BAB V
PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DALAM
KONFIGURASI KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI KELAS BERBASIS AL QUR’AN
Sebagai fitrah
manusia yang ditakdirkan dengan bekal akal dan nafsu sedemikian rupa sehingga
dia memiliki kekhasan pembawaan termini yang membuat kehidupannya menjadi dinamis
dan evolusioner. Salah satu kekhasan ini adalah kemampuannya menghimpun dan
melestarikan pengalaman. Apa pun pengetahuan dan informasi yang didapat manusia
melalui pcngalamannya, disimpan dalam alam pikirannya, dan digunakan sebagai
basis bagi pengalamannya lebih lanjut yang kemudian diaplikasikan secara turun
temurun. Kekhasan lain manusia adalah mampu belajar melalui lisan dan tulisan
(baca tulis). Dengan lisan dan tulisan atau baca tulis tersebut manusia dapat
menyampaikan pengalamannya dari satu generasi kepada generasi selanjutnya,
dengan demikian pengalaman manusia terus terakumulasi dan mempunyai
perkembangan yang luar biasa dan semakin canggih. Itulah sebabnya Al-Qur'an
memandang sangat penting lisan dan tulisan (penguasaan membaca dan menulis)
sebagai mediasi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk lebih menekankan urgensi penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pembelajaran di kelas, guru hendaknya
melandaskan sebagaimana al-quran memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merupakan
ujian: Tanyakanlah hai Muhammad! Adakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui? (QS
39:9). Ayat ini menekankan kepada masyarakat betapa besar nilai ilmu
pengetahuan dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat. Demikian juga ayat, “Inilah kamu (wahai Ahl Al-Kitab), kamu ini
membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka mengapakah membantah pula
dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui?” (QS 3:66).
Ayat ini merupakan kritik pedas terhadap mereka yang
berbicara atau membantah suatu persoalan tanpa adanya data objektif lagi ilmiah
yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang
kemudian membentuk iklim baru dalam masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat
mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Iklim baru inilah yang kemudian
menghasilkan tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun,
Jabir Ibnu Hayyan, dan sebagainya. Ialah yang membantu Muhammad bin Ahmad
menemukan angka nol pada tahun 976, yang akhirnya mendorong Muhammad bin Musa Al-Khawarizmiy
menemukan perhitungan Aljabar. Tanpa penemuan penemuan tersebut, Ilmu Pasti
akan tetap merangkak dan meraba-raba dalam alam gelap gulita.
Mewujudkan iklim ilmu pengetahuan
jauh lebih penting daripada menemukan teori ilmiah, karena tanpa wujudnya iklim
ilmu pengetahuan, para ahli yang menemukan teori itu akan mengalami nasib
seperti Galileo, yang menjadi korban hasil penemuannya.
Al-quran sebagai kitab yang memberikan petunjuk kepada
manusia untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat dalam hubungannya
dengan ilmu pengetahuan adalah mendorong manusia seluruhnya untuk mempergunakan
akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuannya sebisa mungkin. Kemudian
juga menjadikan observasi atas alam semesta sebagai alat untuk percaya kepada yang
setiap penemuan baru atau teori ilmiah, sehingga mereka dapat mencarikan
dalilnya dalam Al-quran untuk dibenarkan atau dibantahnya. Bukan saja karena
tidak sejalan dengan tujuan-tujuan pokok Al-quran tetapi juga tidak sejalan
dengan ciri-ciri khas ilmu pengetahuan. Untuk menjelaskan hal ini. (DR. M.
Quraisy Syihab, 1994: 44)
Oleh karenanya Guru dalam kegiatan belajar mengajar di
kelas bukanlah merupakan sosok yang sempurna dalam penguasaan ilmu yang sedang
dipraktekkannya. Untuk melakukan transmisi ilmu pengetahuan kepada siswa dalam
kegiatan belajar mengajar di kelas berbasis al qur’an, guru harus senantiasa
menjelaskan materi yang dipresentasikan dengan landasan-landasan ayat yang ada
dalam al Qur’an, boleh saja dalam metodologi guru menggunakan penemuan barat,
namun dalam memperkuat argumentasinya selain metodologi barat, guru juga harus
menggunakan parameter penemuan-penemuan teknologi barat dengan ayat al Qur’an.
A.
Etika dan Penerapan
IPTEK
Ilmu pengetahuan adalah
batas yang tak ada akhirnya (the endless
frontier) dan merupakan sistem ilmu yang bersifat aktif (active knowledge system). Ketidak
pastian (uncertainty) merupakan
karakternya (its hallmark).
Pernilaian bervariasi atas dasar informasi atau data yang sering tidak lengkap,
sehingga apa yang dinamakan Asas Pencegahan atau "Precaution Principle" harus selalu dijadikan panduan.
Asas ini pada dasarnya menegaskan bahwa:"
When there is reasonable suspicion of serious irreversible harm,, lack of
scientific certainty or consensus should not be used as justification for not
taking preventative measures".
Dalam hal ini sangat
tepat apabila dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional ditegaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak peradaban bangsa. Peradaban (civilization) harus diukur dengan parameter pembangunan manusia (human development) dalam arti luas dan
tidak dapat semata-mata didasarkan atas tinggi rendahnya pendapatan per kapita.
Dalam kerangka ini terjadi jalin-menjalin (interwine)
antara pelbagai kreasi dari suatu lingkungan dimana semua sumberdaya (resources), rakyat dan negara dapat
mengembangkan kehidupan yang potensial dan kreatif, sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan manusia baik pribadi maupun kolektif. Pertumbuhan ekonomi hanya
akan merupakan alat atau sarana, dengan sarana tersebut dimungkinkan perluasan
pilihan-pilihan di segala aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan, keamanan dan sebagainya).
Untuk itu sebenarnya yang akan
memegang peranan penting adalah kemampuan, baik perorangan maupun kolektif yang
bersifat nasional (human and national
capabilities), sehingga mampu menciptakan masyarakat yang demokratis,
menghormati HAM, menciptakan kehidupan yang sehat, menghargai ilmu pengetahuan
dan teknologi melalui kebebasan dan kultur akademik serta etika keilmuan,
memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di Era Globalisasi, Iman dan
Taqwa kepada Allah Swt.
Peradaban yang penuh
dengan integritas, mengandung makna luas dan berintikan "human and national capabilities" tersebut akan menjadi
modal utama dalam menghadapi globalisasi. Globalisasi dan regionalisasi yang
dipacu melalui perdagangan dan "foreign
direct investment" dengan cepat telah dapat menciptakan kesejahteraan
berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang dan negara yang
belum berkembang. Namun terbukti pula bahwa negara-negara sedang dan belum
berkembang yang tidak berhasil menyesuaikan diri karena tidak memiliki
dasar-dasar peradaban yang kuat, justru akan jatuh ke celah (cracks) atau jurang (chasm) dengan kesulitan yang
multidimensional.
B.
Guru Adalah Murobbi
dalam Mensinergikan Kecerdasan.
Guru dalam kegiatan
belajar mengajar berbasis al Qur’an lebih cenderung disebut Murobbi. Karena guru lebih cenderung
diartikan seorang yang hanya mentransmisikan suatu ilmu pengetahuan. Murobbi adalah orang yang melaksanakan
dan mengawal proses suatu kegiatan pendidikan (tarbiyah), dengan fokus kerjanya pada pembentukam pribadi muslim
yang solih dan muslih. Tidak seperti seorang guru pada umumnya yang dikejar target
kurikulum dan capaian suatu prestasi akademik. Namun guru sebagai Murobbi adalah guru yang senantiasa
memperhatikan aspek pemeliharaan [ar-ria’yah], pengembangan [at-tanmiah]
dan pengarahan [at-taujih] serta pemberdayaan [at-tauzhif].
“Sebagaimana Kami telah utus kepada kamu seorang rasul
(Muhammad) membacakan kepadamu ayat-ayat Kami, membersihkan jiwa-jiwa kamu,
mengajarkan kepada kamu al-kitab dan al-hikmah dan mengajarkan kepada kamu
apa-apa yang kamu belum mengetahuinya”. (Al-Baqoroh: 151).
Di dalam ayat ini ada 3 poin penting yaitu;
Rasul diutus kepada ummatnya sebagai murobbi (kama arsalna fikum Rasulan minkum). Rasul dalam melaksanakan fungsi tarbiyah dibekali manhaj dan penguasaannya yang benar dan utuh (yatlu ‘alaikum ayatina).
Rasul diutus kepada ummatnya sebagai murobbi (kama arsalna fikum Rasulan minkum). Rasul dalam melaksanakan fungsi tarbiyah dibekali manhaj dan penguasaannya yang benar dan utuh (yatlu ‘alaikum ayatina).
Tugas utama guru (Murobbi) sebagaimana dikehendaki dalam
surat Al-Baqoroh ayat 151 diatas, dalam Proses kegiatan belajar mengajar (tarbiyah) sebagaimana yang dilakukan
Rasulullah Saw, terhadap para sahabatnya perlu memperhatikan 3 aspek penting
yaitu:
1.
Mensucikan jiwa.
Mensucikan jiwa (wayuzakkikum)
menjadi perhatian pertama dalam konfigurasi kegiatan belajar mengajar
diletakkan pada Persiapan Kegiatan belajar mengajar, hal ini sama sekali tidak
bertentangan dengan ayat yang pertama kali turu di goa hiro’ yakni: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan”.
Aplikasi penyucian jiwa sudah kita
bahas pada bab II, yang mana sebelum kita melakukan suatu transmisi ilmu
pengetahuan, maka dalam kegiatan belajar mengajar berbasis al Qur’an kita
mendahulukan penyucian jiwa terhadap siswa didik kita dengan berwudlu, membaca ayat-ayat
al Qur’an dengan tartil, do’a-do’a, nazam, puji-pujian, serta nasyid yang
mengandung pesan mendidik yang mengarah pada sugesti emosional siswa. Penyucian
jiwa selain bertujuan untuk mengkondisikan siswa kedalam mental dan fisiologis
juga agar terbentuknya ruhiyah ma’nawiah (mentalitas spiritual), yang
sekarang dikenal dengan pengembangan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient).
Dari aspek penyucian jiwa inilah
secara bersamaan dan simultan kita sudah menerapkan Pendidikan Spiritual atau
Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient),
dan sekaligus Kecerdasan Emosional (Emotional
Quotient). menyucikan jiwa dengan membaca al Qur’an pada kegiatan sebelum
presentasi materi.
"Dan apabila
dibacakan Alquran, simaklah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar
kamu mendapat rahmat" (Q.S. 7: 204). "Dan Kami telah menurunkan dari
Alquran, suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain
kerugian" (Q.S. 17: 82).
"Ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada
Allah-lah hati menjadi tentram" (Q.S. 13: 28).
Dari aspek penyucian jiwa ini maka
menjadi kritik yang mendasar terhadap perkembangan pendidikan yang ada di
Indonesia yang lebih mendahulukan Kecerdasan Intelektual (Intelligence Quotient) daripada Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient), dan Kecerdasan
Emosional (Emotional Quotient).
2.
Mengajarkan ilmu
Mengajarkan ilmu (wayu’allimukumul
kitaba walhikmata) agar terbentuknya fikriah tsaqofiah
(wawasan intelektual). suatu upaya untuk meningkatkan kecerdasan siswa (Intelligence Quotient). Peningkatan
kecerdasan intelektual siswa melalui kegiatan belajar mengajar akan mengalami
perkembangan yang amat pesat jika sebelumnya siswa sudah dipancing sugesti
spiritualnya melalui IQ dan kestabilan emosinya melalui EQ.
3.
Mengajarkan cara
beramal.
Mengajarkan cara beramal (wayu’allimukum
malam takunu ta’lamun) agar terbentuknya amaliah harokiyah (amal dan harokah). Kegiatan nyata dari aplikasi pendidikan yang
dilakukan di kelas atau disekolah, dari sini siswa akan mempunyai Kecerdasan
dalam mengarungi kehidupan nyata yang sekarang mulai dedengungkan dengan wacana
Kecerdasan Potensial (PQ) yakni kecerdasan bertahan hidup.
Jika kita perhatikan ayat di atas, tazkiatun
nafs (pembersihan jiwa), menjadi skala prioritas dalam proses tarbiyah
sebelum memberikan wawasan intelektualitas dan berbagai aktivitas kegiatan
belajar mengajar yang mengarah kepada amal dan harokah (aplikasi nyata) yang
berupa potensi, karena perubahan dan perbaikan manusia harus dimulai dari
perubahan dan perbaikan jiwa sebagaimana firman Allah ; "sesungguhnya
Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu merubah keadaan
dirinya”. (Ar-Ra’d: 11,) walaupun begitu murobbi tidak boleh mengabaikan
sisi-sisi yang lainnya yaitu sisi intelektualitas dan aktivitas secara seimbang
dan berkesinambungan.
C.
Fungsi Guru Dalam
Kegiatan Belajar Mengajar Berbasis Al Qur’an
Dalam Kegiatan Belajar
Mengajar Berbasis Al Qur’an guru sebagai sang Murobbi dalam melaksanakan proses
(tarbiyah) atas mutarobbi (para siswanya) berfungsi sebagai:
1.
Orang Tua Dalam Hubungan
Emosional.
Walid (orang tua) dalam hubungan
emosional disini dimaksudkan untuk mengikat hubungan emosional antara guru dan
siswa, ikatan batin dalam hubungan sosial guru hendaknya melakukan dua hal
penting, yaitu (1) memahami siswanya dari segala aspek dan latar belakang, dan
(2) guru mempunyai empati yang tinggi.
Guru sebaiknya berupaya keras untuk
menyentuh hal-hal paling mendasar dari diri pribadi siwa yang mendalam (inner self). Dan oleh sebab itu pribadi
guru menjadi cermin dalam keberhasilan melaksanakan fungsi sebagai orang tua
dalam hubungan emosional.
Dalam hubungan emosional, guru
sebagai orang tua harus menguasai hal-hal sebagai berikut: Pertama, guru harus menguasai ilmu Psikologi, seperti karakter
manusia sesuai dengai usianya; anak-anak, remaja, dan orang dewasa, tentang
motivasi naluri dan potensi manusia serta membaca tulisan-tulisan dan
kajian-kajian tentang kelompok masyarakat yang dibutuhkan dalam proses
tarbiyah. Ini tidak berarti seorang guru harus psikolog atau ahli di bidang
ilmu pendidikan, akan tetapi yang diperlukan adalah dasar-dasar umum ilmu jiwa
dan memiliki kemampuan memahami hasil kajian dan penelitian di bidang ini.
Kedua, Mengetahui kesiapan, kemampuan dan
potensi siswa, dalam hal ini Rasulullah Saw, adalah guru yang sangat tahu
tentang kondisi, potensi, kesiapan dan kemampuan siswa, sebagai contoh ketika
Rasulullah Saw, memberikan sarannya kepada Abu Dzar al-Gifari di saat ia minta
jabatan kepada Rasul dalam sabdanya ’Wahai
Abu Dzar saya lihat kamu dalam hal ini lemah, dan saya mencintai kamu seperti
saya mencintai diri saya sendiri, kamu tidak layak untuk memimpin sebanyak dua
orang sekalipun dan tidak mampu mengelola harta milik anak yatim”.(H.R
Muslim).
Ketiga, Mengetahui lingkungan di mana
mutarobbi (siswa) berada/tinggal, karena lingkungan mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kepribadaian siswa, pengetahuan tentang lingkungan siswa sangat
penting bagi guru sebagai bahan dalam proses tarbiyah.
Kemampuan membangun hubungan
emosional (al-qudroh ‘ala binaal-‘laqoh al-insaniah). Hubungan antara
guru dan siswa harus dilandasi kasih sayang dan cinta karena Allah, maka
murobbi yang tidak menanamkan kasih sayang dan kecintaan ke dalam jiwa siswa,
bisa dipastikan bahwa semua pelajaran dan pesan-pesannya yang disampaikan
kepadanya akan berakhir dengan berakhirnya kata-kata guru dan tidak akan masuk
kedalam hati, apa lagi untuk menjadi ilmu yang mengkristal di dalam jiwa. Allah
SWT. telah mengingatkan:”Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka
mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Ali Imron: 159).
2.
Bapak
Spiritual Dalam Tarbiyah Ruhiyah
Dalam
tarbiyah ruhiyah guru adalah imam (Bapak Spiritual) yang mendahului praktek
keagamaan sebelum menganjurkan siswanya untuk melakukan. Guru harus lebih
tinggi kualitasnya dari siswa; dalam proses pembelajaran (tarbiyah) terjadi
timbal balik antara guru dan siswa, terjadi proses memberi dan mengambil,
menyampaikan dan menerima, oleh karenanya guru harus lebih tinggi dari siswa,
tidak berarti guru harus lebih tua dari siswa sekalipun faktor usia penting
akan tetapi yang lebih penting kemampuan, pengalaman dan keterampilan guru
harus lebih tinggi dari siswanya. Karenanya Rasulullah Saw, adalah orang yang
memiliki sifat-sifat di atas semua manusia dari berbagai sisi.
Penguasaan
utama guru sebagai bapak spiritual adalah menguasai Ilmu syar’i; salah satu tujuan tarbiyah dalam islam menjadikan
manusia agar beribadah kepada Allah. Ibadah baru akan tercapai hanya dengan
ilmu syar’i. yang dimaksud dengan ilmu syar’i di sini bukan berarti bahwa
seorang guru harus alim di bidang ilmu syar’i atau sepesialis di bidang ulum
syar’iah akan tetapi ilmu syar’i yang harus dimiliki seorang guru adalah ilmu
syar’i yang dengannya ia mampu membaca, membahas dan mempersiapkan tema-tema
syar’i serta memiliki ilmu-ilmu dasar yang kemudian ia dapat mengembangkan
potensi syar’inya dengan semangat belajar.
3.
Ustadz
dalam mengajarkan ilmu
Guru
adalah Ustadz dalam mengajarkan ilmu oleh karenanya guru harus mampu
mentransformasikan apa-apa yang dimiliki; banyak orang orang besar yang tidak
mampu memberikan dan menyampaikan apa-apa yang dimilikinya, karenanya ia tidak
dapat mentarbiyah, walaupun memiliki kelebihan dari sisi ilmu pengetahuan,
moralitas, mentalitas dan emosional, akan tetapi karena alasan tertentu mereka
tidak mendapatkan pengalaman lapangan khususnya di dunia pendidikan. Ia hanya
memiliki wawasan teoritis tidak memiliki pengalaman praktis. Orang-orang
seperti ini sering dijumpai di acara-acara umum seperti kajian ilmiah, seminar,
dialog wawancara dan lain-lainnya mereka pandai berbicara, kuat argumentasinya
dan penyampaian materinya menarik, tapi semua itu belum cukup untuk menjadikan
seseorang mampu mentarbiyah. Sering kali kita terpesona dengan orang-orang
seperti itu bahkan menganggap mereka memiliki potensi tarbiyah yang paling baik
tanpa melihat sisi-sisi yang lain.
Dalam
mengajarkan ilmunya guru harus memiliki kemampuan mengevaluasi (al-qudroh
‘alal mutaba’ah); proses tarbiyah bersifat terus menerus dan berkesinambungan
tidak cukup dengan arahan-arahan sesaat dan temporer dan pembelajaran
(tarbiyah) membutuhkan evaluasi yang berkesinambungan. Untuk mengetahui
berhasil atau tidaknya proses tarbiyah maka evaluasi adalah suatu hal yang
tidak boleh diabaikan. Dan guru juga harus mampu mengevaluasi dirinya, manhaj
(pedoman), sarana, media, metoda dan mutarobbi secara intensif dan
komprehensif.
Memiliki
kemampuan melakukan penilaian (al-qudroh ‘alat taqwim); taqwim dalam
proses tarbiyah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tarbiyah itu
sendiri, guru (murobbi) harus melakukan penilaian sebagai berikut:
a.
Menilai
peserta tarbiyah (siswa) untuk mengetahui kemampuannya, agar guru (murobbi)
dapat mengajar (mentarbiyah) sesuai dengan keadaannya.
b.
Menilai
peserta tarbiyah untuk mengetahui sejauh mana pencapaian muwasofat
(sifat-sifat yang terdapat pada profil pribadi muslim) pada dirinya dan apa
pengaruhnya dalam kehidupan kesehariannya.
c.
Menilai
program, tugas dan kendala serta solusinya.
d.
Menilai
permasalahan tarbiyah untuk ditangani secara profesional dan proporsional.
Taqwim yang dilakukan oleh murobbi harus dilakukan secara ilmiah dan obyektif
dengan berpegang pada kaidah-kaidah taqwim yang telah baku, bukan kesan pribadi
atau emosional.
4.
Qoid
(pemimpin) dalam kebijakan Pembelajaran.
kemampuan
memimpin (al-qudroh ‘alal qiyadah); menjadi salah satu kriteria yang
paling asasi bagi seorang guru (murobbi), dan tidak semua orang memiliki
kemampuan ini, ada orang yang dapat mengambil keputusan managerial, dan ada
pula yang mampu memanage perusahaan atau yayasan, akan tetapi qiyadah
(kepemimpinan) lebih dari itu, khususnya proses tarbiyah tidak bisa dipaksakan.
Jika militer atau penguasa dapat menggiring manusia dengan tongkat dan senjata
maka seorang yang tidak memiliki kemampuan memimpin tidak akan bisa mentarbiyah
orang lain.
.
D.
Guru Memahami
Keterbatasannya
Dalam mempresentasikan
materi yang diajarkan kepada siswa didiknya, Pengetahuan manusia (guru) tentang
manusia (dirinya dirinya dan siswanya) sendiri masih sedikit, apalagi tentang
bumi, tentang planet-planet dan ruang angkasa raya. Oleh karenanya guru harus
senantiasa berpedoman pada ayat: “Katakanlah
(hai Muhammad), bahwa sesungguhnya pengetahuan (yang sempurna) hanya pada
Allah, sedang saya ini hanya pemberi peringatan yang nyata. “ (al—Mulk: 26)
Bagaimanapun juga ahli
dan tingginya pengetahuan seseorang yang terakumulasi dari generasi sebelumnya
dengan berbagai inovasi teknologi bahkan yang termutakhir pun manusia tidak
akan mampu menandingi pengetahuan Allah. Nabi Musa a.s. pernah naik sebuah
perahu bersama Nabi Khidir, tiba-tiba hinggap seekor burung kecil di ujung
perahu itu, lalu meminum air laut, lantas terbang. Nabi Khidir lalu berkata
kepada Nabi Musa as.: “Air yang diminum
burung tadi adalah kadar pengetahuan manusia, sedang air laut yang masih
tinggal itu adalah kadar pengetahuan Allah.”
Begitu sedikit
pengetahuan manusia tentang alam semesta ini lebih sedikit lagi pengetahuan
manusia tentang alam akhirat. Nabi Muhammad saw. berkata kepada salah seorang
sahabat: “Bila engkau masukkan sebelah
tanganmu ke dalam laut, lalu engkau angkatlah tangan itu kembali, maka air yang
melekat pada tangan itulah pengetahuan dunia, dan air laut yang tertiaggal di
samudera itulah pengetahuan tentang akhirat”.
Menyadari keterbatasan berarti ada keinginan atau
gairah untuk selalu belajar, mengingat luasnya samudera ilmu pengetahuan dan
keterbatasan kemampuan guru, maka penulis sependapat ketika belajar guru
mengatakan: sebenarnya saya tidak pintar,
hanya saja saya lebih dahulu mengetahui ilmu ini, ilmu itu dari pada saudara,
oleh karena itu mari kita belajar bersama secara sungguh-sungguh…. !. Kalimat
tersebut secara tidak langsung mengindikasikan suatu motivasi baik kepada diri
sendiri, maupun kepada siswanya.
No comments:
Post a Comment