Saturday, 18 March 2017

Manajemen bencana berbasis komunitas


MANAJEMEN BENCANA BERBASIS KOMUNITAS
Pendampingan Kelompok Tani Hutan (KTH) dalam mengantisipasi Dampak deforestasi (penggundulan hutan) dan Dampak Sosial Wisata Air Panas Padusan Pacet Mojokerto

A.    Isu dan Fokus Pemberdayaan
Hutan merupakan potensi atau kekayaan alam yang apabila dikelola dengan baik dan bijak akan memberikan manfaat yang besar bagi hidup dan kehidupan, tidak saja bagi manusia melainkan juga bagi seluruh kehidupan di alam ini. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki hutan terluas. Artinya, bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan, apabila mampu dikelola dengan baik dan bijak.
Masyarakat sekitar hutan kehidupannya sangat bergantung pada keberadaan hutan, sebagaimana dinyatakan oleh Awang (2003) bahwa terdapat jutaan masyarakat pedesaan yang tinggal di sekitar hutan kehidupannya tergantung kepada produksi dan juga hasil hutan. Sayangnya sampai dengan saat ini banyak penelitian menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat sekitar hutan pada umumnya tidak jauh dari kesan kemiskinan, keterbelakangan, kualitas hidup yang pas-pasan, dan hal-hal lain yang menunjukkan betapa kondisi masyarakat sekitar hutan selalu berada dalam keadaan yang memprihatinkan.
Kondisi ini adalah akibat kesalahan pengelolaan hutan pada masa lalu di mana kebijakan pengelolaan hutan lebih bertumpu pada paradigma timber based management. Pengelolaan hutan cenderung berorientasi pada pengeksploitasian hasil hutan berupa kayu yang berbasis pada upaya peningkatan atau pertumbuhan ekonomi. Pengelolaan sumberdaya hutan sebagian diserahkan kepada swasta (pemilik modal besar) dengan harapan terjadi produksi hutan (kayu) melalui mekanisme fragmentasi kawasan hutan dan suntikan investasi oleh swasta. Pada tataran implementasi terjadi praktek marginalisasi pada masyarakat sekitar hutan, peran masyarakat sekitar hutan lebih banyak dikesampingkan.
Menyempitnya kawasan hutan Jawa Timur yang harus dipertahankan untuk penyerapan air, penghasil oksigen, serta mencegah terjadinya longsor. menyebabkan PERHUTANI berusaha mencari alternatif lain untuk membiayai pengelolahan hutan, tanpa menjual hasil hutan maupun mempersempit kawasan hutan yaitu melalui bisnis ecowisata. Wana Wisata Padusan merupakan obyek wisata andalan yang memiliki wahana berbeda dengan wisata lain yaitu pemandian air panas belerang.
Konsep pembangunan dengan asas pertumbuhan (growth development) yang dilakukan selama ini telah menimbulkan eksploitasi sumberdaya alam yang sulit diperbaharui. Misalnya, adanya penebangan hutan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan ekosistem yang cenderung merusak (destruktive logging), baik dilakukan secara legal (legal logging) maupun secara illegal (illegal logging), baik di hutan alam maupun hutan produksi.
Disisi lain, Kejadian banjir bandang di pemandian air panas, Desa Padusan, Kecamatan Pacet, Mojokerto pada tanggal 11 Desember 2002 mengakibatkan terjadinya korban 26 orang meninggal, disebabkan oleh faktor-faktor alami antara lain kondisi tutupan hutan dan lahan, intensitas hujan, geologi dan tanah serta sungai dan alirannya. Bagian hulu Sub-DAS Dawuhan yang berfungsi sebagai hutan lindung seluas 634,2 ha masuk ke dalam manajemen Taman Hutan Raya (Tahura) R Suryo. Saat kejadian ini berlangsung, Tahura R Suryo dikelola oleh Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur melalui UPT (Unit Pelaksana Teknis)-nya. Hampir 60% dari Tahura yang masuk dalam Sub-DAS Dawuhan, hutannya telah rusak atau berupa lahan kosong. Sepuluh tahun kemudian tepatnya tanggal 3 Februari 2012 tanggul Kali Kromong yang melintas di Desa Sajen, Pacet, jebol akibat tak mampu menahan derasnya air, sehingga menyapu pemandian Pacet. Peristiwa dalam rentang waktu 10 tahun tersebut belum juga menyadarkan seluruh pihak untuk mencari benang merah terjadinya bencana. Untuk memulihkan kondisi di lokasi bencana banjir bandang di Pacet, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Mojokerto membutuhkan dana sekitar Rp 5 miliar untuk perbaikan infrastuktur obyek wisata dengan mengabaikan masyarakat sekitar hutan yang pencahariannya adalah di hutan (merusak hutan).
Selain itu, ada beberapa areal pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Perhutani berada di lereng  dengan kemiringan sampai 45 derajat yang sebenarnya melanggar Keppres No. 32 Tahun 1990  tentang Kawasan Lindung. Dalam Keppres itu disebutkan bahwa hutan dengan kemiringan 45 derajat harus menjadi hutan lindung. Faktor penyebab lain bencana adalah karakteristik DAS Padusan yang memanjang, sempit dan
curam yang tersusun dari jenis batuan sedimen vulkanik tua (lava flow) serta bentuk penampang sungai berbentuk “V .
  
B.     Alasan Memilih Subyek Dampingan
1.      Subyek dampingan adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) sejumlah 101 kepala keluarga yang secara umum mempunyai pencahariaan riil ke hutan dan dapat dikategorikan merusak hutan untuk keperluan :
a.       Mencari Kayu (kayu bakar, kayu bahan meubelair dan kayu bahan pembuatan rumah).
b.      Mencari bahan makanan ternak berupa rumput dan daun-daun pohon tertentu.
c.       Membuka lahan (secara ilegal) untuk pertanian.
d.      Menebar jala ikan untuk menangkap burung
e.   Mencari tunas pohon bambu (rebung) dan tunas pohon lainnya sebagai pelengkap makanan pokok
f.    Kerjasama dengan Perum Perhutani untuk menanam tanaman secara tumpang sari di sela-sela penanaman kayu.
2.      Subyek dampingan masih memahami bahwa ke hutan tersebut adalah sebagai satu-satunya pekerjaan yang dilakukan dari nenek moyang mereka, sehingga sulit untuk mencari alternatif-alternatif pekerjaan lain yang tidak ke hutan.
3.      Subyek dampingan selama ini tidak menyadari bahwa pekerjaan mereka telah mengakibatkan kerusakan ekosistem.
4.      Pemda Jatim dan Perhutani tahu betul bahwa lokasi wisata itu tidak aman. Tapi demi 'retribusi' yang hasilnya diraup kedua lembaga tersebut (Pemda Jatim dapat 40 persen, Perhutani 60 persen), mereka nekad membuka kawasan wisata itu. Dan setelah terjadi musibah, keduanya menghindari tanggung jawab dan subyek dampingan adalah yang pertama kali terkena dampaknya.
5.      Belum pernah ada pihak yang memberikan sosialisasi dan pendampingan peningkatan taraf hidup mereka sehingga satu satunya pencaharian yang mereka tahu adalah dengan merusak hutan.

C.    Kondisi Subyek Dampingan Saat Ini
Masyarakat sekitar hutan secara umum berpendidikan rendah, Mereka lemah dari berbagai aspek, apakah aspek pangan, pendidikan, ekonomi, politik, dan budaya. Mereka sering menjadi obyek eksploitasi kepentingan perhutani, untuk berbuat sesuatu seakan tidak ada solusi, untuk meningkatkan taraf hidup mereka sekan ke hutan adalah satu-satunya solusi.
Selain kondisi ekonomi diatas, dampak lain yang harus ditanggung oleh subyek dampingan adalah dampak negatif Wisata Air Panas. Masyarakat dalam lingkungan suatu obyek wisata sangatlah penting dalam kehidupan suatu obyek wisata karena mereka memiliki kultur yang dapat menjadi daya tarik wisata, dukungan masyarakat terhadap tempat wisata berupa sarana kebutuhan pokok untuk tempat obyek wisata, tenaga kerja yang memadai dimana pihak pengelola obyek wisata memerlukannya untuk menunjang keberlangsungan hidup obyek wisata dan memuaskan masyarakat yang memerlukan pekerjaan dimana membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Anehnya tenaga dari Subyek Dampingan hanya sebatas kuli rendahan dan tenaga kerja yang memadai didatangkan dari daerah lain.
Akibat dari dampak diatas, keluarga kelompok tani hutan sebagai subyek dampingan ini harus menanggung dampak bencana akibat kerusakan ekosistem dan menanggung pula dampak negatif dengan keberadaan obyek wisata air panas, sehingga kecenderungan penggunaan narkoba dan obat-obat terlarang, pergaulan bebas, dan kejahatan lainnya menghantui  keluarga kelompok tani hutan.

D.    Kondisi dampingan yang diharapkan
1.   Terciptanya lapangan pekerjaan yang baru untuk komunitas lokal dengan meningkatkan skill dari masyarakat sehingga masyarakat lokal bisa mendapatkan peningkatan taraf hidup yang layak.
2.    Meningkatnya kemajuan pemikiran akan pentingnya (konservasi alam) penanaman kembali pohon-pohon.
3.  Subyek Dampingan dapat mengantisipasi social problems (percampuran budaya negatif antara wisatawan dengan masyarakat setempat)
4.      Menyadari salah satu penyebab bencana banjir yang disertai longsornya material Gunung Welirang di Wana Wisata Pacet, Mojokerto, adalah gundulnya hutan di sekitarnya, maka perlu diterapkan kebijakan moratorium logging (jeda/istirahat penebangan) di wilayah Jawa Timur.

E.     Strategi yang Dilakukan
1.  Menyusun suatu rancangan dasar permasalahan yang ada dan selanjutnya dikembangkan sesuai kebutuhan lapangan. Sebagaimana diketahui suatu “action risearch” dilakukan berdasarkan fenomena-fenomena dilapangan baik sosial, maupun lingkungan yang ada. Kolaborasi dilakukan antar berbagai disiplin ilmu.  
2. Pembangunan masyarakat perlu dipahami dengan benar sehingga dapat menjadi ruh yang menggerakkan pelaksanaan program pembangunan kehutanan berbasis masyarakat. Terdapat dua dimensi dalam pembangunan masyarakat yaitu bagaimana membangun keberdayaan atau kapasitas masyarakat (community organizing) dan membangun ekonomi rakyat (economic development). Dimensi kedua (economic development) pada umumnya merupakan dampak dari dimensi pertama, yang dilengkapi atau disertai dengan adanya subsidi atau bantuan pihak eksternal. Kebanyakan pelaksanaan pembangunan lupa pada dimensi yang pertama karena lebih fokus pada dimensi kedua tersebut, sehingga yang terjadi program pembangunan lebih bersifat karikatif dibandingkan memberi solusi terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, perlu digarisbawahi bahwa yang menjadi entry point atau tiutik masuk agar tercapai tujuan pembanguan kehuatan berbasis masyarakat adalah dimensi pertama yaitu meningkatkan keberdayaan masyarakat.
3.    Membangun “self help” masyarakat merupakan inti dari kegiatan community development. Self help disini dapat dimaknai dengan kemandirian. Dengan demikian, fungsi yang harus dijalankan oleh pelaksana program kehutanan berbasis masyarakat adalah membantu masyarakat untuk dapat membantu dirinya sendiri atau membangun kemandirian (helping people to help them self). Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang memiliki kapasitas atau keberdayaan sehingga memiliki rasa percaya diri yang tinggi atas kemampuannya dan tidak tergantung pada pihak lain. Hal ini berarti, program pembangunan kehutanan berbasis masyarakat harus berangkat dari upaya memberdayakan masyarakat, bukan upaya atau kegiatan yang bersifat karikatif. Memberdayakan masyarakat sekitar hutan merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat sekitar hutan yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.

F.     Pihak-pihak yang Terlibat (stakeholders) dan Bentuk Keterlibatannya
Menjalin hubungan dengan berbagai stakeholder, dimana mereka memberikan kontribusi yang cukup banyak, bagi keberhasilan penelitian yang pada akhirnya untuk kepentingan mereka. Pihak-pihak terkait yang diikutkan antara lain ; kelompok-kelompok masyarakat, aparat pemerintah, perusahaan yang ada di wilayah DAS Dawuhan.

DAFTAR PUSTAKA

http://arsury.blogspot.com/2011/07/program-pembangunan-kehutanan-sudahkah.html

WIJAYANTI, ERNI, 2011,  Perancangan Media Promosi Wana Wisata Padusan Sebagai Wisata Alam Andalan Jawa Timur, ITS » Undergraduate Theses » Desain Produk Industri.

No comments:

Post a Comment