Wednesday, 15 March 2017

Sejarah Administrasi dan Kontribusinya terhadap Peradaban Islam 5

BAB V
PIAGAM MADINAH SEBAGAI UNDANG UNDANG DASAR TERTULIS PERTAMA YANG DISEPAKATI BERSAMA ELEMEN LAIN SEPANJANG SEJARAH PERADABAN DUNIA
 Diskursus tentang konsep negara dan pemeritahan versi Islam telah menimbulkan diskusi panjang di kalangan pemikir muslim dan memunculkan perbedaan pandangan yang cukup panjang, tidak hanya berhenti pada tataran teoritis konsepsional, tetapi juga memasuki wilayah politik praktis, sehingga acapkali membawa pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam.
Selain disebabkan oleh faktor sosio-historis dan sosio-kultural, yakni perbedaan latar belakang sejarah dan sosial-budaya umat Islam, perbedaan pandangan juga disebabkan oleh faktor yang bersifat teologis, yaitu tidak adanya keterangan tegas (clear-cut explanation) tentang negara dan pemerintahan dalam sumber-sumber Islam; al-Qur'an dan al-Sunnah. Memang terdapat beberapa term yang sering dihubungkan dengan konsep negara, seperti khalifah, dawlah, atau hukumah, namun term tersebut berada dalam kategori ayat-ayat zanniyat yang memungkinkan penafsiran 'A1-Qur'an tidak membawa keterangan yang jelas tentang bentuk negara, konsepsi tentang kekuasaan dan kedaulatan serta ide tentang konstitusi.
Perbedaan tentang negara dan pemerintahan dapat dilacak sejak Nabi Muhammad SAW wafat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pandangan tentang masalah suksesi kepemimpinan yang terjadi di sekitar kewafatan Nabi Muhammad. Walaupun sebagian umat Islam (kelompok Syi'ah) meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW telah mewariskan kepemimpinannya kapada Ali bin Abi Thalib, melalui peristiwa Ghadir Khum, namun sebagian besar yang lain (kelompok Sunni) menganggap bahwa peristiwa tersebut tidak berhubungan dengan suksesi kepemimpinan, dan Nabi Muhammad SAW tidak menentukan modus suksesi kepemimpinan.
Perbedaan pandangan tentang negara dan pemerintahan di kalangan pemikir muslim, juga disebabkan oleh perbedaan persepsi mereka tentang esensi kedua konsep tersebut. Sebagian memandang bahwa keduanya (negara dan pemerintahan) berbeda secara konseptual; pemerintahan adalah corak kepemimpinan dalam mengatur kepentingan orang banyak (berhubungan dengan metode atau strategi politik), sedangakan negara merupakan institusi politik sebagai wadah penyelenggaraan pemerintahan (berhubungan dengan bentuk atau format politik). Sebagai konsekuensinya, wacana tentang negara dan pemerintahan dapat dilakukan secara tepisah seperti membicarakan strategi dan penyelenggaraan dan pengisian pemerintahan tanpa mempersoalkan bentuk negara. Sebagian yang lain memandang bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya, sehingga pembicaraan tentang pemerintahan tidak bisa terlepas dari pembicaraan tentang negara.
Permasalahan menjadi lebih rumit jika dikaitkan dengan suatu kenyataan bahwa konsep negara adalah konsep modern yang datang dari dunia Barat, yang tidak ada presedennya dalam sejarah Islam. Dalam perspektif Barat, negara disebut negara-bangsa (nation state) -terbentuk atas dasar solidaritas kebangsaan. Negara adalah fenomena modern yang terbentuk sebagai manifestasi nasionalisme yang melanda dunia pada paruhan abad ke-20.
Meskipun Islam mengakui eksistensi bangsa dan kesukuan, wawasan kebangsaan tidak bertentangan dengan wawasan keislaman, namun bentuk ekstrem dari rasa kebangsaan (nasionalisme) yang mendasari pelembagaan negara-bangsa dapat menjadi persolan jika dihadapkan dengan universalisme Islam. Hal ini menjadi alasan bagi mereka yang menolak konsep negara-bangsa, dan kemudian mencari bentuk negara dalam khasanah sejarah Islam.
Dalam pemikiran politik Islam, pembicaraan tentang negara dan pemerintahan oleh para ulama politik mengarah kepada dua tujuan. Pertama, menemukan idealitas Islam tentang negara atau pemerintahan (menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu mencoba menjawab pertanyaan "apa bentuk negara menurut Islam". Kedua, melakukan idealisasi dari perspetif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara atau pemerintahan dengan menekankan aspek praksis dan substansial), yaitu mencoba menjawab pertanyaan "bagaimana isi negara menurut Islam". jika pendekatan pertama bertolak dari anggapan bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara dan pemerintahan, maka pendekatan kedua bertolak dari anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara dan pemerintahan, tapi hanya membawa prinsip-prinsip dasar berupa nilai etika dan moral.
Dalam kaitan ini paling tidak terdapat tiga paradigma pandangan Islam tentang negara. Pertama adalah paradigma integratif, yaitu adanya integrasi antara Islam dan negara. Wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara didasarkan atas "kedaulatan Ilahi" (divine sovereignty), karenanya memang kedaulatan itu berasal dan berada di “tangan " Tuhan.
Paradigma ini meniscayakan adanya negara bagi umat Islam dalam corak negara teokratis, biasanya dengan menegaskan Islam (syari'ah) sebagai konstitusi negara dan modus suksesi kepemimpinan cenderung bersifat terbatas dan tertutup. Negara dalam hal ini dapat mengambil berbagai bentuk monarki maupun republik dan dalam prakteknya cenderung menisbatkan diri dengan Islam secara formal, yaitu dengan menyebut diri sebagai negara Islam.
Kedua paradigma simbiotik, yang memandang bahwa agama dan negara berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Paradigma ini juga meniscayakan adanya lembaga negara bagi umat Islam tapi dengan corak yang demokratis - melalui pendirian lembaga-lembaga demokrasi parlemen dan dengan modus suksesi kepemimpinan yang memberi kesempatan pada partai politik rakyat. Negara dapat mengambil bentuk monarki (konstitusional) maupun republik dan lain-lain. Dalam kenyataan empiris, penisbatan Islam dengan negara dapat bersifat formal maupun substansial, yaitu dengan memberi tempat bagi agama dalam konstitusi dan kehidupan bernegara.
Ketiga paradigma instrumental, yaitu bahwa negara merupakan instrumen atau alat bagi pengembangan agama dan realisasi nilai-nilai agama. Paradigma ini bertolak dari suatu aggapan bahwa Islam hanya membawa prinsip-prinsip dasar tentang kehidupan bernegara dan tidak menentukan bentuk tunggal. Dalam paradigma ini agama tidak berhubungan formal dan institusional dalam negara dan menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinisasi Islam akan bentuk tertentu daripada negara. Sebagai gantinya, dalam paradigma ini, agama dapat berperan untuk member­ikan kontribusi nilai etik dan moral bagi perkembangan kehidupan politik dan kehidupan kenegaraan.
Paradigma ini tidak terlalu peduli kepada bentuk negara, konstitusi maupun modus suksesi, berdasarkan pada suatu anggapan bahwa Islam tidak menentukan format tunggal tentang itu. Sebagai gantinya, paradigma ini mementingkan substantifikasi Islam yaitu melakukan pemaknaan nilai-nilai Islam secara hakiki ke dalam proses politik dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dari perspektif paradigma ini, aktifitas politik umat Islam berada pada tataran kultural yaitu mengembangkan landasan budaya bagi terwujudnya masyarakat utama sesuai nilai-nilai Islam. (DR. M. Din Syamsuddin, 2000:)
 A.   Sosial dan Budaya Madinah Sebelum Hijrah
Yatsrib yang sudah dikenal sebagai wilayah yang tenang dengan tanah yang subur dan air yang melim­pah. la dikelilingi oleh bebatuan gunung berapi yang hitam. Wilayah paling penting adalah Harrah Waqim di bagian timur dan Harrah al-Wabarah di bagian barat. Harrah Waqim lebih subur dan padat penduduknya dibanding Harrah al-Wabarah. Gunung Uhud berada di utara dan Gunung Asir di barat daya. Mempunyai beberapa lembah seperti Wadi Batsan, Mudhainib, Mahzur, dan 'Agiq. Lembah­-lembah ini membentang dari selatan ke utara. Nama Yatsrib sudah ada dalam tulisan-tulisan Ma'ini. Suatu indikasi akan keunikannya (Jawwad Ali: 295). Sedikit literature tentang kota ini sebelum Islam.
Penduduknya terdiri dari kelompok Yahudi yang secara umum corak dan keberadaan mereka sebagaimana Yahudi di Hijaz pada umumnya, konon mereka adalah pendatang dari Syam (Syria) perkiraan pada abad pertama dan kedua Masehi setelah Syiria dan Mesir dikuasai Romawi. Kedatagan mereka secara bergelombang mulai masa Raja Titus tahun 70 M. dan Hadrian. Mereka membentuk komtanitas Yahudi di Madinah dan Hijaz. (Jawwad Ali, 1968, p. 513)­
Terdapat dua kelompok Yahudi di Yatsrib yaitu Bani Nadhir dan Bani Quraizhah, Mereka menetap di Harrah Waqim hingga bagian timur Yatsrib, wilayah paling subur. Suku Yahudi yang juga terkenal adalah Bani Qainuqa'. Ada perbedaan pendapat tentang asal-usul mereka, apakah mereka Yahudi yang pindah ke Yatsrib atau orang-orang Arab yang masuk agama Yahudi. Perbedaan pendapat serupa juga menyangkut suku-suku Yahudi yang kecil-kecil yang disebut­kan dalam sumber-sumber Arab, seperti Bani Akrimah, Bani Muhammar, Bani Za'ura, Bani Syathibah, Bani Jasyam, Bani Mu'awiyah, Bani Murad, Bani Qasis, dan Bani Tsa'labah. (as-Samhudi,: 2) as-Samhudi menye­butkan bahwa ada lebih dari dua puluh suku kecil di sana. Mendominasi segala aktifitas ekonomi dan budaya maupun pengembangan intelektual di Yatsrib dan pada saat yang sama mereka sangat dipengaruhi oleh suku-suku Arab di sekeliling Yatsrib. Misalnya, Yahudi membawa gagasan membangun benteng dari Syiria ke Yatsrib. Mereka juga membawa keahlian dalam bidang pertanian seperti kelapa sawit, anggur, delima, dan sejumlah tanaman yang meng­hasilkan biji-bijian. Demikian juga dalam peternakan unggas.
Sebagaimana Yahudi sangat berpengaruh di Yatsrib, mereka juga sangat dipengaruhi oleh orang-orang Arab di sekeliling mereka. Misalnya, solidaritas kesukuan mulai terlihat di kalangan Yahudi, termasuk 'ashabiyah 'fanatisme', kedermawanan, kesenangan terhadap puisi, dan latihan-latihan mempergunakan senjata. Perasaan kesukuan ini menyelimuti Yahudi sampai batas bahwa mereka tidak bisa hidup sebagai satu kelompok agama. Sebaliknya, mereka hidup sebagai suku-suku yang berselisih yang sulit diselesaikan, bahkan pada masa Nabi ketika mereka menghadapi pem­buangan. Aktivitas ekonomi mereka didominasi praktek riba.
Sedangkan suku Arab terdiri dari suku-suku Aus dan Khazraj yang mendiami daerah-daerah padang pasir. Suku Aus dan Khazraj masih mempunyai hubungan dengan suku Azd yang bermigrasi dari Yaman ke utara dalam beberapa tahapan. Tahapan pertama diperkirakan terjadi pada 207 M, ketika Khuza'ah pindah ke Mekah.
Suku Aus menempati daerah al-'Awali (dataran tinggi) di samping Quraizhah dan Nadhir. Sementara, Khazraj menempati dataran rendah Madinah, sebagai tetangga suku Bani Qainuqa'. Daerah yang ditempati suku Aus lebih subur dibanding yang ditempati suku Khazraj. Ini menye­babkan munculnya konflik antara kedua belah pihak.
Diantara suku-suku yang ada di Yatsrib senantiasa dirundung konflik yang berkepanjangan hingga akhirnya datang Islam membawa perdamaian diantara mereka.
B.    Piagam Madinah sebagai legitimasi sosial dan Administratif keberadaan Republik Madinah
Pengaruh gurun pasir yang tandus menjadikan karakteristik arab mempunyai pegangan tidak akan menyerahkan dirinya kepada kontrol negara mana pun. Unit politik dan sosial mereka adalah suku. Negara­-negara kecil yang bermunculan di beberapa tempat Jazirah Arab jauh sebebelun Islam, telah menjadi buntu. Sukuisme dan jalan hidup nomadik (mengembara) yang bercirikan solidaritas kesukuan, konfliks, dan per­pecahan, telah sangat dominan di seluruh semenanjung jazirah. Islam datang dengan bangunan konsep ketatanegaraan yang mengikat mereka, baik secara individual maupun suku. Negara Madinah secara totalistik dibangun di atas dasar ideologis (ideological base), dan menyatukan se­menanjung Arabia untuk pertama kalinya dalam sejarah di bawah bendera Islam. Ini adalah babak baru dalam sejarah politik jazirah Arab.
Islam membawa perubahan radikal dalam kehidupan individual dan sosial Madinah karena kemampuannya mempengaruhi kualitas seluruh aspek kehidupan, "(Kami mengambil) warna kami (sibghah) dari Allah, dan apakah yang lebih baik dari Allah dalam memberi warna ?...." (al-Baqarah: 138).
Setibanya Rasul di Madinah, maka secara resmi beliau telah menjadi pemimpin penduduk kota. Beliau dihadapkan pada persoalan menata masyarakat yang majemuk, terdiri dari: 1) muslim pendatang dari Makkah (kaum Muhajirin), 2) muslim Madinah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj (kaum Anshar), 3) anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menyembah berhala, nantinya masuk Islam, 4) orang-orang Yahudi yang terdiri dari bani Qainuqa, bani Nadhir dan bani Quraidlah serta sub suku-suku lainnya (Zafrulloh Khan, 1986: 88). Untuk menopang kebijakan politik Madinah, maka ayat Alquran yang turun lebih banyak mengambil bentuk sosial kemasyarakatan atas dasar keyakinan agama.
Perilaku Nabi yang melintasi batas kerasulan dengan menjadi pemimpin sebuah komunitas inilah yang menjadikan periode sejarah Islam Madinah sebagai periode politik. Nabi saat itu bukan saja punya peran sebagai seorang Rasul pimpinan agama (otoritas ukhrawi dan spiritual), namun dia juga menduduki jabatan sebagai kepala negara dan hakim, yaitu pemegang otoritas keduniaan. (Abdul Aziz Thaba, 1996: 96)
Langkah politik pertama yang dilakukan Nabi setelah tiba di Yatsrib adalah mengganti nama kota tersebut menjadi Madinah. Hal ini dilakukan Nabi untuk membangun pandangan baru pada seluruh masyarakat bahwa kota ini berbeda dengan sebelumnya, dibangun dengan landasan keyakinan agama dan berperadaban, sesuai dengan namanya sebagai kota yang berseri-seri. Penamaan ini penting untuk memutus hubungan dengan masa lalu yang penuh perselisihan. Kemudian diteruskan dengan membangun masjid. Masjid dalam hal ini bukan hanya sekedar sebagai tempat ibadah kepada Allah, namun lebih dari itu, pembangunan masjid itu untuk mempersatukan masyarakat dalam bingkai keagamaan tauhid, dimana orang Arab sering berkumpul di suatu tempat untuk mempertontonkan sihir, permainan dan jual beli. Dalam perkembangan selanjutnya masjid dijadikan Nabi sebagai tempat musyawarah, merundingkan masalah yang dihadapi bahkan berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Dengan demikian masjid yang dijiwai oleh semangat tauhidillah, mampu berfungsi menjadikan masyarakat muslim dalam setiap perilakunya selalu terkait dengan Allah.
Langkah yang kedua adalah membangun landasan kehidupan bernegara yang diatur dalam piagam Madinah. Pertama berisi pembentukan koalisi antara kaum Muhajirin dan Anshar dalam sebuah kelompok politik bersama yang disebut dengan Ummat. Persaudaraan sesama muslim ini penting untuk menjalankan sebuah pertahanan dan pembelaan kepada Muhammad sebagai pimpinan mereka dalam soal agama. Mereka bertindak juga dalam kerangka mempertahankan Madinah sebagai sebuah negara. Selain memutus hubungan masa lalu yang mempunyai prinsip dan solidaritas atas dasar nasab dengan masa Nabi yang berdasar atas prinsip persatuan sesama pemeluk agama dan solidaritas Islam. Kedua, piagam Madinah juga berisi aturan yang menyatukan hubungan antara komunitas muslim dan non muslim. Hal ini diperlukan karena penduduk Madinah terdiri dari warga muslim (Muhajirin dan Anshar), kaum Yahudi dan orang Arab yang belum menganut Islam. Perjanjian ini digunakan untuk men­ciptakan Madinah dalam suasana tenteram dan stabil.
Kebijakan dalam piagam madinah didasarkan atas asas saling hidup dan menghidupi, Nabi Muhammad SAW berusaha membentuk lembaga kesejahteraan umum. Dalam rangka merealisasikan tujuannya tersebut Nabi Muhammad SAW secara administratif memprakarsai penyusunan suatu perjanjian atau konsensus bersama dengan seluruh tokoh masyarakat maupun tokoh agama yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat Madinah. Konsensus ini akhirnya dikenal dengan sebutan “Piagam Madinah” atau “Madina Carter”.
Diantara pokok-pokok ketentuan dalam Piagam adalah:
Ø  Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, ini adalah kesepakatan yang ditulis oleh Muhammad, Rasulullah dengan orang-orang muslim (Mekkah) Quraisy dan Yatsrib, serta siapapun yang mengikuti mereka dan yang menyatakan kesetiaan untuk berjihad bersama mereka.
Ø  Mereka adalah satu komunitas umat yang berbeda dari masyarakat yang lain.
Ø  Kaum Muhajirin dan Quraisy, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku sebelumnya, hendaklah bekerja sama dalam membayar tebusan untuk membebaskan anggota mereka yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan cara yang benar dan baik.
Ø  Bani Auf, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku, hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota mereka yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang yang beriman.
Ø  Bani Harits, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku, hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota mereka yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang yang beriman.
Ø  Bani Saidah, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku, hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota mereka yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang yang beriman.
Ø  Bani Jusyam, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku, hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota mereka yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang yang beriman.
Ø  Bani An Najjar, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku, hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota mereka yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang yang beriman.
Ø  Bani ‘Amr bin ‘Auf, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku, hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota mereka yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang yang beriman.
Ø  Bani An Nabit, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku, hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota mereka yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang yang beriman.
Ø  Bani Aus, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku, hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota mereka yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang yang beriman.
Ø  Orang-orang mukmin boleh membiarkan seseorang terlilit utang, hendaklah mereka memberikan bantuan kepadanya, berupa pembayaran denda atau tebusan.
Ø  Seorang mukmin tidak boleh melakukan tindakan yang tidak baik kepada sesama mukmin lainnya, baik yang merdeka maupun budak.
Ø  Seseorang mukmin yang bertaqwa berhak menentang seseorang yang menyimpang atau berusaha menyebarkan perbuatan dosa, kedzaliman, dan kerusakan diantara orang-orang Mukmin. Mereka hendaknya bersatu menghukum mereka, meskipun mereka adalah salah satu dari anak mereka.
Ø  Seseorang mukmin tidak dibenarkan membunuh seseorang demi membela orang kafir, juga tidak boleh membantu seorang kafir untuk melawan seorang mukmin.
Ø  Perlindungan (Dzimmah) Allah hanya satu, Allah berpihak kepada yang lemah dalam menghadapi yang kuat. Seorang mukmin adalah pelindung dalam pergaulan bagi Mukmin yang lain.
Ø  Siapapun dari kaum Yahudi yang mengikuti kita, maka ia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan bantuan dan pertolongan sepanjang dia tidak melakukan tindakan yang salah dan tidak membantu pihak lain untuk melawan mereka.
Ø  Kedamaian antar kaum muslimin adalah satu. Tak seorang mukmin pun di benarkan mengadakan perjanjian dengan orang non-Mukmin disaat perang di Jalan Allah kecuali atas dasar persamaan dan keadilan.
Ø  Perdamaian tidak dapat dibagi-bagi. Hanya ada satu perdamaian bagi kaum muslimin. Seorang Mukmin tidak dibenarkan membuat perdamaian dengan non-Mukmin disaat perang di Jalan Allah kecuali atas dasar persamaan dan keadilan.
Ø  Seorang mukmin adalah pelindung bagi Mukmin lainnya saat mereka mengorbankan jiwanya di jalan Allah. Dan orang-orang yang bertaqwa adalah orang-orang yang paling baik dan mendapatkan petunjuk.
Ø  Seorang Musyrik tidak boleh melindungi harta dan jiwa orang Quraisy dan tidak membantu mereka dalam melawan orang-orang mukmin.
Ø  Tatkala seorang jelas terbukti membunuh seorang Mukmin, maka dia wajib dibunuh sebagai balasan atas tindakan itu (Qishash). Kecuali jika kaum kerabat (ahli waris) korban setuju untuk memberikan ampunan, dan si pembunuh membayar uang (tebusan / diyat). Dan seorang Mukminin harus bersatu tangan melawan pembunuh itu. Tidak boleh memberi maaf kepada mereka, tetapi harus menyatakan perlawanan kepada mereka.
Ø  Tidak dibenarkan kepada seorang Mukminin yang setuju dengan kesepakatan ini serta beriman kepada Allah dan hari kemudian untuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang melakukan kesalahan dan dosa, juga memberikan perlindungan kepada mereka. Dan barang siapa yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada pelaku kejahatan, maka ia akan mendapat laknat Allah dan kemurkaan Nya di hari kiamat. Jika terjadi perselisihan pendapat, maka permasalahannya di kembalikan kepada Allah dan Muhammad.
Ø  Jika terjadi perselisihan pendapat diantara mereka, maka masalahnya dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya.
Ø  Kaum Yahudi menanggung biaya perang bersama-sama kaum Muslimin selama kaum muslimin berada dalam peperangan.
Ø  Kaum Yahudi bani Auf merupakan satu komunitas (Umat) sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan agamanya sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah agama mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia dalam anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø  Bagi kaum Yahudi bani Najar, merupakan satu komunitas (Umat) sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan agamanya sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah agama mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia dalam anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø  Bagi Kaum Yahudi bani Harits, merupakan satu komunitas (Umat) sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan agamanya sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah agama mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia dalam anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø  Bagi kaum Yahudi bani Saidah, merupakan satu komunitas (Umat) sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan agamanya sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah agama mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia dalam anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø  Bagi kaum Yahudi Bani Jusyam, merupakan satu komunitas (Umat) sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan agamanya sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah agama mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia dalam anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø  Bagi Kaum Yahudi bani Aus, merupakan satu komunitas (Umat) sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan agamanya sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah agama mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia dalam anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø  Bagi kaum Yahudi bani Tsa'labah, merupakan satu komunitas (Umat) sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan agamanya sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah agama mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia dalam anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø  Suku Jafnah, sebagai bagian dari bani Tsa'labah, memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan bani Tsa'labah.
Ø  Bani Syutaibah merupakan satu komunitas (Umat) sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan agamanya sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah agama mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia dalam anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø  Para budak kaum Yahudi bani Tsa'labah tidak berbeda dengan bani Tsa'labah sendiri.
Ø  Kelompok-kelompok keturunan Yahudi tidak berbeda dengan orang-orang Yahudi sendiri.
Ø  Tak seorang pun diperkenankan untuk berperang kecuali setelah mendapat izin dari Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Namun tidak dilarang untuk melakukan tindakan balasan jika di lukai. Dan barang siapa yang melakukan pertumpahan darah hanya karena menyangkut dirinya sendiri dan keluarganya, kecuali jika ia di dzalimi maka Allah benar-benar akan memberlakukan hukum terbaik dalam masalah ini (dokumen kesepakatan).
Ø  Kaum Yahudi dan kaum Muslimin menanggung biaya masing-masing. Kedua belah pihak saling membela dalam menghadapi pihak lain yang mengancam salah satu pihak yang mengakui kesepakatan ini. Kedua belah pihak saling memberi nasihat yang baik, bukan yang buruk. Dan tidak dibenarkan menimpakan kesalahan kepada seseorang akibat kesalahan yang dilakukan oleh sekutunnya. Dan orang yang diperlakukan dengan dzalim harus mendapat perlindungan.
Ø  Orang Yahudi menanggung biaya perang sepanjang kaum Muslimin terlibat sebuah peperangan.
Ø  Yatsrib (Madinah) menjadi daerah yang dilindungi (haram) bagi penanda tangan kesepakatan ini.
Ø  Tetangga diperlakukan sebagaimana dirinya sendiri, selama mereka tidak melakukan gangguan dan tindakan dosa.
Ø  Tak seorang perempuan pun yang berhak mendapat perlindungan kecuali mendapat izin dari kaumnya.
Ø  Semua peristiwa dan konflik yang terjadi antara pihak-pihak yang terlibat dalam kesepakatan, yang bisa merusak kehidupan bermasyarakat, maka perkara dikembalikan kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah. Allah berpihak dalam isi kesepakatan ini kepada yang memberi perlindungan dan yang berbuat baik.
ØTidak ada jaminan perlindungan yang diberikan kepada orang Quraisy dan para pendukungnya.
Ø  Semua pihak yang terlibat dalam kesepakan ini bekerja sama dalam melawan siapa saja yang menyerang kota yatsrib (Madinah)
Ø  Jika para penyerbu diajak berdamai dan menerima persetujuan, maka persetujuan tersebut dapat diterima dan dianggap sah. Jika mereka mengajak berdamai, maka wajib bagi setiap mukmin untuk menerima ajakan itu, kecuali mereka menyerang masalah agama, setiap orang berkewajiban melaksanakan kewajiban masing-masing sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Ø  Kaum Yahudi Bani Aus dan sekutunya masing-masing mempunyai hak yang sama seperti golongan lain yang menyetujui kesepakatan ini. Mereka diperlakukan dengan baik sesuai dengan perlakuan yang diterima oleh pihak-pihak yang menyetujui perjanjian ini, kebajikan jelas berbeda dengan keburukan.
Ø  Setiap orang bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri. Allah berpihak kepada yang terbaik dalam butir-butir kesepakatan ini. Kesepakatan ini tidak memberikan jaminan kepada orang-orang yang berbuat dosa dan berkhianat. Setiap orang mendapat jaminan didalam Madinah maupun di luar Madinah kecuali orang-orang yang melakukan kedzaliman dan dosa. Allah memberikan perlindungan kepada orang-orang yang baik dan bertaqwa kepada Nya.
 (Muhammad Rasulullah)
 Piagam Madinah ini sangat besar artinya bagi sejarah kehidupan politik umat Islam. Ia dipandang sebagai Undang Undang Dasar tertulis yang pertama sepanjang sejarah peradaban dunia. Ia dikenal dengan sebutan Madina Carter, Konstitusi madinah, dan Watsiqah Madinah, Sebelum Nabi Muhammad SAW, para penguasa Imperium dunia tidak menyertakan Undang Undang tertulis untuk mengatur dasar kekuasaannya.
Piagam Madinah selain berisi perjanjian dalam hidup bermasyarakat di negara Madinah, juga ia merupakan alat legitimasi bagi Nabi Muhammad untuk menjadi pemimpin bukan saja bagi kaum muslim tapi juga bagi seluruh penduduk Madinah, padahal beliau belum pernah memaklumatkan dirinya sebagai pemimpin. Syafi'i Ma'arif mengatakan bahwa piagam ini bertujuan untuk menciptakan keserasian politik dengan mengembangkan toleransi sesama­ religius dan budaya seluas-luasnya (Syafi'i Ma' Arif," 1988: 149 -164)
Langkah ketiga adalah meletakkan dasar-dasar berpolitik ekonomi dan sosial kemasyarakatan berdasarkan wahyu Alquran. Langkah ini dilakukan untuk menguatkan status negara Madinah. Ayat yang turun pada saat itu menitikberatkan kepada pembinaan hukum Islam dengan prinsip keadilan, kesamaan derajat, musyawarah. Termasuk pula aturan yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, hak dan kewajiban keluarga.
Langkah keempat adalah mempertahankan kedaulatan negara Madinah dari segala rongrongan, intervensi dan serangan dari luar. Rongrongan dan intervensi ini dilakukan oleh orang-orang kafir Makkah, orang-orang munafiq yang menetap di Madinah dan kaum Yahudi. Timbulnya rongrongan dan gangguan disebabkan karena dengan terbentuknya negara Madinah semakin memperkuat Islam bahkan memperbanyak jumlah orang-orang yang mengakui kerasulan Muhammad. Dengan perkembangan ini orang-orang kafir Quraisy, Yahudi dan munafiq menjadi risau dan dengki, mereka bahu-membahu mencoba untuk menghancurkan Islam. Kondisi inilah yang dipikirkan Nabi, sehingga beliau membentuk pasukan perang, digunakan untuk mempertahankan diri dan melindungi hak milik, menjaga keselamatan dalam penyebaran agama dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalangi penyebaran tersebut.
Perang Badar adalah perang pertama dalam Islam yang terjadi pada bulan Ramadhan tahun 2 H, sehingga Alquran mengabadikannya dengan Yaum Al-Furgan (pemisah antara hak dan batil). Perang ini sangat menetukan sejarah Islam selanjutnya. Dalam perang ini Nabi sebagai panglima perang membawa sepasukan tentara berjumlah 305 dengan membawa perlengkapan sederhana bergerak menuju lembah Badar. Ditempat itulah pasukan Nabi bertemu dengan pasukan Quraisy yang berjumlah sekitar 900 orang. Dalam perang ini kaum muslim keluar sebagai pemenang, namun kemenangan ini membuat kaum Yahudi tidak senang. Ketidaksenangan ini muncul karena mereka berkeinginan untuk keluar dari kesepakatan yang tertuang dalam piagam Madinah. Atas ketidaksenangan yang diimplementasikan dengan mengadakan persekongkolan dengan orang Makkah, maka bani Qoinuqa akhirnya diserang oleh Nabi dan berakibat mereka menyingkir keluar Madinah menuju Adhri'at di perbatasan Syria.
Muhammad adalah tokoh pertama yang menyadari arti pentingnya keterlibatan rakyat dan dukungan mereka dalam suatu sistem Administrasi Pemerintahan (Public Administration) yang tidak pandang dari mana dan bagaimana asal usul mereka serta mampu menghapus rasa tribalisme (kesukuan) yang selama dalam sejarah pra-modern loyalitas masyarakat Arab bukanlah atas dasar patriotisme namun loyalitas adalah demi rasa kesukuan semata (Our Tribesmen wrong orang Right = suku-ku tetap suku-ku salah atau benar). (Afzal Iqbal, 2000: 17)
Sebagaimana di nyatakan Mont Gomery Watt: keharusan mengembalikan segala persoalan kepada Muhammad tidak berarti akan secara otomatis menambah dan memperluas kekuasaan Muhammad, kecuali jika beliau yakin seyakin-yakinnya bahwa apa yang dilakukannya itu sesuai dengan etika moral dan kesepakatan umum.
Selain itu juga dalam piagam ini juga menyatakan bahwa Muhammad bukanlah hanya sebagai penyebar agama (rasul) saja, tetapi beliau sekaligus sebagai negarawan yang besar, dan terbesar sepanjang sejarah. (Montgomery Watt, 1956: 221-225)
Nabi Muhammad SAW, adalah: kaisar dan paus dalam satu orang, tetapi beliau adalah kaisar tanpa legiun kekaisaran dan paus tanpa keangkuhan seorang paus. Beliau adalah kaisar yang paling besar karena dia telah menciptakan suatu bangsa yang besar. Beliau mendirikan Republik Madinah, menyatukan unsur yang berbeda dalam satu kesatuan yang padu dan menyusun sebuah kitab undang-undang yang mengatur seluruh suku bangsa tanpa pembedaan kelas atau asal usul mereka. (Syed Mahmudunnaser, 1994: 123).
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya beberapa peperangan, diantara adalah faktor ketidakmauan kaum kafir quraisy dalam mengakui keberadaan Negeri Madinah, tercatat dalam sejaran bahwa perang yang terjadi pertama kali adalah perang Badr, perang Badr inilah yang merupakan pengobar semangat Jihad dan merupakan ciri khas Kaum Muslimin pada perang-perang dan penaklukan selanjutnya.
Sebagaimana di terangkan oleh Prof. Philiph K Hitti: meskipun peperangannya sendiri sama sekali tidak penting sebagai gerakan militer, namun Ghazwad-e-badr adalah merupakan peletakan dasar bagi kekokohan Kekuasaan duniawi Nabi Muhammad SAW. Kemenangan tersebut diraih dengan kedisiplinan yang tinggi.
 C.   Perjanjian Hudaibiyah Sebagai Bukti Pengakuan Kaum Kafir Qurais terhadap Republik Madinah
Kurang lebih Enam tahun pasca migrasi umat Islam dari Mekkah ke Madinah maka selama itu pula mereka tidak pernah bertilik kepada keluarganya dan bahkan berhaji ke Mekkah. Pasca perang khandaq, hasrat umat Islam untuk mengunjungi tanah kelahirannya karena didorong juga kerinduan mereka terhadap sanak famili mereka serta keinginan mereka untuk melakukan ibadah Haji semakin kuat. Menyadari keinginan para sahabatnya tersebut, maka Nabi Muhammad SAW, memutuskan untuk berkunjung ke mekkah, hal ini terjadi pada bulan Dzul Qa’dah tahun ke enam Hijriyah yang bertepatan dengan tahun 628 M. tercatat 1400 kaum muslimin pergi ke Mekkah berniat melakukan Ibadah haji. Ketika perjalanan sampai di Desa Hudaibiyah ± 6 mil (perjalanan satu hari ke Mekkah) Nabi Muhammad SAW, mengutus Usman bin Affan ke Pimpinan kaum Kafir Quraisy untuk menyampaikan maksud kedatangan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat ke Mekkah tersebut.
Namun saat itu terdengan desas-desus yang memberitakan bahwa Usman Bin Affan telah di bunuh, mendengar khabar tersebut para sahabat menyatakan ikrar di hadapan Nabi Muhammad SAW, untuk membela dan memperjuangkan Islam sampai titik darah yang penghabisan. Peristiwa ini dikenal dengan Baiah-e-Ridwan.
Setelah peristiwa tersebut maka umat kembali dengan selamat. Namun di Mekkah, para pemuka Quraisy saat itu mencemaskan hasrat Umat Islam tersebut. Karena itu mereka menyetujui untuk di selenggarakan suatu perjanjian, dan perjanjian ini dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah. Yang isinya adalah sebagai berikut:
Dengan nama – Mu Ya Allah, ini adalah kesepakatan antara Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amr.
Kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata selama masa waktu sepuluh tahun. Selama masa itu kedua belah pihak bebas menghirup udara damai dan mereka tidak diperkenankan untuk melakukan peperangan.
Dan jika ada salah seorang dari Pengikut Muhammad ingin melakukan perjalanan ke Mekkah disaat Haji ataupun Umrah atau untuk mencari karunia Allah (yakni berdagang sesuai dengan Al Qur-an Surah al-jumu’ah: 10) dalam perjalanan mereka ke Yaman ataupun ke Thaif, mereka akan mendapat pengamanan, baik individu mereka ataupun kekayaan yang mereka bawa. Dan siapapun datang ke Madinah, dari orang-orang Qiraisy yang sedang melakukan perjalanan ke Syiria atau ke Irak untuk mencari karunia dan rahmat Allah, maka juga harus dijamin keselamatan jiwa dan harta bendanya.
Dan siapa saja yang datang ke Muhammad di Madinah dari orang-orang Quraisy tanpa seizin Tuannya, maka Muhammad harus mengembalikan mereka kepada Tuannya. Dan siapapun yang datang kepada kaum Quraisy dari Pengikut Muhammad, maka orang-orang Qurais tidak wajib mengembalikannya kepada Muhammad.
Dan diantara kita harus menepati semua yang telah menjadi kesepakatan, dan tidak seorangpun diperkenankan untuk merusak netralitas secara rahasia dan tidak diperkenankan untuk melakukan sebuah aksi pengkhianatan.
Dan siapapun yang ingin memasuki kelompok Muhammad dan Aliansinya, mereka bebas memasukinya, dan barang siapan yang ingin masuk kelompok Quraisy dan aliansinya, mereka juga bebas melakukannya.
Dan Engkau (Muhammad) harus kembali dari kami, dan hendaknya tidak berada di tengah-tengah kami, dan jika tahun depan datang, maka kami akan keluar dari tempat kami dan kamu (Muhammad) dan orang-orang mu sekalian di perkenankan untuk tinggal selama tiga hari dan tiga malam dengan membawa senjata, dan senjata yang diperkenankan adalah pedang.
Dan hewan-hewan yang mereka bawa hendaknya mereka sembelih di tempat mereka saat ini berada (Yakni Hudaibiyah), dan tidak dibawanya ke Mekkah.
Tanda tangan Rasul dan Suhail
Para saksi:
Kaum Muslimin:
Abu bakar, Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Suhail Bin Amr, Sa’ad bin Abi Waqash, Muhammad Bin maslamah.
Orang-orang Mekkah:
Mikdad Bin Hafsh.
Penulis sekaligus saksi: Ali Bin Abi Tholib.
 Dua salinan perjanjian tersebut dipersiapkan. Satu dipegang Rasulullah SAW, sedangkan yang satu lagi diserahkan kepada Suhail bin Amr, sebagai kepala delegasi Quraisy. (Sarakhsy, 1961: 136).
Sungguhpun isi dari perjanjian tersebut dirasa sebagai impresi atau merupakan suatu penyerahan diri dan sangat merugikan kaum Muslimin, di dalam perjanjian Hudaibihan inilah terlihat bahwa Nabi Muhammad SAW, bukan sekedar sosok seorang Rasul akan tetapi juga merupakan seorang diplomat, ahli negosiasi dengan visi yang jelas dan mampu manangkap apa dan bagaimana tujuan serta manfaat dari perjanjian tersebut kedepan, dan dengan perjanjiah tersebut ada beberapa aspek yang sangat strategis bagi perjuangan Nabi Muhammad SAW, dan para sahabatnya.
Adapun aspek-aspek tersebut antara lain:
Pertama: Perjanjian tersebut secara tidak langsung menandakan suatu pengakuan kaum kafir Quraisy terhadap Status Politik yang dibangun Nabi Muhammad SAW, dan mengakui Nabi Muhammad SAW, sebagai pemimpin republik Madinah.
Kedua: Gencatan senjata selama 10 tahun merupakan kesempatan yang sangat baik bagi Republik Madinah untuk mengakomodir, dan mengadakan konsolidasi serta penataan administrasi negara. Karena Nabi Muhammad SAW, dan kaum muslimin tidak disibukkan dengan urusan konflik berkepanjangan dengan musuh terdekatnya.
Peristiwa ini merupakan test case yang menuntut kebijakan tingkat tinggi dan integritas penuh. sekaligus merupakan uji coba atas konsistensi Rasulullah SAW dalam melaksanakan perjanjian bilateral pertama yang memeras otak dan perasaan dalam kondisi yang sangat menegangkan.
Kepiawaian dalam berdiplomasi kesabaran umat Islam yang ditampilkan melalui kearifan sikap dalam perjanjian ini, secara tidak langsung telah menarik simpati orang-orang quraisy, sehingga tidak lama kemudian banyak orang-orang dari kaum Quraisy Mekkah meminta di ekstradisi ke Madinah dan menyatakan kesaksiannya serta kesetiaannya kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai rasul dan sebagai penguasa Republik Madinah.
Dalam hal ini Ibn Hisyam berkata bahwa ketika menjelang perjanjian Hudaibiyah pengikut Muhammad berjumlah 1400 orang, tetapi selang dua tahun pasca perjanjian Hudaibiyah jumlah kaum muslimin tercatat sejumlah 10.000. orang.
D.   Pengkhianatan Masyarakat Yahudi terhadap Republik Madinah
Dengan adanya pengakuan dari berbagai etnis, agama, Penegakan hak-hak azasi manusia serta penegakan hukum dan perlindungan terhadap kaum yang lemah yang kesemuanya tertuang dalam Konstitusi Madinah, maka dengan di dukung kabar datangnya seorang sosok pembawa rahmat bagi seluruh alam melalui kitab-kitabnya, maka kaum Yahudi menerima dan ikut mendeklarasikan berdirinya Undang Undang Republik baru yaitu Republik Madinah.
Namun karena kedengkian dan keirian atas kemajuan Republik Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW, serta inkonsistensi kaum Yahudi, membuat mereka mengkhianati keberadaan Republik tersebut.
Upaya yang mereka lakukan pertama kali adalah sebatas pertentangan terhadap Republik dengan perdebatan dan penghasutan antar suku dan etnis yang selama ini di persatukan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam Madina Carter. Upaya selanjutnya adalah mereka mendukung invasi Musyrikin Mekkah terhadap Republik Madinah. Hal ini di realisasikan dalam perang Badr. Serta berbagai teror di dalam negeri. Upaya selanjutnya adalah mencoba melakukan pembunuhan terhadap Nabi Muhammad SAW.
 E.    Ekspansi Ke Mekkah dan kota-kota lainnya
Adalah sebuah even spektakuler di masa awal perkembangan Islam, bertepatan dengan tanggal 20 Ramadhan, bulan Rasulullah SAW, pertama kali menerima wahyu, di kota Mekkah seorang yang pernah di usir dengan kasar kini kembali dengan misi kemenangan dengan kekuatan bersenjata, melihat tentara Islam yang berjalan berkelompok-kelompok yang sangat teratur, maka kepanikan meruyak di kalangan masyarakat Mekkah, karena yakin saat pembalasan atas kedzoliman mereka terhadap Muhammad, karena sadar akan kesalahan mereka saat sebelumya, maka masyarakat Mekkah menunggu segala kemungkinan keputusan yang keluar dari mulut Rasulullah SAW, dengan memakai sorban Produk Yaman, Nabi Muhammad SAW, merunduk pasrah kepada Allah. Rasulullah SAW, berhasil melakukan invasi pertamanya tanpa ada halangan satupun.
Para ahli sejarah Eropa menyatakan: sepanjang sejarah peradaban dunia, tidak pernah terjadi penaklukan yang penuh kemenangan seperti yang diperankan oleh Muhammad, tidak pernah terjadi sebuah invasi / penaklukan tanpa adanya pertumpahan darah setetespun. Dan tidak pernah terjadi Amnesti massal seperti yang dilakukan oleh Muhammad. (Prof K. Ali, 2000: 70) 
Dengan penaklukan Mekkah ini secara otomatis menjadikan Muhammad sebagai penguasa seluruh semenanjung Arabia.

No comments:

Post a Comment