Wednesday, 15 March 2017

Sejarah Administrasi dan Kontribusinya terhadap Peradaban Islam 8

BAB VIII
PERKEMBANGAN ADMINISTRASI
PADA MASA DAULAH UMAYYAH
 Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap mengguna­kan istilah khalifah, namun, dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya "khalifah Allah" dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.
Seakan jarum kompas yang berputar 360 derajat, sistim pemerintahan demokratis yang dibangun Rasulullah dan Khulafaur Rasyidah menjadi sistim monarki absolut, ketika masa Daulah Umayyah ini.

A.   Sistem administrasi dan Pola Politik yang dikembangkannya.

Selain kesibukannya pada ekspansi kekuasaan, Bani Umayyah banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawi­yah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan me­nyediakan kuda yang lengkap serta peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang ha­kim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abd Al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. khalifah Abd Al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab se­bagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan khalifah Abd Al-Malik diikuti oleh putranya Al-Walid ibn Abd Al-Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan berke­mampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti­-panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam ke­giatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerin­tahan, dan masjid-masjid yang megah.
Kebijakan politik yang lain adalah memperbaiki kinerja pemerintahan. Kebijakan ini ditempuh karena timbulnya, friksi - friksi dalam pemerintahan terutama diantara pasukan militer yang selama Muawiyah, mereka mempunyai hak otonom akibat dari kebijakan politik desentralisasi. Pada waktu Muawiyah menjadi Khalifah tidak timbul gejolak dan pertentangan karena kuatnya pribadi Muawiyah, namun khalifah setelahnya tidak dapat mengendalikan pertentangan diantara friksi yang ada. Maka respon yang dimunculkan Abd al Malik adalah mempercepat proses sentralisasi dengan menjadikan negara sebagai sebuah rezim. Langkah yang dilakukannya adalah pembentukan pasukan militer profesional yang diambil dari warga Syiria, Kebijakan ini ditempuh yang dengan sendirinya telah mengabaikan militer Arab (Demiliterisasi) dan suku Arab yang selama ini menyokong dinasti Umayyah. Bahkan militer Arab di Kufah dan Basrah diperlakukan ibarat warga tahanan.
Dalam masalah administrasi kenegaraan, dimana pada saat Muawiyah memerintah, catatan - catatan ringkas, pengakuan dan laporan serta pejabat-pejabatnya termasuk di dalamnya perpajakan diambil dari bahasa dan orang - orang yang berbahasa Yunani, Suriah, Persia. Maka pada masa Abd Malik, ia mengeluarkan kebijakan mengganti karya karya tersebut kedalam bahasa Arab.
Perubahan bahasa administrasi ini diikuti dengan perubahan sistem fiskal yang dulunya memakai mata uang Bizantium dan Sasania dirubah dengan mencetak mata uang sendiri bertuliskan Arab terbuat dari emas & perak. Mata uang Arab telah menghilangkan simbol Kristen dan Zaroaster. Dengan demikian keberadaannya sebagai simbol kedaulatan negara dan kemerdekaan serta merupakan simbol persamaan kedudukan dengan dinasti di luar Umayyah. Bahkan pada masanya ia berhasil memajukan perdagangan, memperbaiki sistem ukuran timbangan, takaran dan keuangan disamping membuat irigasi baru dan memperbaiki saluran yang berada diantara sungai Euphrat dan Tigris. Khalifah Abd Malik juga berhasil menyempurnakan tulisan Mushaf al Qur'an dengan titik dan huruf-huruf tertentu. (A Syalabi, 49-6) Semua keberhasilan ini dikarenakan dapat menghimpun kembali sumber pendapat negara dari perpajakan dan hasil pertanian beberapa wilayah yang dapat dikendalikan lagi. Bahkan dengan melimpahnya sumber pendapatan ini, Abd Al Malik berhasil menandai kedaulatannya dengan membangun sejumlah bangunan monumental seperti masjid Kubah Batu di Kota suci Yarusalem, masjid - masjid di Kota Madinah dan Damaskus.
Setelah mampu menstabilkan situasi politik dalam negeri, Khalifah Abd Al Malik melakukan kebijakan ekspansi. Serangkaian penaklukan dilakukan oleh Khalifah Abd Al Malik yang dilakukan oleh militer profesional ditambah kekuatan dari non Arab. Penaklukan atas nama kerajaan atau Rezim, bukan kesukuan itu akhirnya mampu menguasai Afrika Utara dan bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol. Di wilayah timur, pasukan Islam dapat menyeberangi sungai Amnun Darya dengan menguasai Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Samarkand di Asia Tengah. Kemudian menguasai Balukistan Sind dan Punjab. 

B.   Kegiatan Administrasi Sosial Budaya dan Keagamaan

Dari aspek sosial, masyarakat selama dinasti Umayyah berdiri bisa di bagi menjadi dua bagian yaitu: (1) kalangan istana, yang terdiri dari keluarga besar bani Umayyah, para loyalis yang terdiri dari administratur negara maupun militer dan (2) masyarakat kebanyakan yang biasanya dihimpun dalam kelompok sosial keagamaan. Dalam pengelompokan sosial ini mempunyai pola-pola tertentu dalam mengembangkan peradaban. Kalangan Istana berorientasi pada peradaban yang sifatnya fisik dan aspek yang terkait dengan politik kekuasaan. Sedangkan masyarakat lebih berorientasi pada pengembangan intelektual dan keagamaan. Pemisahan kecenderungan dan orientasi ini tidak berlaku ketat, namun sangat terlihat sekali dalam realitasnya pada masa dinasti Umayyah.
Pada bidang politik, dinasti Umayyah mampu mengembangkan sistem tata pemerintahan sebagai akibat dari perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang makin kompleks. Selain terdapat Majelis Penasehat Khalifah, dinasti ini memprakarsai Kuttab (sekretariat) untuk membantu pelaksanaan tugas - tugas pemerintahan seperti Katib Ar Rasuli; administrasi dan persuratan; Katib al Kharraj; administrasi Pendapatan dan pengeluaran negara; Katib AI Jundi; administrasi Ketentaraan; Katib al Syurthah: administrasi militer umum dan keamanan; Katib Al Qudat; administrasi hukum dan peradilan. (Yoesoef Soeyb, 1978: 234).
Dinasti Umayyah mengadopsi beberapa praktek administrasi Byzantium dan Sasania untuk memperkaya sistem pemerintahan akibat berkembangnya pemerintahan dari layalitas pada khalifah menjadi loyalitas pada negara. Di Mesir dan Syiria, perangkat administrasi termasuk pendapatan negara dan dokumen-dukumen administrasi berasal dari Bizantiuin. Di Iraq prakrek organisasi administrasi diadopsi oleh kalangan administrator dalam masalah keuangan, kemiliteran, surat menyurat dan kedutaan.
Dalam bidang arsitektur, Dinasti Umayyah dapat membangun beberapa bangunan yang mempunyai nilai seni dan arsitektur yang tinggi, seperti Dome of The Rock (Kubah Batu) Masjid Al Aqsha di Yarussalem, Masjid Amawiyah di Damaskus, memperluas masjid Nabawi di Madinah. Hal ini diakibatkan karena kontak budaya dengan daerah taklukan atau kontak budaya dengan Bizantium dan Sasania. Arsitektur dan hiasan pada masjid - masjid tersebut melambangkan kejayaan bangsa Arab, melambangkan keagungan negara dan bukti pengabdian pada agama. Selain seni yang menghiasi masjid dengan mendatangkan ahli bangunan Yunani, dan motif - motifnya juga mendatangkan desain dan dekorasi Sasania untuk menghiasi istana. Seni ukir dan hiasan diadopsi dari beberapa wilayah wilayah taklukannya menjadi symbol Islam yang menjadi ciri khas Negara.

C.   Sebab-Sebab Kemunduran Daulah Umayyah.

Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak menaati isi perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali jika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan peng­gantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilih­an umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai Putra mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali.
Perlawanan terhadab Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Makkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi'ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
Pada akhir kekhilafahan daulah Umayyah ini timbul tiga kelompok yang saling mengklaim bahwa kelompoknya yang lebih berhak memegang tampuk kekuasaan, adalah kaum Syi’ah meskipun masih dalam taraf embrio, kaum khawarij yang sudah eksis dan kelompok Sunni yang sudah memulai menancapkan taringnya pada sisi-sisi kekuasaan akhir Daulah Umayyah.
Dari segi intelektual ketiga kelompok tersebut membangun justifikasi dalam kekhalifahan dan lebih politis. Gerakan intelektual yang nyaris murni hanyalah Mu'tazilah yang dilahirkan oleh Wasil ibn Atha. Kelahiran aliran Mu'tazilah berawal ketika terjadi perdebatan soal pelaku dosa besar, apakah ia telah kafir atau mukmin. Wasil yang saat itu belajar di Masjid Basrah bersama temannya Amr ibn Ubaid dan Hasan Al Basri didatangi oleh seorang yang menanyakan tentang pelaku dosa besar. (Hasan Nasution, 1978: 38)
Timbulnya pemikiran-pemikiran ini disebabkan adanya interaksi dengan ilmu filsafat dan peradaban lokal yang saat itu berkembang budaya Hellenistik. Hal ini yang memaksa kaum intelektual memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut untuk menguatkan argmunetasi keagamaan mereka dari serbuan intelektual kelompok non muslim.
Selain pemunculan tiga kelompok tersebut diatas, ada beberapa faktor keruntuhan Dulah Umayyah, yaitu:
1.   Perpecahan dan petentangan antar suku bani qais di wilayah utara Arab dan etnis Kalb dari selatan. (Syed Amir Ali, 1981: 169)
2.   Ketidakpuasan sejumlah besar muslim non Arab terutama di Irak dan propinsi di timur, karena adanya pembedaan perlakuan atas hak-hak mereka. (Mongomery Watt, 1993: 28).
3.  Karena latar belakang terbentuknya Dinasti dimulai dengan konflik dan tipu daya, maka keberlanjutannya selalu dirongrong oleh kelompok-kelompok yang dirugikan, hal ini mengakibatkan banyak tersedotnya tenaga dan pikiran untuk menumpas gerakan­-gerakan tersebut.
4.   Kemewahan lingkungan istana, rakus terhadap dunia, tidak mempunyai moral politik pada sejumlah khalifah yang membuat kecewa masyarakat saat itu dan tidak adanya sistem pergantian politik yang jelas yang berakibat terjadinya persaingan diantara anggota keluarga istana. (Philip K Hitti, 1970: 281) 
5.    Kepayahan dan keletihan militer dinasti ini karena banyaknya front yang harus dihadapi seperti menghadapi pasukan Turki, di Transoxania, khazars di Ardabil, Yunani di Anatolia, Romawi di Perancis dan keletihan akibat penumpasan terhadap Kaum Khawarij dan Syiah. (Ira M. Lapidus, 1999: 101)

No comments:

Post a Comment