BAB VIII
PERKEMBANGAN
ADMINISTRASI
PADA MASA DAULAH UMAYYAH
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal
kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun
temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan
tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan
secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk
menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi
di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun,
dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan
tersebut. Dia menyebutnya "khalifah Allah" dalam pengertian penguasa
yang diangkat oleh Allah.
Seakan jarum kompas yang berputar 360 derajat, sistim
pemerintahan demokratis yang dibangun Rasulullah dan Khulafaur Rasyidah menjadi
sistim monarki absolut, ketika masa Daulah Umayyah ini.
A. Sistem administrasi dan Pola Politik yang dikembangkannya.
Selain kesibukannya pada
ekspansi kekuasaan, Bani Umayyah banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai
bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan
kuda yang lengkap serta peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha
menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan
khusus seorang hakim (qadhi) mulai
berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis
dibidangnya. Abd Al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai
di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri
pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. khalifah Abd
Al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi
pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi
pemerintahan Islam. Keberhasilan khalifah Abd Al-Malik diikuti oleh putranya
Al-Walid ibn Abd Al-Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan
melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua
personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara
secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu
daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan
masjid-masjid yang megah.
Kebijakan politik yang
lain adalah memperbaiki kinerja pemerintahan. Kebijakan ini ditempuh karena
timbulnya, friksi - friksi dalam pemerintahan terutama diantara pasukan militer
yang selama Muawiyah, mereka mempunyai hak otonom akibat dari kebijakan politik
desentralisasi. Pada waktu Muawiyah menjadi Khalifah tidak timbul gejolak dan
pertentangan karena kuatnya pribadi Muawiyah, namun khalifah setelahnya tidak
dapat mengendalikan pertentangan diantara friksi yang ada. Maka respon yang
dimunculkan Abd al Malik adalah mempercepat proses sentralisasi dengan
menjadikan negara sebagai sebuah rezim. Langkah yang dilakukannya adalah
pembentukan pasukan militer profesional yang diambil dari warga Syiria,
Kebijakan ini ditempuh yang dengan sendirinya telah mengabaikan militer Arab (Demiliterisasi) dan suku Arab yang
selama ini menyokong dinasti Umayyah. Bahkan militer Arab di Kufah dan Basrah
diperlakukan ibarat warga tahanan.
Dalam masalah
administrasi kenegaraan, dimana pada saat Muawiyah memerintah, catatan -
catatan ringkas, pengakuan dan laporan serta pejabat-pejabatnya termasuk di
dalamnya perpajakan diambil dari bahasa dan orang - orang yang berbahasa Yunani,
Suriah, Persia. Maka pada masa Abd Malik, ia mengeluarkan kebijakan mengganti
karya karya tersebut kedalam bahasa Arab.
Perubahan bahasa
administrasi ini diikuti dengan perubahan sistem fiskal yang dulunya memakai
mata uang Bizantium dan Sasania dirubah dengan mencetak mata uang sendiri
bertuliskan Arab terbuat dari emas & perak. Mata uang Arab telah
menghilangkan simbol Kristen dan Zaroaster. Dengan demikian keberadaannya
sebagai simbol kedaulatan negara dan kemerdekaan serta merupakan simbol persamaan
kedudukan dengan dinasti di luar Umayyah. Bahkan pada masanya ia berhasil
memajukan perdagangan, memperbaiki sistem ukuran timbangan, takaran dan
keuangan disamping membuat irigasi baru dan memperbaiki saluran yang berada
diantara sungai Euphrat dan Tigris. Khalifah Abd Malik juga berhasil
menyempurnakan tulisan Mushaf al Qur'an dengan titik dan huruf-huruf tertentu.
(A Syalabi, 49-6) Semua keberhasilan ini dikarenakan dapat menghimpun
kembali sumber pendapat negara dari perpajakan dan hasil pertanian beberapa
wilayah yang dapat dikendalikan lagi. Bahkan dengan melimpahnya sumber
pendapatan ini, Abd Al Malik berhasil menandai kedaulatannya dengan membangun
sejumlah bangunan monumental seperti masjid Kubah Batu di Kota suci Yarusalem,
masjid - masjid di Kota Madinah dan Damaskus.
Setelah mampu
menstabilkan situasi politik dalam negeri, Khalifah Abd Al Malik melakukan
kebijakan ekspansi. Serangkaian penaklukan dilakukan oleh Khalifah Abd Al Malik
yang dilakukan oleh militer profesional ditambah kekuatan dari non Arab.
Penaklukan atas nama kerajaan atau Rezim, bukan kesukuan itu akhirnya mampu
menguasai Afrika Utara dan bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol. Di
wilayah timur, pasukan Islam dapat menyeberangi sungai Amnun Darya dengan
menguasai Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Samarkand di Asia Tengah.
Kemudian menguasai Balukistan Sind dan Punjab.
B. Kegiatan Administrasi Sosial Budaya dan Keagamaan
Dari aspek sosial,
masyarakat selama dinasti Umayyah berdiri bisa di bagi menjadi dua bagian yaitu:
(1) kalangan istana, yang terdiri dari keluarga besar bani Umayyah, para
loyalis yang terdiri dari administratur negara maupun militer dan (2)
masyarakat kebanyakan yang biasanya dihimpun dalam kelompok sosial keagamaan.
Dalam pengelompokan sosial ini mempunyai pola-pola tertentu dalam mengembangkan
peradaban. Kalangan Istana berorientasi pada peradaban yang sifatnya fisik dan
aspek yang terkait dengan politik kekuasaan. Sedangkan masyarakat lebih
berorientasi pada pengembangan intelektual dan keagamaan. Pemisahan
kecenderungan dan orientasi ini tidak berlaku ketat, namun sangat terlihat
sekali dalam realitasnya pada masa dinasti Umayyah.
Pada bidang politik,
dinasti Umayyah mampu mengembangkan sistem tata pemerintahan sebagai akibat
dari perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang makin kompleks.
Selain terdapat Majelis Penasehat Khalifah, dinasti ini memprakarsai Kuttab (sekretariat) untuk membantu
pelaksanaan tugas - tugas pemerintahan seperti Katib Ar Rasuli; administrasi dan persuratan; Katib al Kharraj; administrasi Pendapatan dan pengeluaran negara; Katib AI Jundi; administrasi
Ketentaraan; Katib al Syurthah:
administrasi militer umum dan keamanan; Katib
Al Qudat; administrasi hukum dan peradilan. (Yoesoef Soeyb, 1978: 234).
Dinasti Umayyah
mengadopsi beberapa praktek administrasi Byzantium dan Sasania untuk memperkaya
sistem pemerintahan akibat berkembangnya pemerintahan dari layalitas pada
khalifah menjadi loyalitas pada negara. Di Mesir dan Syiria, perangkat
administrasi termasuk pendapatan negara dan dokumen-dukumen administrasi
berasal dari Bizantiuin. Di Iraq prakrek organisasi administrasi diadopsi oleh
kalangan administrator dalam masalah keuangan, kemiliteran, surat menyurat dan
kedutaan.
Dalam bidang arsitektur,
Dinasti Umayyah dapat membangun beberapa bangunan yang mempunyai nilai seni dan
arsitektur yang tinggi, seperti Dome of
The Rock (Kubah Batu) Masjid Al Aqsha di Yarussalem, Masjid Amawiyah di
Damaskus, memperluas masjid Nabawi di Madinah. Hal ini diakibatkan karena
kontak budaya dengan daerah taklukan atau kontak budaya dengan Bizantium dan
Sasania. Arsitektur dan hiasan pada masjid - masjid tersebut melambangkan
kejayaan bangsa Arab, melambangkan keagungan negara dan bukti pengabdian pada
agama. Selain seni yang menghiasi masjid dengan mendatangkan ahli bangunan
Yunani, dan motif - motifnya juga mendatangkan desain dan dekorasi Sasania
untuk menghiasi istana. Seni ukir dan hiasan diadopsi dari beberapa wilayah
wilayah taklukannya menjadi symbol Islam yang menjadi ciri khas Negara.
C. Sebab-Sebab Kemunduran Daulah Umayyah.
Meskipun keberhasilan
banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri
dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak menaati isi perjanjiannya dengan Hasan
ibn Ali jika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian
pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi
pengangkatan anaknya Yazid sebagai Putra mahkota menyebabkan munculnya
gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang
saudara beberapa kali.
Perlawanan terhadab Bani
Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Makkah ke
Kufah atas permintaan golongan Syi'ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah
ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai khalifah. Dalam
pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah,
tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan
dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
Pada akhir kekhilafahan
daulah Umayyah ini timbul tiga kelompok yang saling mengklaim bahwa kelompoknya
yang lebih berhak memegang tampuk kekuasaan, adalah kaum Syi’ah meskipun masih
dalam taraf embrio, kaum khawarij yang sudah eksis dan kelompok Sunni yang
sudah memulai menancapkan taringnya pada sisi-sisi kekuasaan akhir Daulah
Umayyah.
Dari segi intelektual
ketiga kelompok tersebut membangun justifikasi dalam kekhalifahan dan lebih
politis. Gerakan intelektual yang nyaris murni hanyalah Mu'tazilah yang
dilahirkan oleh Wasil ibn Atha. Kelahiran aliran Mu'tazilah berawal ketika
terjadi perdebatan soal pelaku dosa besar, apakah ia telah kafir atau mukmin.
Wasil yang saat itu belajar di Masjid Basrah bersama temannya Amr ibn Ubaid dan
Hasan Al Basri didatangi oleh seorang yang menanyakan tentang pelaku dosa
besar. (Hasan Nasution, 1978: 38)
Timbulnya
pemikiran-pemikiran ini disebabkan adanya interaksi dengan ilmu filsafat dan
peradaban lokal yang saat itu berkembang budaya Hellenistik. Hal ini yang
memaksa kaum intelektual memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut untuk
menguatkan argmunetasi keagamaan mereka dari serbuan intelektual kelompok non
muslim.
Selain pemunculan tiga
kelompok tersebut diatas, ada beberapa faktor keruntuhan Dulah Umayyah, yaitu:
1. Perpecahan dan petentangan antar suku bani qais di
wilayah utara Arab dan etnis Kalb dari selatan. (Syed Amir Ali, 1981: 169)
2. Ketidakpuasan sejumlah besar muslim non Arab terutama di
Irak dan propinsi di timur, karena adanya pembedaan perlakuan atas hak-hak
mereka. (Mongomery Watt, 1993: 28).
3. Karena latar belakang terbentuknya Dinasti dimulai dengan
konflik dan tipu daya, maka keberlanjutannya selalu dirongrong oleh
kelompok-kelompok yang dirugikan, hal ini mengakibatkan banyak tersedotnya
tenaga dan pikiran untuk menumpas gerakan-gerakan tersebut.
4. Kemewahan lingkungan istana, rakus terhadap dunia, tidak
mempunyai moral politik pada sejumlah khalifah yang membuat kecewa masyarakat
saat itu dan tidak adanya sistem pergantian politik yang jelas yang berakibat
terjadinya persaingan diantara anggota keluarga istana. (Philip K Hitti, 1970:
281)
5. Kepayahan dan keletihan militer dinasti ini
karena banyaknya front yang harus dihadapi seperti menghadapi pasukan Turki, di
Transoxania, khazars di Ardabil, Yunani di Anatolia, Romawi di Perancis dan
keletihan akibat penumpasan terhadap Kaum Khawarij dan Syiah. (Ira M. Lapidus,
1999: 101)
No comments:
Post a Comment