Wednesday, 15 March 2017

Sejarah Administrasi dan Kontribusinya terhadap Peradaban Islam 9

BAB IX
ADMINISTRASI MASA KEKHILAFAHAN
DAULAH ABBASIYAH
 Berdirinya daulah Abbasiyah, telah mengakhiri daulah Umayyah yang menekankan landasan politiknya pada Arabisme. Daulah Abbasiyyah pada perkembangannya juga mewarisi Umayyah dalam beberapa hal tapi ia punya ciri khusus yang berbeda dengan pendahulunya. Pemerintahan daulah Abbasiyyah mendasarkan kebijakkan politiknya pada prinsip­-prinsip universalitas Islam. Prinsip pemeritahan yang inklusif transparan, rasional, prinsip pembaharuan ekonomi, dan prinsip mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan.
Prinsip politik universalitas Islam dikembangkan oleh daulah Abbasiyah karena, beberapa alasan: Pertama, Daulah Ababsiyah mengklaim dirinya sebagai daulah Islam dan meneruskan tradisi kepemimpinan Islam sebagai pengganti Nabi dan Khalifah Al Rasyidin dan bukan tradisi kepemimpinan Arabisme atau kesukaan Arab yang dikembangkan oleh daulah Umayyah. Meskipun daulah Umayyah mengklaim bahwa khalifah tidak semata dipilih oleh masyarakat, tapi ditunjuk Tuhan untuk mengikuti jalan Nabi Muhammad dengan membawa Ummat Islam ke jalan agama, tapi Arabisme, Abbasiyah meneguhkan bahwa khalifah adalah pcnerus nabi yang telah mendapatkan kedaulahan dari Tuhan untuk menegakkan kebenaran di tengah umat Islam. Mereka juga memakai gelar seperti Al Manshur, Al Mahdi, Al Hadi, Al Rasyid dan sebagainya untuk mengklaim keberadaan mereka sebagai penerima petunjuk dari Tuhan dalam kebenaran dan keadilan.
Dinasti Abbasiyah yang mendasarkan gerakannya atas nama keluarga Muhammad ini lahir melanjutkan kekuasaan daulah Ummayah, dimana khalifah-khalifahnya terlalu Iemah untuk meneruskan kejayaan pendahulunya. Kelemahan ini didukung pula oleh sikap yang amoral, pola hidup glamour dan mengabaikan kesejahteraan rakyat, selain luasnya wilayah kekuasaan dan banyaknya konflik yang terjadi, dimana mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mengelola kembali dalam sam kendali kekuasaan. Akibat yang terjadi adalah tumbuhnya kebencian dan ketidaksenangan kepada penguasa yang mencetuskan gerakan pertentangan dan bahkan usaha-usaha pengambilalihan kekuasaan daulah ini. Dan salah satu gerakan itu lahir dan keluarga Bani Hasyim yang berkeinginan mengambil alih kekhalifahan, karena alasan yang mendasar bahwa kekhalifahan sebagai jabatan pengganti Nabi, harus dikembalikan kepada keluarga Nabi sebagai pemilik mutlak kepemimpinan umat Islam.
Usaha untuk mengambil alih kekhalifahan itu terus dilakukan semasa Yazid berkuasa, dimana Husein yang diklaim oleh orang Kufah sebagai khalifah setelah kematian Mu’awiyah, berusaha memberontak terhadap daulah ini dengan alasan bahwa kematian Mu’awiyah berati perjanjian telah batal, dan dia berhak atas gelar itu. Namun kematian menjemput dia di Karbala dengan pengorbanan kepalanya di bawa ke Damaskus. Mereka juga dekat dengan kelompok agama (ulama), memprakarsai pelaksanaan haji, merekrut tokoh—tokoh muslim sebagai hakim dan administrator negara, menciptakan peradilan, mengkader ulama ustad-ustad, ahli hukum dan tokoh kenegaraan dibawah yuridiksi peradilan. Mereka juga terlibat dalam mempertahankan doktrin ortodoksi Islam menghadapi kelompok bid’ah. Penggunaan istilah tersebut dimaksud untuk mengakomodir warga Persia yang masih banyak terpengaruh konsep kaisar sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menyelamatkan masyarakat; Kedua: Daulah ini dibangun atas dukungan politik seluruh komponen masyarakat muslim, baik itu Arab maupun non Arab. Mereka tidak bisa sembarangan menetapkan landasan ideologis yang keluar dan prinsip itu untuk mengamankan loyalitas dan kesetiaan dan gerakan pemberontak dan tetap menggunakan justifikasi dengan peran Islam. Bahkan dukungan dari non Arab dan non Muslim yang merasa lebih aman untuk diperintah oleh kaum muslim yang mampu menjaga ketertiban urusan duniawi dan peribadatan karena sikap Islam yang tidak memaksakan pemelukan Islam pada mereka. Ketiga: Daulah Abbasiyyah juga mengklaim sebagai Imam, pemimpin umat Islam dibidang spiritual. Gelar Imam berasal dari pemimpin sholat berjamaah berarti pemimpin dalam hal agama. Memang penggunaan kata Imam dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan dari Syiah, dimana orang Syiah sering menggunakannya untuk pemimpin mereka dengan arti yang lebih dan sekedar pemimpin agama tapi juga politik. Namun dengan penggunaan ini, Abbasiyyah bermaksud menjadikan dinastinya sebagai dinasti dengan prinsip Islam.
Kekuasaan daulah Abbasiyyah dibangun dan dikembangkan dengan dukungan militer. militerisme penting artinya bagi Abbasiyyah untuk mengamankan kekuasaan yang luas dari India sampai Afrika Utara dan untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan bagi kepentingan masyarakat Islam dan belanja pegawai administrator dan militer. Mereka direkrut bukan saja dari bangsa Arab tapi juga bangsa lain yang loyal terhadap dinasti. Berbeda dengan daulah Umayyah dimana pada awalnya militer direkrut dan suku Arab Qais dan Kalb, kemudian mengadakan demiliterisasi, Abbasiyyah masih menggunakan militer Arab selain non Arab sebagai penguat terhadap prinsip koalisi dari dinasti ini. Militer yang digunakan untuk memperkuat perbatasan meredam gejolak oposisi dan menggunakannya untuk kekuatan ekspedisi ini sangatlah profesional dibanding dengan Umayyah yang tidak profesional. Dalam sejarah khalifah, Abbasiyyah hampir semuanya dipengaruhi oleh militer. Bahkan kekuasaan khalifah tidak berdaya dengan pengaruh mereka dan penguasaan mereka dalam administrasi negara.
Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah terbagi menjadi 5 periode: Pertama: masa pengaruh Persia, 132 H - 232 H (750-847 M); Kedua: Masa Pengaruh Turki (238-334 H) (847 -945M); Ketiga: Masa Dinasti Bauwaihi, Pengaruh Persia, 334 -447 H(945 - 1055 M); Keempat: Masa Kekuasaan dinasti Seljuk, Pengaruh Turki, 497-590 H (1055-1194M); Kelima: Masa dimana khalifah hanya berkuasa secara efektif di sekitar Baghdad dan bebas pengaruh Dinasti lain, 590-656 H (1194-1258 M)
Sedangkan Dinasti Abbasiyah terbagi 3 periode: Pertama: Sejak Abu Abbas Al Saffah Sampai Al Watsiq; Kedua: Persia (Buwaihi) dan Ketiga: Sejak berkuasa Dinasti Seljuk sampai Hancurnya Baghdad ditangan tentara Mongol.
Istilah khalifah pada masa daulah Abbasiyah semenjak Abu Ja’far Al Manshur menjadi khalifah mempunyai pengertian yang sudah bergeser dari makna aslinya sebagaimana pada masa khulafa al Rasyidin. Bila pada masa khulafa al Rasyidin, khalifah berarti pengganti Muhammad memimpin umat dan wakil pelaksana yang membantu rakyat mengurusi persoalan mereka, maka pada masa Abbasiyah konsep khalifah bergeser menjadi wakil Tuhan di bumi karena mendapatkan mandat dan Tuhan bukan dari manusia. Bila dibedakan dengan dinasti Umayyah yang memaknai khalifah sebagai penguasa dunia, karena orientasi potitiknya lebih terkonsentrasi pada aspek dunia dengan kurang memperhatikan urusan agama, maka khalifah masa Abbasiyah berusaha mensinergikan otoritas politik dan agama.
A.   Prinsip Administrsi yang dilaksanakan
 Pemerintahan daulah Abbasiyah menerapkan prinsip inklusif transparansi dan rasional. Prinsip inklusif dan transparansi dalam Pemerintahan daulah Abbasiyah merupakan usaha pembangunan universalitas Islam yang mengakomodir seluruh potensi masyarakat untuk mendukung terlaksananya pemerintahan yang berjalan baik dan meraih kesuksesan. Dibawah pemerintahan Islam seluruh komponen masyarakat dipersatukan dalam asas kesamaan mereka dalam menjalankan kewajiban - kewajiban dan mendapat hak-hak sebagai warga negara. Hal ini dapat terlihat bahwa pengendali pemerintahan dan pejabat-pejabatnya bukan diangkat dari bangsa Arab, namun juga non Arab bahkan juga yang tidak beragama Islam, Orang orang Khurasan banyak direkrut untuk menjadi juru paksa, Kristen Nestorian banyak berperan pada adminitrasi pemerintah terutama di Iraq dan mayoritas Yahudi banyak terlibat dalam kegiatan perpajakan, sedang orang orang Arab banyak mengisi pos peradilan sebagai resiko rasional dalam pemerintahan, karena makin banyak dan beragamnya urusan yang dulu ditangani langsung oleh khalifah dan makin luasnya daerah kekuasaan daulah yang tidak bisa dijangkau dan diawasi secara langsung oleh khlifah di Baghdad. Di awali dengan munculnya diwan atau semacam biro yang mengurusi kearsipan, perpajakan dan pengeluaran untuk kalangan militer, kemudian diperluas dengan biro pengawas pendapatan dan pengeluaran, sekretariat, peradilan dan informasi. Pada akhirnya dibentuklah adminstator mengepalai semua biro yang ada, dan muncul istilah Wazir atau semacam Perdana Menteri. Pada sisi lain karena luas wilayah, kekuasaan daulah Abbasiyah, maka wilayah itu ada yang merupakan bagian dan sistem sentralistik, daerah otonomi dan memakai sistem daerah supervisi yang dipimpin oleh Gubemur dan tidak terkontrol oleh pusat kekuasaan. Daerah yang masuk wilayah pemerintahan sentralistik Baghdad antara lain Irak, Syria, Mesopotamia, Khuziztan. Daerah otonom sebatas pengukuhan antara lain dinasti Tahiriyah, Samaniyah di Khurasan. Dan daerah supervisi seperti di Afrika Utara, Asia Tengah dan sekitar Laut Kaspia.
Dalam bidang administrasi kepemerintahan Al Manshur melanjutkan usaha yang telah dilakukan Umayyah dengan melakukan sentralisasi kekuasaan politik di tangan khalifah dan elite penguasa. Khalifah dikelilingi oleh staf administrasi yang menerima petunjuk langsung darinya. Dan sini dikembangkan tiga biro, arsip dan persuratan, perpajakan dan pengeluaran istana dan khalifah. Disamping itu ditunjuk beberapa Qodhi dan para fugaha yang bertugas untuk menerapkan hukum Islam di masyarakat. Dari sini muncul jabatan Wazir sebagai koordinator pengawas dan pengontrol terhadap kerja birokrasi. Wazir bermula dan jabatan sekretaris administrator dan sekaligus asisten khalifah. Berkembang lagi administrasi negara dengan dibentuknya dewan Al Azimma (pengawas), dewan Al Tauqi’ (konseptor surat), dewan khatam (petugas stempel), Mazalim (pemberi saran dalam masalah pemerintahan dan keuangan dan dewan Al Band, jawatan pos dan informasi yang bertugas juga mengawasi seluruh unsur pemerintahan. Pegawai administrasi tersebut diangkat dan berbagai kalangan, Khurasan, Kristen Nestorian, Yahudi, Syiah. Bahkan keluarga Barmakiyah yang berasal dan keluarga pendeta Budha memiliki pengaruh besar dalam administrasi kenegaraan tersebut. Al Manshur telah mengangkat Wazir sebagai koordinator dapartemen yaitu Khalid Ibn Barmak berasal dan Balkan Persia sampai kekuasaan yang dilakukan dinasti Abhasiah sama seperti apa yang dilakukan oleh dinasti Umayyah yaitu secara turun-temurun. Sistem Monarkhi Hereditas ini dipraktekkan oleh Al Manshur dengan menunjuk anaknya Al Mahdi sebagai penggantinya menjadi khalifal Perpindahan kekuasaan khalifah ini pada hakekatnya telah menyalahi aturan dan kesepakatan yang telah dibuat oleh Al Saffah yang pernah mewasiatkan bahwa setelah Al Manshur meninggal, pemegang jabatan kekhalifahan harus diserahkan kepada Isa Ibn Musa. Tradisi yang dipraktekkan oleh Al Manshur pada sejarah selanjutnya juga dilakukan.
B.    Pengadministrasian dan Manajemen Ekonomi Negara
Prinsip ekonomi yang diterapkan oleh daulah Abbasiyah adalah pajak daerah yang diambil dari tanah pertanian, tanaman dsb. Pajak tersebut bukan untuk kepentingan daerah, namun juga dikumpulkan untuk pemerintah pusat, sehingga dengan luasnya wilayah kekuasaan Abbasiayah dinasti mampu mengorganisir kekayaan dan pajak tersebut untuk membangun perekonomian dan peradaban. Hal itu dapat dilihat ketika pemerintah masih bisa mengendalikan seluruh wilayahnya dari Afrika utara sampai India, Baghdad menjadi pusatnya keuangan dan dari sana muncul khalifah ternama seperti Harun Al Rasyid dan Al Ma’mun, yang bisa membawa dinasti itu mencapai zaman keemasannya.
Kondisi perekonomian daulah Abbasiyah mulai membaik setelah Al Mahdi naik tahta dan diteruskan peningkatannya pada masa Harun, akibat dari berkembangnya sektor pertanian irigasi, pertambangan emas, perak, tembaga dan besi serta perdagangan. Kemudian disusul dengan stabilitas daulah yang nyaris sempurna, Iuasnya wiiayah kekuasaan yang dapat dikendalikan oleh pemerintah pusat dan pemerintahannya yang berjalan baik dengan administrasi yang tersusun rapi dan taat aturan, maka dalam kondisi semacam inilah Harun melakukan kebijakan politiknya untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini diambil, karena orientasi politik dengan melakukan ekspansi sudah tertutup, sebab hampir seluruh dunia sudah ditaklukan dan dikuasainya, kecuali Bizantium dan beberapa daerah yang sangat sulit dimasuki karena terkait dengan alam apalagi tidak menjanjikan. Maka kebijakan Harun dengan berorientasi ke dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat merupakan pilihan yang tepat. Dengan kekayaan yang melimpah, maka oleh Harun dimanfaatkan untuk kepentingan sosial seperti membangun pusat — pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan, rumah sakit, dan farmasi, lembaga pendidikan kedokteran, pusat — pusat ekonomi bahkan untuk kebudayaan dan kesejahteraan dan persatuan terhadap masyarakat. Pada saat Harun ar Rasyid inilah dapat dikatakan sebagai puncak keemasan sejarah Islam. Baghdad saat itu menjadi kota kosmopolitan pusat pengetahuan dan perdagangan dunia dengan penataran kota yang megah dan indah. Berdiri pula istana yang megah seperti istana al Khuld, istana al Salam yang dibangun khalifah ataupun para pembesar negara, bahkan muncul tempat hunian para elit yang terletak di Rusafat dan Syamsiah. Belum lagi pakaian mewah dan makanan lezat dan bergizi menjadi bagian dan kehidupan para pembesar istana. Rakyatnya merasa sangat aman tentram, bahagia dan tidak kurang sesuatu karena khalifah sangat memperhatikan kesejahteraan mereka, bahkan orang Syiah yang sebelumnya selalu dimusuhi oleh pemerintah, pada saat Harun merasa tenang, karena dilindungi dan dilarang untuk berbuat keras dan mencurigainya.
C.   Prestasi Politik, Ekonomi dan Budaya yang dimiliki oleh para Khalifah Daulah Abbasiyah.
Dengan kekayaan yang besar itulah dinasti Abbasiyah dikenal sebagai dinasti yang mendorong kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan seni. Prinsip memajukan ilmu pengetahuan dan seni ini dilandasi oleh kemauan politik para penguasa juga sebagai peneguhan kembali kekhalifahan Abbasiyah sebagai pengayom aspirasi yang berkembang diwilayah kekuasannya sesuai landasan politik universilitas Islam. Hal ini dapat dibuktikan pada tangan merekalah budaya Persia. Hellenesme masuk dalam Islam dan ikut membentuk peradaban Islam. Melalui penerjemahan karya-karya Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab, dinasti ini memperoleh pencerahan, pengaruh Hellenesiae yang paling menonjol dan ikut membentuk pemikiran Islam adalah filsafat, sedangkan dan Persia, ide-ide politik dan Gnostisisme telah megithami perkembangan islam pada masa-masa kemudian.
Perilaku politik yang dijalankan adalah mengamankan kekuasaannya dan lawan dan kawan politiknya. Lawan politiknya seperti keluarga Bani Umayyah, Khawarij dan kaum Syiah yang merasa dikucilkan dan kekuasaan dihadapai dengan keras. Kawan politik seper juangannya yang menjadi saingan satu persatu disingkirkan karena kekhawatiran Al Manshur akan menjadi duri dalam daging, Abdullah Ibn Auf dan Sholih Ibn Auf, kedua pamannya yang menjadi gubernur di Suriah dan Mesir dibunuh oleh Abu Muslim Al Khurasani atas petunujuk dan Al Manshur. Begitu juga dengan Abu Muslim yang dikhawatirkan menjadi pesaing bagi dirinya dihukum mati pada tahun 755 M.
Langkah politik yang dilakukan selanjutnya adalah mengkonsolidasikan seluruh kekuatan militernya dan membangun kota baru di Baghdad (762 M) sebagai ibu kota baru menggantikan Anbar dekat Kufah. Konsolidasi militer digunakan oleh Al Manshur untuk menopang kelangsungan dinasti ini dalam bidang pertahanan dan keamanan. Orang-orang Arab tetap dijadikan pasukan di Yaman, India, Armenia dan wilayah-wilayah perbatasan dengan Bizantium. Sedang militer yang direkrut dari tawanan negara terdiri dari orang Khurasan, Mawalli dan keturunan mereka sebagai militer profésional yang digunakan untuk kekuatan perbatasan, ekspedisi melawan Bizantium dan menekan oposisi internal. Pemilihan Baghdad dan menyingkir dari Anbar, karena alasan keamanan dan stabilitas daulah Abbasiyah. Anbar merupakan basis dan kaum Syiah yang selalu bergejolak karena ketidakpuasan mereka atas perilaku keluarga Abbasiyah. Sedangkan Baghdad, dekat dengan Clesiphon, ibukota Persia dipilih untuk mendapatkan dukungan baru yang dapat mengamankan seluruh keputusan politiknya yakni ditengah bangsa Persia.
Dukungan dari bangsa Persia sangat penting, karena masyarakat Arab sudah terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok antara penyokong Mu’awiyah, Anshor, Khawarij dan kabilah lain yang tidak mungkin dijadikan lagi bagi basis kekuatan pertahanan Abbasiyah.
Baghdad yang terletak di sebelah barat sungai Tigris berkembang dari sebuah pusat militer dan administrasi menjadi kota kosmopolitan. Pusat administrasi yang dinamakan Madinat Al Salam (kota damai) berkembang dua pemukiman yaitu Al Harbiya, perluasan kampung militer di utara istana dan Al Karkh, kampung kaum pekerja yang didatangkan dan Iraq, Suriah, Mesir dan Iran. Baghdad yang dihuni dan berbagai bangsa Suriah, Arab, Iraq, Persia dan Asia Tengah dengan beragam agama yang dianutnya Yahudi, Kristen, Muslim, dan Pagan telah berkembang menjadi pusat kegiatan ekonomi bahkan akhimya menjadi pusat keilmuan dan peradaban.
Langkah politik yang lain adalah melakukan ekspansi. Ekspansi bagi Abbasiyah bukan merupakan langkah politik yang utama sebagaimana masa dinasti Umayyah. Namun kondisi telah memaksa Al Manshur untuk melakukannya karena daerah tersebut telah membebaskan diri dari pemerintah pusat. Daerah yang ditaklukkan kembali dengan membuat benteng-benteng adalah kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia tahun 756-758 M. Selain itu dilakukan langkah pengamanan di daerah-daerah perbatasan dan melakukan perdamaian seperti yang dilakukannya dengan Kaisar Constantinev dimana selama gencatan senjata 75 8-765 M. Bizantium membayar upeti tahunan. Langkah militer ini juga dilakukan Al Manshur dengan menggerakkan pasukannya menghadapi pasukan Turki Khazar di Kaukasus, pasukan Dailami di Laut kaspia dan Turki di bagian lain dari Oksus dan India.
Pada bidang pertahanan dan keamanan dia membangun benteng pertahanan di kota-kota terutama di Rusafah, di seberang sungai Tigris di kota Baghdad. Terkait dengan gerakan oposisi di dalam negeri dan hubungannya dengan Bizantium, Al Mahdi melakukan beberapa pertempuran. Di Syria gerakan perusuh (161 H) dikalahkan dan diampuni. Di Mesopotamia gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Al Yasykur, dapat ditumpas dan begitu juga pemberontakan yang dilakukan oleh Bani Tamim. Dengan Bizantium, ia mengirim pasukan di bawah komandan militer Harun, anaknya dengan basis tentara di Aleppo menyerang Bizantium. Dalam peperangan ini pasukan Harun dapat menghancurkan benteng Samalo dan memaksa Bizantium menandatangani perjanjian dengan membayar rampasan perang dan tebusan tawanan perang. Namun ketika Bizantium melanggar perjanjian tersebut. Harun dikirim kembali menyerang dan memperoleh kemenangan dengan gemilang dan memaksa Ratu Bizantium, janda Leo IV dan wali raja putranya. Constantine IV membayar pajak tahunan, mendirikan pasar dan meminta pihak musuh menunjukkan jalan kembali pasukan Islam ke wilayah asalnya serta membebaskan tawanan perang. Kemenangan ini berdampak politik bagi perluasan kekuasaan.
Kebijakan politik yang tetap menjadikan zaman Al Makmun sebagai masa keemasan Islam adalah orientasinya dalam membangun peradaban dan ilmu pengetahuan. Pada masanya digiatkan usaha menerjemahkan khazanah intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab. Kecintaan Al Makmun pada ilmu pengetahuan membuat dia sangat respek pada ilmuwan dan penerjemah, sehingga para penerjemah yang beragama Kristen dan agama lain mendapat imbalan gaji atas karya terjemahannya. Ia juga mendirikan banyak lembaga pendidikan dan yang terkenal, salah satunya adalah Bait Al Hikmah, Pusat penerjemahan, berfungsi juga sebagai Perguruan Tinggi yang mempunyai koleksi pustaka yang banyak sekali.
Bait Al Hikmah yang didirikan Al Makmun pada saat itu dipimpin oleh Yahya Ibnu Masawaid dengan beberapa penerjemah diañtaranya Hunain dan keluarganya beragama Kristen Nestorian dan Tsabit Ibnu Qurro, beragama Sabiah berasal dari Hirroh, pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan tua yang termasyhur, serta Qusta Ibn Luqha, Hunain menerjemahkan karya filsafat Plato, Aristoteles, Galinius, Apollonius dan Archimedes, Tsabit menerjemahkan astronomi dan filsafat, dan Qusta menerjemahkan filsafat, Astronomi dan Geometri serta memperbaiki terjemahan yang terdahulu.
Interaksi agama dan pemikiran Yunani dan Persia pertama muncul pada bidang teologi. Aliran-aliran teologi sudah berkembang pada masa Umayyah seperti Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah, tapi dalam batas-batas pemikiran yang sangat sederhana sesuai dengan watak mereka yang masih orisinil. Baru ketika bersentuhan dengan rasionalisme, pembentukan argumentasi teologis disempurnakan guna memberikan landasan ideologis pada masing-masing mazhab teologi. Mu’tazilah menemukan spiritnya pada masa pemerintahan Abbasiyah periode pertama. Diantara tokoh yang dianggap perumus pemikiran Wasil Ibn Atho’ ini adalah Abu al Huzail al Allaf dan al Nazzam. Kemunculan perumusan konsep teologi ini ditujukan guna dapat menerima konsep Al Qur’an yang memang diturunkan sangat sederhana pada masyarakat Arab yang sederhana pula. Padahal masyarakat pada masa Abbasiyah adalah masyarakat rasional, terdiri dan berbagai agama Yahudi, Kristen, Parsi yang selalu menguji konsep-konsep keagamaan Islam. Mu’tazilah merupakan pioner untuk memantapkan kepercayaan Islam dihadapan orang itu. Asy’ariyah yang didirikan oleh Abu al Hasan al Asy’ari, membangun teologinya dengan mengakomodasi pemikiran pemikiran Yunani, karena memang sebelumnya adalah tokoh Mu’tazilah. Dia juga tetap berpegang pada pandangan masyarakat kebanyakan kaum muslimin dengan mengakomodasi prinsip ahli Hadist akan kemutlakan kebenaran kitab suci. Sebagai contoh tentang kemutlakan Al Qur’an, Asy’ari berpendapat bahwa Al Qur’an bukan makhluk (ahli Hadist) tapi dengan pendekatan Mu’tazilah dia menemukan sebuah perbedaan filosofis antara esensi dan puisi.
Pada bidang hukum, muncul perbedaan-perbedaan pandangan dan ijtihad hukum sesuai dengan pengaruh lingkungan yang melatarbelakangi timbulnya mazhab hukum tersebut. Abu Hanifah, yang berkembang di Kufah, ditengah-tengah peradaban Parsi dengan tingkat kemajuan dari peradaban yang tinggi dan banyak menggunakan pemikiran rasional, karena letaknya jauh dan pusat Hadist di Madinah, maka corak mazhab fiqh Hanafi adalah lebih mempertimbangkan aspek unsur-unsur rasional dan dari pada unsur Hadist sebagai alat argumentasinya. Imam Maliki yang dibesarkan di Madinah dengan lingkungan Hadist, maka untuk menyelesaikan persoalan hukum, lebih banyak menggunakan Hadist. Imam Syafii sebagai pendiri mazhab Syafii mempunyai pandangan tengah karena pengaruh lingkungan, begitu juga Hanafi, meskipun keduanya pun terjadi perbedaan, dimana Imam Syafii cenderung lebih dekat pada ijtihad hukum Hambali, sedang Hambali lebih dekat pada ijtihad hukum Maliki.
Dalam masalah penafsiran terdapat dua kecenderungan akibat dan perbedaan sejauh mana peran riwayat dan akal untuk memahami Al Qur’an. Pandangan yang mengemukakan bahwa interpretasi Al Qur’an harus dirujuk pada Nabi dan sahabat atau tafsir bi al ma’tsur. Dan pandangan yang menggunakan interpretasi terhadap Al Qur’an bisa dipahami melalui pemikiran rasional atau disebut tafsir bi al ra’yi. Pandangan yang kedua lebih diilhami oleh pemikiran rasional dan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Pada bidang lain, selain Al Qur’an memiliki ayat-ayat esoterik, perkembangan sufi juga banyak dipengaruhi juga oleh interaksi mereka dengan budaya Persia, India, Yunani. Tasawuf Islam bermula pada aspirasi spiritual dan praktek keagamaan Nabi Muhammad, sahabat dan tokoh-tokoh sesudahnya.
Dalam bidang ilmu pengetahuan umum, muncul tokoh-tokoh filsafat sepenti al Farabi, Ibn Sina. Al Farabi banyak menulis filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan intenpretasi terhadap wahyu.
Dalam bidang astronomi terlahir seorang astronom yang pertama kali menyusun astrolobe yaitu al Fazari. Al Farghani juga dikenal dengan keahliannya dalam ilmu astronomi. Dalam ilmu kedokteran dikenal nama al Razi dan Ibn Sina. Al Razi dikenal sebagai penemu ilmu kedokteran yang membedakan antara penyakit cacar dan measles, dan penyusun ilmu kedokteran anak. Ibn Sina menulis karya yang dijadikan rujukan bangsa barat dalam kedokteran yaitu al Qanun fi al Tibbi, dan juga berhasil menemukan sistem peredaran darah. Dalam bidang optika Abu Auf al Hasan Ibn al Haithami yang berpendapat bahwa benda mengirim cahaya ke mata bukan sebaliknya. Teori ini dapat dibenarkan oleh masyarakat ilmu keoptikan. Jabir Ibn Hayyan dikenal ahli dalam bidang kimia, dimana pandangannya mengatakan bahwa besi, timah dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan zat sesuatu kepadanya. Muhammad Ibn Musa al Khawarizmi dikenal sebagai ahli matematika selain ahli dalam astronomi. Dalam matematika dialah penemu kata aljabar dengan bukunya al Jabr wa al Muqabalah. Dalam bidang sejarah dikenal nama al Mas’udi, yang dikenal juga ahli geografi dengan karyanya Maruj al Zahab wa Ma ‘adin al Jawahir.
D.   Kemunduran Daulah Abbasiyah
Dari tiadanya aturan yang jelas dan pasti inilah yang menjadi salah satu dari terjadinya pertentangan diantara keturunan Abbas dan berakibat runtuhnya dinasti ini. 
Kematian Al Mu’tashim tahun 227 H, diganti oleh putranya Al Wasiq. Pada masa itu orang — orang Turki sudah banyak membawa pengaruh pada daulah Abbasiyah, sehingga mulai saat itulah dikatakan sebagai masa pengaruh Turki pada daulah Abbasiyah hingga khalifah Al Mustakfi tahun 334 H (945 M). Pada masa itu otoritas khlifah dalam politik nyanis tidak ada, khalifah banyak yang diangkat oleh bangsa Turki. Mereka hanya punya otoritas yang penuh dalam soal keagamaan. Namun dalam bidang peradaban dan ilmu pengetahuan masih menyisakan kejayaannya. Dengan berakhirnya pengaruh Turki dan munculnya dinasti Buwaihi pada daulah Abbasiyah, maka Khalifah tidak lagi mempunyai otoritas dunia, politik dan pemerintahan, dan hanya ada pada mereka otoritas keagamaan. Dan dimulailah masa disintegrasi secara sempurna dari kemunduran daulah Abbasiyàh.

No comments:

Post a Comment