Wednesday, 15 March 2017

Sejarah Administrasi dan Kontribusinya terhadap Peradaban Islam 6

BAB VI
ADMINISTRASI PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW
 Dari kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, diketahui Muhammad adalah seorang sosialis sejati, yang mengganti praktek eksploitasi manusia atas manusia untuk kepentingan kelompok tertentu melalui praktek riba, menjadi dengan mengembangkan prinsip-prinsip zakat dan shodaqoh, sehingga tidak terjadi praktek monopoli secara ekonomi, selain itu juga penghapusan atas kasta sosial, sistim perbudakan yang merupakan simbol dari supremasi budaya Arab.
Diantara ide-ide Muhammad yang lain adalah penghapusan gender dengan batasan-batasan toleransi, penghargaan atas hak-hak wanita, penghapusan perjudian, sistim takhyul dan lain-lain yang kesmuanya merupakan perubahan pranata sosial secara besar-besaran atas situasi dan kondisi bangsa Arab pada abad ke tujuh Masehi.
Adapun secara administrasi kepeminpinan Nabi Muhammad SAW, sebagai penguasa Republik Madinah selama sepuluh tahun (622 – 632 M), dengan perjuangan yang cukup singkat tersebut Nabi Muhammad SAW, dipandang sebagai satu-satunya pejuang yang paling berhasil sepanjang Sejarah dunia. (Syeed Amir Ali, 1923:)
Keberhasilan perjuangan dalam mengorganisasi negara dalam meletakkan dasar-dasar pemerintahan bagi sebuah imperium Islam tidak dapat dipungkiri, mekanisme administrasi pemerintahan yang diciptakan oleh Nabi Muhammad SAW, adalah sebagaimana tertuang dalam catatan sejarah dibawah ini:

A.   Administrasi Pemerintahan

Sistim kekuasaan tertinggi pemerintahan Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW, bersandar pada kekuatan Allah yang senantiasa menurunkan wahyu Al Qur-an kepada Nabi Muhammad SAW, hukum Allah (syariat Islam) di berlakukan sebagaimana proporsi Nabi Muhammad SAW, sebagai penguasa dan rahmat bagi seluruh alam, dalam segala keputusan yang tidak ada dalam Al Qur-an Nabi Muhammad SAW, secara bijak memutuskan setiap permasalahan yang ada.
Meskipun mempunyai otoritas tertinggi, Nabi Muhammad SAW, senantiasa bermusyawarah dengan para sahabat untuk memutuskan masalah-masalah penting.
Langkah kebijakan pertama kali ditempuh Nabi Muhammad SAW, adalah membangun Masjid sebagai sentra pemerintahan Islam, pusat perkantoran dan peradilan, administrasi surat menyurat dan pendelegasian misi dakwah, perjanjian dan penjamuan delegasi asing, penetapan SK gubernur dan pengumpulan pajak.
Politik Islam yang merupakan pembentukan kekuasaan untuk mengatur ekonomi dan sosial, menurut keyakinan yang berupa Al Qur-an dan Assunnah dan bukan menurut ideologi, apabila tatanan yang dilakukan berdasarkan keyakinan tersebut mengalami stagnasi, maka di masjid itulah kaum muslim mengadakan ijtihad bersama-sama dalam memutuskan suatu permasalahan yang dihadapinya (Sidi Gazalba, 1994: 194)

B.   Sistim Propinsial

Setelah pembentukan pemerintahan negara kesatuan, langkah selanjutnya adalah membagi wilayah kekuatan Islam menjadi beberapa wilayah propinsi dengan didasarkan pada kultur maupun letak geografis daerah, diantara propinsi tersebut adalah: Madinah, Makkah, Tayma, Janad, Yaman, Najran, Bahrayn, Oman dan Hadramaut.
Para gubernur di yang membawahi wilayah propinsi tersebut bertanggung jawab secara langsung kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan propinsi Madinah karena selain menjadi Ibukota propinsi juga menjadi ibukota negara, dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW, para Gubernur di beri gelar “Wali” selain sebagai pemimpin wilayah Propinsi secara administratif, para wali juga sebagai imam dalam shalat dan sebagai panglima dalam perang serta sebagai kepala Administrasi propinsi yang bersangkutan dan bertugas pula menyusun dan membuat laporan tentang rencana pemasukan dan pembelanjaan propinsi yang didalamnya termasuk pembayaran gaji pegawai negara, pembiayaan perang dan lain lain. 

C.   Sistim Pendapatan Negara

Dalam menjalankan roda pemerintahan Republik Madinah, serta dalam membayar para pegawai serta anggota militer, Nabi Muhammad SAW, adalah merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan sistem pelembagaan “Baitul Maal” untuk menghimpun dana dalam rangka pembiayaan operasional kenegaraan.
Sumber pendapatan negara yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
Zakat
Jizyah (Pajak Perorangan)
Kharaj (Pajak Tanah)
Ghanimah (hasil rampasan / sitaan perang)
Al Fay’ (hasil tanah negara / BUMN)
Kesemuanya diatur secara detail dan di administrasikan kriteria dan persyaratan pembayarannya seperti: Zakat ditentukan pembayarannya dengan batasan nisab, Jizyah ditarik sebagai pengganti atas jaminan keamanan jiwa dan harta benda masyarakat non muslim, ketentuan seperti ini sudah diberlakukan di Persia yang dinamakan “Gezit” dan di Romawi dinamakan “Tributeen Capitis.”
Kemudian Kharaj di berlakukan pasca penaklukan Khaibar, yakni pajak pemilikan tanah dengan ketentuan sebagian hasil pertanian sebagai Kharaj. Sedangkan Ghaniman atau hasil sitaan terhadap harta benda pasukan musuh yang melarikan diri 4/5 dibagikan kepada seluruh pasukan muslim dan 1/5 dimasukkan kepada kas negara. Untuk pembayaran pejabat pemerintah, santunan terhadap anak yatim, fakir miskin dan untuk kepentingan fasilitas umum.
Al Fay’ awalnya adalah tanah negeri taklukan yang akhirnya menjadi milik negara, tanah-tanah tersebut berupa tanah pertanian kemudian di serahkan kepada petani penggarap dengan sistem mukabarah, Mudzaraah dan lain lain ketentuan yang di berlakukan Nabi Muhammad SAW, dan hasil dari panennya diperuntukan selain sebagai kas negara, juga sebagai kepentingan umum.

D.   Manajemen Ekonomi

Keistimewaan Islam sebagai undang-undang tidak perlu diragukan lagi. Dustur ilahi ini memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan undang-undang buatan manusia. Prinsip keadilan yang menjadi landasan filosofisnya maupun kelengkapan aspek pembahasannya diakui oleh berbagai kalangan cendekiawan. Kelebihan ini juga mencakup bidang ekonomi, salah satu tiang kehidupan manusia. (Dr. Yusuf Qardawi, 1997)
Ekonomi adalah bagian dari perspektif Manajemen Islam dengan memposisikan ekonomi pada posisi tengah dan keseimbangan yang adil dalam bidang ekonomi keseimbangan diterapkan dalam segala segi imbang antara modal dan usaha, antara produksi dan konsumsi, antara produsen perantara dan konsumen dan antara golongan-golongan dalam masyarakat.
Manajemen Ekonomi Islam yang diterapkan oleh Nabi Muhammad adalah ekonomi ketauhidan. Sistem ini bertitik tolak dari peraturan Allah dalam Al Qur’an, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah. Aktivitas ekonomi masa Rasulullah seperti produksi, distribusi, konsumsi, impor, ekspor dan kegiatan ekonomi lainnya senanatiasa dilaksanakan dalam rangka ingin memenuhi perintah Allah.
"Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. "(a1-Mulk: 15)
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makanlah dan minumlah, serta janganlah berlebih-lebihan, se­sungguhnya Allah tidak suka dengan orang yang berlebih-lebihan. "(al­A'raf: 31)
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah jika benar­-benar hanya kepada-Nyalah kamu menyembah. "(al-Baqarah: 172)
Ketika seorang muslim hendak membeli dan menjual, menyimpan dan meminjam, atau menginvestasikan uang, ia selalu berdiri pada batas-batas yang telah ditetapkan Allah. Tidak dibenarkan memakan uang haram, memonopoli milik rak­yat, korupsi, mencuri, berjudi, ataupun melakukan suap-menyuap. Seorang muslim secara tegas menjauhi daerah yang diharamkan Allah, di samping ber­usaha semaksimal mungkin meningalkan daerah syubhat.
Pemilikan harta yang ada padanya bukanlah secara mutlak sehingga ia tidak berhak untuk membelanjakan harta itu sesuka hatinya. Mengenai ke­biasaan ini, Al-Qur'an menggambarkannya dengan perilaku kaum Syu'aib, yang suatu ketika, bertanya kepada Syu'aib:
"Hai Syu'aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami mening­galkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami.... "(Hud: 87)
Ekonomi yang dibangun Rasulullah adalah bertujuan untuk menciptakan kehidupan manusia yang aman dan sejahtera. Jika sistem ekonomi Islam itu bersandarkan pada nash Al-Qur'an dan as­ Sunnah yang berarti nash ketuhanan maka manusia berperan sebagai yang diserukan dalam nash itu. Manusialah yang memahami nash, menafsirkan, menyimpulkan, dan memindahkannya dari teori untuk diaplikasinya dalam praktik. Dalam ekonomi manusia adalah tujuan dan sarana.
Salah satu tanda yang jelas tentang ciri kemanusiaan pada ekonomi Islam ialah penyediaan sarana yang baik untuk manusia. Sebagai tatanan ekonomi, Islam menganjurkan manusia bekerja dan bcrusaha. Bekerja dan berusaha yang dilakukan oleh manusia itu diletakkan Allah pada timbangan kebaikan mereka.
Pemahaman Islam tentang hak individu. Islam berdiri di antara kelompok yang mengakui hak individu sehingga seseorang menganggap harta itu hak miliknya secara mutlak dan kelompok yang memerangi hak tersebut. Kelompok yang terakhir ini menganggap pemilikan harta secara individu adalah sumber kejahatan dan penindasan dalam masyarakat sehingga me­reka berusaha menghapuskannya dengan sekuat tenaga.
Para pakar ekonomi non-muslim mengakui keunggulan sistem ekonomi Islam. Menurut mereka, Islam telah sukses menggabungkan etika dan ekonomi, sementara sistem kapitalis dan sosialis memisahkan keduanya.
Jack Austri, seorang Perancis, dalam bukunya Islam dan Pengembangan Ekonomi mengatakan, "Islam adalah gabungan antara tatanan kehidupan praktis dan sumber etika yang mulia. Antara keduanya terdapat ikatan sangat erat yang tidak terpisahkan. Dari sini bisa dikatakan bahwa orang-orang Islam tidak akan menerima ekonomi kapitalis. Dan ekonomi yang kekuatannya berdasarkan wahyu dari langit itu tanpa diragukan lagi adalah ekonomi yang berdasarkan etika."
Di samping mampu memberikan nilai tambah pada sistem, etika tersebut juga bisa mengisi kekosongan pemikiran yang ditakutkan suatu saat timbul akibat perkembangan teknologi.
Brooks mengkritik kebudayaan Barat karena memberikan hasil yang me­nyedihkan. Ia juga merasa cemas terhadap ekonomi dewasa ini yang dikuasai oleh nafsu kapitalisme di atas norma-norma yang hakiki.
Islam tidak mengabaikan fakta ini dan siap mengantisipasi kebudayaan Barat, khususnya sistem ekonominya. Caranya adalah dengan memasukkan nilai etika ke dalam ekonomi.
Menurut J. Perth, kombinasi antara ekonomi dan etika ini bukanlah hal baru di dalam Islam. Sejak semula Islam tidak mengenal pemisahan jasmani dengan rohani. Prinsip sekularisme yang dilahirkan kaum Protestan dengan renaisansnya di Eropa tidak dikenal dalam sejarah Islam. Sebab, keuniversalan syari’at Islam melarang berkembangnya ekonomi tanpa etika.
Di dalam sejarah Islam, kita menemukan praktek-praktek bisnis yang menggabungkan etika dan ekonomi, terutama ketika Islam benar-benar dijadi­kan pedoman utama dalam kehidupan sehari-hari.
 E.   Kemiliteran
Nabi Muhammad SAW, adalah panglima tertinggi tentara muslim, Nabi Muhammad SAW, memimpin 27 dan peperangan dan invasi, meski belum dikenal aturan kemiliteran seperti saat sekarang, maka dalam memprogram strategi Nabi Muhammad SAW, senantiasa bermusyawarah dengan para sahabat dengan tidak bosan-bosannya menanamkan kedisiplinan para anggota dengan sanksi yang sangat berat bagi pelanggarnya.

F.    Sistim Pendidikan

Sebagai seorang yang, dikenal dengan sebutan Niraksarawan atau Al Ummi (buta huruf), namun dalam sejarah Arabia Nabi Muhammad SAW adalah orang penuh perhatian terhadap pendidikan khususnya pendidikan baca tulis. Karena kegigihannya dalam memprakarsai adanya lembaga pendidikan, Nabi Muhammad SAW, sebagai seorang Presiden tidak segan-segan melanggar aturan hukum militer dengan memberikan amnesti kepada tawanan yang karena ketrampilannya dalam hal baca tulis.
Pendidikan Islam terjadi sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul Allah di Mekkah dan beliau sendiri sebagai gurunya. Pendidikan masa ini merupakan proto type yang terus menerus dikembangkan oleh umat Islam untuk kepentingan pendidikan pada zamannya. Pendidikan Islam mulai dilaksanakan Rasulullah setelah mendapat perintah dari Allah agar beliau menyeru kepada Allah, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur`an, Surat al-Mudatstsir, 74 ayat 1-7. Menyeru berarti mengajak, dan mengajak berarti mendidik. Langkah awal yang Nabi tempuh adalah menyerukan keluarganya terlebih dahulu. Pertama, Nabi serukan istrinya, Khadijah, untuk beriman dan menerima petunjuk­-petunjuk Allah, yang kemudian diikuti oleh Ali bin Abi Thalib (anak pamannya, yang diangkat menjadi anak angkatnya), dan Zaid bin Haritsah, seorang pembantu rumah tangganya, yang kemudian dijadikan anak angkat. Setelah itu, Nabi mulai mengajak sahabat­-sahabatnya, yang dilakukannya dengan hati-hati dan tidak sembarangan. Beliau hanya megarahkan ajakannya kepada sahabat-­sahabat yang kuat imannya dan dari kalangan Quraisy yang berpengaruh di masyarakat, sebagai upaya untuk memperkokoh dakwah Rasulullah. Di antara mereka adalah Abu Bakar, sahabat yang beliau kenal pribadinya dan terbuka pikirannya. Setelah beriman dan mendukung Nabi, Abu Bakar secara diam-diam mengajak kaum Qurays untuk memeluk agama Islam. Sahabat-sahabat lain yang masuk Islam adalah Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa`ad bin Abi Waqqas, Abd al-Rahman bin `Auf, Thallah bin Ubaidillah, Abu Ubaidillah bin Jarrah, Arqam bin Abi al-Arqam, Fatimah binti Khattab bersama suaminya, Said bin Zaid, dan beberapa orang lainnya.
Sesudah Nabi mendapat pengikut, beliau menghimpun mereka untuk menerima penjelasan-penjelasan yang diajarkan secara sem­bunyi-sembunyi di rumah Arqam di Bukit Shafa. Rumah Arqam dipilih sebagai tempat berkumpulnya umat Islam untuk menerima pelajaran dari Nabi, karena Arqam adalah sahabat Nabi yang setia sekaligus lokasinya yang sangat baik, terhadang dari penglihatan kaum Qurays. Hal ini penting dilakukan untuk memberi keamanan dan ketenangan kepada kaum Muslimin yang sedang mengadakan kegiatan dan pertemuan guna menerima pelajaran. Menurut Syalabi, rumah Arqam ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama. Di rumah Arqam, Rasulullah mengajarkan pokok-pokok agama Islam dan membacakan ayat-ayat al-Qur`an kepada para sahabat dan pengikut-pengikut Nabi. Pendidikan pertama yang dilakukan Nabi adalah membina pribadi Muslim agar menjadi kader-kader yang berjiwa kuat dan tangguh dari segala cobaan untuk dipersiapkan menjadi masyarakat Islam dan muballigh serta pendidik yang baik.
Berikutnya, Rasulullah mengarahkan dakwahnya kepada Bani Muthalib setelah turun petunjuk Allah dalam QS. al-Baqarah, 2: 214­-215. Seruan ini merupakan langkah awal untuk menyampaikan Islam secara terang-terangan. Seruan Nabi kali ini disambut dan dibenarkan dengan baik oleh sebagian, tetapi sebagian lain menentang dan men­dustakannya, seperti Abu Lahab (paman Nabi) dan istrinya. Dakwah Nabi ini berjalan selama tiga tahun sampai turunlah wahyu Allah dalam QS. al-Hijr, 15:94-95 yang menyerukan Islam secara terang-­terangan kepada manusia secara umum, baik untuk penduduk Makkah maupun luar Mekkah, baik miskin maupun kaya.
Kegagalan Rasulullah mengajak masuk Islam suku Quraisy yang diwarnai dengan kekerasan dan perlawanan oleh mereka, mendorong mencari dukungan dan menambah pengikut ke Thaif, tetapi gagal. Kemudian, setiap musim haji, Rasulullah mengunjungi kemah-kemah jema'ah untuk menyampaikan seruan Islam kepada mereka. Tidak semua jema'ah yang dikunjungi Nabi menerima Islam, kecuali satu kelompok jema'ah berasal dari Yatsrib dari kabilah Khazraj. Kabilah ini sangat mendambakan kedamaian setelah lama mengalami perten­tangan dengan kaum Yahudi di Yatsrib. Pada musim haji pada tahun ke-12 kenabian, datang dua belas orang laki-laki dan seorang perem­puan penduduk Yatsrib menemui Rasulullah di Aqabah untuk menya­takan bai'ah kepada Nabi yang dikenal dengan Bai'ah Aqabah I.
Setelah musim haji selesai, mereka kembali ke Yatsrib. Dengan berbekal pengetahuan yang diperoleh dan semangat Islam yang berkobar; ditambah pengaruh ikrar yang diucapkan di hadapan Nabi, mereka kembali ke Yatsrib dan diminta oleh Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada penduduk Yatsrib lainnya. Selain itu, bersama mereka Rasulullah mengirim seorang pemuda, Mus'ab bin Umair, untuk mengemban tugas mendidik dan mengajarkan ajaran Islam kepada kaum Muslimin di Yatsrib. Usaha Mus'ab bin Umair dan mereka yang telah berikrar membawa hasil yang tidak mengecewakan. Agama Islam memperoleh kemajuan pesat di Yatrsib sampai banyak orang-orang Yatsrib masuk Islam kecuali orang-orang Yahudi dan suku Aus.
Pada musim haji tahun berikutnya, serombongan jema'ah haji Yatrsib sejumlah 73 orang menuju Mekkah. Mereka bersepakat mengajak Nabi pindah ke Yatsrib, yang mereka harapkan menjadi penengah bagi pertikaian antara kabilah Khazraj dengan orang-orang Yahudi dan kabilah Aus. Di samping itu, mereka juga bertujuan menyatakan bai'ah kepada Rasulullah di Aqabah yang kemudian dikenal dengan Bai'ah Aqabah II. Turut pula dalam rombongan ini Mus'ab bin Umair untuk melaporkan hasil usaha dan perjuangannya dalam mendidik penganut-penganut Islam yang baru.
Karena di Mekkah selalu mendapat tantangan dari kaum Qurays yang selalu mengganggu dakwah Islam, Rasulullah akhirnya hijrah ke Madinah. Setelah sampai di Madinah, usaha pertama yang dilakukan oleh Nabi adalah mendirikan mesjid sebagai benteng pertahanan rohani, tempat pertemuan, dan lembaga pendidikan. Di mesjid ini, Nabi melaksanakan salat berjama'ah, membacakan al-Qur'an dan memberikan pengajaran Islam. Nabi juga mengadakan musyawarah yang berkenaan dengan kemasyarakatan dan politik Islam di mesjid.
Tujuan dan materi pendidikan Islam di Yatsrib atau Madinah semakin luas dibandingkan pendidikan Islam di Mekkah. Seiring dengan berkembangnya masyarakat Islam dan semakin luas petunjuk-­petunjuk Allah, semakin luas pula tujuan dan materi pendidikan yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Pendidikan Islam tidak hanya diarahkan untuk membentuk pribadi kader Islam, tetapi juga membina aspek-­aspek kemanusian sebagai hamba Allah untuk mengelola dan menjaga kesejahteraan alam semesta. Untuk itu, umat Islam dibekali dengan pendidikan tauhid, akhlak, amal ibadah, kehidupan sosial-kemasya­rakatan dan keagamaan, ekonomi, kesehatan, bahkan kehidupan bernegara.
Pada masa awal lahirnya Islam, umat Islam belum memiliki budaya membaca dan menulis. Bagi masyarakat Arab, budaya membaca dan menulis hanya berkembang di kalangan kaum Yahudi dan Nasrani. Orang-orang Arab selain Yahudi dan Nasrani yang bisa membaca dan menulis jumlahnya sangat sedikit. Pada masa Nabi menyiarkan agama di Mekkah, di kalangan kaum Qurays ada 17 orang yang pandai baca-tulis.
Setelah perang Badar, ada beberapa tawanan yang pandai mem­baca dan menulis. Para tawanan ini dapat menebus dirinya dengan mengajarkan baca-tulis kepada 10 anak Muslim untuk seorang ta­wanan. Menurut Syalabi, lembaga untuk belajar membaca dan me­nulis ini disebut kuttab. Ia merupakan lembaga pendidikan yang dibentuk setelah masjid.
Hingga pasca perang Badr aktifitas baca tulis dan kegiatan pendidikan lainnya berkembang di Madinah, yang pada akhirnya Madinah Al Munawwarah, tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, akan tetapi juga sebagai pusat pendidikan Islam. Tercatat sembilan lembaga pendidikan yang melakukan aktifitasnya di masjid.
Di masjid tersebut nabi menyampaikan kuliahnya serta berdiskusi perihal ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan Nabi Muhammad SAW, juga memerintahkan para Tuan untuk mendidik budaknya dan memerdekakannya.
Ketika Islam telah tersebar diseluruh semenanjung Arabia, Nabi Muhammad SAW, mengatur pengiriman para Mu’allim atau guru-guru agama untuk ditugaskan mengajarkan Al Qur-an kepada suku-suku terpencil di seluruh penjuru Arab. dan pendidikan Islam berpusat di Madinah. Setelah Rasulullah wafat, kekuasaan pemerintah Islam secara bergantian dipedang oleh Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib. Pada masa empat khalifah ini wilayah Islam telah meluas di luar Jazirah Arab, yang meliputi Mesir, Persia, Syria, dan Irak. Para khalifah ini di samping memikirkan perluasan wilayah Islam, mereka juga membe­rikan perhatian pada pendidikan demi syiarnya agama dan kokohnya negara Islam.
Masa awal kekhalifahan Abu Bakar, telah diguncang pembe­rontakan oleh orang-orang murtad, orang yang mengaku sebagai nabi, dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Pada awal kekuasaannya, Abu Bakar memusatkan konsentrasinya untuk memerangi pemberontakan yang dapat mengacaukan keamanan dan dapat mempengaruhi orang-orang Islam yang masih lemah imannya untuk menyimpang dari Islam. Maka, dikirimlah pasukan untuk menumpas para pemberontak di Yamamah. Dalam operasi penumpasan tersebut, sebanyak 73 orang dari Islam gugur, yang terdiri dari sahabat dekat Rasul dan para hafidh al-Qur'an. Kenya­taan ini telah mengurangi jumlah sahabat yang hapal al-Qur'an dan jika tidak diperhatikan, sahabat-sahabat yang hapal al-Qur'an akan habis dan akhirnya akan melahirkan perselisihan di kalangan umat Islam mengenai al-Qur'an. Oleh karena itu, sahabat Umar bin Khaththab menyarankan kepada Khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan ayat-ayat al-Qur'an. Saran tersebut kemudian direalisasikan Abu Bakar dengan mengutus Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan semua tulisan ayat-ayat al-Qur'an. Dengan demi­kian, Khalifah Abu Bakar berjasa dalam menyelamatkan keaslian materi dasar pendidikan Islam.
Pemberontakan orang-orang murtad, nabi-nabi palsu, dan orang­-orang yang enggan membayar zakat, memberikan pengalaman bagi umat Islam untuk memperteguh ajaran-ajaran Islam kepada kaum Muslimin sehingga dapat dihindari kejadian serupa. Pengalaman tersebut memperteguh pendidikan Islam untuk memperkokoh nilai­-nilai Islam di kalangan kaum Muslimin. Akan tetapi, pelaksanaan pendidikan Islam di masa Khalifah Abu Bakar masih seperti di masa Nabi, baik materi maupun lembaga pendidikannya.
Selain mengirimkan tentara untuk menumpas pemberontak, Abu Bakar juga memusatkan perhatiannya untuk mengirimkan pasukan dalam rangka memperluas ekspansi wilayah Islam ke Syiria untuk melaksanakan niat Rasulullah yang telah dipersiapkan sesaat sebelum Rasulullah wafat. Usaha umat Islam berhasil menaklukkan Syria. Ekspansi wilayah Islam, membuat umat Islam kurang memberikan perhatian terhadap pendidikan Islam.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Kaththab, kondisi politik dalam keadaan stabil. Melanjutkan kebijaksanaan Abu Bakar, Umar bin Khaththab mengirim pasukan untuk memperluas wilayah Islam. Ekspansi Islam di masa Umar bin Khaththab mencapai hasil yang gemilang, yang meliputi Semenanjung Arabia, Palestina, Syria, Irak, Persia, dan Mesir.
Dengan meluasnya wilayah Islam sampai ke luar Jazirah Arab, penguasa memikirkan pendidikan Islam di daerah-daerah di luar Jazirah Arab karena bangsa-bangsa tersebut memiliki adat dan kebu­dayaan yang berbeda dengan Islam. Untuk itu, Umar memerintahkan panglima-panglima apabila mereka berhasil menguasai suatu kota, hendaknya mereka mendirikan mesjid sebagai tempat ibadah dan pendidikan. Berkaitan dengan usaha pendidikan itu, Khalifah Umar mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk tiap-tiap daerah yang ditaklukkan, yang bertugas mengajarkan isi al-Qur'an dan ajaran Islam kepada penduduk yang baru masuk Islam.
Pada masa Khalifah Umar, sahabat-sahabat besar yang lebih dekat kepada Rasulullah dan memiliki pengaruh besar, dilarang keluar Madinah kecuali atas izin Khalifah dan hanya dalam waktu yang terbatas. Dengan demikian, penyebaran ilmu para sahabat besar terpusatkan di Madinah sehingga kota tersebut pada waktu itu menjadi pusat keilmuan Islam. Meluasnya kekuasaan Islam, mendorong kegiatan pendidikan Islam bertambah besar karena mereka yang baru menganut Islam ingin menimba ilmu keagamaan dari sahabat-sahabat yang menerima langsung dari Nabi, khususnya menyangkut hadis Rasul sebagai salah satu sumber agama yang belum terbukukan dan hanya ada dalam ingatan para sahabat dan sebagai alat bantu untuk menafsirkan al-Qur'an. Tidak terelakkan lagi sejak masa ini, telah terjadi mobilitas penuntut ilmu dari daerah-daerah jauh menuju Madinah sebagai pusat ilmu agama Islam. Gairah menuntut ilmu agama Islam tersebut di belakang hari mendorong lahirnya sejumlah pembidangan disiplin ilmu keagamaan, seperti tafsir, hadis, fikih, dan sebagainya.
Tuntutan untuk belajar bahasa Arab juga sudah nampak dalam pendidikan Islam pada masa Khalifah Umar. Dikuasainya wilayah­-wilayah baru oleh Islam, menyebabkan munculnya keinginan untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar di wilayah-wilayah tersebut. Orang-orang yang baru masuk Islam dari daerah-daerah yang ditaklukkan, harus belajar bahasa Arab jika mereka ingin belajar dan mendalami pengetahuan Islam. Oleh karena itu, masa ini sudah terdapat pengajaran bahasa Arab.
Pada masa Khalifah Usman, pelaksanaan pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Pendidikan di masa ini hanya melanjutkan apa yang telah ada. Sedikit perubahan telah mewarnai pelaksanaan pendidikan Islam. Para sahabat yang berpengaruh dan dekat dengan Rasulullah yang tidak diperbolehkan meninggalkan Madinah di masa Khalifah Umar, diberikan kelonggaran untuk keluar dan menetap di daerah-daerah yang mereka sukai. Di situ mereka mengajarkan ilmu-ilmu yang dimiliki dari Rasul secara langsung. Kebijakan ini besar sekali artinya bagi pelaksanaan pendidikan Islam di daerah-daerah. Sebelumnya, umat Islam di luar Madinah dan Mekkah, khususnya dari luar Semenanjung Arab, harus menempuh perjalanan jauh yang melelahkan dan lama untuk menuntut ilmu agama Islam di Madinah. Tetapi, tersebarnya sahabat-sahabat besar ke berbagai daerah meringankan umat Islam untuk belajar Islam kepada sahabat­-sahabat yang tahu banyak ilmu Islam di daerah mereka sendiri atau di daerah terdekat.
Usaha konkrit di bidang pendidikan Islam belum dikembangkan oleh Khalifah Usman. Khalifah merasa sudah cukup dengan pendidikan yang sudah berjalan. Namun begitu, satu usaha cemerlang telah terjadi di masa ini, yang berpengaruh luar biasa bagi pendidikan Islam. Melanjutkan usulan Umar kepada Khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan tulisan ayat-ayat al-Qur'an, Khalifah Usman meme­rintahkan agar mushaf yang dikumpulkan di masa Abu Bakar, disalin oleh Zaid bin Tsabit bersama Abdullah bin Zubair, Zaid bin `Ash, dan Abdurrahman bin Harits. Penyalinan ini dilatarbelakangi oleh perselisihan dalam bacaan al-Qur'an. Menyaksikan perselisihan itu, Hudzaifah bin Yaman melapor kepada Khalifah Usman dan meminta Khalifah untuk menyatukan bacaan al-Qur'an. Akhirnya, Khalifah memerintahkan penyalinan tersebut, sekaligus menyatukan bacaan al-Qur'an dengan pedoman, apabilah terjadi perselisian bacaan antara Zaid bin Tsabit dengan tiga anggota tim penyusun, hendaknya ditulis sesuai dengan lisan Quraisy karena al-Qur'an itu diturunkan dengan lisan Quraisy. Zaid bin Tsabit bukan orang Quraisy, sedangkan ketiga orang anggotanya adalah orang Quraisy."
Setelah selesai menyalin mushaf itu, Usman memerintahkan para penulis al-Qur'an untuk menyalin kembali beberapa mushaf untuk dikirimkan ke Mekkah, Kufah, Basrah, dan Syam. Khalifah Usman sendiri memegang satu mushaf yang disebut mushaf al-Imam. Mushaf Abu Bakar dikembalikan lagi ke tempat penyimpanan semula, yaitu di rumah Hafshah. Khalifah Usman meminta agar umat Islam memegang teguh apa yang tertulis di mushaf yang dikirimkan kepada mereka, sedangkan mushaf-mushaf yang sudah ada di tangan umat Islam segera dikumpulkan dan dibakar untuk menghindari perselisihan bacaan al-Qur'an serta menjaga keasliannya. Fungsi al-Qur'an sangat fundamental bagi sumber agama dan ilmu-ilmu Islam. Oleh karena itu, menjaga keaslian al-Qur'an dengan menyalin dan membukukan­nya merupakan suatu usaha demi perkembangan ilmu-ilmu Islam di masa mendatang.
Seperti khalifah-khalifah sebelumnya, Khalifah Usman membe­rikan perhatian besar pada pengiriman tentara ke beberapa wilayah yang belum ditaklukkan. Besar juga hasil yang diperoleh dari pengiriman ekspedisi di masa ini bagi perluasan kekuasaan Islam, yang mencapai Tripoli, Ciprus, dan beberapa wilayah lain. Tetapi gelombang ekspedisi terhenti sampai di sini karena perslisihan pemerintahan dan kekacauan yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Usman.
Mengganti Usman, naiklah Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Sejak awal kekuasaannya, kekhalifahan Ali selalu diselimuti pemberontakan hingga berakhir tragis dengan terbunuhnya Khalifah. Pada awal masa pemerintahannya, sudah digoncang peperangan dengan Aisyah (istri Nabi) beserta Thalhah dan Abdullah bin Zubair yang berambisi menduduki jabatan khalifah. Peperangan di antara mereka disebut dengan perang Jamal (unta) karena Aisyah mengguna­kan kendaraan unta.
Setelah berhasil mengatasi pemberontakan Aisyah, muncul pemberontakan lain sehingga masa kekuasaan Khalifah Ali tidak pernah mendapatkan ketenangan dan kedamaian. Mu'awiyah sebagai Gubernur di Damaskus memberontak untuk menggulingkan kekuasaan Ali. Ali terpaksa harus menghadapi peperangan lagi melawan Mu'awiyah dan pendukungnya yang terjadi di Shiffin. Tentara Ali sudah hampir pasti dapat mengalahkan tentara Mu'awiyah, ketika akhirnya Mu'awiyah mengambil siasat untuk mengadakan tahkim, penyelesaian dengan adil dan damai. Semula Ali menolak, tetapi atas desakan sebagian tentaranya, ia menerima juga. Namun, tahkim malah menimbulkan kekacauan karena Mu'awiyah bersikap curang. Dengan tahkim Mu'awiyah berhasil mengalahkan Ali, dan akhirnya mendirikan pemerintahan tandingan di Damaskus.
Sementara itu, sebagian tentara Ali menentang keputusan dengan cara tahkim. Karena tidak setuju, mereka meninggalkan Ali. Mereka membentuk kelompok sendiri sebagai kelompok Khawarij. Golongan ini selalu merongrong kewibawaan kekuasaan Ali sampai akhirnya beliau mati terbunuh seperti yang dialami Usman.
Kekacauan dan pemberontakan di masa Khalifah Ali, membuat Syalabi seperti dikutip Soekarno dan Ahmad Supardi, berkomentar: "Sebenarnya tidak pernah ada barang satu hari pun, keadaan yang stabil selama pemerintahan Ali. Tak ubahnya dia sebagai seorang yang menambal kain usang, jangankan menjadi baik malah bertambah sobek. Demikianlah Nasib Ali." Lebih lanjut dijelaskan oleh Soekarno dan Ahmad Supardi, bahwa saat kericuhan politik di masa Ali ini hampir dapat dipastikan bahwa kegiatan pendidikan Islam mendapat hambatan dan gangguan walaupun tidak terhenti sama sekali. Khalifah Ali pada saat itu tidak sempat lagi memikirkan masalah pendidikan, karena seluruh perhatiannya ditumpahkan pada masalah keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada zaman empat khalifah belum berkembang seperti masa-masa sesudahnya. Pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan masa Nabi, yang menekankan pada pengajaran baca-tulis dan ajaran-ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur'an dan hadis Nabi. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi umat Islam terhadap perluasan wilayah Islam dan terjadinya pergolakan politik, khususnya di masa Ali ibn Abi Talib.
Setelah Dinasti Umayyah berkuasa, pelaksanaan pendidikan Islam semakin meningkat daripada masa sebelumnya. Kalau masa sebe­lumnya pendidikan Islam dilaksanakan di kuttab, di rumah-rumah, dan mesjid, pada masa ini pendidikan juga dilaksanakan di istana untuk mendidik anak-anak keluarga kerajaan. Selain itu, penguasa­-penguasa dari Dinasti Umayyah sering menyelenggarakan majelis-majelis keilmuan. Syalabi menjelaskan bahwa Mu'awiyah, Khalifah pertama dari Dinasti Umayyah, sering menyelenggarakan majelis dengan mengundang ulama, sastrawan, dan ahli sejarah untuk mene­rangkan kepada Mu'awiyah sejarah bangsa Arab melalui syair-syair Arab, cerita-cerita Persia, dan sistem pemerintahan dan administrasi Kerajaan Persia. Usaha-usaha ini mendorong berkembangnya syair­-syair Arab dan munculnya bukuAkhbaral-Madin (buku tentang raja­-raja dan sejarah orang-orang Kuno). (Fayyaz Mahmud, , 1960,: 94)
Pada masa ini juga mulai ada perhatian terhadap pembidangan ilmu tafsir, hadis, fikih, dan ilmu kalam. Di bidang hadis muncul seorang ahli hadis, seperti Hasan al-Basri. Di bidang fikih muncul Ibn Sihab al-Zuhri. Di bidang ilmu kalam dapat ditelusuri cikal bakal gerakan teologi Islam, yaitu Wasil ibn `Ata' yang dianggap sebagai pendiri aliran Mu'tazilah. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran Khawarij dan Murji`ah yang telah berkembang di masa itu. Di antara doktrin utama aliran Mu`tazilah adalah paham "kebebasan manusia" atau free will, yang pada zaman ini dikembangkan oleh golongan Qadariyyah yang merupakan lawan golongan Jabbariyyah."
Selain itu, berkembang juga bahasa Arab. Kecenderungan untuk memahami al-Qur'an dan pemerintahan, kebutuhan orang-orang yang ditaklukkan oleh Islam akan bahasa Arab, dan banyaknya orang­-orang non-Arab yang menimbulkan dialek-dialek yang merusak bahasa Arab, mendorong umat Islam untuk mengembangkan bahasa Arab. Faktor-faktor ini menyebabkan besarnya tuntutan mempelajari bahasa Arab sehingga lahirlah ilmu bahasa Arab. Tokoh-tokohnya antara lain Abu al-Aswad ad-Du'ali dan Sibawaih.
Pengaruh Hellenisme juga sudah ada di masa ini. Usaha-usaha penerjemahan buku-buku Yunani sudah dilakukan. Misalnya, Masarjawaih, seorang ahli fisika beragama Yahudi, telah menerje­mahkan buku-buku kedokteran, astronomi dan kimia ke dalam bahasa Arab. Akan tetapi, usaha penerjemahan ini tidak banyak dilakukan. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Dinasti Abbasiyyah yang dilakukan secara besar-besaran, sebagaimana yang akan dijelaskan pada pembahasan khusus. Demikian pula perhatian terhadap pendidikan Islam juga lebih besar dibanding dengan masa dinasti Umayyah sehingga berkembanglah karya-karya pemikiran di berbagai bidang. 
Walaupun perhatian terhadap pendidikan dan perkembangan pemikiran tidak sebesar pada masa Dinasti Abbasiyyah, usaha-usaha umat Islam pada masa Dinasti Umayyah sangat besar dan penting sekali pengaruhnya bagi perkembangan pendidikan dan pemikiran pada masa sesudahnya. Walaupun kecil, Dinasti Umayyah telah meletakkan dasar-dasar bagi kemajuan pendidikan dan pemikiran di masa Dinasti Abbasiyyah. Karena usahanya inilah, Philip K. Hitti mengatakan bahwa masa Dinasti Umayyah adalah "inkubasi" atau masa tunas bagi perkembangan intelektual Islam. Berbeda dengan Philip K. Hitti, Ahmad Amin memperkirakan bahwa seandainya Dinasti Umayyah dapat melanjutkan kekuasaannya yang hilang direbut oleh Dinasti Abbasiyyah, niscaya Dinasti Umayyah akan mampu mencapai kejayaan di bidang pemikiran, seperti yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyyah karena pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah telah muncul gerakan ilmiah dan aliran-aliran keagamaan. Dengan adanya gerakan ilmiah ini, Dinasti Umayyah berarti telah mengembangkan pendidikan lebih besar daripada masa sebelumnya. Usaha ini berhasil dilaksanakan oleh Dinasti Umayyah karena didukung oleh mantapnya stabilitas sosial, politik, dan ekonomi. Di samping itu, ada faktor lain yang tidak dapat dianggap remeh, yaitu sikap umat Islam yang menghargai pengetahuan.

No comments:

Post a Comment