BAB VI
ADMINISTRASI
PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW
Dari kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, diketahui Muhammad
adalah seorang sosialis sejati, yang mengganti praktek eksploitasi manusia atas
manusia untuk kepentingan kelompok tertentu melalui praktek riba, menjadi
dengan mengembangkan prinsip-prinsip zakat dan shodaqoh, sehingga tidak terjadi
praktek monopoli secara ekonomi, selain itu juga penghapusan atas kasta sosial,
sistim perbudakan yang merupakan simbol dari supremasi budaya Arab.
Diantara ide-ide Muhammad yang lain adalah penghapusan
gender dengan batasan-batasan toleransi, penghargaan atas hak-hak wanita,
penghapusan perjudian, sistim takhyul dan lain-lain yang kesmuanya merupakan
perubahan pranata sosial secara besar-besaran atas situasi dan kondisi bangsa
Arab pada abad ke tujuh Masehi.
Adapun secara administrasi kepeminpinan Nabi Muhammad
SAW, sebagai penguasa Republik Madinah selama sepuluh tahun (622 – 632 M),
dengan perjuangan yang cukup singkat tersebut Nabi Muhammad SAW, dipandang
sebagai satu-satunya pejuang yang paling berhasil sepanjang Sejarah dunia.
(Syeed Amir Ali, 1923:)
Keberhasilan perjuangan dalam mengorganisasi negara dalam
meletakkan dasar-dasar pemerintahan bagi sebuah imperium Islam tidak dapat
dipungkiri, mekanisme administrasi pemerintahan yang diciptakan oleh Nabi
Muhammad SAW, adalah sebagaimana tertuang dalam catatan sejarah dibawah ini:
A. Administrasi Pemerintahan
Sistim kekuasaan tertinggi pemerintahan Islam yang
dibangun oleh Nabi Muhammad SAW, bersandar pada kekuatan Allah yang senantiasa
menurunkan wahyu Al Qur-an kepada Nabi Muhammad SAW, hukum Allah (syariat
Islam) di berlakukan sebagaimana proporsi Nabi Muhammad SAW, sebagai penguasa
dan rahmat bagi seluruh alam, dalam segala keputusan yang tidak ada dalam Al
Qur-an Nabi Muhammad SAW, secara bijak memutuskan setiap permasalahan yang ada.
Meskipun mempunyai otoritas tertinggi, Nabi Muhammad SAW,
senantiasa bermusyawarah dengan para sahabat untuk memutuskan masalah-masalah
penting.
Langkah kebijakan pertama kali ditempuh Nabi Muhammad
SAW, adalah membangun Masjid sebagai sentra pemerintahan Islam, pusat
perkantoran dan peradilan, administrasi surat menyurat dan pendelegasian misi
dakwah, perjanjian dan penjamuan delegasi asing, penetapan SK gubernur dan
pengumpulan pajak.
Politik Islam yang merupakan pembentukan kekuasaan untuk
mengatur ekonomi dan sosial, menurut keyakinan yang berupa Al Qur-an dan
Assunnah dan bukan menurut ideologi, apabila tatanan yang dilakukan berdasarkan
keyakinan tersebut mengalami stagnasi, maka di masjid itulah kaum muslim
mengadakan ijtihad bersama-sama dalam memutuskan suatu permasalahan yang
dihadapinya (Sidi Gazalba, 1994: 194)
B. Sistim Propinsial
Setelah pembentukan pemerintahan negara kesatuan, langkah
selanjutnya adalah membagi wilayah kekuatan Islam menjadi beberapa wilayah
propinsi dengan didasarkan pada kultur maupun letak geografis daerah, diantara
propinsi tersebut adalah: Madinah, Makkah, Tayma, Janad, Yaman, Najran,
Bahrayn, Oman dan Hadramaut.
Para gubernur di yang membawahi wilayah propinsi tersebut
bertanggung jawab secara langsung kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan propinsi
Madinah karena selain menjadi Ibukota propinsi juga menjadi ibukota negara,
dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW, para Gubernur di beri gelar “Wali”
selain sebagai pemimpin wilayah Propinsi secara administratif, para wali juga
sebagai imam dalam shalat dan sebagai panglima dalam perang serta sebagai
kepala Administrasi propinsi yang bersangkutan dan bertugas pula menyusun dan
membuat laporan tentang rencana pemasukan dan pembelanjaan propinsi yang
didalamnya termasuk pembayaran gaji pegawai negara, pembiayaan perang dan lain
lain.
C. Sistim Pendapatan Negara
Dalam menjalankan roda pemerintahan Republik Madinah,
serta dalam membayar para pegawai serta anggota militer, Nabi Muhammad SAW,
adalah merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan sistem pelembagaan
“Baitul Maal” untuk menghimpun dana dalam rangka pembiayaan operasional
kenegaraan.
Sumber pendapatan negara yang diperkenalkan oleh Nabi
Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
Zakat
Jizyah (Pajak Perorangan)
Kharaj (Pajak Tanah)
Ghanimah (hasil rampasan / sitaan perang)
Al Fay’ (hasil tanah negara / BUMN)
Kesemuanya diatur secara detail dan di administrasikan
kriteria dan persyaratan pembayarannya seperti: Zakat ditentukan pembayarannya
dengan batasan nisab, Jizyah ditarik sebagai pengganti atas jaminan keamanan
jiwa dan harta benda masyarakat non muslim, ketentuan seperti ini sudah
diberlakukan di Persia yang dinamakan “Gezit”
dan di Romawi dinamakan “Tributeen
Capitis.”
Kemudian Kharaj di berlakukan pasca penaklukan Khaibar,
yakni pajak pemilikan tanah dengan ketentuan sebagian hasil pertanian sebagai
Kharaj. Sedangkan Ghaniman atau hasil sitaan terhadap harta benda pasukan musuh
yang melarikan diri 4/5 dibagikan kepada seluruh pasukan muslim dan 1/5
dimasukkan kepada kas negara. Untuk pembayaran pejabat pemerintah, santunan
terhadap anak yatim, fakir miskin dan untuk kepentingan fasilitas umum.
Al Fay’ awalnya adalah tanah negeri taklukan yang
akhirnya menjadi milik negara, tanah-tanah tersebut berupa tanah pertanian
kemudian di serahkan kepada petani penggarap dengan sistem mukabarah, Mudzaraah
dan lain lain ketentuan yang di berlakukan Nabi Muhammad SAW, dan hasil dari
panennya diperuntukan selain sebagai kas negara, juga sebagai kepentingan umum.
D. Manajemen Ekonomi
Keistimewaan Islam sebagai undang-undang tidak perlu
diragukan lagi. Dustur ilahi ini memiliki berbagai keunggulan dibandingkan
dengan undang-undang buatan manusia. Prinsip keadilan yang menjadi landasan
filosofisnya maupun kelengkapan aspek pembahasannya diakui oleh berbagai
kalangan cendekiawan. Kelebihan ini juga mencakup bidang ekonomi, salah satu
tiang kehidupan manusia. (Dr. Yusuf Qardawi, 1997)
Ekonomi adalah bagian dari perspektif Manajemen Islam
dengan memposisikan ekonomi pada posisi tengah dan keseimbangan yang adil dalam
bidang ekonomi keseimbangan diterapkan dalam segala segi imbang antara modal
dan usaha, antara produksi dan konsumsi, antara produsen perantara dan konsumen
dan antara golongan-golongan dalam masyarakat.
Manajemen Ekonomi Islam yang diterapkan oleh Nabi
Muhammad adalah ekonomi ketauhidan. Sistem ini bertitik tolak dari peraturan
Allah dalam Al Qur’an, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat
Allah. Aktivitas ekonomi masa Rasulullah seperti produksi, distribusi,
konsumsi, impor, ekspor dan kegiatan ekonomi lainnya senanatiasa dilaksanakan
dalam rangka ingin memenuhi perintah Allah.
"Dialah
yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya
dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan. "(a1-Mulk: 15)
"Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makanlah
dan minumlah, serta janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak suka
dengan orang yang berlebih-lebihan. "(alA'raf: 31)
"Hai
orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar hanya
kepada-Nyalah kamu menyembah. "(al-Baqarah: 172)
Ketika seorang muslim hendak membeli dan menjual,
menyimpan dan meminjam, atau menginvestasikan uang, ia selalu berdiri pada
batas-batas yang telah ditetapkan Allah. Tidak dibenarkan memakan uang haram,
memonopoli milik rakyat, korupsi, mencuri, berjudi, ataupun melakukan
suap-menyuap. Seorang muslim secara tegas menjauhi daerah yang diharamkan
Allah, di samping berusaha semaksimal mungkin meningalkan daerah syubhat.
Pemilikan harta yang ada padanya bukanlah secara mutlak
sehingga ia tidak berhak untuk membelanjakan harta itu sesuka hatinya. Mengenai
kebiasaan ini, Al-Qur'an menggambarkannya dengan perilaku kaum Syu'aib, yang
suatu ketika, bertanya kepada Syu'aib:
"Hai
Syu'aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang
disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami
kehendaki tentang harta kami.... "(Hud: 87)
Ekonomi
yang dibangun Rasulullah adalah bertujuan untuk menciptakan kehidupan manusia
yang aman dan sejahtera. Jika sistem ekonomi Islam itu bersandarkan pada nash
Al-Qur'an dan as Sunnah yang berarti nash ketuhanan maka manusia berperan
sebagai yang diserukan dalam nash itu. Manusialah yang memahami nash,
menafsirkan, menyimpulkan, dan memindahkannya dari teori untuk diaplikasinya
dalam praktik. Dalam ekonomi manusia adalah tujuan dan sarana.
Salah satu tanda yang jelas
tentang ciri kemanusiaan pada ekonomi Islam ialah penyediaan sarana yang baik
untuk manusia. Sebagai tatanan ekonomi, Islam menganjurkan manusia bekerja dan
bcrusaha. Bekerja dan berusaha yang dilakukan oleh manusia itu diletakkan Allah
pada timbangan kebaikan mereka.
Pemahaman Islam tentang hak
individu. Islam berdiri di antara kelompok yang mengakui hak individu sehingga
seseorang menganggap harta itu hak miliknya secara mutlak dan kelompok yang
memerangi hak tersebut. Kelompok yang terakhir ini menganggap pemilikan harta
secara individu adalah sumber kejahatan dan penindasan dalam masyarakat
sehingga mereka berusaha menghapuskannya dengan sekuat tenaga.
Para pakar ekonomi non-muslim
mengakui keunggulan sistem ekonomi Islam. Menurut mereka, Islam telah sukses
menggabungkan etika dan ekonomi, sementara sistem kapitalis dan sosialis
memisahkan keduanya.
Jack Austri, seorang Perancis, dalam
bukunya Islam dan Pengembangan Ekonomi mengatakan, "Islam adalah
gabungan antara tatanan kehidupan praktis dan sumber etika yang mulia. Antara
keduanya terdapat ikatan sangat erat yang tidak terpisahkan. Dari sini bisa dikatakan bahwa
orang-orang Islam tidak akan menerima ekonomi kapitalis. Dan ekonomi yang
kekuatannya berdasarkan wahyu dari langit itu tanpa diragukan lagi adalah
ekonomi yang berdasarkan etika."
Di samping mampu memberikan nilai
tambah pada sistem, etika tersebut juga bisa mengisi kekosongan pemikiran yang
ditakutkan suatu saat timbul akibat perkembangan teknologi.
Brooks mengkritik kebudayaan Barat
karena memberikan hasil yang menyedihkan. Ia juga merasa cemas terhadap
ekonomi dewasa ini yang dikuasai oleh nafsu kapitalisme di atas norma-norma yang hakiki.
Islam tidak mengabaikan fakta ini
dan siap mengantisipasi kebudayaan Barat, khususnya sistem ekonominya. Caranya
adalah dengan memasukkan nilai etika ke dalam ekonomi.
Menurut J. Perth, kombinasi antara
ekonomi dan etika ini bukanlah hal baru di dalam Islam. Sejak semula Islam
tidak mengenal pemisahan jasmani dengan rohani. Prinsip sekularisme yang
dilahirkan kaum Protestan dengan renaisansnya di Eropa tidak dikenal dalam
sejarah Islam. Sebab, keuniversalan syari’at Islam melarang berkembangnya
ekonomi tanpa etika.
Di dalam sejarah Islam, kita
menemukan praktek-praktek bisnis yang menggabungkan etika dan ekonomi, terutama
ketika Islam benar-benar dijadikan pedoman utama dalam kehidupan sehari-hari.
E.
Kemiliteran
Nabi Muhammad SAW, adalah panglima tertinggi tentara
muslim, Nabi Muhammad SAW, memimpin 27 dan peperangan dan invasi, meski belum
dikenal aturan kemiliteran seperti saat sekarang, maka dalam memprogram
strategi Nabi Muhammad SAW, senantiasa bermusyawarah dengan para sahabat dengan
tidak bosan-bosannya menanamkan kedisiplinan para anggota dengan sanksi yang
sangat berat bagi pelanggarnya.
F. Sistim Pendidikan
Sebagai seorang yang, dikenal dengan sebutan Niraksarawan
atau Al Ummi (buta huruf), namun dalam sejarah Arabia Nabi Muhammad SAW adalah
orang penuh perhatian terhadap pendidikan khususnya pendidikan baca tulis.
Karena kegigihannya dalam memprakarsai adanya lembaga pendidikan, Nabi Muhammad
SAW, sebagai seorang Presiden tidak segan-segan melanggar aturan hukum militer
dengan memberikan amnesti kepada tawanan yang karena ketrampilannya dalam hal
baca tulis.
Pendidikan Islam terjadi sejak Nabi Muhammad diangkat
menjadi Rasul Allah di Mekkah dan beliau sendiri sebagai gurunya. Pendidikan
masa ini merupakan proto type yang terus menerus dikembangkan oleh umat Islam
untuk kepentingan pendidikan pada zamannya. Pendidikan Islam mulai dilaksanakan
Rasulullah setelah mendapat perintah dari Allah agar beliau menyeru kepada
Allah, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur`an, Surat al-Mudatstsir, 74 ayat
1-7. Menyeru berarti mengajak, dan mengajak berarti mendidik. Langkah awal yang
Nabi tempuh adalah menyerukan keluarganya terlebih dahulu. Pertama, Nabi serukan istrinya, Khadijah, untuk beriman dan
menerima petunjuk-petunjuk Allah, yang kemudian diikuti oleh Ali bin Abi
Thalib (anak pamannya, yang diangkat menjadi anak angkatnya), dan Zaid bin
Haritsah, seorang pembantu rumah tangganya, yang kemudian dijadikan anak
angkat. Setelah itu, Nabi mulai mengajak sahabat-sahabatnya, yang dilakukannya
dengan hati-hati dan tidak sembarangan. Beliau hanya megarahkan ajakannya
kepada sahabat-sahabat yang kuat imannya dan dari kalangan Quraisy yang
berpengaruh di masyarakat, sebagai upaya untuk memperkokoh dakwah Rasulullah.
Di antara mereka adalah Abu Bakar, sahabat yang beliau kenal pribadinya dan
terbuka pikirannya. Setelah beriman dan mendukung Nabi, Abu Bakar secara
diam-diam mengajak kaum Qurays untuk memeluk agama Islam. Sahabat-sahabat lain
yang masuk Islam adalah Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa`ad bin Abi Waqqas,
Abd al-Rahman bin `Auf, Thallah bin Ubaidillah, Abu Ubaidillah bin Jarrah,
Arqam bin Abi al-Arqam, Fatimah binti Khattab bersama suaminya, Said bin Zaid,
dan beberapa orang lainnya.
Sesudah Nabi mendapat
pengikut, beliau menghimpun mereka untuk menerima penjelasan-penjelasan yang
diajarkan secara sembunyi-sembunyi di rumah Arqam di Bukit Shafa. Rumah Arqam
dipilih sebagai tempat berkumpulnya umat Islam untuk menerima pelajaran dari
Nabi, karena Arqam adalah sahabat Nabi yang setia sekaligus lokasinya yang
sangat baik, terhadang dari penglihatan kaum Qurays. Hal ini penting dilakukan
untuk memberi keamanan dan ketenangan kepada kaum Muslimin yang sedang
mengadakan kegiatan dan pertemuan guna menerima pelajaran. Menurut Syalabi,
rumah Arqam ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama. Di rumah
Arqam, Rasulullah mengajarkan pokok-pokok agama Islam dan membacakan ayat-ayat
al-Qur`an kepada para sahabat dan pengikut-pengikut Nabi. Pendidikan pertama
yang dilakukan Nabi adalah membina pribadi Muslim agar menjadi kader-kader yang
berjiwa kuat dan tangguh dari segala cobaan untuk dipersiapkan menjadi
masyarakat Islam dan muballigh serta pendidik yang baik.
Berikutnya, Rasulullah
mengarahkan dakwahnya kepada Bani Muthalib setelah turun petunjuk Allah dalam QS.
al-Baqarah, 2: 214-215. Seruan ini merupakan langkah awal untuk menyampaikan
Islam secara terang-terangan. Seruan Nabi kali ini disambut dan dibenarkan
dengan baik oleh sebagian, tetapi sebagian lain menentang dan mendustakannya,
seperti Abu Lahab (paman Nabi) dan istrinya. Dakwah Nabi ini berjalan selama
tiga tahun sampai turunlah wahyu Allah dalam QS. al-Hijr, 15:94-95 yang
menyerukan Islam secara terang-terangan kepada manusia secara umum, baik untuk
penduduk Makkah maupun luar Mekkah, baik miskin maupun kaya.
Kegagalan Rasulullah
mengajak masuk Islam suku Quraisy yang diwarnai dengan kekerasan dan perlawanan
oleh mereka, mendorong mencari dukungan dan menambah pengikut ke Thaif, tetapi
gagal. Kemudian, setiap musim haji, Rasulullah mengunjungi kemah-kemah jema'ah
untuk menyampaikan seruan Islam kepada mereka. Tidak semua jema'ah yang
dikunjungi Nabi menerima Islam, kecuali satu kelompok jema'ah berasal
dari Yatsrib dari kabilah Khazraj. Kabilah ini sangat mendambakan kedamaian
setelah lama mengalami pertentangan dengan kaum Yahudi di Yatsrib. Pada musim
haji pada tahun ke-12 kenabian, datang dua belas orang laki-laki dan seorang
perempuan penduduk Yatsrib menemui Rasulullah di Aqabah untuk menyatakan
bai'ah kepada Nabi yang dikenal dengan Bai'ah Aqabah I.
Setelah
musim haji selesai, mereka kembali ke Yatsrib. Dengan berbekal pengetahuan yang
diperoleh dan semangat Islam yang berkobar; ditambah pengaruh ikrar yang
diucapkan di hadapan Nabi, mereka kembali ke Yatsrib dan diminta oleh
Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada penduduk Yatsrib lainnya. Selain
itu, bersama mereka Rasulullah mengirim seorang pemuda, Mus'ab bin Umair, untuk
mengemban tugas mendidik dan mengajarkan ajaran Islam kepada kaum Muslimin di
Yatsrib. Usaha Mus'ab bin Umair dan mereka yang telah berikrar membawa hasil
yang tidak mengecewakan. Agama Islam memperoleh kemajuan pesat di Yatrsib
sampai banyak orang-orang Yatsrib masuk Islam kecuali orang-orang Yahudi dan
suku Aus.
Pada
musim haji tahun berikutnya, serombongan jema'ah haji Yatrsib sejumlah 73 orang
menuju Mekkah. Mereka bersepakat mengajak Nabi pindah ke Yatsrib, yang mereka
harapkan menjadi penengah bagi pertikaian antara kabilah Khazraj dengan
orang-orang Yahudi dan kabilah Aus. Di samping itu, mereka juga bertujuan menyatakan
bai'ah kepada Rasulullah di Aqabah yang kemudian dikenal dengan Bai'ah Aqabah
II. Turut pula dalam rombongan ini Mus'ab bin Umair untuk melaporkan hasil
usaha dan perjuangannya dalam mendidik penganut-penganut Islam yang baru.
Karena di Mekkah selalu
mendapat tantangan dari kaum Qurays yang selalu mengganggu dakwah Islam,
Rasulullah akhirnya hijrah ke Madinah. Setelah sampai di Madinah, usaha pertama
yang dilakukan oleh Nabi adalah mendirikan mesjid sebagai benteng pertahanan
rohani, tempat pertemuan, dan lembaga pendidikan. Di mesjid ini, Nabi melaksanakan salat berjama'ah, membacakan al-Qur'an
dan memberikan pengajaran Islam. Nabi juga mengadakan musyawarah yang berkenaan
dengan kemasyarakatan dan politik Islam di mesjid.
Tujuan dan materi pendidikan Islam di Yatsrib atau
Madinah semakin luas dibandingkan pendidikan Islam di Mekkah. Seiring dengan
berkembangnya masyarakat Islam dan semakin luas petunjuk-petunjuk Allah,
semakin luas pula tujuan dan materi pendidikan yang dilaksanakan oleh
Rasulullah. Pendidikan Islam tidak hanya diarahkan untuk membentuk pribadi
kader Islam, tetapi juga membina aspek-aspek kemanusian sebagai hamba Allah
untuk mengelola dan menjaga kesejahteraan alam semesta. Untuk itu, umat Islam
dibekali dengan pendidikan tauhid, akhlak, amal ibadah, kehidupan
sosial-kemasyarakatan dan keagamaan, ekonomi, kesehatan, bahkan kehidupan
bernegara.
Pada masa awal lahirnya Islam, umat Islam belum memiliki
budaya membaca dan menulis. Bagi masyarakat Arab, budaya membaca dan menulis
hanya berkembang di kalangan kaum Yahudi dan Nasrani. Orang-orang Arab selain
Yahudi dan Nasrani yang bisa membaca dan menulis jumlahnya sangat sedikit. Pada
masa Nabi menyiarkan agama di Mekkah, di kalangan kaum Qurays ada 17 orang yang
pandai baca-tulis.
Setelah perang Badar, ada beberapa tawanan yang pandai
membaca dan menulis. Para tawanan ini dapat menebus dirinya dengan mengajarkan
baca-tulis kepada 10 anak Muslim untuk seorang tawanan. Menurut Syalabi,
lembaga untuk belajar membaca dan menulis ini disebut kuttab. Ia
merupakan lembaga pendidikan yang dibentuk setelah masjid.
Hingga pasca perang Badr aktifitas baca tulis dan
kegiatan pendidikan lainnya berkembang di Madinah, yang pada akhirnya Madinah
Al Munawwarah, tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, akan tetapi juga sebagai
pusat pendidikan Islam. Tercatat sembilan lembaga pendidikan yang melakukan
aktifitasnya di masjid.
Di masjid tersebut nabi
menyampaikan kuliahnya serta berdiskusi perihal ilmu pengetahuan dan teknologi,
bahkan Nabi Muhammad SAW, juga memerintahkan para Tuan untuk mendidik budaknya
dan memerdekakannya.
Ketika Islam telah
tersebar diseluruh semenanjung Arabia, Nabi Muhammad SAW, mengatur pengiriman
para Mu’allim atau guru-guru agama untuk ditugaskan mengajarkan Al Qur-an
kepada suku-suku terpencil di seluruh penjuru Arab. dan pendidikan Islam berpusat di Madinah. Setelah Rasulullah wafat,
kekuasaan pemerintah Islam secara bergantian dipedang oleh Abu Bakar, Umar ibn
Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib. Pada masa empat khalifah ini
wilayah Islam telah meluas di luar Jazirah Arab, yang meliputi Mesir, Persia,
Syria, dan Irak. Para khalifah ini di samping memikirkan perluasan wilayah
Islam, mereka juga memberikan perhatian pada pendidikan demi syiarnya agama
dan kokohnya negara Islam.
Masa awal kekhalifahan Abu Bakar, telah diguncang pemberontakan oleh
orang-orang murtad, orang yang mengaku sebagai nabi, dan orang-orang yang tidak
mau membayar zakat. Pada awal kekuasaannya, Abu Bakar memusatkan konsentrasinya
untuk memerangi pemberontakan yang dapat mengacaukan keamanan dan dapat
mempengaruhi orang-orang Islam yang masih lemah imannya untuk menyimpang dari
Islam. Maka, dikirimlah pasukan untuk menumpas para pemberontak di Yamamah.
Dalam operasi penumpasan tersebut, sebanyak 73 orang dari Islam gugur, yang
terdiri dari sahabat dekat Rasul dan para hafidh al-Qur'an. Kenyataan
ini telah mengurangi jumlah sahabat yang hapal al-Qur'an dan jika tidak
diperhatikan, sahabat-sahabat yang hapal al-Qur'an akan habis dan akhirnya akan
melahirkan perselisihan di kalangan umat Islam mengenai al-Qur'an. Oleh karena
itu, sahabat Umar bin Khaththab menyarankan kepada Khalifah Abu Bakar untuk
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur'an. Saran tersebut kemudian direalisasikan Abu
Bakar dengan mengutus Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan semua tulisan
ayat-ayat al-Qur'an. Dengan demikian, Khalifah Abu Bakar berjasa dalam menyelamatkan keaslian materi dasar pendidikan
Islam.
Pemberontakan orang-orang murtad, nabi-nabi palsu, dan orang-orang yang
enggan membayar zakat, memberikan pengalaman bagi umat Islam untuk memperteguh
ajaran-ajaran Islam kepada kaum Muslimin sehingga dapat dihindari kejadian serupa.
Pengalaman tersebut memperteguh pendidikan Islam untuk memperkokoh nilai-nilai
Islam di kalangan kaum Muslimin. Akan tetapi, pelaksanaan pendidikan Islam di
masa Khalifah Abu Bakar masih seperti di masa Nabi, baik materi maupun lembaga
pendidikannya.
Selain mengirimkan
tentara untuk menumpas pemberontak, Abu Bakar juga memusatkan perhatiannya
untuk mengirimkan pasukan dalam rangka memperluas ekspansi wilayah Islam ke
Syiria untuk melaksanakan niat Rasulullah yang telah dipersiapkan sesaat
sebelum Rasulullah wafat. Usaha umat Islam berhasil menaklukkan Syria. Ekspansi
wilayah Islam, membuat umat Islam kurang memberikan perhatian terhadap
pendidikan Islam.
Pada masa kekhalifahan
Umar bin Kaththab, kondisi politik dalam keadaan stabil. Melanjutkan
kebijaksanaan Abu Bakar, Umar bin Khaththab mengirim pasukan untuk memperluas
wilayah Islam. Ekspansi Islam di masa Umar bin Khaththab mencapai hasil yang
gemilang, yang meliputi Semenanjung Arabia, Palestina, Syria, Irak, Persia, dan
Mesir.
Dengan meluasnya wilayah
Islam sampai ke luar Jazirah Arab, penguasa memikirkan pendidikan Islam di
daerah-daerah di luar Jazirah Arab karena bangsa-bangsa tersebut memiliki adat
dan kebudayaan yang berbeda dengan Islam. Untuk itu, Umar memerintahkan
panglima-panglima apabila mereka berhasil menguasai suatu kota, hendaknya
mereka mendirikan mesjid sebagai tempat ibadah dan pendidikan. Berkaitan dengan
usaha pendidikan itu, Khalifah Umar mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk
tiap-tiap daerah yang ditaklukkan, yang bertugas mengajarkan isi al-Qur'an dan
ajaran Islam kepada penduduk yang baru masuk Islam.
Pada masa Khalifah Umar,
sahabat-sahabat besar yang lebih dekat kepada Rasulullah dan memiliki pengaruh
besar, dilarang keluar Madinah kecuali atas izin Khalifah dan hanya dalam waktu
yang terbatas. Dengan demikian, penyebaran ilmu para sahabat besar terpusatkan
di Madinah sehingga kota tersebut pada waktu itu menjadi pusat keilmuan Islam.
Meluasnya kekuasaan Islam, mendorong kegiatan pendidikan Islam bertambah besar
karena mereka yang baru menganut Islam ingin menimba ilmu keagamaan dari
sahabat-sahabat yang menerima langsung dari Nabi, khususnya menyangkut hadis
Rasul sebagai salah satu sumber agama yang belum terbukukan dan hanya ada dalam
ingatan para sahabat dan sebagai alat bantu untuk menafsirkan al-Qur'an. Tidak
terelakkan lagi sejak masa ini, telah terjadi mobilitas penuntut ilmu dari
daerah-daerah jauh menuju Madinah sebagai pusat ilmu agama Islam. Gairah
menuntut ilmu agama Islam tersebut di belakang hari mendorong lahirnya sejumlah
pembidangan disiplin ilmu keagamaan, seperti tafsir, hadis, fikih, dan
sebagainya.
Tuntutan untuk belajar
bahasa Arab juga sudah nampak dalam pendidikan Islam pada masa Khalifah Umar.
Dikuasainya wilayah-wilayah baru oleh Islam, menyebabkan munculnya keinginan
untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar di wilayah-wilayah
tersebut. Orang-orang yang baru masuk Islam dari daerah-daerah yang
ditaklukkan, harus belajar bahasa Arab jika mereka ingin belajar dan mendalami
pengetahuan Islam. Oleh karena itu, masa ini sudah terdapat pengajaran
bahasa Arab.
Pada masa Khalifah
Usman, pelaksanaan pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya.
Pendidikan di masa ini hanya melanjutkan apa yang telah ada. Sedikit perubahan
telah mewarnai pelaksanaan pendidikan Islam. Para sahabat yang berpengaruh dan
dekat dengan Rasulullah yang tidak diperbolehkan meninggalkan Madinah di masa Khalifah
Umar, diberikan kelonggaran untuk keluar dan menetap di daerah-daerah yang
mereka sukai. Di situ mereka mengajarkan ilmu-ilmu yang dimiliki dari
Rasul secara langsung. Kebijakan ini besar sekali artinya bagi pelaksanaan
pendidikan Islam di daerah-daerah.
Sebelumnya, umat Islam di luar Madinah dan Mekkah, khususnya dari luar
Semenanjung Arab, harus menempuh perjalanan jauh yang melelahkan dan lama untuk
menuntut ilmu agama Islam di Madinah. Tetapi, tersebarnya sahabat-sahabat besar
ke berbagai daerah meringankan umat Islam untuk belajar Islam kepada sahabat-sahabat
yang tahu banyak ilmu Islam di daerah mereka sendiri atau di daerah terdekat.
Usaha konkrit di bidang pendidikan Islam belum
dikembangkan oleh Khalifah Usman. Khalifah merasa sudah cukup dengan pendidikan
yang sudah berjalan. Namun begitu, satu usaha cemerlang telah terjadi di masa
ini, yang berpengaruh luar biasa bagi pendidikan Islam. Melanjutkan usulan Umar
kepada Khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan tulisan ayat-ayat al-Qur'an,
Khalifah Usman memerintahkan agar mushaf yang dikumpulkan di masa Abu Bakar,
disalin oleh Zaid bin Tsabit bersama Abdullah bin Zubair, Zaid bin `Ash, dan
Abdurrahman bin Harits. Penyalinan ini dilatarbelakangi oleh perselisihan dalam
bacaan al-Qur'an. Menyaksikan perselisihan itu, Hudzaifah bin Yaman melapor
kepada Khalifah Usman dan meminta Khalifah untuk menyatukan bacaan al-Qur'an.
Akhirnya, Khalifah memerintahkan penyalinan tersebut, sekaligus menyatukan
bacaan al-Qur'an dengan pedoman, apabilah terjadi perselisian bacaan antara
Zaid bin Tsabit dengan tiga anggota tim penyusun, hendaknya ditulis sesuai
dengan lisan Quraisy karena al-Qur'an itu diturunkan dengan lisan Quraisy. Zaid
bin Tsabit bukan orang Quraisy, sedangkan ketiga orang anggotanya adalah orang
Quraisy."
Setelah selesai menyalin mushaf itu, Usman
memerintahkan para penulis al-Qur'an untuk menyalin kembali beberapa mushaf
untuk dikirimkan ke Mekkah, Kufah, Basrah, dan Syam. Khalifah
Usman sendiri memegang satu mushaf yang disebut mushaf al-Imam. Mushaf Abu
Bakar dikembalikan lagi ke tempat penyimpanan semula, yaitu di rumah Hafshah.
Khalifah Usman meminta agar umat Islam memegang teguh apa yang tertulis di
mushaf yang dikirimkan kepada mereka, sedangkan mushaf-mushaf yang sudah ada di
tangan umat Islam segera dikumpulkan dan dibakar untuk menghindari perselisihan
bacaan al-Qur'an serta menjaga keasliannya. Fungsi al-Qur'an sangat fundamental
bagi sumber agama dan ilmu-ilmu Islam. Oleh karena itu, menjaga keaslian al-Qur'an
dengan menyalin dan membukukannya merupakan suatu usaha demi perkembangan
ilmu-ilmu Islam di masa mendatang.
Seperti khalifah-khalifah sebelumnya, Khalifah Usman memberikan
perhatian besar pada pengiriman tentara ke beberapa wilayah yang belum ditaklukkan.
Besar juga hasil yang diperoleh dari pengiriman ekspedisi di masa ini bagi
perluasan kekuasaan Islam, yang mencapai Tripoli, Ciprus, dan beberapa wilayah
lain. Tetapi gelombang ekspedisi terhenti sampai di sini karena perslisihan
pemerintahan dan kekacauan yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Usman.
Mengganti Usman, naiklah Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Sejak awal
kekuasaannya, kekhalifahan Ali selalu diselimuti pemberontakan hingga berakhir
tragis dengan terbunuhnya Khalifah. Pada awal masa pemerintahannya, sudah
digoncang peperangan dengan Aisyah (istri Nabi) beserta Thalhah dan Abdullah
bin Zubair yang berambisi menduduki jabatan khalifah. Peperangan di antara mereka disebut dengan perang Jamal
(unta) karena Aisyah menggunakan kendaraan unta.
Setelah berhasil mengatasi pemberontakan Aisyah, muncul pemberontakan
lain sehingga masa kekuasaan Khalifah Ali tidak pernah mendapatkan ketenangan
dan kedamaian. Mu'awiyah sebagai Gubernur di Damaskus memberontak untuk
menggulingkan kekuasaan Ali. Ali terpaksa harus menghadapi peperangan lagi
melawan Mu'awiyah dan pendukungnya yang terjadi di Shiffin. Tentara Ali sudah
hampir pasti dapat mengalahkan tentara Mu'awiyah, ketika akhirnya Mu'awiyah
mengambil siasat untuk mengadakan tahkim, penyelesaian dengan adil dan damai. Semula Ali menolak, tetapi atas
desakan sebagian tentaranya, ia menerima juga. Namun, tahkim malah menimbulkan kekacauan
karena Mu'awiyah bersikap curang. Dengan tahkim
Mu'awiyah berhasil mengalahkan Ali, dan akhirnya
mendirikan pemerintahan tandingan di Damaskus.
Sementara itu, sebagian tentara Ali menentang
keputusan dengan cara tahkim. Karena tidak setuju, mereka
meninggalkan Ali. Mereka membentuk kelompok sendiri sebagai kelompok Khawarij.
Golongan ini selalu merongrong kewibawaan kekuasaan Ali sampai akhirnya beliau
mati terbunuh seperti yang dialami Usman.
Kekacauan dan pemberontakan di masa Khalifah Ali,
membuat Syalabi seperti dikutip Soekarno dan Ahmad Supardi, berkomentar: "Sebenarnya tidak pernah ada barang
satu hari pun, keadaan yang stabil selama pemerintahan Ali. Tak ubahnya dia
sebagai seorang yang menambal kain usang, jangankan menjadi baik malah
bertambah sobek. Demikianlah Nasib Ali." Lebih lanjut dijelaskan oleh
Soekarno dan Ahmad Supardi, bahwa saat kericuhan politik di masa Ali ini hampir
dapat dipastikan bahwa kegiatan pendidikan Islam mendapat hambatan dan gangguan
walaupun tidak terhenti sama sekali. Khalifah Ali pada saat itu tidak sempat
lagi memikirkan masalah pendidikan, karena seluruh perhatiannya ditumpahkan
pada masalah keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada zaman empat
khalifah belum berkembang seperti masa-masa sesudahnya. Pelaksanaannya tidak
jauh berbeda dengan masa Nabi, yang menekankan pada pengajaran baca-tulis dan
ajaran-ajaran Islam yang
bersumber pada al-Qur'an dan hadis Nabi. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi
umat Islam terhadap perluasan wilayah Islam dan terjadinya pergolakan politik, khususnya di masa Ali ibn
Abi Talib.
Setelah
Dinasti Umayyah berkuasa, pelaksanaan pendidikan Islam semakin meningkat
daripada masa sebelumnya. Kalau masa sebelumnya pendidikan Islam dilaksanakan
di kuttab, di rumah-rumah,
dan mesjid, pada masa ini pendidikan juga dilaksanakan di istana untuk mendidik
anak-anak keluarga kerajaan. Selain itu, penguasa-penguasa dari Dinasti
Umayyah sering menyelenggarakan majelis-majelis keilmuan. Syalabi menjelaskan
bahwa Mu'awiyah, Khalifah pertama dari Dinasti Umayyah, sering menyelenggarakan
majelis dengan mengundang ulama, sastrawan, dan ahli sejarah untuk menerangkan
kepada Mu'awiyah sejarah bangsa Arab melalui syair-syair Arab, cerita-cerita
Persia, dan sistem pemerintahan dan administrasi Kerajaan Persia. Usaha-usaha
ini mendorong berkembangnya syair-syair Arab dan munculnya bukuAkhbaral-Madin (buku tentang
raja-raja dan sejarah orang-orang Kuno). (Fayyaz Mahmud, , 1960,: 94)
Pada
masa ini juga mulai ada perhatian terhadap pembidangan ilmu tafsir, hadis,
fikih, dan ilmu kalam. Di bidang hadis muncul seorang ahli hadis, seperti Hasan
al-Basri. Di bidang fikih muncul Ibn Sihab al-Zuhri. Di bidang ilmu kalam dapat
ditelusuri cikal bakal gerakan teologi Islam, yaitu Wasil ibn `Ata' yang
dianggap sebagai pendiri aliran Mu'tazilah. Aliran ini muncul sebagai reaksi
terhadap aliran Khawarij dan Murji`ah yang telah berkembang di masa itu. Di
antara doktrin utama aliran Mu`tazilah adalah paham "kebebasan
manusia" atau free will, yang pada zaman ini dikembangkan oleh
golongan Qadariyyah yang merupakan lawan golongan Jabbariyyah."
Selain
itu, berkembang juga bahasa Arab. Kecenderungan untuk memahami al-Qur'an dan
pemerintahan, kebutuhan orang-orang yang ditaklukkan oleh Islam akan bahasa
Arab, dan banyaknya orang-orang non-Arab yang menimbulkan dialek-dialek
yang merusak bahasa Arab, mendorong umat Islam untuk mengembangkan bahasa Arab.
Faktor-faktor ini menyebabkan besarnya tuntutan mempelajari bahasa Arab
sehingga lahirlah ilmu bahasa Arab. Tokoh-tokohnya antara lain Abu al-Aswad
ad-Du'ali dan Sibawaih.
Pengaruh Hellenisme juga sudah ada di masa ini. Usaha-usaha penerjemahan buku-buku Yunani sudah
dilakukan. Misalnya, Masarjawaih, seorang ahli fisika beragama Yahudi, telah
menerjemahkan buku-buku kedokteran, astronomi dan kimia ke dalam bahasa Arab.
Akan tetapi, usaha penerjemahan ini tidak banyak dilakukan. Usaha ini kemudian
dilanjutkan oleh Dinasti Abbasiyyah yang dilakukan secara besar-besaran,
sebagaimana yang akan dijelaskan pada pembahasan khusus. Demikian pula
perhatian terhadap pendidikan Islam juga lebih besar dibanding dengan masa
dinasti Umayyah sehingga berkembanglah karya-karya pemikiran di berbagai
bidang.
Walaupun perhatian terhadap pendidikan dan
perkembangan pemikiran tidak sebesar pada masa Dinasti Abbasiyyah, usaha-usaha
umat Islam pada masa Dinasti Umayyah sangat besar dan penting sekali
pengaruhnya bagi perkembangan pendidikan dan pemikiran pada masa sesudahnya. Walaupun kecil, Dinasti Umayyah telah meletakkan
dasar-dasar bagi kemajuan pendidikan dan pemikiran di masa Dinasti Abbasiyyah.
Karena usahanya inilah, Philip K. Hitti mengatakan bahwa masa Dinasti Umayyah
adalah "inkubasi" atau masa tunas bagi perkembangan intelektual
Islam. Berbeda dengan Philip K. Hitti, Ahmad Amin memperkirakan bahwa
seandainya Dinasti Umayyah dapat melanjutkan kekuasaannya yang hilang direbut
oleh Dinasti Abbasiyyah, niscaya Dinasti Umayyah akan mampu mencapai kejayaan
di bidang pemikiran, seperti yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyyah karena pada
masa kekuasaan Dinasti Umayyah telah muncul gerakan ilmiah dan aliran-aliran keagamaan. Dengan
adanya gerakan ilmiah ini, Dinasti Umayyah berarti telah mengembangkan
pendidikan lebih besar daripada masa sebelumnya. Usaha ini berhasil
dilaksanakan oleh Dinasti Umayyah karena didukung oleh mantapnya stabilitas
sosial, politik, dan ekonomi. Di samping itu, ada faktor lain yang tidak dapat
dianggap remeh, yaitu sikap umat Islam yang menghargai pengetahuan.
No comments:
Post a Comment