BAB IV
DZIKIR FIKIR DAN DO’A DALAM KONFIGURASI KEGIATAN BELAJAR
MENGAJAR DI KELAS BERBASIS AL QUR’AN
Paket membaca dapat difahami dengan jelas dari pesan
al-quran yang pertama kali diturunkan. Selain penegasan iqra dalam surat
al-A'laq, wujud penegasan afala yanzuru,
laa'llakum yatafakkarun dan langkah riil dari pesan-pesan selanjutnya
adalah yang menggalakkan budaya memperhatikan dengan berkonsentrasi, berfikir
analitis, menelaah secara mendalam, mengkaji berulang-ulang dan budaya
melakukan penelitian sebagai aksi nyata.
Perhatikan maksud firman Allah: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah
telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang
mereka dahulu?" (Al-Mu'minun,: 68)
"Dan mengapa
mereka tidak memikirkan mengenai (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan
langit dan bumi dan apa yang ada di antara kedua-duanya melainkan dengan tujuan
yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara
manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya." (ar-Rum: 8).
Pembinaan peradaban
umat pertama kali seharusnya diawali dengan amalan membaca al-Quran. "Dan sesungguhnya Kami memudahkan
al-Quran untuk diingati, maka adakah orang mau mengambil pelajaran." (al-Qamar,
ayat 17).
Ibnu Sina, penulis karya al-Qanun fi al-Tibb menghafaz al-Quran sejak berusia 10 tahun. Kota
ilmu dan kebudayaan Islam masa silam seperti Baghdad, Teherah, Bukhara, Cordoba
dan sebagainya yang telah melahirkan ribuan ilmuwan dan saintis memiliki
kurikulum utama dengan menitikberatkan pada al-Quran. Konsep ‘k-society’ (masyarakat berilmu)
ternyata telah lama menjadi agenda umat sejak zaman dahulu. Tidak ada agama
yang mewajibkan penganutnya supaya menuntut ilmu dan peduli terhadap soal
keilmuan melainkan Islam.
Amalan membaca mesti dibiasakan sejak dari kecil, di
samping teladan dari orang tua dan lingkungannya. Anak pasti giat membaca
al-quran dan apapun juga bahan bacaan jika guru, orang tua, dan lingkungan
terdekatnya giat membaca. Kegiatan Belajar Mengajar di kelas dan Kegiatan
Belajar Mengajar diluar kelas termasuk kegiatan belajar di lingkungan keluarga
atau secara umum kegiatan pendidikan layaknya mendapat tempat yang paling
tinggi setelah kegiatan lainnya, pendidikan khususnya pendidikan Islam
mempunyai kontribusi yang amat besar dalam pembangunan negeri ini, karena
pendidikan Islam adalah pendidikan rahmat bagi seluruh bangsa.
Namun realitas diatas berbalik arah 180 derajat, masih
adanya pemahaman tentang dualisme pendidikan di Indonesia, tidak lebih
menguntungkan posisi pendidikan Islam secara kelembagaan, pendidikan Islam
dipandang sebelah mata dan sebagai pendidikan yang margin, terbelakang dan
menjadi alternatif nomor dua.
Belajar dari
realitas diatas, kita perlu mengadakan instropeksi yang mendalam tentang
mengapa Pendidikan Islam yang seharusnya menjadi kebanggaan ummat karena
notabene menyandang nama Islam yang sesungguhnya merupakan rahmat, kita selalu
menyatakan protes keras dan ketidakterimaan jika al qur’an dan as Sunnah
dikatakan bukan landasan pendidikan yang akurat, namun kita selama ini belum
menyadari dengan fanatisme kita atas al qur’an dan as Sunnah tersebut disisi
lain kita masih menggunakan kurikulum yang berpijak pada kurikulum barat yang
sekuler yang secara sengaja menjaukah dari al Qur’an.
Para ulama yang kita tokohkan dan kita karismakan selalu
berslogan “Ilmu pengetahuan tanpa agama
adalah buta, dan agama tanpa ilmu pengetahuan adalah pincang. Slogan
tersebut selalu digemborkan dalam setiap berceramah mengenai hubungan ilmu
pengetahuan dan kependidikan dengan agama, bahkan slogan tersebut sudah kental
pada dunia akademisi Islam dan menjadi motto pada salah satu lembaga Pendidikan
Tinggi Islam, namun disisi lain hingga tulisan ini sampai di hadapan pembaca,
belum pernah penulis mendengar satu orang ulama’ pun yang protes atas penerapan
Quantum Learning pada lembaga pendidikan Islam, ulama seakan mentutup mata atas
kegiatan siswa yang bernyanyi atau memutar musik klasik (yang sebenarnya musik
pengiring kegiatan gereja) atau aktifitas sekuler lainnya yang kurang etis jika
dilandaskan pada etika Islam itu sendiri.
Upaya pengejaran ketertinggalan Pendidikan Islam atas
pendidikan umum atau pendidikan barat, bukan berarti kita harus mengejar
ketertinggalan tersebut dengan mengikuti jalan setapak yang pernah dilalui
sebelumnya, namun kita mempunyai jalur utama yang selain harus kita yakini akan
kebenarannya, kita harus mengkaji secara kritis jalan tersebut dengan berbagai
inovasi demi percepatan dan keberhasilan pendidikan Islam.
Hal yang terlupakan oleh kita selama ini adalah tidak
menganggap bahwa kegiatan pendidikan Islam adalah pendidikan suci, dan
pendidikan suci tidak terlepas dari kegiatan yang akan diuraiakan dalam
kerangka kegiatan yang merefleksikan tentang berdzikir, berfikir dan berdo’a
pada kegiatan belajar mengajar.
A.
Dzikir, Do’a dan Budaya
Belajar Islami
Dalam berinteraksi
dengan manusia, ada etika, sopan santun, dan adab. Menjaga pola interaksi dan
komunikasi yang baik, akan menjamin hubungan yang baik dengan sesama. Begitupun
sebaliknya. Tanpa etika, sopan santun dan adab, hubungan sesama manusia akan
sulit menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Ilustrasi ini, akan mengawali,
bagaimana kita menjalin hubungan, komunikasi dan interaksi yang baik dengan
Allah Swt, melalui dzikir dan do’a.
Dalam setiap berdzikir
dan berdo’a dimulai dengan istilanya Istiadzah,
Allah menyuruh supaya kita beristi’adzah setiap kali mulai membaca al Qur’an,
sebagaimana firmannya: “Apabila kamu
membaca al Qur’an, hendaklah ber isti’adzah (meminta perlindungan) kepada Allah
dari syetan yang terkutuk”. (an-Nahl, 16: 98).
Adapun sebab orang
diminta secara khusus agar beristi’adzah ketika hendak membaca al Qur’an,
sesungguhnya ia telah disuruh membaca dalam setiap keadaan, dengan alasan al
Qur’an adalah sumber hidayah, sedang syetan adalah sumber kesesatan. Oleh
karena itu Allah mengajarkan agar kita memelihara diri dari semua gangguan
dengan membaca kalimat Isti’adzah. Kemudian membaca basmalah, dan surah al
Fatihah.
Diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir dan Ibnu Abi Hatim, berasal dan Ibnu Abbas, katanya: Bahwa dalam
pertemuan antara Malaikat Jibril dan Muhammad saw. Jibril berkata: “Ya
Muhammad, sebutlah: Astaiidzu billaahis-Samiil-Aliimi-minasy-syaitoonir-rojiim
kemudian itu (sesudah Rasulullah membaca apa yahg cliajarkan itu), sebutlah:
Bismillaahir— Rahmaanir—Rahim (Sesudah apa yang diajarkan Jibril itu disebut
oleh Rasulullah saw.), Jibril lalu berkata: Bacalah dengan mengingat (menyebut)
Allah Tuhan Mu. Dan berdirilah dan duduklah dengan mengingat (mnenyebut) Allah yang
Maha Tinggi.”
Dari hadis-hadis yang
tersebut di atas, dapatlah kita ambil kesimpulan, bahwa menyebut “BismiIlaahir-Rahmaanir-Rahiim” pada
permulaan tiap-tiap pekerjaan, dan urusan adalah penting sekali, Penting bagi
kelancaran dan keselamatan pekerjaan, dan keselamatan orang yang mengerjakan
pekerjaan dan urusan itu, dan pula penting untuk keberesan dan keselamatan
hasil dari pekerjaan dan urusan itu.
Setiap pekerjaan yang
dimulai dengan menyebut Nama Allah akan mendapat berkah dari Allah. Apakah
artinya berkah atau barakah itu ? Berkah atau barakah ialah “senantiasa dalam
keadaan baik dan selamat, dan senantiasa pula terhindar dari segala
marabahaya.”
Setiap pekerjaan atau
urusan (aksi), pasti disertai oleh halangan dan rintangan (reaksi). Tidak ada
pekerjaan atau urusan tanpa halangan atau rintangan. Ada halangan dan rintangan
yang dapat kita tangkap (ketahui) lebih dahulu, tetapi amat banyak rintangan
dan halangan itu yang tidak dapat kita ketahui sebelumnya.
Tetapi sebagaian kita
telah pelajari, setiap macam halangan dan rintangan, baik yang kita ketahui
atau yang tidak kita ketahui, pasti diketahui oleh Allah, karena pada
hakikatnya setiap halangan dan rintangan itu adalah dengan takdir atau kehendak
dari Allah juga. Dan sebagai kita ketahui pula, bahwa Allah mengetahui
segala—galanya. Ingatlah bahwa di antara Nama—Nama Allah ialah AL MAANI yang
artinya: yang menghalang-halangi atau mencegah sesuatu yang Ia kehendaki.
Dengan menyebut
Bismillah dalam memulai pekerjaan, bukan saja berarti yang Allah turut sertakan
dalam melaksanakan pekerjaan itu, tetapi juga berarti bermohon dan bendo’a
kepada Allah untuk melenyapkan segala halangan dan rintangan yang telah
diketahui oleh Allah terhadap kelancaran pekerjaan itu.
Menyebut Bismillah berarti
menyebut, mengingat, mengerti, menyadari akan eksistensi Allah sebagai causa
prima. Setiap manusia yang berada dalam status ingat, menyebut, mengerti dan
sadar terhadap Allah, berada dalam ketenangan jiwa atau batin. Kebalikan dari
menyebut, mengingat atau menghadapkan perhatian terhadap selain Allah. Setiap
orang yang menghadapkan perhatiannya terhadap selain Allah, terhadap apa saja,
misalnya terhadap harta, terhadap kekasih, terhadap pertandingan-pertandingan,
pasti berada dalam kegelisahan jiwa atau batin. Lebih banyak kita mengingat
selain Allah, semakin gelisah, semakin panik, dan inilah yang menimbulkan
kelemahan-kelemahan jasmani dan rohani, menyebabkan timbulnya berbagai
penyakit. Firman Allah: “Orang yang
beriman dan tenteram (tenang) batin mereka lantaran mengingat akan Allah.
Ketahuilah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati bisa menjadi tenteram.
(ar-Raad.28).
Bila seorang manusia
melakukan satu pekerjaan atau urusan dengan hati dan jiwa yang tenang, maka
sekalipun pekerjaan itu tampaknya sulit dan berat, maka pekerjaan itu akan
rnenambah kegembiraan baginya, kegembiraan ini akan menambah kekuatan dan
bahagianya orang itu. Inilah pula barakah yang dirnaksudkan Rasulullah saw,
bagi setiap orang yang memulai pekerjaan dengan menyebut Bisinillah itu. (Bey
Arifin, 1994: 93-94).
Sesunggunya manusia
dalam kehidupan di dunia ini dan dalam mengerjakan apa saja termasuk memulai
suatu pendidikan dalam mengerjakannya sangat memerlukan dua tenaga, dengan yang
satu ia menjalankan pekerjaannya, sedang
dengan yang lain ia memperkuat
semangatnya. (Muhammad Syaltout, 1989, 40-46). Semangat tersebut
terimplikasikan dalam berdo’a dan berfikir tentang metodologi atau cara dalam
pengerjaannya. Sementara kenyataan pendidikan Islam selama ini dilaksanakan
mungkin hanya pekerjaannya saja, sehingga kondisi pendidikan Islam sangat
terpuruk seperti sekarang ini.
Islam sudah memberikan
garis yang lurus mengenai alur pendidikan yang harus senantiasa kita lestarikan
dan kita budayakan, dzikir sebagai media penyucian jiwa (soul hallowing) atau
sentuhan ruhaniah agar menjadi lembaga pendidikan yang mempunyai rahmat bagi
lembaga pendidikan lainnya dan keummatan pada umumnya.
Budaya dzikir yang
dimulai dengan bacaan ayat dengan tartil, do’a-do’a, puji-pujian, serta nasyid
yang mengandung pesan mendidik dan mengarah pada sugesti siswa, menjadi lebih
unggul dan mencapai sasaran yang lebih tepat daripada terapis Lyle Palmer dalam
mengkondisikan siswa kedalam mental dan fisiologis yang positif sehingga
betul-betul siap dalam menerima dan menyerap ilmu yang diberikan oleh guru.
Kekuatan membaca Al-qur'an yang
terlansir di dalam Al-Qur'an, dan pengajaran Rasulullah Saw. Bahwa dampak bacaan al-qur'an mampu
munurunkan tekanan syaraf, kalimat dalam Al-Qur'an itu sendiri memiliki
pengaruh fisiologis, satu ayat saja mengandung makna adanya energi listrik
merupakan indikator bagusnya kadar fluktuasi ketegangan syaraf, oleh karena itu
sudah diketahui oleh umum bahwasanya ketegangan-ketegangan saraf akan
berpengaruh kepada dis-fungsi organ tubuh yang dimungkinkan terjadi karena
produksi zat kortisol atau zat lainnya ketika merespon gerakan antara saraf
otak dan otot, oleh karena itu pada keadaan ini pengaruh al-qur`an terhadap
ketegangan saraf akan menyebabkan seluruh badan segar kembali, dimana dengan
bagusnya stamina tubuh ini akan menghalau berbagai penyakit atau mengobati. Dan
hal ini sesuai dengan keadaan penyakit tumor otak atau kanker otak. Juga
kalimat-kalimat al-qur`an itu sendiri memeliki pengaruh fisiologis terhadap
ketegangan organ tubuh secara langsung, apalagi apabila disertai dengan
mengetahui maknanya.
Dengan budaya dzikir
(termasuk membaca ayat-ayat al qur’an) inilah siswa betul-betul merasakan
kondisi konsentrasi, relaksasi dan siap menerima presentasi materi. Dengan
demikian budaya belajar yang Islami akan mempunyai ciri khas sebagai pembeda
antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum lainnya, yakni pendidikan islam
selalu didahului dengan beristi’adzah, kemudian berdo’a dan membaca al Qur’an
secara tartil.
B.
Hidayah dan Akal
Kepada manusia yang normal akan
senantiasa diberi paket petunjuk yang dinamakan agama, manusia belajar karena
dibekali dengan akal oleh Allah, dengan dibantu panca indera, akal berfungsi
untuk membedakan hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk, merugikan dan
menguntungkan, merusak dan memperbaiki, membahagiakan dan mencelakakan dan
sebagainya. Bahkan dengan akal yang dimiliki manusia mampu menciptakan
teknologi. (Bey Arifin, 1994: 29 – 31)
Timbulnya hidayah adalah karena
manusia menggunakan akal secara baik dan proporsional, berdasarkan petunjuk
yang telah digariskan yaitu agama dengan kitab sucinya. Sehingga akal tersebut
tidak berjalan dengan sendirinya, akan tetapi senantiasa dipandu oleh hidayah
ketika mendapati suatu masalah yang sulit dipecahkan.
Keterpurukan pendidikan Islam selama
ini dimungkinkan jauhnya hidayah tersebut, karena insan pendidikan Islam yang
selama ini justru meniru dan bahkan menggunakan landasan pemikiran barat dengan
berbagai tawaran ide yang melangit, sehingga melupakan jalur yang seyogyanya
dilalui. Oleh karenanya kita perlu instropeksi diri agar hidayah dari Allah
kembali kepada kita sebagai insan pendidikan Islam, firman Allah yang layak
kita jadikan landasan instropeksi adalah sebagai berikut: “Aku (Iblis akan goda mereka (manusia) dari segala jurusan; dari depan,
dan belakang, dan kanan dan dari kiri mereka, sehingga kebanyakan manusia itu
tidak pandai bersyukur.” (al-A ‘raf 17)
“Dan engkau akan lihat kebanyakan dari mereka berlomba
lomba nengenjakan dosa dan permusuhan dan memakan barang haram. Sesungguhnya
amat jelek apa yang mereka lakukan.” (àl-Maidah:62)
“Sesungguhnva Kami (Allah) telah tunjukkan kepadamu akan
kebenaran, tetapi kebanyakan kamu membenci kebenaran itu. “ (àl-Zukhruf 78)
“Dan sesungguhnya Kami telah turunkan kepada kamu beberapa
keterangan yang nyata. Dan tidaklah akan ingkar terhadap keterangan itu selain
orang-orang yang fasiq (durhaka). Dan tiap-tiap kali mereka membuat perjanjian,
lantas dilemparkan begitu saja, bahkan kebanyakan mereka tidak beriman. “ (àl-Baqarah: 99-100)
‘Dan jika engkau bertanya kepada mereka: Siapakah
yangmenurunkan air dari langit, yang menghidupkan (rnenyuburkan) bumi sesudah
matinya? Niscaya mereka akan menjawab: “Allah.” Sebab itu ucapkanlah
“Alharndulillah Tetapi kebanyakan mereka tidak rnengerti (lidak benar jalan
pikirannya) “ (al-Ankabut: 63)
Jika kita sudah melakukan instropeksi
terhadap ayat-ayat diatas, maka kita harus melaksanakan sistim pembelajaran
kita dengan apa yang sudah digariskan oleh Allah dalam Al Qur’an dan sunnah
rasulnya, seperti mencoba mengganti komponen kurikulum yang kurang Islami dan
bukan berarti menafikan ide barat yang baik dan perlu kita contoh.
C.
KBM
berbasis Al-Quran di Tengah Perkembangan Ilmu
Al-Quran
menggunakan kata ‘Ilm dalam berbagai bentuk dan arti nya sebanyak 854 kali.
Antara lain sebagai “proses pencapaian
pengetahuan dan objek pengetahuan” (al Baqoroh:31-32). Pembicaraan tentang
ilmu mengantarkan kita kepada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu di samping
klasifikasi dan ragam disiplinnya.
Pemikir
Islam abad XX, khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan Islam di
Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua katagori:
1.
Ilmu abadi (perennial
knowledge) ilmu yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam Al-Quran dan
Hadis serta segala yang dapat diambil dan keduanya.
2.
Ilmu yang dicari (acquired
knowledge) termasuk sains ke alaman dan terapannya yang dapat berkembang
secara kualitatif dari penggandaan, variasi terbatas dan pengalihan antar
budaya selama tidak bertentangan dengan Syari’ah sebagai sumber nilai.
Dewasa
ini diakui oleh ahli-ahli sejarah dan ahli-ahli filsafat sains bahwa sejumlah
gejala yang dipilih untuk dikaji oleh komunitas ilmuwan sebenarnya ditentukan
oleh pandangan terhadap realitas atau kebenaran yang telah diterima oleh
komunitas tersebut. Dalam hal ini, satu-satunya yang menjadi tumpuan saintist
mutakhir adalah alam materi.
Di
sinilah terletak salah satu perbedaan antara ajaran Al-Quran dengan sains
tersebut. Al-Quran menyatakan bahwa objek ilmu meliputi batas-batas alam materi
(physical world), karena itu dapat
dipahami mengapa Al-Quran di samping menganjurkan untuk mengadakan observasi
dan eksperimen: “katakanlah berjalanlah
di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari
permulaannya, kemudian Allah menjadikan sekali lagi. Sungguh Allah maha kuasa
atas segala sesuatu. (al Ankabuut:20), juga menganjurkan untuk menggunakan
akal dan intuisi: Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (an
Nahl:78).
Hal
ini terbukti karena, menurut Al-Quran, ada realitas lain yang tidak dapat
dijangkau oleh pancaindera, sehingga terhadapnya tidak dapat dilakukan
observasi atau eksperimen seperti yang ditegaskan oleh firman-Nya: “Maka Aku bersumpah dengan apa-apa yang
dapat kamu lihat dan apa-apa yang tidak dapat kamu lihat” (al Haqqah:38-39).
Hal
ini membuktikan keterbatasan ilmu manusia: Dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh, katakanlah Roh itu termasuk urusan tuhan
– ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Al Israa’
17:85). Kebanyakan manusia hanya mengetahui fenomena. Mereka tidak mampu
menjangkau nomena: Mereka hanya
mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat adalah lalai (Ar
Rum 30:7).
Dari
sini dapat dimengerti adanya pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh Al
Qur’an dan yang di sadari atau tidak — telah diakui dan dipraktekkan oleh para
ilmuwan. (Dr. Quraisy Shihab, 2004: 63)
Kegiatan Belajar
Mengajar berbasis Al Qur’an dalam konteks ini hanyalah sebatas kajian
sunnatullah tentang alam raya yang fenomenal dengan melandaskan bahwa al qur’an
senantiasa eksis dalam pelandasan setiap inovasi-inovasi termutakhir. Semoga
dengan menggunakan akal fikiran yang pada jalur ilahiyah tersebut hidayah Allah
senantiasa diberikan kepada kita sebagai Insan Pendidikan Islam.
No comments:
Post a Comment