Saturday, 11 March 2017

Pembelajaran berbasis Al Qur'an 8




BAB VIII

DESAIN KURIKULUM PENDIDIKAN BERBASIS

AL QUR’AN

Sejauh ini para pakar dan praktisi pendidikan memandang falsafah dasar pendidikan yang mengulas tentang konsep dan praktik pendidikan secara integral dan konprehensip sebagai bagian yang amat penting dan yang paling menentukan keberhasilan suatu proses pendidikan. Apalagi, di tengah perkembangan global dan arus modernisasi yang melaju demikian pesat, proses pendidikan harus terus diberi inovasi-inovasi baru sehingga tak ketinggalan oleh perkembangan itu sendiri serta yang lebih penting adalah memiliki arah dan tujuan yang jelas. Meskipun hingga saat ini pandangan tersebut masih sebatas wacana dan belum menyentuh pada tataran aplikasi khususnya diinterpretasikan kedalam suatu desain kurikulum, maka kita perlu sebuah konstruksi filosofis pendidikan dengan mengarahkan proses pendidikan pada keberhasilan substantif.

Secara konseptual pemahaman kurikulum hingga kini sangat beragam, pakar kurikulum memberikan jawaban yang bervariasi, sesuai dengan sudut pandang kajian maupun aspek materinya yang sedemikian luas untuk dapat dijelajahi. Bahkan dari hal-hal yang paling konkret hingga yang paling abstrak sekalipun dapat dijadikan semacam argumen dalam memberikan pemaknaan terhadap kurikulum.
Dengan luasnya jelajah kurikulum terebut mengakibatkan konsekuensi munculnya miskonsepsi terhadap pengembangan kurikulum, adalah terjadinya “malpraktek” pendidikan yang pada gilirannya berdampak pada rendahnya peran serta guru dalam proses pembelajaran di kelas yang secara otomatis diikuti dengan rendahnya kualitas out put dari pendidikan itu sendiri.
Agar terhindar dari tindakan simplifikasi pemahaman terhadap kurikulum, maka ada baiknya jika secara singkat dibahas mengenai konsep kurikulum dalam arti luas, sehingga dapat dicermati kapan dan bagaimana guru dapat memberikan kontribusinya dalam proses pengembangan kurikulum.
Dalam literatur memang banyak ditemukan definisi kurikulum yang sangat bervariasi, bergantung pada konteks tertentu saat para pakar mendefinisikannya. Namun demikian menurut Beane dkk (1986) dinyatakan bahwa konsep kurikulum dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis pengertian yang meliputi: (1) kurikulum sebagai produk; (2) kurikulum sebagai program; (3) kurikulum sebagai hasil yang diinginkan dan; (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi peserta didik. (Beane, 1986).
Kurikulum sebagai produk merupakan hasil perencanaan, pengembangan, dan perekayasaan kurikulum. Pengertian ini memiliki keuntungan berupa kemungkinan yang dapat dilakukan terkait dengan arah dan tujuan pendidikan secara lebih konkret dalam sebuah dokumen yang untuk selanjutnya diberi label kurikulum. Oleh karena itu kurikulum dalam arti produk merupakan hasil yang konkret yang dapat diamati dalam bentuk dokumen hasil kerja sebuah tim pengembang kurikulum. Kiranya perlu juga diingat bahwa definisi tersebut juga memiliki kelemahan yakni adanya pemaknaan yang sempit terhadap kurikulum. Dalam hal ini kurikulum hanya dipandang sebagai dokumen yang memuat serentetan daftar pokok bahasan materi dari suatu mata pelajaran. Belum lagi jika kurikulum hanya dipahami sebagai produk berupa kemungkinan munculnya asumsi bahwa perencanaan kurikulum dapat mendeskripsikan semua kegiatan pembelajaran yang akan terjadi di sekolah. Untuk konteks lingkup pendidikan dewasa ini rasanya akan kesulitan untuk dapat mengakomodir semua fenomena kehidupan yang sangat dinamis.
Esensi kurikulum pendidikan berbasis al Qur’an adalah bentuk program-program pengajaran yang diaplikasikan secara riil dalam bentuk latihan (riyadlah) dan kegiatan nyata (muamalah). yang secara ekstrim, dapat termanifestasikan dalam serentetan daftar pelajaran ataupun pokok bahasan yang diajarkan pada kurun waktu tertentu seperti halnya dalam kurun waktu satu semester. Elaborasi atas interpretasi yang lebih luas dari definisi tersebut dapat mencakupi aspek-aspek akademik yang kemungkinan perlu dimiliki oleh sekolah dalam kerangka kegiatan pembelajaran suatu kajian ilmu yang terintegrasi dengan kandungan al Qur’an.
Cara pandang ini mempunyai keuntungan yang dapat diambil, yaitu: pertama, dengan cepat dapat menunjukkan dan menjelaskan apa yang dimaksud kurikulum dengan lebih konkret, kedua, dapat memahami bahwa kegiatan pembelajaran dapat terjadi dalam setting yang berbeda pada jenjang yang berbeda serta pada lokasi yang berbeda pula, namun kelemahannya adalah munculnya asumsi bahwa apa yang tampak dalam daftar pokok bahasan, itulah yang harus dipelajari oleh siswa.
Sementara itu yang memandang kurikulum sebagai hasil belajar yang ingin dicapai oleh para siswa, mendeskripsikan kurikulum sebagai pengetahuan, keterampilan, perilaku, sikap dan berbagai bentuk pemahaman terhadap bidang studi. Walau pengertian ini lebih konseptual, namun hasil belajar yang diinginkan siswa juga sering dituangkan dalam bentuk dokumen seperti halnya tujuan belajar, seperangkat konsep yang harus dikuasai, prinsip-prinsip belajar dan sebagainya. Keuntungan dari cara pandang seperti ini adalah: pertama, kurikulum menjadi sebuah konsep, yang selanjutnya dapat dikembangkan dan dielaborasikan oleh guru, siswa dan masyarakat, sehingga tidak sekedar produk semata yang secara “ritual” harus diajarkan sebagaimana adanya tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan kultural baik di sekolah maupun di masyarakat, kedua, dapat menyusun kurikulum menjadi lebih manageable baik dari segi scope maupun sequennya. Kelemahannya adalah adanya kesulitan bagi para guru maupun sekolah dalam menangani secara terpisah apa yang harus dipelajari oleh siswa.
Pemahaman lainnya adalah pemaknaan kurikulum sebagai pengalaman belajar, pada hakikatnya merupakan pemisahan yang sangat jelas dari tiga pemaknaan sebelumnya. Pemaknaan kurikulum yang terakhir ini lebih merupakan akumulasi pengalaman pendidikan yang diperoleh siswa sebagai hasil kegiatan belajar atau pengaruh situasi dan kondisi belajar yang telah direncanakan. Sebagai implikasinya apa yang direncanakan dalam kurikulum belum tentu berhasil sebagaimana yang diharapkan. Hal ini tentu banyak faktor yang mempengaruhinya seperti halnya kemampuan guru dalam menerapkan dan mengembangkan kurikulum dalam proses pembelajaran. Artinya sebaik apapun kurikulumnya bila tidak didukung oleh guru yang profesional tentu tidak banyak memberikan makna terhadap siswa, demikian pula sebaliknya.
Keuntungan dari pemaknaan tersebut setidaknya ada dua hal yaitu: pertama, pihak guru maupun sekolah lebih memusatkan perhatiannya pada siswa dalam proses pembelajaran, kedua, guru akan lebih melibatkan semua pengalaman siswa. Walau demikian ada pula kelemahannya yaitu: (1) kurikulum terasa lebih abstrak dan kompleks jika dibandingkan dengan pemahaman yang sebelumnya, dan (2) kurikulum menjadi sangat komprehensif, sehingga tidak dapat dideskripsikan dalam bentuk yang sederhana, sehingga muncul terminologi mengenai kurikulum eksplisit (tertulis) dan implisit (tidak tertulis) atau kurikulum tersembunyi (hidden curriculum).
Sehubungan dengan ini, hal yang perlu dipertimbangkan dalam merancang kurikulum pendidikan berbasis al Qur’an adalah capaian yang dikehendaki oleh ayat 5 surat al Alaq yang subtansinya adalah belajar dan senantiasa belajar (learning to learn) atau belajar bagaimana belajar (how-to-learn).

A.   Falsafah dasar Pendidikan Berbasis Al Qur’an

1.      Membaca
Pemaknaan pengajaran membaca dalam hal ini adalah kurikulum harus mempunyai orientasi pembahasan tentang membaca, membaca dalam hal ini tidak secara otomatis sebagaimana Term iqra’ yang tidak hanya berarti membaca secara tekstual saja, tapi juga berarti menghimpun, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak tertulis. (Prof. Dr. Quraish Shihab, 2003: 433).
Indikator kurikulum yang memuat membaca disesuaikan dengan jenjang suatu satuan pendidikan, diawali dengan membaca satu kata yang dikonotasikan dengan kemampuan siswa membaca nama-nama benda sebagaimana firman Allah: "Allah mengajarkan kepada Adam segala nama benda" [QS.al-Baqarah (2):31].
Membaca dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah [1] melihat tulisan dan mengerti atau dapat melisankan apa yang tertulis itu. [2] mengucapkan. Arti membaca diatas sebenarnya sangat sederhana namun secara eksplisit terminology membaca sebenarnya harus mengandung beberapa aspek yaitu:
a.      membaca dengan cepat dan lancar.
Setiap orang pasti pernah mengalami membaca teks dengan intonasi dan tekanan suara yang betul dan sesuai, ini dipelajari setiap orang ketika masuk di bangku sekolah dasar hingga kelas tiga. Model membaca ini sama juga dengan membaca al qur’an dengan tidak tartil yang sesuai dengan bacaan tajwid, ghorib dan musykilatnya. Cara membaca ini sebenarnya perlu dikembangkan dengan model yang lebih baik, yakni membaca dengan cepat.

Pada pembelajaran membaca al qur’an dengan tartil yang sesuai dengan bacaan tajwid, ghorib dan musykilatnya seorang ustadz akan menyuruh santrinya: “Agar lancar dalam membaca al Qur’an, ketika bacaan sampai pada kalimat pertama, maka mata dan pikiran kamu harus sudah melirik kalimat selanjutnya, begitu dan begitu seterusnya”.
Cara sang ustadz dalam mengajarkan membaca al Qur’an tersebut mempunyai hasil yang sangat mengejutkan, santri dalam membaca al Qur’an yang bukan bahasa ibu mereka, malah mempunyai kecapatan yang jauh diatas bacaan-bacaan yang berbahasa Indonesia.
Banyak kasus siswa sekolah dasar yang sorenya belajar mengaji di taman pendidikan al Qur’an kemampuan membacanya lebih lancar dari pada membaca buku-buku pelajarannya. Banyak faktor santri mempunyai kemampuan membaca yang menkjubkan tersebut, dari sisi sugesti dan fisiologi yang tepat, kesabaran ustadz dan keikhlasannya, dan masih banyak faktor lagi yang membuat santri merasa membaca yang tidak merasa terbebani.
Membaca selama ini menjadi beban yang amat berat bagi siswa, bagaimana cara ustad dalam mengajar membaca diatas kita adopsi sebagai cara kita mengajar pelajaran di lembaga pendidikan formal, guru harus mengembangkan pola membaca cepat bagi siswa seperti menggunakan timer atau jam dengan menandainya waktu berhenti ketika waktu yang telah ditentukan sudah selesai. Dari situ guru akan dapat mengukur kemampuan siswa dalam hal membaca, teknik membaca dengan cepat ini dijadikan tugas pekerjaan rumah seperti dalam satu menit siswa mampu membaca berapa kata, dari tugas ini siswa akan dengan senangnya mengukur kecepatan membacanya karena menikmati cara ini atau takut kalah cepat dengan temannya, pekerjaan rumah model seperti ini akan lebih tepat mengenai sasaran dari pada siswa diberi pekerjaan rumah yang ketika dirumah orang tua atau saudaranya yang mengerjakannya. Disini peran orang tua dalam membantu tugas anaknya akan mengarah kepada bimbingan yang lebih riil.
b.     membaca dengan pemahaman
Membaca dengan pemahaman sebenarnya semudah membaca dengan kecepatan diatas, membaca dengan cepat akan mempermudah dan mempercepat memahami topik atau pikiran dan gagasan dalam materi bacaan tersebut, semakin cepat kita membaca, maka semakin banyak kita menemukan gagasan pokok yang terdapat dalam suatu paragraph, dengan membaca cepat kita akan memahami isi (pikiran pokok) dan bukan memahami kata demi kata atau kalimat demi kalimat.
Perbedaan membaca biasa dengan membaca cepat pada keadaan normal, membaca biasa kita mampu memahami satu kata atau satu kalimat, dan membaca cepat kita dapat memahami satu frase dan bahkan satu paragraph.
Dengan membaca cepat kita akan mampu:
-          menyesuaikan kadar kelancaran bacaan dengan bahan bacaan, memahami dan menafsir bahan grafik serta mampu menggambarkan ide lain dari bahan yang sedang kita baca.
-          menggunakan berbagai-bagai strategi termasuk membuat inferensi tentang makna perkataan-perkataan dalam konteks penggunaannya.
-          memberi respons secara kritis dan kreatif terhadap teks bacaan.
-          Memahami dengan jelas idea pokok bahan bacaan baik yang tersurat maupun yang tersirat
-          mengenal dengan jelas ide-ide lain atau penjelasan lebih lanjut dari ide-ide pokok dalam materi yang sedang dibaca.
-          Memvisualkan gagasan yang ada dalam bacaan kedalam belahan otak dalam bentuk ide baru atau fantasi baru.
-          menikmati dan menilai penggunaan bahasa dalam sesebuah teks.

2.      Menulis
Menulis adalah salah satu falsafah dasar pendidikan Islam setelah membaca, dalam surat ala alaq 1 – 5 diperintahkan membaca dua kali dan menulis satu kali. “yang mengajarkan manusia dengan perantara qalam (pena), menulis dalam kegiatan belajar mengajar disini dimaksudkan pada tataran mencatat, siswa mencatat keterangan-keterangan penting pada materi yang disampaikan oleh guru, dan bukan menyalin, boleh saja guru kadang kala meminta siswanya untuk merangkum suatu bab yang sudah atau belum dipresentasikan, atau kadang kala guru ketika mempresentasikan suatu materi pembelajaran, langsung mendiktekan point dari materi yang sedang dipresentasikannya untuk dicatat oleh siswanya.
Mencatat merupakan media yang sangat penting dalam rangka meningkatkan daya ingat siswa, karena dengan mencatat akan lebih mudah membantu daya ingat. Kebanyakan siswa akan mengingat dengan baik materi pelajaran yang diajarkan / dipresentasikan oleh gurunya ketika membuka kembali saat belajar di rumah. Dengan catatan tersebut siswa akan mudah memahami alur dan lintasan gambaran pelajaran yang telah disampaikan. Dengan mencatat tersebut kadang siswa langsung membuat pertanyaan-pertanyaan dari penjelasan guru yang masih kurang difahami oleh siswa.
Dukungan guru dalam memberi pengantar awal setiap kali sesi presentasi materi akan membantu siswa dalam mencatat, pengantar tersebut seperti untuk apa kita mengikuti pelajaran ini dan dapat apa setelah kita mengikuti pelajaran ini. Pengantar sebagai tinjauan awal dalam mengikuti pelajaran akan menentukan keberhasilan siswa dalam membuat cataan untuk memetakan pikirannya serta untuk menpermudah siswa dalam mengulangnya kembali ketika dipelajari di rumah.
Dalam membantu kelancaran siswa dalam mencatat, maka saran yang perlu diberikan kepada siswa adalah menulis kembali materi pelajaran tersebut dalam berbagai jenis penulisan, bisa dalam bentuk cerita, resume, pengembangan ide-ide pokok dalam penulisan kembali dan sebagainya.

3.      Berhitung
Berhitung dalam pembelajaran selama ini sama sekali terlepas dari materi membaca dan menulis, kalau toh ada hubungannya dengan membaca dan menulis, maka berhitung tersebut hanya seputar pada materi hitungan yang diajarkan karena berpedoman pada kurikulum.
Dengan adanya guru kelas pada tingkat satuan pendidikan dasar, sebenarnya integralisasi kurikulum sangat memungkinkan, apalagi dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dalam mengajar berhitung guru harus memperhatikan pelajaran yang lain seperti membaca dan menulis. Suatu contoh ketika mengajarkan angka satu, maka guru akan menjelaskan sifat Allah adalah satu, satu itu tidak ada yang yang menyamai, tidak ada yang menandingi. Satu adalah permulaan, Angka dua Suatu kebesaran Allah yang telah menciptakan makhluknya didunia ini secara berpasang-pasangan seperti siang dan malam, pagi dan petang, menciptakan laki-laki dan perempuan, Allah telah menciptakan dua alam yaitu alam dunia dan alam akhirat, alam nyata dan alam ghoib, alam hidup dan alam mati, putera nabi adam ada dua. Angka tiga seorang harus beriman, berislam dan berikhsan, ada tiga masjid suci yaitu masjid nabawi, masjid al haram, dan masjid al aqsa, surat terpendek ada tiga ayat, dan sebagainya. angka empat, seperti arah utara, selatan, timur dan barat, khulafaur rasyidin ada empat orang yaitu abu bakar asy shiddiq, umar bin khottob, utsman bin affan dan ali bin abi tholib, perkataan yang digemari oleh Allah ada empat: Subhanallah, Al hamdulillah, Laa ilaaha illallah, dan allahu akbar. angka lima rukun Islam, rasul yang ulul azmi. angka enam rukun iman, angka tujuh hari-hari dalam seminggu dan seterusnya yang intinya guru dalam mengajar hitung seyogyanya menguasai rahasia angka dalam al qur’an.
Kemudian belum penulis jumpai selain pengajaran faraid, ada guru yang mengarahkan hitungan penjumlahan dengan menggunakan metode seperti penjumlahan waris, penjumlahan zakat, penjumlahan infaq, perhitungan bagi hasil, perhitungan mudorobah, moqabaroh dan sebagainya, perhitungan bank Islam yang menggunakan ghardul hasan.
“Dan kami akan adakan neraca-neraca yang adil di hari kiamat, seorang tak akan teraniaya (dirugikan) sedikitpun, karena jika ada kebajikan sebarat biji dzarrah sekalipun, niscaya akan kami hadirkan ia, dan cukuplah kami sebagai pencatat.
 Jika model penghitungan seperti contoh diatas dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar berbasis al qur’an, maka semoga korupsi bangsa kita bisa dikurangi dengan tidak selalu dijejalinya siswa dengan model perhitungan bunga bank dengan kelipatannya, dan praktek-praktek perhitungan yang menjurus kepada riba.

B.    Kombinasi Akal, Fisik dan Emosi dalam Kurikulum Pendidikan basis Qur’ani
Kegagalan pendidikan Islam selama ini karena arah Akal, Fisik dan emosi diarahkan kepada hal-hal yang tidak sejalan, oleh karenanya perlu dikombinasikan kedalam draf kurikulum perlu mengintegrasikan antara akal atau pikirian, Fisik dan Emosi.
Pikiran adalah memori dan aktivitas mental seseorang. Pikiran meliputi aktifitas dalam keadaan sadar dan aktivitas tak sadar seperti sedang bermimpi. kapasitas pikiran untuk belajar dan memahami disebut kecerdasan (Inteligen), suatu kemampuan mental umum untuk memberi alasan, memecahkan permasalahan, berpikir secara memisahkan, belajar dan memahami material baru, dan mengambil keuntungan dari pengalaman masa lalu. kecerdasan (Inteligen) dapat diukur melalui banyak macam tugas yang berbeda, kemampuan ini dinyatakan di dalam banyak aspek kehidupan. kecerdasan (Inteligen) akan mendukung berbagai proses mental yang mencakup memori, pelajaran, persepsi, pengambilan keputusan, pemikiran, dan memberi alasan.
Kapasitas pikiran untuk ingatan (Memori) adalah memproses hasil pemikiran menyandi, menyimpan, dan mendapat kembali informasi. Informasi disandikan dari waktu ke waktu. Perolehan kembali mengacu pada proses dilibatkan di dalam penggunaan informasi yang disimpan. Kapan saja orang-orang dengan mudah mengingat suatu pengalaman, mereka harus telah menyandi, menyimpan, dan mendapat kembali informasi tentang pengalaman itu.
Dari memori yang tersimpan tersebut akan muncul suatu persepsi, persepsi mampu memproses, menginterpretasikan dan mengorganisir sensasi untuk menghasilkan suatu pengalaman. Sensasi pada umumnya mengacu pada hasil rangsangan, tidak diproses dari sel yang peka terhadap rangsangan yang berhubungan dengan panca indera, perasaan di (dalam) mata, telinga, hidung, lidah, atau kulit. Persepsi, pada sisi lain, menguraikan pengalaman terakhir dan secara khas melibatkan pengolahan masukan yang berhubungan dengan perasaan lebih lanjut. Dalam praktek, persepsi dan sensasi hampir mustahil terpisah, sebab mereka menjadi bagian dari proses berlanjut.

C.   Keterlibatan Guru dan Kurikulum dalam Pembelajaran berbasis Al Qur’an
Proses implementasi kurikulum di sekolah sangat dipengaruhi oleh peran guru, artinya tanpa profesionalitas guru yang baik, kurikulum hanya akan berwujud dokumen sekolah yang tidak terlalu bermakna bagi proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, guru perlu terlibat dalam pengembangan kurikulum. Tanpa adanya keterlibatan guru dalam pengembangan kurikulum, pembelajaran di sekolah hanya akan menghasilkan verbalisme. Para siswa akhirnya tidak tahu akan berbuat apa dengan pengetahuan yang telah dihafalnya. Keberadaan semacam ini jika kita meminjam istilah Paulo Freire (1970:58) selanjutnya akan dapat “menjerumuskan” guru pada model pendidikan “banking” melalui ungkapannya: “Education thus becomes an act of depositing, in which the student are the depositories and the teacher is the depositor. Instead of communicating, thew teacher issues communiques and makes deposits which students patiently receive, memorize, and repeat. This is the banking concept of education, in which the scope of action allowed to the students extends only as far as receiving, filling, and storing the deposits.
Terkait dengan ungkapan tersebut Scheerens (1992:8) memasukkan karakteristik pembelajaran pada masing-masing kelas sebagai salah satu determinan bagi efektivitas suatu sekolah. Sekolah dikatakan efektif bilamana proses pembelajarannya dapat mencapai tujuan yang ditetapkan dengan baik dan berimplikasi pada upaya guru dalam mengembangkan sistem pembelajaran secara profesional berdasarkan kurikulum yang ditetapkan.
Secara profesional sebenarnya guru tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak melibatkan dalam proses pengembangan kurikulum, artinya dalam kinerjanya guru tidak semata-mata mengejar target pencapaian kurikulum dalam arti produk. Dengan demikian siswa tidak hanya mendapatkan pengalaman yang bersifat tekstual tetapi juga kontekstual dan kontemporer.
Hubungan fungsional antara guru dan kurikulum sebagaimana yang telah disinggung di atas tampaknya masih kurang mendapatkan perhatian dalam praktek pendidikan kita selama ini. Guru masih sering dianggap sebagai pihak yang berada di luar proses pengembangan kurikulum, sehingga jarang atau bahkan tidak pernah merasa bahwa mereka seharusnya memiliki peran di dalamnya. Situasi semacam ini akan membuka peluang lahirnya “ritual” proses pembelajaran di sekolah yang secara kurikuler telah melakukan “malpraktek” atau “wan edukasi”. 
Agar siswa memiliki kemampuan dalam menganalisis persoalan-persoalan secara individual maupun kelompok, maka guru perlu dilibatkan dalam proses pengembangan kurikulum. Tanpa keikutsertaan guru dalam mengembangkan kurikulum ke dalam konseptualisasi dan eksperiensialisasi dalam pembelajaran yang dilakukan, maka para siswa hanya akan dijadikan tempat “deposito” berbagai informasi yang tidak jelas manfaatnya bagi tantangan masa depan yang dihadapinya.

No comments:

Post a Comment