BAB VIII
DESAIN KURIKULUM PENDIDIKAN BERBASIS
AL QUR’AN
Sejauh
ini para pakar dan praktisi pendidikan memandang falsafah dasar pendidikan yang
mengulas tentang konsep dan praktik pendidikan secara integral dan konprehensip
sebagai bagian yang amat penting dan yang paling menentukan keberhasilan suatu
proses pendidikan. Apalagi, di tengah perkembangan global dan arus
modernisasi yang melaju demikian pesat, proses pendidikan harus terus
diberi inovasi-inovasi baru sehingga tak ketinggalan oleh perkembangan itu
sendiri serta yang lebih penting adalah memiliki arah dan tujuan yang
jelas. Meskipun hingga saat ini pandangan tersebut masih sebatas wacana
dan belum menyentuh pada tataran aplikasi khususnya diinterpretasikan kedalam
suatu desain kurikulum, maka kita perlu sebuah konstruksi filosofis pendidikan
dengan mengarahkan proses pendidikan pada keberhasilan substantif.
Secara konseptual pemahaman kurikulum hingga kini sangat
beragam, pakar kurikulum memberikan jawaban yang bervariasi, sesuai dengan
sudut pandang kajian maupun aspek materinya yang sedemikian luas untuk dapat
dijelajahi. Bahkan
dari hal-hal yang paling konkret hingga yang paling abstrak sekalipun dapat
dijadikan semacam argumen dalam memberikan pemaknaan terhadap kurikulum.
Dengan luasnya jelajah
kurikulum terebut mengakibatkan konsekuensi munculnya miskonsepsi terhadap
pengembangan kurikulum, adalah terjadinya “malpraktek” pendidikan yang pada
gilirannya berdampak pada rendahnya peran serta guru dalam proses pembelajaran
di kelas yang secara otomatis diikuti dengan rendahnya kualitas out put dari
pendidikan itu sendiri.
Agar terhindar dari
tindakan simplifikasi pemahaman terhadap kurikulum, maka ada baiknya jika
secara singkat dibahas mengenai konsep kurikulum dalam arti luas, sehingga
dapat dicermati kapan dan bagaimana guru dapat memberikan kontribusinya dalam
proses pengembangan kurikulum.
Dalam literatur memang
banyak ditemukan definisi kurikulum yang sangat bervariasi, bergantung pada
konteks tertentu saat para pakar mendefinisikannya. Namun demikian menurut
Beane dkk (1986) dinyatakan bahwa konsep kurikulum dapat diklasifikasikan ke
dalam empat jenis pengertian yang meliputi: (1) kurikulum sebagai produk; (2)
kurikulum sebagai program; (3) kurikulum sebagai hasil yang diinginkan dan; (4)
kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi peserta didik. (Beane, 1986).
Kurikulum sebagai produk
merupakan hasil perencanaan, pengembangan, dan perekayasaan kurikulum.
Pengertian ini memiliki keuntungan berupa kemungkinan yang dapat dilakukan
terkait dengan arah dan tujuan pendidikan secara lebih konkret dalam sebuah
dokumen yang untuk selanjutnya diberi label kurikulum. Oleh karena itu
kurikulum dalam arti produk merupakan hasil yang konkret yang dapat diamati
dalam bentuk dokumen hasil kerja sebuah tim pengembang kurikulum. Kiranya perlu
juga diingat bahwa definisi tersebut juga memiliki kelemahan yakni adanya
pemaknaan yang sempit terhadap kurikulum. Dalam hal ini kurikulum hanya
dipandang sebagai dokumen yang memuat serentetan daftar pokok bahasan materi
dari suatu mata pelajaran. Belum lagi jika kurikulum hanya dipahami sebagai
produk berupa kemungkinan munculnya asumsi bahwa perencanaan kurikulum dapat
mendeskripsikan semua kegiatan pembelajaran yang akan terjadi di sekolah. Untuk
konteks lingkup pendidikan dewasa ini rasanya akan kesulitan untuk dapat
mengakomodir semua fenomena kehidupan yang sangat dinamis.
Esensi kurikulum
pendidikan berbasis al Qur’an adalah bentuk program-program pengajaran yang
diaplikasikan secara riil dalam bentuk latihan (riyadlah) dan kegiatan nyata (muamalah).
yang secara ekstrim, dapat termanifestasikan dalam serentetan daftar pelajaran
ataupun pokok bahasan yang diajarkan pada kurun waktu tertentu seperti halnya
dalam kurun waktu satu semester. Elaborasi atas interpretasi yang lebih luas
dari definisi tersebut dapat mencakupi aspek-aspek akademik yang kemungkinan
perlu dimiliki oleh sekolah dalam kerangka kegiatan pembelajaran suatu kajian
ilmu yang terintegrasi dengan kandungan al Qur’an.
Cara pandang ini
mempunyai keuntungan yang dapat diambil, yaitu: pertama, dengan cepat dapat menunjukkan dan menjelaskan apa yang
dimaksud kurikulum dengan lebih konkret, kedua,
dapat memahami bahwa kegiatan pembelajaran dapat terjadi dalam setting yang
berbeda pada jenjang yang berbeda serta pada lokasi yang berbeda pula, namun
kelemahannya adalah munculnya asumsi bahwa apa yang tampak dalam daftar pokok
bahasan, itulah yang harus dipelajari oleh siswa.
Sementara itu yang
memandang kurikulum sebagai hasil belajar yang ingin dicapai oleh para siswa,
mendeskripsikan kurikulum sebagai pengetahuan, keterampilan, perilaku, sikap
dan berbagai bentuk pemahaman terhadap bidang studi. Walau pengertian ini lebih
konseptual, namun hasil belajar yang diinginkan siswa juga sering dituangkan
dalam bentuk dokumen seperti halnya tujuan belajar, seperangkat konsep yang
harus dikuasai, prinsip-prinsip belajar dan sebagainya. Keuntungan dari cara
pandang seperti ini adalah: pertama,
kurikulum menjadi sebuah konsep, yang selanjutnya dapat dikembangkan dan
dielaborasikan oleh guru, siswa dan masyarakat, sehingga tidak sekedar produk
semata yang secara “ritual” harus
diajarkan sebagaimana adanya tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan kultural
baik di sekolah maupun di masyarakat, kedua,
dapat menyusun kurikulum menjadi lebih manageable baik dari segi scope
maupun sequennya. Kelemahannya adalah adanya kesulitan bagi para guru maupun
sekolah dalam menangani secara terpisah apa yang harus dipelajari oleh siswa.
Pemahaman lainnya adalah
pemaknaan kurikulum sebagai pengalaman belajar, pada hakikatnya merupakan
pemisahan yang sangat jelas dari tiga pemaknaan sebelumnya. Pemaknaan kurikulum
yang terakhir ini lebih merupakan akumulasi pengalaman pendidikan yang
diperoleh siswa sebagai hasil kegiatan belajar atau pengaruh situasi dan
kondisi belajar yang telah direncanakan. Sebagai implikasinya apa yang
direncanakan dalam kurikulum belum tentu berhasil sebagaimana yang diharapkan.
Hal ini tentu banyak faktor yang mempengaruhinya seperti halnya kemampuan guru
dalam menerapkan dan mengembangkan kurikulum dalam proses pembelajaran. Artinya
sebaik apapun kurikulumnya bila tidak didukung oleh guru yang profesional tentu
tidak banyak memberikan makna terhadap siswa, demikian pula sebaliknya.
Keuntungan dari
pemaknaan tersebut setidaknya ada dua hal yaitu: pertama, pihak guru maupun sekolah lebih memusatkan perhatiannya
pada siswa dalam proses pembelajaran, kedua,
guru akan lebih melibatkan semua pengalaman siswa. Walau demikian ada pula
kelemahannya yaitu: (1) kurikulum terasa lebih abstrak dan kompleks jika
dibandingkan dengan pemahaman yang sebelumnya, dan (2) kurikulum menjadi sangat
komprehensif, sehingga tidak dapat dideskripsikan dalam bentuk yang sederhana,
sehingga muncul terminologi mengenai kurikulum eksplisit (tertulis) dan implisit
(tidak tertulis) atau kurikulum tersembunyi (hidden curriculum).
Sehubungan dengan ini,
hal yang perlu dipertimbangkan dalam merancang kurikulum pendidikan berbasis al
Qur’an adalah capaian yang dikehendaki oleh ayat 5 surat al Alaq yang subtansinya
adalah belajar dan senantiasa belajar (learning
to learn) atau belajar bagaimana belajar (how-to-learn).
A.
Falsafah
dasar Pendidikan Berbasis Al Qur’an
1. Membaca
Pemaknaan
pengajaran membaca dalam hal ini adalah kurikulum harus mempunyai orientasi pembahasan
tentang membaca, membaca dalam hal ini tidak secara otomatis sebagaimana Term
iqra’ yang tidak hanya berarti membaca secara tekstual saja, tapi juga berarti
menghimpun, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri
sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak tertulis. (Prof. Dr.
Quraish Shihab, 2003: 433).
Indikator
kurikulum yang memuat membaca disesuaikan dengan jenjang suatu satuan
pendidikan, diawali dengan membaca satu kata yang dikonotasikan dengan
kemampuan siswa membaca nama-nama benda sebagaimana firman Allah: "Allah mengajarkan kepada Adam segala
nama benda" [QS.al-Baqarah (2):31].
Membaca
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah [1] melihat tulisan dan mengerti atau
dapat melisankan apa yang tertulis itu. [2] mengucapkan. Arti membaca diatas
sebenarnya sangat sederhana namun secara eksplisit terminology membaca
sebenarnya harus mengandung beberapa aspek yaitu:
a.
membaca
dengan cepat dan lancar.
Setiap orang
pasti pernah mengalami membaca teks dengan intonasi dan tekanan suara yang
betul dan sesuai, ini dipelajari setiap orang ketika masuk di bangku sekolah
dasar hingga kelas tiga. Model membaca ini sama juga dengan membaca al qur’an
dengan tidak tartil yang sesuai dengan bacaan tajwid, ghorib dan musykilatnya. Cara
membaca ini sebenarnya perlu dikembangkan dengan model yang lebih baik, yakni
membaca dengan cepat.
Pada pembelajaran
membaca al qur’an dengan tartil yang sesuai dengan bacaan tajwid, ghorib dan
musykilatnya seorang ustadz akan menyuruh santrinya: “Agar lancar dalam membaca al Qur’an, ketika bacaan sampai pada kalimat
pertama, maka mata dan pikiran kamu harus sudah melirik kalimat selanjutnya,
begitu dan begitu seterusnya”.
Cara sang ustadz
dalam mengajarkan membaca al Qur’an tersebut mempunyai hasil yang sangat
mengejutkan, santri dalam membaca al Qur’an yang bukan bahasa ibu mereka, malah
mempunyai kecapatan yang jauh diatas bacaan-bacaan yang berbahasa Indonesia.
Banyak kasus
siswa sekolah dasar yang sorenya belajar mengaji di taman pendidikan al Qur’an
kemampuan membacanya lebih lancar dari pada membaca buku-buku pelajarannya.
Banyak faktor santri mempunyai kemampuan membaca yang menkjubkan tersebut, dari
sisi sugesti dan fisiologi yang tepat, kesabaran ustadz dan keikhlasannya, dan
masih banyak faktor lagi yang membuat santri merasa membaca yang tidak merasa
terbebani.
Membaca selama
ini menjadi beban yang amat berat bagi siswa, bagaimana cara ustad dalam
mengajar membaca diatas kita adopsi sebagai cara kita mengajar pelajaran di
lembaga pendidikan formal, guru harus mengembangkan pola membaca cepat bagi
siswa seperti menggunakan timer atau jam dengan menandainya waktu berhenti
ketika waktu yang telah ditentukan sudah selesai. Dari situ guru akan dapat
mengukur kemampuan siswa dalam hal membaca, teknik membaca dengan cepat ini
dijadikan tugas pekerjaan rumah seperti dalam satu menit siswa mampu membaca
berapa kata, dari tugas ini siswa akan dengan senangnya mengukur kecepatan
membacanya karena menikmati cara ini atau takut kalah cepat dengan temannya,
pekerjaan rumah model seperti ini akan lebih tepat mengenai sasaran dari pada
siswa diberi pekerjaan rumah yang ketika dirumah orang tua atau saudaranya yang
mengerjakannya. Disini peran orang tua dalam membantu tugas anaknya akan
mengarah kepada bimbingan yang lebih riil.
b.
membaca
dengan pemahaman
Membaca dengan
pemahaman sebenarnya semudah membaca dengan kecepatan diatas, membaca dengan
cepat akan mempermudah dan mempercepat memahami topik atau pikiran dan gagasan
dalam materi bacaan tersebut, semakin cepat kita membaca, maka semakin banyak
kita menemukan gagasan pokok yang terdapat dalam suatu paragraph, dengan
membaca cepat kita akan memahami isi (pikiran pokok) dan bukan memahami kata
demi kata atau kalimat demi kalimat.
Perbedaan membaca
biasa dengan membaca cepat pada keadaan normal, membaca biasa kita mampu
memahami satu kata atau satu kalimat, dan membaca cepat kita dapat memahami
satu frase dan bahkan satu paragraph.
Dengan membaca
cepat kita akan mampu:
-
menyesuaikan
kadar kelancaran bacaan dengan bahan bacaan, memahami dan menafsir bahan grafik
serta mampu menggambarkan ide lain dari bahan yang sedang kita baca.
-
menggunakan
berbagai-bagai strategi termasuk membuat inferensi tentang makna
perkataan-perkataan dalam konteks penggunaannya.
-
memberi
respons secara kritis dan kreatif terhadap teks bacaan.
-
Memahami
dengan jelas idea pokok bahan bacaan baik yang tersurat maupun yang tersirat
-
mengenal
dengan jelas ide-ide lain atau penjelasan lebih lanjut dari ide-ide pokok dalam
materi yang sedang dibaca.
-
Memvisualkan
gagasan yang ada dalam bacaan kedalam belahan otak dalam bentuk ide baru atau
fantasi baru.
-
menikmati
dan menilai penggunaan bahasa dalam sesebuah teks.
2. Menulis
Menulis
adalah salah satu falsafah dasar pendidikan Islam setelah membaca, dalam surat
ala alaq 1 – 5 diperintahkan membaca dua kali dan menulis satu kali. “yang mengajarkan manusia dengan perantara
qalam (pena), menulis dalam kegiatan belajar mengajar disini dimaksudkan
pada tataran mencatat, siswa mencatat keterangan-keterangan penting pada materi
yang disampaikan oleh guru, dan bukan menyalin, boleh saja guru kadang kala
meminta siswanya untuk merangkum suatu bab yang sudah atau belum
dipresentasikan, atau kadang kala guru ketika mempresentasikan suatu materi
pembelajaran, langsung mendiktekan point dari materi yang sedang
dipresentasikannya untuk dicatat oleh siswanya.
Mencatat
merupakan media yang sangat penting dalam rangka meningkatkan daya ingat siswa,
karena dengan mencatat akan lebih mudah membantu daya ingat. Kebanyakan siswa
akan mengingat dengan baik materi pelajaran yang diajarkan / dipresentasikan
oleh gurunya ketika membuka kembali saat belajar di rumah. Dengan catatan
tersebut siswa akan mudah memahami alur dan lintasan gambaran pelajaran yang
telah disampaikan. Dengan mencatat tersebut kadang siswa langsung membuat
pertanyaan-pertanyaan dari penjelasan guru yang masih kurang difahami oleh
siswa.
Dukungan
guru dalam memberi pengantar awal setiap kali sesi presentasi materi akan
membantu siswa dalam mencatat, pengantar tersebut seperti untuk apa kita mengikuti pelajaran ini dan dapat apa setelah kita mengikuti pelajaran ini. Pengantar sebagai
tinjauan awal dalam mengikuti pelajaran akan menentukan keberhasilan siswa
dalam membuat cataan untuk memetakan pikirannya serta untuk menpermudah siswa
dalam mengulangnya kembali ketika dipelajari di rumah.
Dalam
membantu kelancaran siswa dalam mencatat, maka saran yang perlu diberikan
kepada siswa adalah menulis kembali materi pelajaran tersebut dalam berbagai
jenis penulisan, bisa dalam bentuk cerita, resume, pengembangan ide-ide pokok
dalam penulisan kembali dan sebagainya.
3. Berhitung
Berhitung
dalam pembelajaran selama ini sama sekali terlepas dari materi membaca dan
menulis, kalau toh ada hubungannya dengan membaca dan menulis, maka berhitung
tersebut hanya seputar pada materi hitungan yang diajarkan karena berpedoman
pada kurikulum.
Dengan
adanya guru kelas pada tingkat satuan pendidikan dasar, sebenarnya
integralisasi kurikulum sangat memungkinkan, apalagi dengan adanya Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dalam mengajar berhitung guru harus
memperhatikan pelajaran yang lain seperti membaca dan menulis. Suatu contoh
ketika mengajarkan angka satu, maka guru akan menjelaskan sifat Allah adalah
satu, satu itu tidak ada yang yang menyamai, tidak ada yang menandingi. Satu
adalah permulaan, Angka dua Suatu kebesaran Allah yang telah menciptakan
makhluknya didunia ini secara berpasang-pasangan seperti siang dan malam, pagi
dan petang, menciptakan laki-laki dan perempuan, Allah telah menciptakan dua
alam yaitu alam dunia dan alam akhirat, alam nyata dan alam ghoib, alam hidup
dan alam mati, putera nabi adam ada dua. Angka tiga seorang harus beriman,
berislam dan berikhsan, ada tiga masjid suci yaitu masjid nabawi, masjid al
haram, dan masjid al aqsa, surat terpendek ada tiga ayat, dan sebagainya. angka
empat, seperti arah utara, selatan, timur dan barat, khulafaur rasyidin ada
empat orang yaitu abu bakar asy shiddiq, umar bin khottob, utsman bin affan dan
ali bin abi tholib, perkataan yang digemari oleh Allah ada empat: Subhanallah,
Al hamdulillah, Laa ilaaha illallah, dan allahu akbar. angka lima rukun Islam,
rasul yang ulul azmi. angka enam rukun iman, angka tujuh hari-hari dalam
seminggu dan seterusnya yang intinya guru dalam mengajar hitung seyogyanya
menguasai rahasia angka dalam al qur’an.
Kemudian
belum penulis jumpai selain pengajaran faraid, ada guru yang mengarahkan
hitungan penjumlahan dengan menggunakan metode seperti penjumlahan waris,
penjumlahan zakat, penjumlahan infaq, perhitungan bagi hasil, perhitungan
mudorobah, moqabaroh dan sebagainya, perhitungan bank Islam yang menggunakan
ghardul hasan.
“Dan kami akan adakan neraca-neraca yang adil di hari
kiamat, seorang tak akan teraniaya (dirugikan) sedikitpun, karena jika ada
kebajikan sebarat biji dzarrah sekalipun, niscaya akan kami hadirkan ia, dan
cukuplah kami sebagai pencatat.
Jika model penghitungan seperti contoh diatas
dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar berbasis al qur’an, maka semoga
korupsi bangsa kita bisa dikurangi dengan tidak selalu dijejalinya siswa dengan
model perhitungan bunga bank dengan kelipatannya, dan praktek-praktek
perhitungan yang menjurus kepada riba.
B.
Kombinasi Akal, Fisik dan Emosi dalam Kurikulum
Pendidikan basis Qur’ani
Kegagalan
pendidikan Islam selama ini karena arah Akal, Fisik dan emosi diarahkan kepada
hal-hal yang tidak sejalan, oleh karenanya perlu dikombinasikan kedalam draf
kurikulum perlu mengintegrasikan antara akal atau pikirian, Fisik dan Emosi.
Pikiran
adalah memori dan aktivitas mental seseorang. Pikiran meliputi aktifitas dalam
keadaan sadar dan aktivitas tak sadar seperti sedang bermimpi. kapasitas
pikiran untuk belajar dan memahami disebut kecerdasan (Inteligen), suatu kemampuan mental umum untuk memberi alasan,
memecahkan permasalahan, berpikir secara memisahkan, belajar dan memahami
material baru, dan mengambil keuntungan dari pengalaman masa lalu. kecerdasan (Inteligen) dapat diukur melalui banyak
macam tugas yang berbeda, kemampuan ini dinyatakan di dalam banyak aspek
kehidupan. kecerdasan (Inteligen) akan
mendukung berbagai proses mental yang mencakup memori, pelajaran, persepsi,
pengambilan keputusan, pemikiran, dan memberi alasan.
Kapasitas
pikiran untuk ingatan (Memori) adalah memproses hasil pemikiran menyandi,
menyimpan, dan mendapat kembali informasi. Informasi disandikan dari waktu ke
waktu. Perolehan kembali mengacu pada proses dilibatkan di dalam penggunaan
informasi yang disimpan. Kapan saja orang-orang dengan mudah mengingat suatu
pengalaman, mereka harus telah menyandi, menyimpan, dan mendapat kembali
informasi tentang pengalaman itu.
Dari
memori yang tersimpan tersebut akan muncul suatu persepsi, persepsi mampu
memproses, menginterpretasikan dan mengorganisir sensasi untuk menghasilkan
suatu pengalaman. Sensasi pada umumnya mengacu pada hasil rangsangan, tidak
diproses dari sel yang peka terhadap rangsangan yang berhubungan dengan panca
indera, perasaan di (dalam) mata, telinga, hidung, lidah, atau kulit. Persepsi,
pada sisi lain, menguraikan pengalaman terakhir dan secara khas melibatkan
pengolahan masukan yang berhubungan dengan perasaan lebih lanjut. Dalam
praktek, persepsi dan sensasi hampir mustahil terpisah, sebab mereka menjadi
bagian dari proses berlanjut.
C.
Keterlibatan Guru dan Kurikulum dalam Pembelajaran
berbasis Al Qur’an
Proses
implementasi kurikulum di sekolah sangat dipengaruhi oleh peran guru, artinya
tanpa profesionalitas guru yang baik, kurikulum hanya akan berwujud dokumen
sekolah yang tidak terlalu bermakna bagi proses pembelajaran. Dalam proses
pembelajaran, guru perlu terlibat dalam pengembangan kurikulum. Tanpa adanya
keterlibatan guru dalam pengembangan kurikulum, pembelajaran di sekolah hanya
akan menghasilkan verbalisme. Para siswa akhirnya tidak tahu akan berbuat apa
dengan pengetahuan yang telah dihafalnya. Keberadaan semacam ini jika kita
meminjam istilah Paulo Freire (1970:58) selanjutnya akan dapat “menjerumuskan”
guru pada model pendidikan “banking” melalui ungkapannya: “Education thus
becomes an act of depositing, in which the student are the depositories and the
teacher is the depositor. Instead of communicating, thew teacher issues
communiques and makes deposits which students patiently receive, memorize, and
repeat. This is the banking concept of education, in which the scope of action
allowed to the students extends only as far as receiving, filling, and storing
the deposits.
Terkait
dengan ungkapan tersebut Scheerens (1992:8) memasukkan karakteristik
pembelajaran pada masing-masing kelas sebagai salah satu determinan bagi
efektivitas suatu sekolah. Sekolah dikatakan efektif bilamana proses
pembelajarannya dapat mencapai tujuan yang ditetapkan dengan baik dan
berimplikasi pada upaya guru dalam mengembangkan sistem pembelajaran secara
profesional berdasarkan kurikulum yang ditetapkan.
Secara
profesional sebenarnya guru tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak
melibatkan dalam proses pengembangan kurikulum, artinya dalam kinerjanya guru
tidak semata-mata mengejar target pencapaian kurikulum dalam arti produk.
Dengan demikian siswa tidak hanya mendapatkan pengalaman yang bersifat tekstual
tetapi juga kontekstual dan kontemporer.
Hubungan
fungsional antara guru dan kurikulum sebagaimana yang telah disinggung di atas
tampaknya masih kurang mendapatkan perhatian dalam praktek pendidikan kita
selama ini. Guru masih sering dianggap sebagai pihak yang berada di luar proses
pengembangan kurikulum, sehingga jarang atau bahkan tidak pernah merasa bahwa
mereka seharusnya memiliki peran di dalamnya. Situasi semacam ini akan membuka
peluang lahirnya “ritual” proses pembelajaran di sekolah yang secara kurikuler
telah melakukan “malpraktek” atau “wan edukasi”.
Agar siswa memiliki kemampuan dalam menganalisis
persoalan-persoalan secara individual maupun kelompok, maka guru perlu
dilibatkan dalam proses pengembangan kurikulum. Tanpa keikutsertaan guru dalam
mengembangkan kurikulum ke dalam konseptualisasi dan eksperiensialisasi dalam
pembelajaran yang dilakukan, maka para siswa hanya akan dijadikan tempat “deposito”
berbagai informasi yang tidak jelas manfaatnya bagi tantangan masa depan yang
dihadapinya.
No comments:
Post a Comment