BAB IX
ADMINISTRASI MASA KEKHILAFAHAN
DAULAH ABBASIYAH
Berdirinya daulah
Abbasiyah, telah mengakhiri daulah Umayyah yang menekankan landasan politiknya
pada Arabisme. Daulah Abbasiyyah pada perkembangannya juga mewarisi Umayyah
dalam beberapa hal tapi ia punya ciri khusus yang berbeda dengan pendahulunya.
Pemerintahan daulah Abbasiyyah mendasarkan kebijakkan politiknya pada prinsip-prinsip
universalitas Islam. Prinsip pemeritahan yang inklusif transparan, rasional,
prinsip pembaharuan ekonomi, dan prinsip mendorong berkembangnya ilmu
pengetahuan.
Prinsip politik
universalitas Islam dikembangkan oleh daulah Abbasiyah karena, beberapa alasan:
Pertama, Daulah Ababsiyah mengklaim
dirinya sebagai daulah Islam dan meneruskan tradisi kepemimpinan Islam sebagai
pengganti Nabi dan Khalifah Al Rasyidin dan bukan tradisi kepemimpinan Arabisme
atau kesukaan Arab yang dikembangkan oleh daulah Umayyah. Meskipun daulah
Umayyah mengklaim bahwa khalifah tidak semata dipilih oleh masyarakat, tapi
ditunjuk Tuhan untuk mengikuti jalan Nabi Muhammad dengan membawa Ummat Islam
ke jalan agama, tapi Arabisme, Abbasiyah meneguhkan bahwa khalifah adalah
pcnerus nabi yang telah mendapatkan kedaulahan dari Tuhan untuk menegakkan
kebenaran di tengah umat Islam. Mereka juga memakai gelar seperti Al Manshur,
Al Mahdi, Al Hadi, Al Rasyid dan sebagainya untuk mengklaim keberadaan mereka
sebagai penerima petunjuk dari Tuhan dalam kebenaran dan keadilan.
Dinasti Abbasiyah yang
mendasarkan gerakannya atas nama keluarga Muhammad ini lahir melanjutkan
kekuasaan daulah Ummayah, dimana khalifah-khalifahnya terlalu Iemah untuk
meneruskan kejayaan pendahulunya. Kelemahan ini didukung pula oleh sikap yang
amoral, pola hidup glamour dan mengabaikan kesejahteraan rakyat, selain luasnya
wilayah kekuasaan dan banyaknya konflik yang terjadi, dimana mereka tidak
mempunyai kemampuan untuk mengelola kembali dalam sam kendali kekuasaan. Akibat
yang terjadi adalah tumbuhnya kebencian dan ketidaksenangan kepada penguasa
yang mencetuskan gerakan pertentangan dan bahkan usaha-usaha pengambilalihan
kekuasaan daulah ini. Dan salah satu gerakan itu lahir dan keluarga Bani Hasyim
yang berkeinginan mengambil alih kekhalifahan, karena alasan yang mendasar
bahwa kekhalifahan sebagai jabatan pengganti Nabi, harus dikembalikan kepada
keluarga Nabi sebagai pemilik mutlak kepemimpinan umat Islam.
Usaha untuk mengambil
alih kekhalifahan itu terus dilakukan semasa Yazid berkuasa, dimana Husein yang
diklaim oleh orang Kufah sebagai khalifah setelah kematian Mu’awiyah, berusaha
memberontak terhadap daulah ini dengan alasan bahwa kematian Mu’awiyah berati
perjanjian telah batal, dan dia berhak atas gelar itu. Namun kematian menjemput
dia di Karbala dengan pengorbanan kepalanya di bawa ke Damaskus. Mereka juga
dekat dengan kelompok agama (ulama), memprakarsai pelaksanaan haji, merekrut
tokoh—tokoh muslim sebagai hakim dan administrator negara, menciptakan
peradilan, mengkader ulama ustad-ustad, ahli hukum dan tokoh kenegaraan dibawah
yuridiksi peradilan. Mereka juga terlibat dalam mempertahankan doktrin
ortodoksi Islam menghadapi kelompok bid’ah. Penggunaan istilah tersebut
dimaksud untuk mengakomodir warga Persia yang masih banyak terpengaruh konsep
kaisar sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menyelamatkan masyarakat; Kedua: Daulah ini dibangun atas dukungan
politik seluruh komponen masyarakat muslim, baik itu Arab maupun non Arab.
Mereka tidak bisa sembarangan menetapkan landasan ideologis yang keluar dan
prinsip itu untuk mengamankan loyalitas dan kesetiaan dan gerakan pemberontak
dan tetap menggunakan justifikasi dengan peran Islam. Bahkan dukungan dari non
Arab dan non Muslim yang merasa lebih aman untuk diperintah oleh kaum muslim
yang mampu menjaga ketertiban urusan duniawi dan peribadatan karena sikap Islam
yang tidak memaksakan pemelukan Islam pada mereka. Ketiga: Daulah Abbasiyyah juga mengklaim sebagai Imam, pemimpin
umat Islam dibidang spiritual. Gelar Imam berasal dari pemimpin sholat
berjamaah berarti pemimpin dalam hal agama. Memang penggunaan kata Imam
dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan dari Syiah, dimana orang Syiah sering
menggunakannya untuk pemimpin mereka dengan arti yang lebih dan sekedar
pemimpin agama tapi juga politik. Namun dengan penggunaan ini, Abbasiyyah
bermaksud menjadikan dinastinya sebagai dinasti dengan prinsip Islam.
Kekuasaan daulah
Abbasiyyah dibangun dan dikembangkan dengan dukungan militer. militerisme
penting artinya bagi Abbasiyyah untuk mengamankan kekuasaan yang luas dari
India sampai Afrika Utara dan untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan
digunakan bagi kepentingan masyarakat Islam dan belanja pegawai administrator
dan militer. Mereka direkrut bukan saja dari bangsa Arab tapi juga bangsa lain
yang loyal terhadap dinasti. Berbeda dengan daulah Umayyah dimana pada awalnya
militer direkrut dan suku Arab Qais dan Kalb, kemudian mengadakan
demiliterisasi, Abbasiyyah masih menggunakan militer Arab selain non Arab
sebagai penguat terhadap prinsip koalisi dari dinasti ini. Militer yang
digunakan untuk memperkuat perbatasan meredam gejolak oposisi dan
menggunakannya untuk kekuatan ekspedisi ini sangatlah profesional dibanding
dengan Umayyah yang tidak profesional. Dalam sejarah khalifah, Abbasiyyah
hampir semuanya dipengaruhi oleh militer. Bahkan kekuasaan khalifah tidak
berdaya dengan pengaruh mereka dan penguasaan mereka dalam administrasi negara.
Masa pemerintahan
Dinasti Abbasiyah terbagi menjadi 5 periode: Pertama: masa pengaruh Persia, 132 H - 232 H (750-847 M); Kedua: Masa Pengaruh Turki (238-334 H)
(847 -945M); Ketiga: Masa Dinasti
Bauwaihi, Pengaruh Persia, 334 -447 H(945 - 1055 M); Keempat: Masa Kekuasaan dinasti Seljuk, Pengaruh Turki, 497-590 H
(1055-1194M); Kelima: Masa dimana
khalifah hanya berkuasa secara efektif di sekitar Baghdad dan bebas pengaruh
Dinasti lain, 590-656 H (1194-1258 M)
Sedangkan Dinasti
Abbasiyah terbagi 3 periode: Pertama: Sejak
Abu Abbas Al Saffah Sampai Al Watsiq; Kedua:
Persia (Buwaihi) dan Ketiga: Sejak
berkuasa Dinasti Seljuk sampai Hancurnya Baghdad ditangan tentara Mongol.
Istilah khalifah pada
masa daulah Abbasiyah semenjak Abu Ja’far Al Manshur menjadi khalifah mempunyai
pengertian yang sudah bergeser dari makna aslinya sebagaimana pada masa khulafa
al Rasyidin. Bila pada masa khulafa al Rasyidin, khalifah berarti pengganti
Muhammad memimpin umat dan wakil pelaksana yang membantu rakyat mengurusi
persoalan mereka, maka pada masa Abbasiyah konsep khalifah bergeser menjadi
wakil Tuhan di bumi karena mendapatkan mandat dan Tuhan bukan dari manusia.
Bila dibedakan dengan dinasti Umayyah yang memaknai khalifah sebagai penguasa
dunia, karena orientasi potitiknya lebih terkonsentrasi pada aspek dunia dengan
kurang memperhatikan urusan agama, maka khalifah masa Abbasiyah berusaha
mensinergikan otoritas politik dan agama.
A.
Prinsip
Administrsi yang dilaksanakan
Pemerintahan daulah
Abbasiyah menerapkan prinsip inklusif transparansi dan rasional. Prinsip
inklusif dan transparansi dalam Pemerintahan daulah Abbasiyah merupakan usaha
pembangunan universalitas Islam yang mengakomodir seluruh potensi masyarakat
untuk mendukung terlaksananya pemerintahan yang berjalan baik dan meraih
kesuksesan. Dibawah pemerintahan Islam seluruh komponen masyarakat dipersatukan
dalam asas kesamaan mereka dalam menjalankan kewajiban - kewajiban dan mendapat
hak-hak sebagai warga negara. Hal ini dapat terlihat bahwa pengendali
pemerintahan dan pejabat-pejabatnya bukan diangkat dari bangsa Arab, namun juga
non Arab bahkan juga yang tidak beragama Islam, Orang orang Khurasan banyak
direkrut untuk menjadi juru paksa, Kristen Nestorian banyak berperan pada
adminitrasi pemerintah terutama di Iraq dan mayoritas Yahudi banyak terlibat
dalam kegiatan perpajakan, sedang orang orang Arab banyak mengisi pos peradilan
sebagai resiko rasional dalam pemerintahan, karena makin banyak dan beragamnya
urusan yang dulu ditangani langsung oleh khalifah dan makin luasnya daerah
kekuasaan daulah yang tidak bisa dijangkau dan diawasi secara langsung oleh
khlifah di Baghdad. Di awali dengan munculnya diwan atau semacam biro yang mengurusi kearsipan, perpajakan dan
pengeluaran untuk kalangan militer, kemudian diperluas dengan biro pengawas
pendapatan dan pengeluaran, sekretariat, peradilan dan informasi. Pada akhirnya
dibentuklah adminstator mengepalai semua biro yang ada, dan muncul istilah Wazir atau semacam Perdana Menteri. Pada
sisi lain karena luas wilayah, kekuasaan daulah Abbasiyah, maka wilayah itu ada
yang merupakan bagian dan sistem sentralistik, daerah otonomi dan memakai
sistem daerah supervisi yang dipimpin oleh Gubemur dan tidak terkontrol oleh
pusat kekuasaan. Daerah yang masuk wilayah pemerintahan sentralistik Baghdad
antara lain Irak, Syria, Mesopotamia, Khuziztan. Daerah otonom sebatas
pengukuhan antara lain dinasti Tahiriyah, Samaniyah di Khurasan. Dan daerah
supervisi seperti di Afrika Utara, Asia Tengah dan sekitar Laut Kaspia.
Dalam bidang
administrasi kepemerintahan Al Manshur melanjutkan usaha yang telah dilakukan
Umayyah dengan melakukan sentralisasi kekuasaan politik di tangan khalifah dan
elite penguasa. Khalifah dikelilingi oleh staf administrasi yang menerima
petunjuk langsung darinya. Dan sini dikembangkan tiga biro, arsip dan
persuratan, perpajakan dan pengeluaran istana dan khalifah. Disamping itu
ditunjuk beberapa Qodhi dan para fugaha yang bertugas untuk menerapkan hukum
Islam di masyarakat. Dari sini muncul jabatan Wazir sebagai koordinator pengawas dan pengontrol terhadap kerja
birokrasi. Wazir bermula dan jabatan sekretaris administrator dan sekaligus
asisten khalifah. Berkembang lagi administrasi negara dengan dibentuknya dewan Al Azimma (pengawas), dewan Al Tauqi’ (konseptor surat), dewan khatam (petugas stempel), Mazalim (pemberi saran dalam masalah pemerintahan
dan keuangan dan dewan Al Band,
jawatan pos dan informasi yang bertugas juga mengawasi seluruh unsur
pemerintahan. Pegawai administrasi tersebut diangkat dan berbagai kalangan,
Khurasan, Kristen Nestorian, Yahudi, Syiah. Bahkan keluarga Barmakiyah yang
berasal dan keluarga pendeta Budha memiliki pengaruh besar dalam administrasi
kenegaraan tersebut. Al Manshur telah mengangkat Wazir sebagai koordinator dapartemen yaitu Khalid Ibn Barmak
berasal dan Balkan Persia sampai kekuasaan yang dilakukan dinasti Abhasiah sama
seperti apa yang dilakukan oleh dinasti Umayyah yaitu secara turun-temurun.
Sistem Monarkhi Hereditas ini dipraktekkan oleh Al Manshur dengan menunjuk
anaknya Al Mahdi sebagai penggantinya menjadi khalifal Perpindahan kekuasaan
khalifah ini pada hakekatnya telah menyalahi aturan dan kesepakatan yang telah
dibuat oleh Al Saffah yang pernah mewasiatkan bahwa setelah Al Manshur
meninggal, pemegang jabatan kekhalifahan harus diserahkan kepada Isa Ibn Musa.
Tradisi yang dipraktekkan oleh Al Manshur pada sejarah selanjutnya juga
dilakukan.
B.
Pengadministrasian
dan Manajemen Ekonomi Negara
Prinsip ekonomi yang
diterapkan oleh daulah Abbasiyah adalah pajak daerah yang diambil dari tanah
pertanian, tanaman dsb. Pajak tersebut bukan untuk kepentingan daerah, namun
juga dikumpulkan untuk pemerintah pusat, sehingga dengan luasnya wilayah
kekuasaan Abbasiayah dinasti mampu mengorganisir kekayaan dan pajak tersebut
untuk membangun perekonomian dan peradaban. Hal itu dapat dilihat ketika
pemerintah masih bisa mengendalikan seluruh wilayahnya dari Afrika utara sampai
India, Baghdad menjadi pusatnya keuangan dan dari sana muncul khalifah ternama
seperti Harun Al Rasyid dan Al Ma’mun, yang bisa membawa dinasti itu mencapai
zaman keemasannya.
Kondisi perekonomian
daulah Abbasiyah mulai membaik setelah Al Mahdi naik tahta dan diteruskan
peningkatannya pada masa Harun, akibat dari berkembangnya sektor pertanian
irigasi, pertambangan emas, perak, tembaga dan besi serta perdagangan. Kemudian
disusul dengan stabilitas daulah yang nyaris sempurna, Iuasnya wiiayah
kekuasaan yang dapat dikendalikan oleh pemerintah pusat dan pemerintahannya
yang berjalan baik dengan administrasi yang tersusun rapi dan taat aturan, maka
dalam kondisi semacam inilah Harun melakukan kebijakan politiknya untuk
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini diambil,
karena orientasi politik dengan melakukan ekspansi sudah tertutup, sebab hampir
seluruh dunia sudah ditaklukan dan dikuasainya, kecuali Bizantium dan beberapa
daerah yang sangat sulit dimasuki karena terkait dengan alam apalagi tidak
menjanjikan. Maka kebijakan Harun dengan berorientasi ke dalam meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat merupakan pilihan yang tepat. Dengan
kekayaan yang melimpah, maka oleh Harun dimanfaatkan untuk kepentingan sosial
seperti membangun pusat — pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan, rumah sakit,
dan farmasi, lembaga pendidikan kedokteran, pusat — pusat ekonomi bahkan untuk
kebudayaan dan kesejahteraan dan persatuan terhadap masyarakat. Pada saat Harun
ar Rasyid inilah dapat dikatakan sebagai puncak keemasan sejarah Islam. Baghdad
saat itu menjadi kota kosmopolitan pusat pengetahuan dan perdagangan dunia
dengan penataran kota yang megah dan indah. Berdiri pula istana yang megah
seperti istana al Khuld, istana al Salam yang dibangun khalifah ataupun para
pembesar negara, bahkan muncul tempat hunian para elit yang terletak di Rusafat
dan Syamsiah. Belum lagi pakaian mewah dan makanan lezat dan bergizi menjadi
bagian dan kehidupan para pembesar istana. Rakyatnya merasa sangat aman
tentram, bahagia dan tidak kurang sesuatu karena khalifah sangat memperhatikan
kesejahteraan mereka, bahkan orang Syiah yang sebelumnya selalu dimusuhi oleh
pemerintah, pada saat Harun merasa tenang, karena dilindungi dan dilarang untuk
berbuat keras dan mencurigainya.
C.
Prestasi
Politik, Ekonomi dan Budaya yang dimiliki oleh para Khalifah Daulah Abbasiyah.
Dengan kekayaan yang
besar itulah dinasti Abbasiyah dikenal sebagai dinasti yang mendorong kemajuan dalam
bidang ilmu pengetahuan dan seni. Prinsip memajukan ilmu pengetahuan dan seni
ini dilandasi oleh kemauan politik para penguasa juga sebagai peneguhan kembali
kekhalifahan Abbasiyah sebagai pengayom aspirasi yang berkembang diwilayah
kekuasannya sesuai landasan politik universilitas Islam. Hal ini dapat
dibuktikan pada tangan merekalah budaya Persia. Hellenesme masuk dalam Islam
dan ikut membentuk peradaban Islam. Melalui penerjemahan karya-karya Yunani dan
Persia ke dalam bahasa Arab, dinasti ini memperoleh pencerahan, pengaruh
Hellenesiae yang paling menonjol dan ikut membentuk pemikiran Islam adalah
filsafat, sedangkan dan Persia, ide-ide politik dan Gnostisisme telah megithami
perkembangan islam pada masa-masa kemudian.
Perilaku politik yang
dijalankan adalah mengamankan kekuasaannya dan lawan dan kawan politiknya.
Lawan politiknya seperti keluarga Bani Umayyah, Khawarij dan kaum Syiah yang
merasa dikucilkan dan kekuasaan dihadapai dengan keras. Kawan politik seper
juangannya yang menjadi saingan satu persatu disingkirkan karena kekhawatiran
Al Manshur akan menjadi duri dalam daging, Abdullah Ibn Auf dan Sholih Ibn Auf,
kedua pamannya yang menjadi gubernur di Suriah dan Mesir dibunuh oleh Abu
Muslim Al Khurasani atas petunujuk dan Al Manshur. Begitu juga dengan Abu
Muslim yang dikhawatirkan menjadi pesaing bagi dirinya dihukum mati pada tahun
755 M.
Langkah politik yang
dilakukan selanjutnya adalah mengkonsolidasikan seluruh kekuatan militernya dan
membangun kota baru di Baghdad (762 M) sebagai ibu kota baru menggantikan Anbar
dekat Kufah. Konsolidasi militer digunakan oleh Al Manshur untuk menopang
kelangsungan dinasti ini dalam bidang pertahanan dan keamanan. Orang-orang Arab
tetap dijadikan pasukan di Yaman, India, Armenia dan wilayah-wilayah perbatasan
dengan Bizantium. Sedang militer yang direkrut dari tawanan negara terdiri dari
orang Khurasan, Mawalli dan keturunan mereka sebagai militer profésional yang
digunakan untuk kekuatan perbatasan, ekspedisi melawan Bizantium dan menekan
oposisi internal. Pemilihan Baghdad dan menyingkir dari Anbar, karena alasan
keamanan dan stabilitas daulah Abbasiyah. Anbar merupakan basis dan kaum Syiah
yang selalu bergejolak karena ketidakpuasan mereka atas perilaku keluarga
Abbasiyah. Sedangkan Baghdad, dekat dengan Clesiphon, ibukota Persia dipilih
untuk mendapatkan dukungan baru yang dapat mengamankan seluruh keputusan
politiknya yakni ditengah bangsa Persia.
Dukungan dari bangsa
Persia sangat penting, karena masyarakat Arab sudah terpecah-pecah menjadi
beberapa kelompok antara penyokong Mu’awiyah, Anshor, Khawarij dan kabilah lain
yang tidak mungkin dijadikan lagi bagi basis kekuatan pertahanan Abbasiyah.
Baghdad yang terletak di
sebelah barat sungai Tigris berkembang dari sebuah pusat militer dan
administrasi menjadi kota kosmopolitan. Pusat administrasi yang dinamakan
Madinat Al Salam (kota damai) berkembang dua pemukiman yaitu Al Harbiya,
perluasan kampung militer di utara istana dan Al Karkh, kampung kaum pekerja
yang didatangkan dan Iraq, Suriah, Mesir dan Iran. Baghdad yang dihuni dan
berbagai bangsa Suriah, Arab, Iraq, Persia dan Asia Tengah dengan beragam agama
yang dianutnya Yahudi, Kristen, Muslim, dan Pagan telah berkembang menjadi
pusat kegiatan ekonomi bahkan akhimya menjadi pusat keilmuan dan peradaban.
Langkah politik yang
lain adalah melakukan ekspansi. Ekspansi bagi Abbasiyah bukan merupakan langkah
politik yang utama sebagaimana masa dinasti Umayyah. Namun kondisi telah
memaksa Al Manshur untuk melakukannya karena daerah tersebut telah membebaskan
diri dari pemerintah pusat. Daerah yang ditaklukkan kembali dengan membuat
benteng-benteng adalah kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia tahun
756-758 M. Selain itu dilakukan langkah pengamanan di daerah-daerah perbatasan
dan melakukan perdamaian seperti yang dilakukannya dengan Kaisar Constantinev
dimana selama gencatan senjata 75 8-765 M. Bizantium membayar upeti tahunan.
Langkah militer ini juga dilakukan Al Manshur dengan menggerakkan pasukannya
menghadapi pasukan Turki Khazar di Kaukasus, pasukan Dailami di Laut kaspia dan
Turki di bagian lain dari Oksus dan India.
Pada bidang pertahanan
dan keamanan dia membangun benteng pertahanan di kota-kota terutama di Rusafah,
di seberang sungai Tigris di kota Baghdad. Terkait dengan gerakan oposisi di
dalam negeri dan hubungannya dengan Bizantium, Al Mahdi melakukan beberapa
pertempuran. Di Syria gerakan perusuh (161 H) dikalahkan dan diampuni. Di
Mesopotamia gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Al Yasykur, dapat ditumpas
dan begitu juga pemberontakan yang dilakukan oleh Bani Tamim. Dengan Bizantium,
ia mengirim pasukan di bawah komandan militer Harun, anaknya dengan basis
tentara di Aleppo menyerang Bizantium. Dalam peperangan ini pasukan Harun dapat
menghancurkan benteng Samalo dan memaksa Bizantium menandatangani perjanjian
dengan membayar rampasan perang dan tebusan tawanan perang. Namun ketika
Bizantium melanggar perjanjian tersebut. Harun dikirim kembali menyerang dan
memperoleh kemenangan dengan gemilang dan memaksa Ratu Bizantium, janda Leo IV
dan wali raja putranya. Constantine IV membayar pajak tahunan, mendirikan pasar
dan meminta pihak musuh menunjukkan jalan kembali pasukan Islam ke wilayah
asalnya serta membebaskan tawanan perang. Kemenangan ini berdampak politik bagi
perluasan kekuasaan.
Kebijakan politik yang
tetap menjadikan zaman Al Makmun sebagai masa keemasan Islam adalah
orientasinya dalam membangun peradaban dan ilmu pengetahuan. Pada masanya
digiatkan usaha menerjemahkan khazanah intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab.
Kecintaan Al Makmun pada ilmu pengetahuan membuat dia sangat respek pada
ilmuwan dan penerjemah, sehingga para penerjemah yang beragama Kristen dan
agama lain mendapat imbalan gaji atas karya terjemahannya. Ia juga mendirikan
banyak lembaga pendidikan dan yang terkenal, salah satunya adalah Bait Al Hikmah, Pusat penerjemahan,
berfungsi juga sebagai Perguruan Tinggi yang mempunyai koleksi pustaka yang
banyak sekali.
Bait Al Hikmah yang
didirikan Al Makmun pada saat itu dipimpin oleh Yahya Ibnu Masawaid dengan
beberapa penerjemah diañtaranya Hunain dan keluarganya beragama Kristen
Nestorian dan Tsabit Ibnu Qurro, beragama Sabiah berasal dari Hirroh, pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan tua yang termasyhur, serta Qusta Ibn Luqha,
Hunain menerjemahkan karya filsafat Plato, Aristoteles, Galinius, Apollonius
dan Archimedes, Tsabit menerjemahkan astronomi dan filsafat, dan Qusta
menerjemahkan filsafat, Astronomi dan Geometri serta memperbaiki terjemahan
yang terdahulu.
Interaksi agama dan
pemikiran Yunani dan Persia pertama muncul pada bidang teologi. Aliran-aliran
teologi sudah berkembang pada masa Umayyah seperti Khawarij, Murjiah dan
Mu’tazilah, tapi dalam batas-batas pemikiran yang sangat sederhana sesuai
dengan watak mereka yang masih orisinil. Baru ketika bersentuhan dengan rasionalisme,
pembentukan argumentasi teologis disempurnakan guna memberikan landasan
ideologis pada masing-masing mazhab teologi. Mu’tazilah menemukan spiritnya
pada masa pemerintahan Abbasiyah periode pertama. Diantara tokoh yang dianggap
perumus pemikiran Wasil Ibn Atho’ ini adalah Abu al Huzail al Allaf dan al
Nazzam. Kemunculan perumusan konsep teologi ini ditujukan guna dapat menerima
konsep Al Qur’an yang memang diturunkan sangat sederhana pada masyarakat Arab
yang sederhana pula. Padahal masyarakat pada masa Abbasiyah adalah masyarakat
rasional, terdiri dan berbagai agama Yahudi, Kristen, Parsi yang selalu menguji
konsep-konsep keagamaan Islam. Mu’tazilah merupakan pioner untuk memantapkan
kepercayaan Islam dihadapan orang itu. Asy’ariyah yang didirikan oleh Abu al
Hasan al Asy’ari, membangun teologinya dengan mengakomodasi pemikiran pemikiran
Yunani, karena memang sebelumnya adalah tokoh Mu’tazilah. Dia juga tetap
berpegang pada pandangan masyarakat kebanyakan kaum muslimin dengan
mengakomodasi prinsip ahli Hadist akan kemutlakan kebenaran kitab suci. Sebagai
contoh tentang kemutlakan Al Qur’an, Asy’ari berpendapat bahwa Al Qur’an bukan
makhluk (ahli Hadist) tapi dengan pendekatan Mu’tazilah dia menemukan sebuah
perbedaan filosofis antara esensi dan puisi.
Pada bidang hukum,
muncul perbedaan-perbedaan pandangan dan ijtihad hukum sesuai dengan pengaruh
lingkungan yang melatarbelakangi timbulnya mazhab hukum tersebut. Abu Hanifah,
yang berkembang di Kufah, ditengah-tengah peradaban Parsi dengan tingkat kemajuan
dari peradaban yang tinggi dan banyak menggunakan pemikiran rasional, karena
letaknya jauh dan pusat Hadist di Madinah, maka corak mazhab fiqh Hanafi adalah
lebih mempertimbangkan aspek unsur-unsur rasional dan dari pada unsur Hadist
sebagai alat argumentasinya. Imam Maliki yang dibesarkan di Madinah dengan
lingkungan Hadist, maka untuk menyelesaikan persoalan hukum, lebih banyak
menggunakan Hadist. Imam Syafii sebagai pendiri mazhab Syafii mempunyai
pandangan tengah karena pengaruh lingkungan, begitu juga Hanafi, meskipun
keduanya pun terjadi perbedaan, dimana Imam Syafii cenderung lebih dekat pada
ijtihad hukum Hambali, sedang Hambali lebih dekat pada ijtihad hukum Maliki.
Dalam masalah penafsiran
terdapat dua kecenderungan akibat dan perbedaan sejauh mana peran riwayat dan
akal untuk memahami Al Qur’an. Pandangan yang mengemukakan bahwa interpretasi
Al Qur’an harus dirujuk pada Nabi dan sahabat atau tafsir bi al ma’tsur. Dan
pandangan yang menggunakan interpretasi terhadap Al Qur’an bisa dipahami melalui
pemikiran rasional atau disebut tafsir bi al ra’yi. Pandangan yang kedua lebih
diilhami oleh pemikiran rasional dan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Pada bidang lain, selain
Al Qur’an memiliki ayat-ayat esoterik, perkembangan sufi juga banyak
dipengaruhi juga oleh interaksi mereka dengan budaya Persia, India, Yunani.
Tasawuf Islam bermula pada aspirasi spiritual dan praktek keagamaan Nabi
Muhammad, sahabat dan tokoh-tokoh sesudahnya.
Dalam bidang ilmu
pengetahuan umum, muncul tokoh-tokoh filsafat sepenti al Farabi, Ibn Sina. Al
Farabi banyak menulis filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan
intenpretasi terhadap wahyu.
Dalam bidang astronomi
terlahir seorang astronom yang pertama kali menyusun astrolobe yaitu al Fazari.
Al Farghani juga dikenal dengan keahliannya dalam ilmu astronomi. Dalam ilmu
kedokteran dikenal nama al Razi dan Ibn Sina. Al Razi dikenal sebagai penemu
ilmu kedokteran yang membedakan antara penyakit cacar dan measles, dan penyusun
ilmu kedokteran anak. Ibn Sina menulis karya yang dijadikan rujukan bangsa
barat dalam kedokteran yaitu al Qanun fi
al Tibbi, dan juga berhasil menemukan sistem peredaran darah. Dalam bidang
optika Abu Auf al Hasan Ibn al Haithami yang berpendapat bahwa benda mengirim
cahaya ke mata bukan sebaliknya. Teori ini dapat dibenarkan oleh masyarakat
ilmu keoptikan. Jabir Ibn Hayyan dikenal ahli dalam bidang kimia, dimana
pandangannya mengatakan bahwa besi, timah dan tembaga dapat diubah menjadi emas
atau perak dengan mencampurkan zat sesuatu kepadanya. Muhammad Ibn Musa al
Khawarizmi dikenal sebagai ahli matematika selain ahli dalam astronomi. Dalam
matematika dialah penemu kata aljabar dengan bukunya al Jabr wa al Muqabalah. Dalam bidang sejarah dikenal nama al
Mas’udi, yang dikenal juga ahli geografi dengan karyanya Maruj al Zahab wa Ma ‘adin al Jawahir.’
D.
Kemunduran
Daulah Abbasiyah
Dari tiadanya aturan
yang jelas dan pasti inilah yang menjadi salah satu dari terjadinya
pertentangan diantara keturunan Abbas dan berakibat runtuhnya dinasti ini.
Kematian Al Mu’tashim tahun 227 H, diganti oleh
putranya Al Wasiq. Pada masa itu orang — orang Turki sudah banyak membawa
pengaruh pada daulah Abbasiyah, sehingga mulai saat itulah dikatakan sebagai
masa pengaruh Turki pada daulah Abbasiyah hingga khalifah Al Mustakfi tahun 334
H (945 M). Pada masa itu otoritas khlifah dalam politik nyanis tidak ada,
khalifah banyak yang diangkat oleh bangsa Turki. Mereka hanya punya otoritas
yang penuh dalam soal keagamaan. Namun dalam bidang peradaban dan ilmu
pengetahuan masih menyisakan kejayaannya. Dengan berakhirnya pengaruh Turki dan
munculnya dinasti Buwaihi pada daulah Abbasiyah, maka Khalifah tidak lagi
mempunyai otoritas dunia, politik dan pemerintahan, dan hanya ada pada mereka
otoritas keagamaan. Dan dimulailah masa disintegrasi secara sempurna dari
kemunduran daulah Abbasiyàh.
No comments:
Post a Comment