Saturday, 11 March 2017

Pembelajaran berbasis Al Qur'an 5





BAB V

PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DALAM KONFIGURASI KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI KELAS BERBASIS AL QUR’AN

Sebagai fitrah manusia yang ditakdirkan dengan bekal akal dan nafsu sedemikian rupa sehingga dia memiliki kekhasan pembawaan termini yang membuat kehidupannya menjadi dinamis dan evolusioner. Salah satu kekhasan ini adalah kemampuannya menghimpun dan melestarikan pengalaman. Apa pun pengetahuan dan informasi yang didapat manusia melalui pcngalamannya, disimpan dalam alam pikirannya, dan digunakan sebagai basis bagi pengalamannya lebih lanjut yang kemudian diaplikasikan secara turun temurun. Kekhasan lain manusia adalah mampu belajar melalui lisan dan tulisan (baca tulis). Dengan lisan dan tulisan atau baca tulis tersebut manusia dapat me­nyampaikan pengalamannya dari satu generasi kepada generasi selanjutnya, dengan demikian pengalaman manusia terus terakumulasi dan mempunyai perkembangan yang luar biasa dan semakin canggih. Itulah sebabnya Al-Qur'an memandang sangat penting lisan dan tulisan (penguasaan membaca dan menulis) sebagai mediasi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk lebih menekankan urgensi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembelajaran di kelas, guru hendaknya melandaskan sebagaimana al-quran memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merupakan ujian: Tanyakanlah hai Muhammad! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui? (QS 39:9). Ayat ini menekankan kepada masyarakat betapa besar nilai ilmu pengetahuan dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat. Demikian juga ayat, “Inilah kamu (wahai Ahl Al-Kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui?” (QS 3:66).
Ayat ini merupakan kritik pedas terhadap mereka yang berbicara atau membantah suatu persoalan tanpa adanya data objektif lagi ilmiah yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang kemudian membentuk iklim baru dalam masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Iklim baru inilah yang kemudian menghasilkan tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Jabir Ibnu Hayyan, dan sebagainya. Ialah yang membantu Muhammad bin Ahmad menemukan angka nol pada tahun 976, yang akhirnya mendorong Muhammad bin Musa Al-Khawarizmiy menemukan perhitungan Aljabar. Tanpa penemuan penemuan tersebut, Ilmu Pasti akan tetap merangkak dan meraba-raba dalam alam gelap gulita.
Mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting daripada menemukan teori ilmiah, karena tanpa wujudnya iklim ilmu pengetahuan, para ahli yang menemukan teori itu akan mengalami nasib seperti Galileo, yang menjadi korban hasil penemuannya.
Al-quran sebagai kitab yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah mendorong manusia seluruhnya untuk mempergunakan akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuannya sebisa mungkin. Kemudian juga menjadikan observasi atas alam semesta sebagai alat untuk percaya kepada yang setiap penemuan baru atau teori ilmiah, sehingga mereka dapat mencarikan dalilnya dalam Al-quran untuk dibenarkan atau dibantahnya. Bukan saja karena tidak sejalan dengan tujuan-tujuan pokok Al-quran tetapi juga tidak sejalan dengan ciri-ciri khas ilmu pengetahuan. Untuk menjelaskan hal ini. (DR. M. Quraisy Syihab, 1994: 44)
Oleh karenanya Guru dalam kegiatan belajar mengajar di kelas bukanlah merupakan sosok yang sempurna dalam penguasaan ilmu yang sedang dipraktekkannya. Untuk melakukan transmisi ilmu pengetahuan kepada siswa dalam kegiatan belajar mengajar di kelas berbasis al qur’an, guru harus senantiasa menjelaskan materi yang dipresentasikan dengan landasan-landasan ayat yang ada dalam al Qur’an, boleh saja dalam metodologi guru menggunakan penemuan barat, namun dalam memperkuat argumentasinya selain metodologi barat, guru juga harus menggunakan parameter penemuan-penemuan teknologi barat dengan ayat al Qur’an.

A.   Etika dan Penerapan IPTEK
Ilmu pengetahuan adalah batas yang tak ada akhirnya (the endless frontier) dan merupakan sistem ilmu yang bersifat aktif (active knowledge system). Ketidak pastian (uncertainty) merupakan karakternya (its hallmark). Pernilaian bervariasi atas dasar informasi atau data yang sering tidak lengkap, sehingga apa yang dinamakan Asas Pencegahan atau "Precaution Principle" harus selalu dijadikan panduan. Asas ini pada dasarnya menegaskan bahwa:" When there is reasonable suspicion of serious irreversible harm,, lack of scientific certainty or consensus should not be used as justification for not taking preventative measures".
Dalam hal ini sangat tepat apabila dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak peradaban bangsa. Peradaban (civilization) harus diukur dengan parameter pembangunan manusia (human development) dalam arti luas dan tidak dapat semata-mata didasarkan atas tinggi rendahnya pendapatan per kapita. Dalam kerangka ini terjadi jalin-menjalin (interwine) antara pelbagai kreasi dari suatu lingkungan dimana semua sumberdaya (resources), rakyat dan negara dapat mengembangkan kehidupan yang potensial dan kreatif, sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan manusia baik pribadi maupun kolektif. Pertumbuhan ekonomi hanya akan merupakan alat atau sarana, dengan sarana tersebut dimungkinkan perluasan pilihan-pilihan di segala aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan dan sebagainya).
Untuk itu sebenarnya yang akan memegang peranan penting adalah kemampuan, baik perorangan maupun kolektif yang bersifat nasional (human and national capabilities), sehingga mampu menciptakan masyarakat yang demokratis, menghormati HAM, menciptakan kehidupan yang sehat, menghargai ilmu pengetahuan dan teknologi melalui kebebasan dan kultur akademik serta etika keilmuan, memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di Era Globalisasi, Iman dan Taqwa kepada Allah Swt.
Peradaban yang penuh dengan integritas, mengandung makna luas dan berintikan "human and national capabilities" tersebut akan menjadi modal utama dalam menghadapi globalisasi. Globalisasi dan regionalisasi yang dipacu melalui perdagangan dan "foreign direct investment" dengan cepat telah dapat menciptakan kesejahteraan berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang dan negara yang belum berkembang. Namun terbukti pula bahwa negara-negara sedang dan belum berkembang yang tidak berhasil menyesuaikan diri karena tidak memiliki dasar-dasar peradaban yang kuat, justru akan jatuh ke celah (cracks) atau jurang (chasm) dengan kesulitan yang multidimensional.

B.    Guru Adalah Murobbi dalam Mensinergikan Kecerdasan.
Guru dalam kegiatan belajar mengajar berbasis al Qur’an lebih cenderung disebut Murobbi. Karena guru lebih cenderung diartikan seorang yang hanya mentransmisikan suatu ilmu pengetahuan. Murobbi adalah orang yang melaksanakan dan mengawal proses suatu kegiatan pendidikan (tarbiyah), dengan fokus kerjanya pada pembentukam pribadi muslim yang solih dan muslih. Tidak seperti seorang guru pada umumnya yang dikejar target kurikulum dan capaian suatu prestasi akademik. Namun guru sebagai Murobbi adalah guru yang senantiasa memperhatikan aspek pemeliharaan [ar-ria’yah], pengembangan [at-tanmiah] dan pengarahan [at-taujih] serta pemberdayaan [at-tauzhif].
“Sebagaimana Kami telah utus kepada kamu seorang rasul (Muhammad) membacakan kepadamu ayat-ayat Kami, membersihkan jiwa-jiwa kamu, mengajarkan kepada kamu al-kitab dan al-hikmah dan mengajarkan kepada kamu apa-apa yang kamu belum mengetahuinya”. (Al-Baqoroh: 151).
Di dalam ayat ini ada 3 poin penting yaitu;
Rasul diutus kepada ummatnya sebagai murobbi (kama arsalna fikum Rasulan minkum). Rasul dalam melaksanakan fungsi tarbiyah dibekali manhaj dan penguasaannya yang benar dan utuh (yatlu ‘alaikum ayatina).
Tugas utama guru (Murobbi) sebagaimana dikehendaki dalam surat Al-Baqoroh ayat 151 diatas, dalam Proses kegiatan belajar mengajar (tarbiyah) sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw, terhadap para sahabatnya perlu memperhatikan 3 aspek penting yaitu:

1.      Mensucikan jiwa.
Mensucikan jiwa (wayuzakkikum) menjadi perhatian pertama dalam konfigurasi kegiatan belajar mengajar diletakkan pada Persiapan Kegiatan belajar mengajar, hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat yang pertama kali turu di goa hiro’ yakni: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”.
Aplikasi penyucian jiwa sudah kita bahas pada bab II, yang mana sebelum kita melakukan suatu transmisi ilmu pengetahuan, maka dalam kegiatan belajar mengajar berbasis al Qur’an kita mendahulukan penyucian jiwa terhadap siswa didik kita dengan berwudlu, membaca ayat-ayat al Qur’an dengan tartil, do’a-do’a, nazam, puji-pujian, serta nasyid yang mengandung pesan mendidik yang mengarah pada sugesti emosional siswa. Penyucian jiwa selain bertujuan untuk mengkondisikan siswa kedalam mental dan fisiologis juga agar terbentuknya ruhiyah ma’nawiah (mentalitas spiritual), yang sekarang dikenal dengan pengembangan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient).
Dari aspek penyucian jiwa inilah secara bersamaan dan simultan kita sudah menerapkan Pendidikan Spiritual atau Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient), dan sekaligus Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient). menyucikan jiwa dengan membaca al Qur’an pada kegiatan sebelum presentasi materi.
"Dan apabila dibacakan Alquran, simaklah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat" (Q.S. 7: 204). "Dan Kami telah menurunkan dari Alquran, suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian" (Q.S. 17: 82).
 "Ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada Allah-lah hati menjadi tentram" (Q.S. 13: 28).
Dari aspek penyucian jiwa ini maka menjadi kritik yang mendasar terhadap perkembangan pendidikan yang ada di Indonesia yang lebih mendahulukan Kecerdasan Intelektual (Intelligence Quotient) daripada Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient), dan Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient).

2.      Mengajarkan ilmu
Mengajarkan ilmu (wayu’allimukumul kitaba walhikmata) agar terbentuknya fikriah tsaqofiah (wawasan intelektual). suatu upaya untuk meningkatkan kecerdasan siswa (Intelligence Quotient). Peningkatan kecerdasan intelektual siswa melalui kegiatan belajar mengajar akan mengalami perkembangan yang amat pesat jika sebelumnya siswa sudah dipancing sugesti spiritualnya melalui IQ dan kestabilan emosinya melalui EQ.
3.      Mengajarkan cara beramal.
Mengajarkan cara beramal (wayu’allimukum malam takunu ta’lamun) agar terbentuknya amaliah harokiyah (amal dan harokah). Kegiatan nyata dari aplikasi pendidikan yang dilakukan di kelas atau disekolah, dari sini siswa akan mempunyai Kecerdasan dalam mengarungi kehidupan nyata yang sekarang mulai dedengungkan dengan wacana Kecerdasan Potensial (PQ) yakni kecerdasan bertahan hidup.
Jika kita perhatikan ayat di atas, tazkiatun nafs (pembersihan jiwa), menjadi skala prioritas dalam proses tarbiyah sebelum memberikan wawasan intelektualitas dan berbagai aktivitas kegiatan belajar mengajar yang mengarah kepada amal dan harokah (aplikasi nyata) yang berupa potensi, karena perubahan dan perbaikan manusia harus dimulai dari perubahan dan perbaikan jiwa sebagaimana firman Allah ; "sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu merubah keadaan dirinya”. (Ar-Ra’d: 11,) walaupun begitu murobbi tidak boleh mengabaikan sisi-sisi yang lainnya yaitu sisi intelektualitas dan aktivitas secara seimbang dan berkesinambungan.

C.   Fungsi Guru Dalam Kegiatan Belajar Mengajar Berbasis Al Qur’an
Dalam Kegiatan Belajar Mengajar Berbasis Al Qur’an guru sebagai sang Murobbi dalam melaksanakan proses (tarbiyah) atas mutarobbi (para siswanya) berfungsi sebagai:
1.      Orang Tua Dalam Hubungan Emosional.
Walid (orang tua) dalam hubungan emosional disini dimaksudkan untuk mengikat hubungan emosional antara guru dan siswa, ikatan batin dalam hubungan sosial guru hendaknya melakukan dua hal penting, yaitu (1) memahami siswanya dari segala aspek dan latar belakang, dan (2) guru mempunyai empati yang tinggi.
Guru sebaiknya berupaya keras untuk menyentuh hal-hal paling mendasar dari diri pribadi siwa yang mendalam (inner self). Dan oleh sebab itu pribadi guru menjadi cermin dalam keberhasilan melaksanakan fungsi sebagai orang tua dalam hubungan emosional.
Dalam hubungan emosional, guru sebagai orang tua harus menguasai hal-hal sebagai berikut: Pertama, guru harus menguasai ilmu Psikologi, seperti karakter manusia sesuai dengai usianya; anak-anak, remaja, dan orang dewasa, tentang motivasi naluri dan potensi manusia serta membaca tulisan-tulisan dan kajian-kajian tentang kelompok masyarakat yang dibutuhkan dalam proses tarbiyah. Ini tidak berarti seorang guru harus psikolog atau ahli di bidang ilmu pendidikan, akan tetapi yang diperlukan adalah dasar-dasar umum ilmu jiwa dan memiliki kemampuan memahami hasil kajian dan penelitian di bidang ini.
Kedua, Mengetahui kesiapan, kemampuan dan potensi siswa, dalam hal ini Rasulullah Saw, adalah guru yang sangat tahu tentang kondisi, potensi, kesiapan dan kemampuan siswa, sebagai contoh ketika Rasulullah Saw, memberikan sarannya kepada Abu Dzar al-Gifari di saat ia minta jabatan kepada Rasul dalam sabdanya ’Wahai Abu Dzar saya lihat kamu dalam hal ini lemah, dan saya mencintai kamu seperti saya mencintai diri saya sendiri, kamu tidak layak untuk memimpin sebanyak dua orang sekalipun dan tidak mampu mengelola harta milik anak yatim”.(H.R Muslim).
Ketiga, Mengetahui lingkungan di mana mutarobbi (siswa) berada/tinggal, karena lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kepribadaian siswa, pengetahuan tentang lingkungan siswa sangat penting bagi guru sebagai bahan dalam proses tarbiyah.
Kemampuan membangun hubungan emosional (al-qudroh ‘ala binaal-‘laqoh al-insaniah). Hubungan antara guru dan siswa harus dilandasi kasih sayang dan cinta karena Allah, maka murobbi yang tidak menanamkan kasih sayang dan kecintaan ke dalam jiwa siswa, bisa dipastikan bahwa semua pelajaran dan pesan-pesannya yang disampaikan kepadanya akan berakhir dengan berakhirnya kata-kata guru dan tidak akan masuk kedalam hati, apa lagi untuk menjadi ilmu yang mengkristal di dalam jiwa. Allah SWT. telah mengingatkan:”Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Ali Imron: 159).

2.      Bapak Spiritual Dalam Tarbiyah Ruhiyah
Dalam tarbiyah ruhiyah guru adalah imam (Bapak Spiritual) yang mendahului praktek keagamaan sebelum menganjurkan siswanya untuk melakukan. Guru harus lebih tinggi kualitasnya dari siswa; dalam proses pembelajaran (tarbiyah) terjadi timbal balik antara guru dan siswa, terjadi proses memberi dan mengambil, menyampaikan dan menerima, oleh karenanya guru harus lebih tinggi dari siswa, tidak berarti guru harus lebih tua dari siswa sekalipun faktor usia penting akan tetapi yang lebih penting kemampuan, pengalaman dan keterampilan guru harus lebih tinggi dari siswanya. Karenanya Rasulullah Saw, adalah orang yang memiliki sifat-sifat di atas semua manusia dari berbagai sisi.
Penguasaan utama guru sebagai bapak spiritual adalah menguasai Ilmu syar’i; salah satu tujuan tarbiyah dalam islam menjadikan manusia agar beribadah kepada Allah. Ibadah baru akan tercapai hanya dengan ilmu syar’i. yang dimaksud dengan ilmu syar’i di sini bukan berarti bahwa seorang guru harus alim di bidang ilmu syar’i atau sepesialis di bidang ulum syar’iah akan tetapi ilmu syar’i yang harus dimiliki seorang guru adalah ilmu syar’i yang dengannya ia mampu membaca, membahas dan mempersiapkan tema-tema syar’i serta memiliki ilmu-ilmu dasar yang kemudian ia dapat mengembangkan potensi syar’inya dengan semangat belajar.
3.      Ustadz dalam mengajarkan ilmu
Guru adalah Ustadz dalam mengajarkan ilmu oleh karenanya guru harus mampu mentransformasikan apa-apa yang dimiliki; banyak orang orang besar yang tidak mampu memberikan dan menyampaikan apa-apa yang dimilikinya, karenanya ia tidak dapat mentarbiyah, walaupun memiliki kelebihan dari sisi ilmu pengetahuan, moralitas, mentalitas dan emosional, akan tetapi karena alasan tertentu mereka tidak mendapatkan pengalaman lapangan khususnya di dunia pendidikan. Ia hanya memiliki wawasan teoritis tidak memiliki pengalaman praktis. Orang-orang seperti ini sering dijumpai di acara-acara umum seperti kajian ilmiah, seminar, dialog wawancara dan lain-lainnya mereka pandai berbicara, kuat argumentasinya dan penyampaian materinya menarik, tapi semua itu belum cukup untuk menjadikan seseorang mampu mentarbiyah. Sering kali kita terpesona dengan orang-orang seperti itu bahkan menganggap mereka memiliki potensi tarbiyah yang paling baik tanpa melihat sisi-sisi yang lain.
Dalam mengajarkan ilmunya guru harus memiliki kemampuan mengevaluasi (al-qudroh ‘alal mutaba’ah); proses tarbiyah bersifat terus menerus dan berkesinambungan tidak cukup dengan arahan-arahan sesaat dan temporer dan pembelajaran (tarbiyah) membutuhkan evaluasi yang berkesinambungan. Untuk mengetahui berhasil atau tidaknya proses tarbiyah maka evaluasi adalah suatu hal yang tidak boleh diabaikan. Dan guru juga harus mampu mengevaluasi dirinya, manhaj (pedoman), sarana, media, metoda dan mutarobbi secara intensif dan komprehensif.
Memiliki kemampuan melakukan penilaian (al-qudroh ‘alat taqwim); taqwim dalam proses tarbiyah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tarbiyah itu sendiri, guru (murobbi) harus melakukan penilaian sebagai berikut:
a.        Menilai peserta tarbiyah (siswa) untuk mengetahui kemampuannya, agar guru (murobbi) dapat mengajar (mentarbiyah) sesuai dengan keadaannya.
b.       Menilai peserta tarbiyah untuk mengetahui sejauh mana pencapaian muwasofat (sifat-sifat yang terdapat pada profil pribadi muslim) pada dirinya dan apa pengaruhnya dalam kehidupan kesehariannya.
c.        Menilai program, tugas dan kendala serta solusinya.
d.      Menilai permasalahan tarbiyah untuk ditangani secara profesional dan proporsional. Taqwim yang dilakukan oleh murobbi harus dilakukan secara ilmiah dan obyektif dengan berpegang pada kaidah-kaidah taqwim yang telah baku, bukan kesan pribadi atau emosional.

4.      Qoid (pemimpin) dalam kebijakan Pembelajaran.
kemampuan memimpin (al-qudroh ‘alal qiyadah); menjadi salah satu kriteria yang paling asasi bagi seorang guru (murobbi), dan tidak semua orang memiliki kemampuan ini, ada orang yang dapat mengambil keputusan managerial, dan ada pula yang mampu memanage perusahaan atau yayasan, akan tetapi qiyadah (kepemimpinan) lebih dari itu, khususnya proses tarbiyah tidak bisa dipaksakan. Jika militer atau penguasa dapat menggiring manusia dengan tongkat dan senjata maka seorang yang tidak memiliki kemampuan memimpin tidak akan bisa mentarbiyah orang lain.
.
D.   Guru Memahami Keterbatasannya
Dalam mempresentasikan materi yang diajarkan kepada siswa didiknya, Pengetahuan manusia (guru) tentang manusia (dirinya dirinya dan siswanya) sendiri masih sedikit, apalagi tentang bumi, tentang planet-planet dan ruang angkasa raya. Oleh karenanya guru harus senantiasa berpedoman pada ayat: “Katakanlah (hai Muhammad), bahwa sesungguhnya pengetahuan (yang sempurna) hanya pada Allah, sedang saya ini hanya pemberi peringatan yang nyata. “ (al—Mulk: 26)
Bagaimanapun juga ahli dan tingginya pengetahuan seseorang yang terakumulasi dari generasi sebelumnya dengan berbagai inovasi teknologi bahkan yang termutakhir pun manusia tidak akan mampu menandingi pengetahuan Allah. Nabi Musa a.s. pernah naik sebuah perahu bersama Nabi Khidir, tiba-tiba hinggap seekor burung kecil di ujung perahu itu, lalu meminum air laut, lantas terbang. Nabi Khidir lalu berkata kepada Nabi Musa as.: “Air yang diminum burung tadi adalah kadar pengetahuan manusia, sedang air laut yang masih tinggal itu adalah kadar pengetahuan Allah.”
Begitu sedikit pengetahuan manusia tentang alam semesta ini lebih sedikit lagi pengetahuan manusia tentang alam akhirat. Nabi Muhammad saw. berkata kepada salah seorang sahabat: “Bila engkau masukkan sebelah tanganmu ke dalam laut, lalu engkau angkatlah tangan itu kembali, maka air yang melekat pada tangan itulah pengetahuan dunia, dan air laut yang tertiaggal di samudera itulah pengetahuan tentang akhirat”. 
Menyadari keterbatasan berarti ada keinginan atau gairah untuk selalu belajar, mengingat luasnya samudera ilmu pengetahuan dan keterbatasan kemampuan guru, maka penulis sependapat ketika belajar guru mengatakan: sebenarnya saya tidak pintar, hanya saja saya lebih dahulu mengetahui ilmu ini, ilmu itu dari pada saudara, oleh karena itu mari kita belajar bersama secara sungguh-sungguh…. !. Kalimat tersebut secara tidak langsung mengindikasikan suatu motivasi baik kepada diri sendiri, maupun kepada siswanya.


No comments:

Post a Comment