BAB I
MUKADDIMAH
Pendidikan Islam dewasa ini terasa kurang aplikatif dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas yang berimplikasi pada rendahnya prestasi akademik, terbatasnya pengembangan daya kreatifitas dan kemandirian siswa dalam belajar. Hal ini merupakan fenomena anak bangsa yang disebabkan oleh beberapa aspek seperti kurangnya komitmen dan profesionalisme guru serta adanya sistem dan manajemen pendidikan yang terlalu sentralistik dan kurang transparan, meskipun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagai pembungkusnya.
Seiring dinamika perkembangan masyarakat sepuluh tahun terakhir mutu dan relevansi pendidikan di Indonesia khususnya pada lembaga Pendidikan Islam, secara umum sangat memprihatinkan. Pesatnya perkembangan teknologi pembelajaran dan teori belajar dunia telah mempengaruhi segala aspek dan sistem kehidupan akademik di Indonesia, hal ini merupakan permasalahan yang perlu dianggap serius, karena ditandai dengan carut marutnya kondisi pendidikan di Indonesia yang mengindikasikan kurang berhasilnya program pemerintah dalam rangka mewujudkan apa yang di amanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kurangnya respon positif dari sekelompok masyarakat atas disyahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menimbulkan berbagai kontraversi, sangat terasa ketika berbagai terobosan dilakukan oleh pemerintah dalam mencari benang merah konsep pendidikan khususnya pada ranah pendidikan Islam, seperti belum maksimalnya aplikasi Sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dengan andalannya Kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan, dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan andalan Peningkatan kualitas Guru dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berusaha melakukan pemangkasan (Cut off) intervensi pemerintah atas perumusan dan aplikasi kurikulum yang standar, Pendidikan Berbasis Masyarakat atau Board Based Education yang menghendaki Prioritas Life skills siswa dari Schooling ke Learning, serta berbagai macam bentuk dan model yang disajikan sebagai acuan kurikulum tahun 2004 dengan menawarkan berbagai desain keterkaitan pendidikan yang sangat solutif, hal itu sebenarnya merupakan istilah baru pola lama dengan muara penekanan yang tidak asing lagi, yaitu seputar pada aspek-aspek kecerdasan (kognitif), pembentukan kepribadian (afektif) dan ketrampilan (psikomotorik) dengan stakeholders sebagai pemegang otoritas dalam pemberdayaan dan menuju sekolah mandiri. (Ridwan Nasir Prof, Dr. MA : 2003).
Berbagai penelitian yang dilakukan para pakar pendidikan terkesan egosentris dan tidak berpijak pada realitas konkret di masyarakat khususnya mengenai konfigurasi dan akselerasi kegiatan belajar mengajar didalam kelas. Pergeseran nilai kegiatan belajar mengajar dalam kelas semakin mencolok dengan dalih modernisasi pendidikan yang layaknya dilakukan sebatas komoditi belaka dan berbagai implikasinya terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan. (Azyumardi Azra, 2000 : 4)
Kemudahan akses segala bentuk ilmu dan
sains hasil penelitian mutakhir dari barat menjadikan kita sebagai pendidik
(Dosen / Guru) Pada lembaga pendidikan Islam yang sebenarnya sudah hampir
memenuhi standar kompetensi pada sumber pokok Pendidikan Islam yakni Al Qur-an
dan As Sunnah, dengan mudahnya menerapkan informasi hasil research produk
filsafat pendidikan barat kedalam aplikasi kegiatan belajar mengajar di kelas,
misalnya pemakaian do’a-do’a, nazam (syair) maupun nasyid (lagu-lagu islami) dan bahkan dibudayakannya tartilul Qur’an
sebelum kelas dimulai yang kita kenal pada madrasah-madrasah dimana kita pernah
belajar, kini diganti dengan alunan musik klasik jenis barok, dengan dalih relaksasi yang diiringi dengan musik membuat
pikiran selalu siap dan mampu berkonsentrasi (Bobby DePorter & Mike
Hernacky, 2000 : 72). Dan masih banyak lagi
pergeseran budaya belajar serta nilai kegiatan belajar mengajar yang sudah kita
warisi dari hasil research para ilmuwan Islam terdahulu seakan tercabut dari
akarnya dengan alasan modernisasi pendidikan.
Diskursus mengenai permasalahan dunia pendidikan Islam
sebenarnya merupakan permasalahan yang hampir klasik, yaitu tentang pendidikan
Islam yang notabene sebagai pendidikan rahmat untuk sekalian alam, ialah belum
ditemukannya sistematika pedagogis agama yang representatif, (Up to date) dan aplikasinya mampu
bersaing di tengah-tengah percaturan masyarakat global (Global Society). Konfigurasi dan akselerasi kegiatan belajar
mengajar pendidikan agama di sekolah-sekolah selama ini jika diprosentasikan
mungkin tidak lebih dari proses belajar-mengajar pengetahuan agama dan kurang
dari 50 persen penerapan yang berupa muamalah dan riyadlah, hal
ini lebih tepat jika dikatakan metode kegiatan belajar mengajar kita khususnya
Pendidikan Agama Islam, selama ini hanyalah sebatas ''transmisi pengetahuan agama'' melalui cara didaktis-metodis seperti halnya pengajaran umum yang secara value lebih rendah dari pendidikan agama
Islam itu sendiri, dan ironisnya pendidikan agama lebih terasa sangat margin
ketika perubahan dilakukan khususnya perubahan kurikulum secara nasional,
metode kegiatan belajar mengajar pendidikan agama seakan menunggu komando dan
instruksi dari apa yang terjadi pada perubahan kegiatan belajar mengajar dengan
didasarkan pada basis pedagogis umum produk filsafat pendidikan model barat.
(Moslem Abdurrahman, 1997 : 239). Dan hal yang lebih memprihatinkan adalah
pengaturan jam pada mata pelajaran pendidikan agama setelah sisa pengaturan
pelajaran umum dan eksakta.
Tantangan bagi kita seorang pendidik khususnya Guru
Pendidikan Agama Islam adalah jika kita ingin memformulasikan pedagogis Islam,
maka akan sangat bijaksana bila yang harus kita lakukan adalah merumuskan lebih
dahulu filsafat pendidikan Islam. Itulah yang akan dijadikan landasan
mengembangkan cara-cara atau petunjuk teknis pendidikan (kegiatan belajar
mengajar), baik dalam lingkup sekolah maupun keluarga dan masyarakat, Misalnya,
bagaimana gambaran filosofi Value of
Concept tentang Final Process pendidikan
budi pekerti adalah Anak Sholeh. Out put kegiatan
belajar mengajar tuntas adalah insan kamil, merupakan suatu konsep dasar
tentang manusia ideal menurut Islam yang kemudian dapat dijadikan acuan
paedagogis dalam model penyelenggaraan pendidikan Islam (Moslem Abdurrahman,
1997 : 239) khususnya pada konfigurasi dan akselerasi Kegiatan belajar mengajar
dalam kelas berbasis Al Qur’an.
Oleh karena itu perlu adanya
reformulasi dan alternatif perumusan konsep Pendidikan Islam yang murni
berdasarkan pesan wahyu dan sunnah rasul secara sederhana namun aplikasinya
menyentuh pada segala segi pelatihan (riyadlah)
dan kegiatan nyata (muamalah) sebagaimana
digariskan dalam al Qur’an dan as sunnah sehingga Out put kegiatan belajar mengajar tuntas sisi kecerdasan adalah
insan kamil yang cerdas dalam menatap kehidupan pada masanya mendatang.
Disisi lain metode mengajar dan belajar cepat (accelerative learning) yang
dikembangkan oleh Lyle Palmer tentang Ledakan Ekstasi Pendidikan dalam
menciptakan kegembiraan dalam kelas melalui sugesti
dan siklus, merupaka sekumpulan praktek di kelas untuk mengkondisikan
kembali para siswa kedalam mental dan fisiologi yang positif melalui berbagai
cara sugesti yang terang-terangan maupun yang halus. Guru menciptakan kelas
belajar yang menghasilkan jiwa positif, yang mendukung pelaksanaan kegiatan
secara kreatif dan mudah, aktifitas khusus kelas akseleratif dikembangkan oleh
Lyle Palmer dalam tiga segmen yang berbeda, pertama tahap kegiatan belajar
mengajar secara cepat dan mudah dengan mempersiapkan lingkungan internal maupun
eksternal siswa, seperti merubah format kelas, penataan bangku serta ruangan
yang penuh dengan bunga dan huruf tiga dimensi. Gambar sebagai alat Bantu
ingatan (mnemonic) selalu dimasukkan
dalam setiap poster. Kelas dimulai dengan aktifitas fisik selama beberapa menit
untuk melemaskan otot. Sesi ini mengandalkan hubungan kreatif sesaat secepat
mungkin.
Tahap kedua adalah tahap presentasi materi yang dilakukan
secara energetic dan dramatis (kerap menggunakan musik klasik dramatis sebagai
latar belakang), konsep pengkodean dan sistem pengajaran review acak dan
presentasi dilakukan dengan menggunakan Boneka atau Gerak Guru yang dramatis
dan flamboyan, penonjolan intonasi dengan harapan belahan otak dominan bahasa
dapat dilibatkan, presentasi dilakukan dengan permainan peran, Demonstrasi,
Pertunjukan, cerita menyentuh menggerakkan dan mengulangi, siswa dilibatkan
dalam peran berkelompok sehingga terlaksana kegiatan belajar mengajar yang
kooperatif. Pembiasaan pengulangan pasif diutamakan agar siswa dapat melihat
kembali pelajarannya sebelum tidur.
Tahap terakhir adalah aktivasi
dan elaborasi, membuat siswa
menggunakan materi pelajaran dalam simulasi atau main peran, serta kuis yang
tidak dinilai. Evaluasi sisipan maupun evaluasi akhir dengan belajar model ini
akan tampak meningkat pada prestasi akademik siswa, meskipun tes/evaluasi
dilakukan beberapa bulan selanjutnya. (Bobby DePorter & Mike Hernacky, 2000
: 281)
Berbeda dengan konsep pendidikan menurut Tokoh Pendidikan
Islam : Ibnu Sina dengan konsep Total
Quality Management yang mengorientasikan tujuan akhir pendidikan dengan
mengarahkan siswa kepada perkembangan yang sempurna yaitu perkembangan fisik,
intelektual dan budi pekerti. Perhatian terhadap nilai gizi dan pentingnya
olahraga akan juga merangsang perkembangan otak anak. Agar tercapai tujuan
akhir dari pendidikan itu sendiri yaitu Insan kamil. (manusia yang sempurna),
manusia yang terbina seluruh potensi pada dirinya secara seimbang dan
menyeluruh.
Konsep kegiatan belajar mengajar didalam kelas harus
disesuaikan berdasarkan perkembangan usia anak dengan senantiasa mengutamakan
kegiatan membaca al qur’an sebagai pelajaran yang strategis dan mendasar pada
segala usia. Konfigurasi dan akselerasi kegiatan belajar mengajar dalam kelas
dikemas dalam dua bentuk teori dan praktek, mata pelajaran yang bersifat
teoritis seperti Materi dan bentuk, Wujud dan kehancuran, sains, ketrampilan
dan lain-lain yang diajarkan dengan bertendensikan pada al Qur’an dan as
Sunnah.
Ibnu Sina selalu menyinggung Presentasi harus didasarkan
pada perkembangan psikologis dan dijelaskan melalui berbagai cara serta sifat
dari materi yang dipresentasikan, dengan metode yang ditawarkan yaitu metode
Talqin, Demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang dan penugasan, hal
ini perlu dilakukan agar kegunaan dari ilmu dan ketrampilan yang dipelajari
selain bersifat pragmatis juga sesuai dengan tuntutan masyarakat (Marketting Oriented).
Kegiatan
belajar mengajar dalam kelas membutuhkan suatu penataan yang tepat dengan
beberapa pola pendekatan (konfigurasi), pendekatan apapun yang digunaan dalam
kegiatan belajar mengajar, diharapkan selalu mendudukkan siswa sebagai pusat
perhatian dan perlakuan, peranan guru dalam pembentukan pola atau bentukan
konfigurasi kegiatan belajar mengajar bukan ditentukan oleh Didaktik metodik “Apa yang akan dipelajari saja”
melainkan pada bagaimana menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar anak. Pengalaman
belajar diperoleh melalui serangkaian kegiatan untuk mengeksplorasi secara
aktif lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan, serta
berkonsultasi dengan nara sumber lain (Depdiknas, 2002 : 1).
No comments:
Post a Comment