisasi tersebut.
Pendidikan dalam hal ini
pendidikan Islam, harus dapat meletakkan kedudukan manusia sebagai subjek dalam
proses pembinaan dan pengembangan potensi [fitrah] bawaannya. Dengan demikian
dalam proses humanisasi, sangat dibutuhkan konsep pendidikan yang betul-betul
dapat memberi gambaran yang komprehensip sebagai solusi dalam upaya
memanusiakan manusia [humanisasi] dengan menekankan keharmonisan hubungan baik
sesama manusia, masyarakat, maupun dengan lingkungan yang didasarkan pada
nilai-nilai normatif ilahiyah.
Pendidikan dalam konsep
Islam sebenarnya telah menetapkan dasar dan bertujuan untuk membangun manusia
sebagai insan kamil, yaitu manusia paripurna, integral, totalitas dalam membangun
hidup dan kehidupannya.
Pendidikan Islam,
meletakan kedudukan manusia sangat sentral sebagai subjek didik dalam upaya
pembinaan dan pengembangannnya. Proses pendidikan berusaha untuk “melatih
sensibilitas manusia [peserta didik] sedemikian rupa, sehingga dalam perilaku
mereka terhadap kehidupan, langkah-langkah dan keputusan, begitu pula
pendekatan mereka terhadap semua ilmu pengetahuan diatur dan didasarkan pada
nilai-nilai etika Islam.
Mereka akan terlatih dan
secara mental yang sangat disiplin, sehingga pengetahuan yang dimiliki bukan
hanya untuk pemuasan rasa ingin tahu intelektuan atau untuk manfaat yang sifat
duniawi, tetapi juga untuk tumbuh sebagai makhluk rasional, makhluk yang
berbudi, bermoral dan spiritual dalam kehidupannya secara menyeluruh bagi
kesejahteraan masyarakat dan umat manusia.
Proses pendidikan harus
berupaya mengembangkan manusia agar memiliki pengetahuan, keterampilan,
spritual, dan berpikir rasional, sehingga tumbuh perilaku manusia yang
mencintai demokrasi, perdamaian, hidup selaras, stabil, berbudi dan berbudaya
sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial yang hidup bersama manusia lain dengan
tujuan memakmurkan, mengontrol dan mengatur alam semesta berdasarkan otoritas
Tuhan. Artinya proses pendidikan Islam akan menghasilkan manusia yang beramal
ilahiyah dan berilmu ilahiyah sebagai manusia yang unggul [insan kamil]. Dengan
dasar ini, pengembangan konsep dasar pendidikan Islam harus bersumber dari
konsep ilahiyah [ketuhanan], konsep insaniyah [humanisme] dan konsep lingkungan
yang integratif dan seimbang.
A. Malik Fadjar,
menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk pengemban atau pemegang amanah
khalifahan mempunyai potensi yang luar biasa besarnya, sehingga dapat
mendayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka membangun peradaba4
berdasarkan nilai-nilai ilahiyah. Potensi [fitrah] bawaan manusia itu,
menyangkut dengan potensi ilahiyah [ketuhanan] dan potensi kehidupan yang
dilengkapi dengan hati nurani, akal pikirannya [cipta], rasa, karsa, serta
dilengkapi dengan kemampuan kebebasan.
Manusia juga memiliki kemampuan kebebasan untuk berbuat
sesuatu sesuai dengan pilihan-pilihannya [taqwa dan fujur] yang dapat
dipertanggungjawabkan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, makhluk
fungsional, makhluk bercirikan etika-religius, makhluk berbudaya, yang
kesemuanya itu merupakan nilai-nilai yang akan terkonstruksi dalam hidup dan
kehidupan manusia itu sendiri.
Manusia sebagi makhluk Tuhan yang memiliki potensi
[fitrah] bawaan ini bersifat integral-holistik. Dengan demikian pengembangan
sistem pendidikan harus berorientasi kepada potensi [fitrah] tersebut, baik
menyangkut dengan potensi ukhrawi dan duniawi sekaligus secara integral.
Pengembangan sistem pendidikan Islam tidak hanya berorientasi kepada persoalah
ukhrawi [akhirat] saja, tetapi harus terintegrasi dengan persoalan-persoalan
duniawi, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, sosial
kemasyarakatan, dan sebaginya.
Apabila konsep pendidikan Islam dapat mengintegrasikan
persoalan ukhrawi dengan duniawi, maka konsep pendidikan Islam akan tampil
berbeda dengan konsep pendidikan lainnya, karena secara integratif dapat
mengembangkan pendidikan ukrawiyah dan duniawiyah secara integral sekaligus.
Pandangan ini, didasarkan pada konsep ajaran Islam, bahwa ajaran Islam “tidak
menghendaki penghayatan agama yang mengarah pada pelarian diri dari kehidupan
duniawi, tetapi bahkan sebaliknya, Islam mengajarkan asketisme duniawi, yaitu
memakmurkan dan memajukan kehidupan dunia, tanpa tenggelam dalam kenikmatan
semu”.
Uraian di atas, menegaskan bahwa dalam sistem pendidikan
Islam “manusia dipahami sebagai zat theomorfis, maksudnya, manusia berorientasi
untuk menjadi pribadi yang bergerak di antara dua titik ekstrem yaitu antara
taqwa dan fujur, antara Allah dan setan dan manusia juga memiliki kehendak
bebas. Artinya, manusia mampu membentuk nasibnya sendiri dan bertanggungjawab,
sehingga manusia mampu menerima amanah khusus dari Allah”
Al Qur’an memberikan gambaran, bahwa para malaikat
bersujud kepadanya [Adam], karena ia memiliki potensi yang integral, sehingga
manusia mampu menjadi khalifah fil ardli. Allah menciptakan dan melengkapi
manusia dengan potensi atau daya-daya yang ada dalam dirinya, kemudian
perkembangan selanjutnya terserah pada manusia sendiri dan manusia dapat
menentukan nasibnya sendiri. Tugas manusialah yang dapat memberdaya-kan
potensi-potensi tersebut, karena daya-daya untuk mewujudkan kehendak itu telah
ada dalam diri manusia sebelum ada perbuatan. Maka dari sini, posisi dan peran
pendidikan dalam sistem pendidikan Islam adalah sangat senteral untuk
memberdayakan dan mengaktualisasikan potensi fitrah, melalui pendidikan
sehingga memperoleh ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan, seni dan budaya
berdarkan nilai-nilai ilahiyah.
Dalam al-Qur’an, Allah telah memberikan postulat-postulat
atau aksioma sebagai kunci dalam memahami, mengembangkan, dan memberdayakan
manusia, antara lain: [1] Allah telah memerintahkan manusia agar senantiasa
berpikir dan menggunakan akal pikirannya dalam memcahkan persoalan-persoalan
hidup yang dihadapi, seperti berpolitik, ekonomi, pendidikan dan lain
sebagainya. Ini artinya, Allah telah menyediakan potensi [fitrah] pada manusia
untuk diberdayakan, sehingga menjadi manusia yang fungsional. [2] Allah telah
melakukan liberalisasi dalam bidang ilmu dan semua manusia [khususnya muslim]
baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan mencari ilmu kepada siapa saja dan
di mana saja [Hadis]. [3] Dengan potensi akal, manusia diperintahkan untuk
membuktikan kekuasaan Allah dengan cara mengkaji dan mengolah alam demi
keperluan hidupnya dan dilarang berbuat semena-mena, kerusakan dan pertumpahan
darah. Allah telah memberikan pertanyaan-pertanyaan penting dalam al-Qur’an
tentang potensi-potensi besar yang ada di darat, laut dan angkasa. Al-Qur’an memberikan
postulat-postulat atau aksioma sebagai kunci bagi manusia untuk memahami dan
mendayagunakan alam. [4] Manusia diperintahkan untuk fantasirun fil ardl
[mengembara di muka bumi] dalam rangka mencari ilmu pengetahuan. Ini artinya,
setiap manusia, masyarakat, dan bangsa, oleh Allah diberi keistimewaan
masing-masing, ilmu pengetahuan dan perkembangan pemikiran umat manusia tidak
berhenti. [5] Kecintaan terhadap informasi atau pengetahuan yang akhirnya
menumbuhkan kecintaan kepada kegiatan belajar. Al-Qur’an pada ayat pertama kali
turun adalah perintah iqra’, mengandung perintah untuk membaca dan belajar yang
berorientasi pada upaya mengkaji tentang hakekat Tuhan [ilahiyah], mengkaji
hakekat manusia [insaniyah], mengkaji penomena-penomena alam semesta [sunatullah],
dan hubungan antara ketiganya serta fungsinya masing-masing secara terus
menerus dalam rangka mewujudkan manusia dan masyarakat yang unggul dan terbaik
dalam kehidupan.
Dengan potensi [fitrah] tersebut, manusia memiliki
kecenderungan untuk dibina dan dikembangkan sesuai dengan potensinya,
karakteristiknya dan hakekat kemanusian, sehingga dapat fungsional dalam
kehidupan yang betul-betul eksis sebagai pemegang amanah khalifah fil ardl.
Untuk itu, pendidikan yang berdasarkan konsep dasar pendidikan Islam, harus
memandang manuasi sebagai makhluk pemegang amanah khalifah fil ardl, manusia
dapat didik, dilatih dan diberdayakan untuk melahirkan manusia beriman, manusia
yang sempurna, bermoral tinggi [anggung dalam moralnya], memiliki pengetahuan,
berwawasan luas, sebagai manipestasi dari liberalisasi Allah terhadap kewajiban
seorang muslim untuk menuntut ilmu.
Hal ini diujudkan dengan perintah Allah untuk membaca
[iqra’] dan fantasirun fil ardl dalam rangka eksplorasi ilmu pengetahuan.
Selain itu, manusia juga berkemampuan untuk mengintegrasi-kan nilai-nilai
spritual ilahiyah dengan nilai-nilai kultural duniyawiyah dalam konstruksi yang
kokoh, seimbang, harmonis, dinamis dan kreatif dalam kehidupan manusia. Dengan
demikian, potret manusia semacam inilah yang dikehendaki dalam bangunan
pendidikan Islam berdasarkan konsep potensi [fitrah] yang bernilai ilahiyah
yang aktual dalam hidup dan kehidupan manusia.
Pengembangan pendidikan, harus tetap memperhatikan aspek
potensi dasar manusia yang ideal dan fungsional tersebut, karena semua potensi
yang dimiliki manusia akan menjadi sasaran pendidikan untuk dikembangkan
melalui kondisi-kondisi yang diciptakan dengan memberikan rangsangan sesuai
dengan kondisi yang diinginkan dan dikehndaki. Kondisi ini mungkin saja dapat
mempengaruhi potensi, baik yang tercipta melalui proses alamiah maupun situasi
yang diciptakan dalam proses pendidikan. Dengan pengembangan potensi tersebut,
memungkinkan manusia tumbuh dan berkembang secara utuh, harmonis, integratif
sesuai dengan nilai-nilai dan hakekat humanisasi. Maka, melalui proses
pendidikan, dapat “menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total
manusia melalui latihan spritual ilahiyah, intelek, rasional diri, perasaan dan
kepekaan terhadap perkembangan manusia. Karena itu, proses pendidikan
seharusnya menyediakan dan menciptakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam
segala aspeknya, yaitu aspek spritual ilahiyah, intelektual, imaginatif,
fisikal, ilmiah, linguistik”, baik secara individual maupun secara kolektif
serta dapat memotivasi semua aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan
kesempurnaan manusia [insan kamil].
Sejalan dengan pandangan di atas, maka pendidikan sesuai
dengan fungsi dan perannya diharapkan mampu melahirkan manusia dan masyarakat
yang memiliki kemampuan spritual, berilmu, bermoral, memiliki kemampuan
profesional, kemampuan inovasi dalam membangun dan menata kehidupan dunia yang
rahmatan lil ‘alamin. Usman Abu Bakar, menyatakan bahwa output pendidikan Islam
sekurang-kurangnya diharapkan mampu melahirkan manusia yang memiliki kemampuan
spritual ilahiyah yang tinggi, ketinggian ilmu, memiliki komitmen terhadap
profesionalisme, memiliki akhlak al-karimah, yaitu akhlak terhadap dirinya,
akhlak terhadap Allah Sang Pencipta-Nya dan akhlak terhadap makhluk-Nya yang
mencerminkan “keanggunan moralitas” manusia dalam keluarga, masyarakat dan
berbangsa yang merupakan ciri masyarakat madani. Jadi manusia dan masyarakat
yang unggul adalah manusia dan masyarakat yang “melakukan liberalisasi dalam
bidang berpikir dan ilmu pengetahuan. Masyarakat dan bangsa yang tidak
menganggap dirinya paling maju, bangsa yang terbuka untuk menerima ilmu dari
mana saja, bangsa agresif dan mendunia. Bukan bangsa yang tertutup, arogan, dan
mengaggap ilmu orang lain sebagai ilmu sekuler, ilmu kafir, dan sebagainnya”.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa “manusia”
dan “masyarakat” yang unggul dalam masyarakat madani Indonesia, yaitu: [1]
Manusia dalam menjalankan hidupnya merupakan pengabdian kepada Allah semata
[QS.51:56], karena Islam mengajarkan hidup dan seluruh aspeknya harus diniatkan
sebagai pengabdian [ibdah] kepada Allah. [2] Cara terbaik untuk mendapatkan
prestasi dalam hidup ini adalah dengan mempunyai ilmu dan memiliki etos kerja
yang tinggi. Rasulullah saw, bersabda yang artinya: “Barang siapa menghendaki
kebahagian kehidupan dunia haruslah dengan ilmu dan barang siapa menghendaki
kebahagian akhirat haruslah dengan ilmu dan barang siapa menghendaki kebahgian
keduanya haruslah dengan ilmu pula” [al-Hadis]. [3] Berorientasi ke masa depan,
kerja keras, teliti, hati-hati, menghargai waktu, penuh rasa tanggungjawab dan
berorientasi pada prestasi [achievement oriented] dan bukan prestige semata.
Jadi, manusia dan masyarakat yang unggul yang dikehendaki dalam kehidupan
masyarakat madani adalah manusia yang: [a] memiliki ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, untuk peningkatan derajat dan martabatnya, [b]
mempunyai cita-cita, visi dan misi, dalam kehidupan, [c] memiliki keunggulan
kompetitif, komporatif, dan keunggulan inovatif, [d] taat hukum, menghargai hak
asasi manusia, dan menghargai perbedaan [pluralisme], [e] memiliki rasa
tanggungjawab, karena “semua masalah dalam kehidupan harus dihadapi dengan
penuh rasa tanggungjawab [responsibility] dan penuh perhitungan [accountability],
[f] bersikap rasional,menghargai waktu, memperhatikan masa depan [membuat
perencanaan hidup] dan perubahan, kreatif dan berkarya execelence”, sehingga
tercipa “manusia madani” dalam arti manusia yang mengota, elite, dan berbudaya
tinggi.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa manusia berkualitas
adalah manusia yang memiliki ciri sebagai hamba Allah yang berimanan, berilmu
pengetahuan dan keterampilan, yang dapat memberikan manfaat bagi sesama
manusia. Ketiga cirri utama ini didapatkan pada manusia yang taqwa, sehingga
manusia dan masyarakat berkualitas dapat pula diartikan sebagai manusia yang
beriman, bertaqwa kepada Allah dengan memiliki sikap tawakkal, sabar, pemaaf,
muhsin, dan selalu mau bersyukur. Manusia yang berusaha meningkatkan diri dengan
memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki kemampuan inovasi, kemampuan
melakukan perubahan serta mengajak orang untuk meningkat.
Tuntutannya, peranan pendidikan dibutuhkan untuk
mensosialisasikan nilai-nilai tersebut dalam rangka mewujudkan manusia dan
masyarakat Indonesia yang unggul, sehingga keberadaannya secara fungsional
menjadi pemeran utama bagi terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan lil ‘alamin
dalam kehidupan masyarakat madani Indonesia yang demokratis.
No comments:
Post a Comment