BAB V
PIAGAM
MADINAH SEBAGAI UNDANG UNDANG DASAR TERTULIS PERTAMA YANG DISEPAKATI BERSAMA
ELEMEN LAIN SEPANJANG SEJARAH PERADABAN DUNIA
Diskursus
tentang konsep negara dan pemeritahan versi Islam telah menimbulkan diskusi
panjang di kalangan pemikir muslim dan memunculkan perbedaan pandangan yang cukup panjang, tidak
hanya berhenti pada tataran teoritis konsepsional, tetapi juga memasuki wilayah
politik praktis, sehingga acapkali membawa pertentangan dan perpecahan di
kalangan umat Islam.
Selain disebabkan oleh faktor sosio-historis dan
sosio-kultural, yakni perbedaan latar belakang sejarah dan sosial-budaya umat
Islam, perbedaan pandangan juga disebabkan oleh faktor yang bersifat teologis,
yaitu tidak adanya keterangan tegas (clear-cut explanation) tentang
negara dan pemerintahan dalam sumber-sumber Islam; al-Qur'an dan al-Sunnah.
Memang terdapat beberapa term yang sering dihubungkan dengan konsep negara,
seperti khalifah, dawlah, atau hukumah, namun term tersebut
berada dalam kategori ayat-ayat zanniyat yang memungkinkan penafsiran
'A1-Qur'an tidak membawa keterangan yang jelas tentang bentuk negara,
konsepsi tentang kekuasaan dan kedaulatan serta ide tentang konstitusi.
Perbedaan
tentang negara dan pemerintahan dapat dilacak sejak Nabi Muhammad SAW wafat.
Dalam hal ini terdapat perbedaan pandangan tentang masalah suksesi kepemimpinan
yang terjadi di sekitar kewafatan Nabi Muhammad.
Walaupun sebagian umat Islam (kelompok Syi'ah) meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW
telah mewariskan kepemimpinannya kapada Ali bin Abi Thalib, melalui peristiwa
Ghadir Khum, namun sebagian besar yang lain (kelompok Sunni) menganggap bahwa
peristiwa tersebut tidak berhubungan dengan suksesi kepemimpinan, dan Nabi
Muhammad SAW tidak menentukan modus suksesi kepemimpinan.
Perbedaan pandangan tentang negara dan pemerintahan di kalangan pemikir
muslim, juga disebabkan oleh perbedaan persepsi mereka tentang esensi kedua
konsep tersebut. Sebagian memandang bahwa keduanya (negara dan pemerintahan)
berbeda secara konseptual; pemerintahan adalah corak kepemimpinan dalam
mengatur kepentingan orang banyak (berhubungan dengan metode atau strategi
politik), sedangakan negara merupakan institusi politik sebagai wadah
penyelenggaraan pemerintahan (berhubungan dengan bentuk atau format politik).
Sebagai konsekuensinya, wacana tentang negara dan pemerintahan dapat dilakukan
secara tepisah seperti membicarakan strategi dan penyelenggaraan dan pengisian
pemerintahan tanpa mempersoalkan bentuk negara. Sebagian yang lain
memandang bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya, sehingga pembicaraan
tentang pemerintahan tidak bisa terlepas dari pembicaraan tentang negara.
Permasalahan menjadi lebih rumit
jika dikaitkan dengan suatu kenyataan bahwa konsep negara adalah konsep modern
yang datang dari dunia Barat, yang tidak ada presedennya dalam sejarah
Islam. Dalam perspektif Barat, negara disebut negara-bangsa (nation state) -terbentuk atas dasar solidaritas kebangsaan. Negara adalah fenomena modern yang
terbentuk sebagai manifestasi nasionalisme yang melanda dunia pada
paruhan abad ke-20.
Meskipun Islam mengakui eksistensi bangsa dan kesukuan, wawasan kebangsaan
tidak bertentangan dengan wawasan keislaman, namun bentuk ekstrem dari rasa
kebangsaan (nasionalisme) yang mendasari pelembagaan negara-bangsa dapat
menjadi persolan jika dihadapkan dengan universalisme Islam. Hal ini menjadi
alasan bagi mereka yang menolak konsep negara-bangsa, dan kemudian mencari
bentuk negara dalam khasanah sejarah Islam.
Dalam pemikiran politik Islam, pembicaraan tentang negara dan pemerintahan
oleh para ulama politik mengarah kepada dua tujuan. Pertama,
menemukan idealitas Islam tentang
negara atau pemerintahan (menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu mencoba
menjawab pertanyaan "apa bentuk negara menurut Islam". Kedua, melakukan idealisasi dari perspetif Islam terhadap proses penyelenggaraan
negara atau pemerintahan dengan menekankan aspek praksis dan
substansial), yaitu mencoba menjawab pertanyaan "bagaimana isi negara
menurut Islam". jika pendekatan pertama bertolak dari anggapan bahwa Islam
memiliki konsep tertentu tentang negara dan pemerintahan, maka pendekatan kedua
bertolak dari anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara
dan pemerintahan, tapi hanya membawa prinsip-prinsip dasar berupa nilai etika
dan moral.
Dalam kaitan ini
paling tidak terdapat tiga paradigma pandangan Islam tentang negara. Pertama adalah paradigma integratif, yaitu
adanya integrasi antara Islam dan negara. Wilayah agama juga meliputi politik
atau negara. Karenanya, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik
dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara didasarkan atas "kedaulatan
Ilahi" (divine
sovereignty), karenanya memang kedaulatan itu berasal dan berada di “tangan " Tuhan.
Paradigma ini
meniscayakan adanya negara bagi umat Islam dalam corak negara teokratis,
biasanya dengan menegaskan Islam (syari'ah) sebagai konstitusi negara dan modus
suksesi kepemimpinan cenderung bersifat terbatas dan tertutup. Negara dalam hal
ini dapat mengambil berbagai bentuk monarki maupun republik dan dalam prakteknya
cenderung menisbatkan diri dengan Islam secara formal, yaitu dengan menyebut
diri sebagai negara Islam.
Kedua paradigma simbiotik, yang memandang
bahwa agama dan negara berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat
berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara
dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Paradigma ini
juga meniscayakan adanya lembaga negara bagi umat Islam tapi dengan corak yang
demokratis - melalui pendirian lembaga-lembaga demokrasi parlemen dan dengan
modus suksesi kepemimpinan yang memberi kesempatan pada partai politik rakyat. Negara dapat mengambil bentuk monarki (konstitusional) maupun republik dan
lain-lain. Dalam kenyataan empiris, penisbatan Islam dengan negara dapat
bersifat formal maupun substansial, yaitu dengan memberi tempat bagi agama
dalam konstitusi dan kehidupan bernegara.
Ketiga paradigma instrumental, yaitu bahwa negara merupakan
instrumen atau alat bagi pengembangan agama dan realisasi nilai-nilai agama. Paradigma ini
bertolak dari suatu aggapan bahwa Islam hanya membawa prinsip-prinsip dasar
tentang kehidupan bernegara dan tidak menentukan bentuk tunggal. Dalam
paradigma ini agama tidak berhubungan formal dan institusional dalam negara dan
menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinisasi
Islam akan bentuk tertentu daripada negara. Sebagai gantinya, dalam paradigma
ini, agama dapat berperan untuk memberikan kontribusi nilai etik dan moral
bagi perkembangan kehidupan politik dan kehidupan kenegaraan.
Paradigma ini
tidak terlalu peduli kepada bentuk negara, konstitusi maupun modus suksesi,
berdasarkan pada suatu anggapan bahwa Islam tidak menentukan format tunggal
tentang itu. Sebagai gantinya, paradigma ini mementingkan substantifikasi Islam
yaitu melakukan pemaknaan nilai-nilai Islam secara hakiki ke dalam proses
politik dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dari perspektif
paradigma ini, aktifitas politik umat Islam berada pada tataran kultural yaitu
mengembangkan landasan budaya bagi terwujudnya masyarakat utama sesuai
nilai-nilai Islam. (DR. M. Din Syamsuddin, 2000:)
A.
Sosial dan Budaya Madinah Sebelum
Hijrah
Yatsrib yang sudah dikenal sebagai wilayah yang tenang
dengan tanah yang subur dan air yang melimpah. la
dikelilingi oleh bebatuan gunung berapi yang hitam. Wilayah paling penting
adalah Harrah Waqim di bagian timur
dan Harrah al-Wabarah di bagian
barat. Harrah Waqim lebih subur dan
padat penduduknya dibanding Harrah
al-Wabarah. Gunung Uhud berada di utara dan Gunung Asir di barat daya.
Mempunyai beberapa lembah seperti Wadi
Batsan, Mudhainib, Mahzur, dan 'Agiq. Lembah-lembah ini membentang dari
selatan ke utara. Nama Yatsrib sudah ada dalam tulisan-tulisan Ma'ini. Suatu
indikasi akan keunikannya (Jawwad Ali: 295). Sedikit literature tentang kota
ini sebelum Islam.
Penduduknya terdiri dari kelompok Yahudi yang secara umum
corak dan keberadaan mereka sebagaimana Yahudi di Hijaz pada umumnya, konon
mereka adalah pendatang dari Syam (Syria) perkiraan pada abad pertama dan kedua
Masehi setelah Syiria dan Mesir dikuasai Romawi. Kedatagan mereka secara
bergelombang mulai masa Raja Titus tahun 70 M. dan Hadrian. Mereka membentuk
komtanitas Yahudi di Madinah dan Hijaz. (Jawwad Ali, 1968, p. 513)
Terdapat dua kelompok Yahudi di Yatsrib yaitu Bani Nadhir dan Bani Quraizhah, Mereka menetap di Harrah Waqim hingga bagian timur Yatsrib, wilayah paling subur.
Suku Yahudi yang juga terkenal adalah Bani Qainuqa'. Ada perbedaan pendapat
tentang asal-usul mereka, apakah mereka Yahudi yang pindah ke Yatsrib atau
orang-orang Arab yang masuk agama Yahudi. Perbedaan pendapat serupa juga
menyangkut suku-suku Yahudi yang kecil-kecil yang disebutkan dalam
sumber-sumber Arab, seperti Bani Akrimah, Bani Muhammar, Bani Za'ura, Bani
Syathibah, Bani Jasyam, Bani Mu'awiyah, Bani Murad, Bani Qasis, dan Bani
Tsa'labah. (as-Samhudi,: 2)
as-Samhudi menyebutkan bahwa ada lebih dari dua puluh suku kecil di sana.
Mendominasi segala aktifitas ekonomi dan budaya maupun pengembangan intelektual
di Yatsrib dan pada saat yang sama mereka sangat dipengaruhi oleh suku-suku
Arab di sekeliling Yatsrib. Misalnya, Yahudi membawa gagasan membangun benteng
dari Syiria ke Yatsrib. Mereka juga membawa keahlian dalam bidang pertanian
seperti kelapa sawit, anggur, delima, dan sejumlah tanaman yang menghasilkan
biji-bijian. Demikian juga dalam peternakan unggas.
Sebagaimana Yahudi sangat berpengaruh di Yatsrib, mereka
juga sangat dipengaruhi oleh orang-orang Arab di sekeliling mereka. Misalnya,
solidaritas kesukuan mulai terlihat di kalangan Yahudi, termasuk 'ashabiyah 'fanatisme', kedermawanan, kesenangan
terhadap puisi, dan latihan-latihan mempergunakan senjata. Perasaan kesukuan
ini menyelimuti Yahudi sampai batas bahwa mereka tidak bisa hidup sebagai satu
kelompok agama. Sebaliknya, mereka hidup sebagai suku-suku yang berselisih yang
sulit diselesaikan, bahkan pada masa Nabi ketika mereka menghadapi pembuangan.
Aktivitas ekonomi mereka didominasi praktek riba.
Sedangkan suku Arab terdiri dari suku-suku Aus dan
Khazraj yang mendiami daerah-daerah padang pasir. Suku Aus dan Khazraj masih
mempunyai hubungan dengan suku Azd yang bermigrasi dari Yaman ke utara dalam
beberapa tahapan. Tahapan pertama diperkirakan terjadi pada 207 M, ketika
Khuza'ah pindah ke Mekah.
Suku Aus menempati daerah al-'Awali (dataran tinggi) di samping Quraizhah dan Nadhir.
Sementara, Khazraj menempati dataran rendah Madinah, sebagai tetangga suku Bani
Qainuqa'. Daerah yang ditempati suku Aus lebih subur dibanding yang ditempati
suku Khazraj. Ini menyebabkan munculnya konflik antara kedua belah pihak.
Diantara suku-suku yang ada di Yatsrib senantiasa
dirundung konflik yang berkepanjangan hingga akhirnya datang Islam membawa
perdamaian diantara mereka.
B.
Piagam Madinah sebagai legitimasi
sosial dan Administratif keberadaan Republik Madinah
Pengaruh gurun pasir yang tandus menjadikan karakteristik
arab mempunyai pegangan tidak akan menyerahkan dirinya kepada kontrol negara
mana pun. Unit politik dan sosial mereka adalah suku. Negara-negara kecil yang
bermunculan di beberapa tempat Jazirah Arab jauh sebebelun Islam, telah menjadi
buntu. Sukuisme dan jalan hidup nomadik (mengembara) yang bercirikan
solidaritas kesukuan, konfliks, dan perpecahan, telah sangat dominan di
seluruh semenanjung jazirah. Islam datang dengan bangunan konsep ketatanegaraan
yang mengikat mereka, baik secara individual maupun suku. Negara Madinah secara
totalistik dibangun di atas dasar ideologis (ideological
base), dan menyatukan semenanjung Arabia untuk pertama kalinya dalam
sejarah di bawah bendera Islam. Ini adalah babak baru dalam sejarah politik
jazirah Arab.
Islam membawa perubahan radikal dalam kehidupan
individual dan sosial Madinah karena kemampuannya mempengaruhi kualitas seluruh
aspek kehidupan, "(Kami mengambil)
warna kami (sibghah) dari Allah, dan apakah yang lebih baik dari Allah dalam
memberi warna ?...." (al-Baqarah: 138).
Setibanya Rasul di Madinah, maka secara resmi beliau
telah menjadi pemimpin penduduk kota. Beliau dihadapkan pada persoalan menata
masyarakat yang majemuk, terdiri dari: 1) muslim pendatang dari Makkah (kaum
Muhajirin), 2) muslim Madinah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj (kaum
Anshar), 3) anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menyembah berhala, nantinya
masuk Islam, 4) orang-orang Yahudi yang terdiri dari bani Qainuqa, bani Nadhir
dan bani Quraidlah serta sub suku-suku lainnya (Zafrulloh Khan, 1986: 88).
Untuk menopang kebijakan politik Madinah, maka ayat Alquran yang turun lebih
banyak mengambil bentuk sosial kemasyarakatan atas dasar keyakinan agama.
Perilaku Nabi yang melintasi batas kerasulan dengan
menjadi pemimpin sebuah komunitas inilah yang menjadikan periode sejarah Islam
Madinah sebagai periode politik. Nabi saat itu bukan saja punya peran sebagai
seorang Rasul pimpinan agama (otoritas ukhrawi dan spiritual), namun dia juga
menduduki jabatan sebagai kepala negara dan hakim, yaitu pemegang otoritas
keduniaan. (Abdul Aziz Thaba, 1996: 96)
Langkah politik pertama yang dilakukan Nabi setelah tiba
di Yatsrib adalah mengganti nama kota tersebut menjadi Madinah. Hal ini
dilakukan Nabi untuk membangun pandangan baru pada seluruh masyarakat bahwa
kota ini berbeda dengan sebelumnya, dibangun dengan landasan keyakinan agama
dan berperadaban, sesuai dengan namanya sebagai kota yang berseri-seri.
Penamaan ini penting untuk memutus hubungan dengan masa lalu yang penuh
perselisihan. Kemudian diteruskan dengan membangun masjid. Masjid dalam hal ini
bukan hanya sekedar sebagai tempat ibadah kepada Allah, namun lebih dari itu,
pembangunan masjid itu untuk mempersatukan masyarakat dalam bingkai keagamaan
tauhid, dimana orang Arab sering berkumpul di suatu tempat untuk
mempertontonkan sihir, permainan dan jual beli. Dalam perkembangan selanjutnya
masjid dijadikan Nabi sebagai tempat musyawarah, merundingkan masalah yang
dihadapi bahkan berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Dengan demikian masjid
yang dijiwai oleh semangat tauhidillah, mampu berfungsi menjadikan masyarakat
muslim dalam setiap perilakunya selalu terkait dengan Allah.
Langkah yang kedua adalah membangun landasan kehidupan
bernegara yang diatur dalam piagam Madinah. Pertama berisi pembentukan koalisi
antara kaum Muhajirin dan Anshar dalam sebuah kelompok politik bersama yang
disebut dengan Ummat. Persaudaraan sesama muslim ini penting untuk menjalankan
sebuah pertahanan dan pembelaan kepada Muhammad sebagai pimpinan mereka dalam
soal agama. Mereka bertindak juga dalam kerangka mempertahankan Madinah sebagai
sebuah negara. Selain memutus hubungan masa lalu yang mempunyai prinsip dan
solidaritas atas dasar nasab dengan masa Nabi yang berdasar atas prinsip
persatuan sesama pemeluk agama dan solidaritas Islam. Kedua, piagam Madinah
juga berisi aturan yang menyatukan hubungan antara komunitas muslim dan non
muslim. Hal ini diperlukan karena penduduk Madinah terdiri dari warga muslim
(Muhajirin dan Anshar), kaum Yahudi dan orang Arab yang belum menganut Islam.
Perjanjian ini digunakan untuk menciptakan Madinah dalam suasana tenteram dan
stabil.
Kebijakan dalam piagam madinah didasarkan atas asas
saling hidup dan menghidupi, Nabi Muhammad SAW berusaha membentuk lembaga
kesejahteraan umum. Dalam rangka merealisasikan tujuannya tersebut Nabi
Muhammad SAW secara administratif memprakarsai penyusunan suatu perjanjian atau
konsensus bersama dengan seluruh tokoh masyarakat maupun tokoh agama yang
terdiri dari berbagai elemen masyarakat Madinah. Konsensus ini akhirnya dikenal
dengan sebutan “Piagam Madinah” atau “Madina
Carter”.
Diantara pokok-pokok ketentuan dalam Piagam adalah:
Ø Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang,
ini adalah kesepakatan yang ditulis oleh Muhammad, Rasulullah dengan
orang-orang muslim (Mekkah) Quraisy dan Yatsrib, serta siapapun yang mengikuti
mereka dan yang menyatakan kesetiaan untuk berjihad bersama mereka.
Ø Mereka adalah satu komunitas umat yang berbeda dari
masyarakat yang lain.
Ø Kaum Muhajirin dan Quraisy, sesuai dengan adat kebiasaan
yang berlaku sebelumnya, hendaklah bekerja sama dalam membayar tebusan untuk
membebaskan anggota mereka yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan
anggota yang ditawan dengan cara yang benar dan baik.
Ø Bani Auf, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku,
hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota mereka
yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan
cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang yang
beriman.
Ø Bani Harits, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku,
hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota mereka
yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan
cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang yang
beriman.
Ø Bani Saidah, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku,
hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota mereka
yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan
cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang yang
beriman.
Ø Bani Jusyam, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku,
hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota mereka
yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan
cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang yang
beriman.
Ø Bani An Najjar, sesuai dengan adat kebiasaan yang
berlaku, hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota
mereka yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan
dengan cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang
yang beriman.
Ø Bani ‘Amr bin ‘Auf, sesuai dengan adat kebiasaan yang
berlaku, hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota
mereka yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan
dengan cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang
yang beriman.
Ø Bani An Nabit, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku,
hendaklah bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota mereka
yang ditawan. Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan
cara yang baik dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang yang
beriman.
Ø Bani Aus, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku, hendaklah
bekerja sama dalam mengupayakan pembayaran tebusan anggota mereka yang ditawan.
Tiap-tiap kelompok harus membebaskan anggota yang ditawan dengan cara yang baik
dan adil sesuai dengan tradisi yang ada di antara orang yang beriman.
Ø Orang-orang mukmin boleh membiarkan seseorang terlilit
utang, hendaklah mereka memberikan bantuan kepadanya, berupa pembayaran denda
atau tebusan.
Ø Seorang mukmin tidak boleh melakukan tindakan yang tidak
baik kepada sesama mukmin lainnya, baik yang merdeka maupun budak.
Ø Seseorang mukmin yang bertaqwa berhak menentang seseorang
yang menyimpang atau berusaha menyebarkan perbuatan dosa, kedzaliman, dan
kerusakan diantara orang-orang Mukmin. Mereka hendaknya bersatu menghukum
mereka, meskipun mereka adalah salah satu dari anak mereka.
Ø Seseorang mukmin tidak dibenarkan membunuh seseorang demi
membela orang kafir, juga tidak boleh membantu seorang kafir untuk melawan
seorang mukmin.
Ø Perlindungan (Dzimmah) Allah hanya satu, Allah berpihak
kepada yang lemah dalam menghadapi yang kuat. Seorang mukmin adalah pelindung
dalam pergaulan bagi Mukmin yang lain.
Ø Siapapun dari kaum Yahudi yang mengikuti kita, maka ia
memiliki hak yang sama dalam mendapatkan bantuan dan pertolongan sepanjang dia
tidak melakukan tindakan yang salah dan tidak membantu pihak lain untuk melawan
mereka.
Ø Kedamaian antar kaum muslimin adalah satu. Tak seorang
mukmin pun di benarkan mengadakan perjanjian dengan orang non-Mukmin disaat
perang di Jalan Allah kecuali atas dasar persamaan dan keadilan.
Ø Perdamaian tidak dapat dibagi-bagi. Hanya ada satu
perdamaian bagi kaum muslimin. Seorang Mukmin tidak dibenarkan membuat
perdamaian dengan non-Mukmin disaat perang di Jalan Allah kecuali atas dasar
persamaan dan keadilan.
Ø Seorang mukmin adalah pelindung bagi Mukmin lainnya saat
mereka mengorbankan jiwanya di jalan Allah. Dan orang-orang yang bertaqwa
adalah orang-orang yang paling baik dan mendapatkan petunjuk.
Ø Seorang Musyrik tidak boleh melindungi harta dan jiwa
orang Quraisy dan tidak membantu mereka dalam melawan orang-orang mukmin.
Ø Tatkala seorang jelas terbukti membunuh seorang Mukmin,
maka dia wajib dibunuh sebagai balasan atas tindakan itu (Qishash). Kecuali
jika kaum kerabat (ahli waris) korban setuju untuk memberikan ampunan, dan si
pembunuh membayar uang (tebusan / diyat). Dan seorang Mukminin harus bersatu
tangan melawan pembunuh itu. Tidak boleh memberi maaf kepada mereka, tetapi
harus menyatakan perlawanan kepada mereka.
Ø Tidak dibenarkan kepada seorang Mukminin yang setuju
dengan kesepakatan ini serta beriman kepada Allah dan hari kemudian untuk
memberikan bantuan kepada orang-orang yang melakukan kesalahan dan dosa, juga
memberikan perlindungan kepada mereka. Dan barang siapa yang memberikan bantuan
dan perlindungan kepada pelaku kejahatan, maka ia akan mendapat laknat Allah
dan kemurkaan Nya di hari kiamat. Jika terjadi perselisihan pendapat, maka
permasalahannya di kembalikan kepada Allah dan Muhammad.
Ø Jika terjadi perselisihan pendapat diantara mereka, maka
masalahnya dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya.
Ø Kaum Yahudi menanggung biaya perang bersama-sama kaum
Muslimin selama kaum muslimin berada dalam peperangan.
Ø Kaum Yahudi bani Auf merupakan satu komunitas (Umat)
sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan agamanya
sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah agama
mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia dalam
anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø Bagi kaum Yahudi bani Najar, merupakan satu komunitas
(Umat) sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan
agamanya sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah
agama mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia
dalam anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø Bagi Kaum Yahudi bani Harits, merupakan satu komunitas
(Umat) sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan
agamanya sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah
agama mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia
dalam anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø Bagi kaum Yahudi bani Saidah, merupakan satu komunitas
(Umat) sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan
agamanya sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah
agama mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia
dalam anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø Bagi kaum Yahudi Bani Jusyam, merupakan satu komunitas
(Umat) sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan
agamanya sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah
agama mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia
dalam anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø Bagi Kaum Yahudi bani Aus, merupakan satu komunitas
(Umat) sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan
agamanya sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah
agama mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia
dalam anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø Bagi kaum Yahudi bani Tsa'labah, merupakan satu komunitas
(Umat) sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan
agamanya sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah
agama mereka. Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia
dalam anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø Suku Jafnah, sebagai bagian dari bani Tsa'labah, memiliki
hak dan kewajiban yang sama dengan bani Tsa'labah.
Ø Bani Syutaibah merupakan satu komunitas (Umat)
sebagaimana orang-orang mukmin, dan masing-masing pada keyakinan agamanya
sendiri. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslim adalah agama mereka.
Dan jika dalam hal ini, satu pihak melakukan kesalahan, maka dia dalam
anggotanya bertanggung jawab untuk menanggung akibatnya.
Ø Para budak kaum Yahudi bani Tsa'labah tidak berbeda
dengan bani Tsa'labah sendiri.
Ø Kelompok-kelompok keturunan Yahudi tidak berbeda dengan
orang-orang Yahudi sendiri.
Ø Tak seorang pun diperkenankan untuk berperang kecuali
setelah mendapat izin dari Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Namun tidak
dilarang untuk melakukan tindakan balasan jika di lukai. Dan barang siapa yang
melakukan pertumpahan darah hanya karena menyangkut dirinya sendiri dan
keluarganya, kecuali jika ia di dzalimi maka Allah benar-benar akan
memberlakukan hukum terbaik dalam masalah ini (dokumen kesepakatan).
Ø Kaum Yahudi dan kaum Muslimin menanggung biaya
masing-masing. Kedua belah pihak saling membela dalam menghadapi pihak lain
yang mengancam salah satu pihak yang mengakui kesepakatan ini. Kedua belah
pihak saling memberi nasihat yang baik, bukan yang buruk. Dan tidak dibenarkan
menimpakan kesalahan kepada seseorang akibat kesalahan yang dilakukan oleh
sekutunnya. Dan orang yang diperlakukan dengan dzalim harus mendapat
perlindungan.
Ø Orang Yahudi menanggung biaya perang sepanjang kaum
Muslimin terlibat sebuah peperangan.
Ø Yatsrib (Madinah) menjadi daerah yang dilindungi (haram)
bagi penanda tangan kesepakatan ini.
Ø Tetangga diperlakukan sebagaimana dirinya sendiri, selama
mereka tidak melakukan gangguan dan tindakan dosa.
Ø Tak seorang perempuan pun yang berhak mendapat
perlindungan kecuali mendapat izin dari kaumnya.
Ø Semua peristiwa dan konflik yang terjadi antara
pihak-pihak yang terlibat dalam kesepakatan, yang bisa merusak kehidupan
bermasyarakat, maka perkara dikembalikan kepada Allah dan kepada Muhammad
Rasulullah. Allah berpihak dalam isi kesepakatan ini kepada yang memberi
perlindungan dan yang berbuat baik.
ØTidak ada jaminan perlindungan yang diberikan kepada
orang Quraisy dan para pendukungnya.
Ø Semua pihak yang terlibat dalam kesepakan ini bekerja
sama dalam melawan siapa saja yang menyerang kota yatsrib (Madinah)
Ø Jika para penyerbu diajak berdamai dan menerima
persetujuan, maka persetujuan tersebut dapat diterima dan dianggap sah. Jika
mereka mengajak berdamai, maka wajib bagi setiap mukmin untuk menerima ajakan
itu, kecuali mereka menyerang masalah agama, setiap orang berkewajiban
melaksanakan kewajiban masing-masing sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Ø Kaum Yahudi Bani Aus dan sekutunya masing-masing
mempunyai hak yang sama seperti golongan lain yang menyetujui kesepakatan ini.
Mereka diperlakukan dengan baik sesuai dengan perlakuan yang diterima oleh
pihak-pihak yang menyetujui perjanjian ini, kebajikan jelas berbeda dengan
keburukan.
Ø Setiap orang bertanggung jawab terhadap perbuatannya
sendiri. Allah berpihak kepada yang terbaik dalam butir-butir kesepakatan ini.
Kesepakatan ini tidak memberikan jaminan kepada orang-orang yang berbuat dosa
dan berkhianat. Setiap orang mendapat jaminan didalam Madinah maupun di luar
Madinah kecuali orang-orang yang melakukan kedzaliman dan dosa. Allah
memberikan perlindungan kepada orang-orang yang baik dan bertaqwa kepada Nya.
(Muhammad Rasulullah)
Piagam Madinah ini sangat besar artinya bagi sejarah
kehidupan politik umat Islam. Ia dipandang sebagai Undang Undang Dasar tertulis
yang pertama sepanjang sejarah peradaban dunia. Ia dikenal dengan sebutan
Madina Carter, Konstitusi madinah, dan Watsiqah Madinah, Sebelum Nabi Muhammad
SAW, para penguasa Imperium dunia tidak menyertakan Undang Undang tertulis
untuk mengatur dasar kekuasaannya.
Piagam Madinah selain berisi perjanjian dalam hidup
bermasyarakat di negara Madinah, juga ia merupakan alat legitimasi bagi Nabi
Muhammad untuk menjadi pemimpin bukan saja bagi kaum muslim tapi juga bagi
seluruh penduduk Madinah, padahal beliau belum pernah memaklumatkan dirinya sebagai
pemimpin. Syafi'i Ma'arif mengatakan bahwa piagam ini bertujuan untuk
menciptakan keserasian politik dengan mengembangkan toleransi sesama religius
dan budaya seluas-luasnya (Syafi'i Ma' Arif," 1988: 149 -164)
Langkah ketiga adalah meletakkan dasar-dasar berpolitik
ekonomi dan sosial kemasyarakatan berdasarkan wahyu Alquran. Langkah ini
dilakukan untuk menguatkan status negara Madinah. Ayat yang turun pada saat itu
menitikberatkan kepada pembinaan hukum Islam dengan prinsip keadilan, kesamaan
derajat, musyawarah. Termasuk pula aturan yang berkaitan dengan kehidupan
keluarga, hak dan kewajiban keluarga.
Langkah keempat adalah mempertahankan kedaulatan negara
Madinah dari segala rongrongan, intervensi dan serangan dari luar. Rongrongan
dan intervensi ini dilakukan oleh orang-orang kafir Makkah, orang-orang munafiq
yang menetap di Madinah dan kaum Yahudi. Timbulnya rongrongan dan gangguan
disebabkan karena dengan terbentuknya negara Madinah semakin memperkuat Islam
bahkan memperbanyak jumlah orang-orang yang mengakui kerasulan Muhammad. Dengan
perkembangan ini orang-orang kafir Quraisy, Yahudi dan munafiq menjadi risau
dan dengki, mereka bahu-membahu mencoba untuk menghancurkan Islam. Kondisi
inilah yang dipikirkan Nabi, sehingga beliau membentuk pasukan perang,
digunakan untuk mempertahankan diri dan melindungi hak milik, menjaga
keselamatan dalam penyebaran agama dan mempertahankannya dari orang-orang yang
menghalangi penyebaran tersebut.
Perang Badar adalah perang pertama dalam Islam yang
terjadi pada bulan Ramadhan tahun 2 H, sehingga Alquran mengabadikannya dengan
Yaum Al-Furgan (pemisah antara hak dan batil). Perang ini sangat menetukan
sejarah Islam selanjutnya. Dalam perang ini Nabi sebagai panglima perang
membawa sepasukan tentara berjumlah 305 dengan membawa perlengkapan sederhana
bergerak menuju lembah Badar. Ditempat itulah pasukan Nabi bertemu dengan
pasukan Quraisy yang berjumlah sekitar 900 orang. Dalam perang ini kaum muslim
keluar sebagai pemenang, namun kemenangan ini membuat kaum Yahudi tidak senang.
Ketidaksenangan ini muncul karena mereka berkeinginan untuk keluar dari
kesepakatan yang tertuang dalam piagam Madinah. Atas ketidaksenangan yang
diimplementasikan dengan mengadakan persekongkolan dengan orang Makkah, maka
bani Qoinuqa akhirnya diserang oleh Nabi dan berakibat mereka menyingkir keluar
Madinah menuju Adhri'at di perbatasan Syria.
Muhammad adalah tokoh pertama yang menyadari arti
pentingnya keterlibatan rakyat dan dukungan mereka dalam suatu sistem
Administrasi Pemerintahan (Public Administration) yang tidak pandang dari mana
dan bagaimana asal usul mereka serta mampu menghapus rasa tribalisme (kesukuan)
yang selama dalam sejarah pra-modern loyalitas masyarakat Arab bukanlah atas
dasar patriotisme namun loyalitas adalah demi rasa kesukuan semata (Our Tribesmen wrong orang Right =
suku-ku tetap suku-ku salah atau benar). (Afzal Iqbal, 2000: 17)
Sebagaimana di nyatakan Mont Gomery Watt: keharusan
mengembalikan segala persoalan kepada Muhammad tidak berarti akan secara
otomatis menambah dan memperluas kekuasaan Muhammad, kecuali jika beliau yakin
seyakin-yakinnya bahwa apa yang dilakukannya itu sesuai dengan etika moral dan
kesepakatan umum.
Selain itu juga dalam piagam ini juga menyatakan bahwa
Muhammad bukanlah hanya sebagai penyebar agama (rasul) saja, tetapi beliau
sekaligus sebagai negarawan yang besar, dan terbesar sepanjang sejarah.
(Montgomery Watt, 1956: 221-225)
Nabi Muhammad SAW, adalah: kaisar dan paus dalam satu
orang, tetapi beliau adalah kaisar tanpa legiun kekaisaran dan paus tanpa
keangkuhan seorang paus. Beliau adalah kaisar yang paling besar karena dia
telah menciptakan suatu bangsa yang besar. Beliau mendirikan Republik Madinah,
menyatukan unsur yang berbeda dalam satu kesatuan yang padu dan menyusun sebuah
kitab undang-undang yang mengatur seluruh suku bangsa tanpa pembedaan kelas
atau asal usul mereka. (Syed Mahmudunnaser, 1994: 123).
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya
beberapa peperangan, diantara adalah faktor ketidakmauan kaum kafir quraisy dalam
mengakui keberadaan Negeri Madinah, tercatat dalam sejaran bahwa perang yang
terjadi pertama kali adalah perang Badr, perang Badr inilah yang merupakan
pengobar semangat Jihad dan merupakan ciri khas Kaum Muslimin pada
perang-perang dan penaklukan selanjutnya.
Sebagaimana di terangkan oleh Prof. Philiph K Hitti:
meskipun peperangannya sendiri sama sekali tidak penting sebagai gerakan
militer, namun Ghazwad-e-badr adalah
merupakan peletakan dasar bagi kekokohan Kekuasaan duniawi Nabi Muhammad SAW.
Kemenangan tersebut diraih dengan kedisiplinan yang tinggi.
C.
Perjanjian Hudaibiyah Sebagai
Bukti Pengakuan Kaum Kafir Qurais terhadap Republik Madinah
Kurang lebih Enam tahun pasca migrasi umat Islam dari
Mekkah ke Madinah maka selama itu pula mereka tidak pernah bertilik kepada
keluarganya dan bahkan berhaji ke Mekkah. Pasca perang khandaq, hasrat umat
Islam untuk mengunjungi tanah kelahirannya karena didorong juga kerinduan
mereka terhadap sanak famili mereka serta keinginan mereka untuk melakukan
ibadah Haji semakin kuat. Menyadari keinginan para sahabatnya tersebut, maka
Nabi Muhammad SAW, memutuskan untuk berkunjung ke mekkah, hal ini terjadi pada
bulan Dzul Qa’dah tahun ke enam Hijriyah yang bertepatan dengan tahun 628 M.
tercatat 1400 kaum muslimin pergi ke Mekkah berniat melakukan Ibadah haji.
Ketika perjalanan sampai di Desa Hudaibiyah ± 6 mil (perjalanan satu hari ke
Mekkah) Nabi Muhammad SAW, mengutus Usman bin Affan ke Pimpinan kaum Kafir
Quraisy untuk menyampaikan maksud kedatangan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat
ke Mekkah tersebut.
Namun saat itu terdengan desas-desus yang memberitakan
bahwa Usman Bin Affan telah di bunuh, mendengar khabar tersebut para sahabat
menyatakan ikrar di hadapan Nabi Muhammad SAW, untuk membela dan memperjuangkan
Islam sampai titik darah yang penghabisan. Peristiwa ini dikenal dengan Baiah-e-Ridwan.
Setelah peristiwa tersebut maka umat kembali dengan
selamat. Namun di Mekkah, para pemuka Quraisy saat itu mencemaskan hasrat Umat
Islam tersebut. Karena itu mereka menyetujui untuk di selenggarakan suatu
perjanjian, dan perjanjian ini dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah. Yang
isinya adalah sebagai berikut:
Dengan
nama – Mu Ya Allah, ini adalah kesepakatan antara Muhammad bin Abdullah dan
Suhail bin Amr.
Kedua
belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata selama masa waktu sepuluh
tahun. Selama masa itu kedua belah pihak bebas menghirup udara damai dan mereka
tidak diperkenankan untuk melakukan peperangan.
Dan
jika ada salah seorang dari Pengikut Muhammad ingin melakukan perjalanan ke
Mekkah disaat Haji ataupun Umrah atau untuk mencari karunia Allah (yakni
berdagang sesuai dengan Al Qur-an Surah al-jumu’ah: 10) dalam perjalanan mereka
ke Yaman ataupun ke Thaif, mereka akan mendapat pengamanan, baik individu
mereka ataupun kekayaan yang mereka bawa. Dan siapapun datang ke Madinah, dari
orang-orang Qiraisy yang sedang melakukan perjalanan ke Syiria atau ke Irak
untuk mencari karunia dan rahmat Allah, maka juga harus dijamin keselamatan
jiwa dan harta bendanya.
Dan
siapa saja yang datang ke Muhammad di Madinah dari orang-orang Quraisy tanpa
seizin Tuannya, maka Muhammad harus mengembalikan mereka kepada Tuannya. Dan
siapapun yang datang kepada kaum Quraisy dari Pengikut Muhammad, maka
orang-orang Qurais tidak wajib mengembalikannya kepada Muhammad.
Dan
diantara kita harus menepati semua yang telah menjadi kesepakatan, dan tidak
seorangpun diperkenankan untuk merusak netralitas secara rahasia dan tidak
diperkenankan untuk melakukan sebuah aksi pengkhianatan.
Dan
siapapun yang ingin memasuki kelompok Muhammad dan Aliansinya, mereka bebas
memasukinya, dan barang siapan yang ingin masuk kelompok Quraisy dan
aliansinya, mereka juga bebas melakukannya.
Dan
Engkau (Muhammad) harus kembali dari kami, dan hendaknya tidak berada di
tengah-tengah kami, dan jika tahun depan datang, maka kami akan keluar dari
tempat kami dan kamu (Muhammad) dan orang-orang mu sekalian di perkenankan
untuk tinggal selama tiga hari dan tiga malam dengan membawa senjata, dan
senjata yang diperkenankan adalah pedang.
Dan
hewan-hewan yang mereka bawa hendaknya mereka sembelih di tempat mereka saat
ini berada (Yakni Hudaibiyah), dan tidak dibawanya ke Mekkah.
Tanda
tangan Rasul dan Suhail
Para
saksi:
Kaum
Muslimin:
Abu
bakar, Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Suhail Bin Amr,
Sa’ad bin Abi Waqash, Muhammad Bin maslamah.
Orang-orang
Mekkah:
Mikdad
Bin Hafsh.
Penulis
sekaligus saksi: Ali Bin Abi Tholib.
Dua salinan perjanjian
tersebut dipersiapkan. Satu dipegang Rasulullah SAW, sedangkan yang satu lagi
diserahkan kepada Suhail bin Amr, sebagai kepala delegasi Quraisy. (Sarakhsy,
1961: 136).
Sungguhpun isi dari
perjanjian tersebut dirasa sebagai impresi atau merupakan suatu penyerahan diri
dan sangat merugikan kaum Muslimin, di dalam perjanjian Hudaibihan inilah
terlihat bahwa Nabi Muhammad SAW, bukan sekedar sosok seorang Rasul akan tetapi
juga merupakan seorang diplomat, ahli negosiasi dengan visi yang jelas dan
mampu manangkap apa dan bagaimana tujuan serta manfaat dari perjanjian tersebut
kedepan, dan dengan perjanjiah tersebut ada beberapa aspek yang sangat
strategis bagi perjuangan Nabi Muhammad SAW, dan para sahabatnya.
Adapun aspek-aspek
tersebut antara lain:
Pertama: Perjanjian tersebut secara tidak langsung menandakan
suatu pengakuan kaum kafir Quraisy terhadap Status Politik yang dibangun Nabi
Muhammad SAW, dan mengakui Nabi Muhammad SAW, sebagai pemimpin republik
Madinah.
Kedua: Gencatan senjata selama 10 tahun merupakan kesempatan
yang sangat baik bagi Republik Madinah untuk mengakomodir, dan mengadakan
konsolidasi serta penataan administrasi negara. Karena Nabi Muhammad SAW, dan
kaum muslimin tidak disibukkan dengan urusan konflik berkepanjangan dengan
musuh terdekatnya.
Peristiwa ini merupakan test case yang menuntut kebijakan
tingkat tinggi dan integritas penuh. sekaligus merupakan uji coba atas
konsistensi Rasulullah SAW dalam melaksanakan perjanjian bilateral pertama yang
memeras otak dan perasaan dalam kondisi yang sangat menegangkan.
Kepiawaian dalam
berdiplomasi kesabaran umat Islam yang ditampilkan melalui kearifan sikap dalam
perjanjian ini, secara tidak langsung telah menarik simpati orang-orang
quraisy, sehingga tidak lama kemudian banyak orang-orang dari kaum Quraisy
Mekkah meminta di ekstradisi ke Madinah dan menyatakan kesaksiannya serta
kesetiaannya kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai rasul dan sebagai penguasa
Republik Madinah.
Dalam hal ini Ibn Hisyam
berkata bahwa ketika menjelang perjanjian Hudaibiyah pengikut Muhammad
berjumlah 1400 orang, tetapi selang dua tahun pasca perjanjian Hudaibiyah
jumlah kaum muslimin tercatat sejumlah 10.000. orang.
D. Pengkhianatan Masyarakat Yahudi
terhadap Republik Madinah
Dengan adanya pengakuan
dari berbagai etnis, agama, Penegakan hak-hak azasi manusia serta penegakan
hukum dan perlindungan terhadap kaum yang lemah yang kesemuanya tertuang dalam
Konstitusi Madinah, maka dengan di dukung kabar datangnya seorang sosok pembawa
rahmat bagi seluruh alam melalui kitab-kitabnya, maka kaum Yahudi menerima dan
ikut mendeklarasikan berdirinya Undang Undang Republik baru yaitu Republik
Madinah.
Namun karena kedengkian
dan keirian atas kemajuan Republik Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad
SAW, serta inkonsistensi kaum Yahudi, membuat mereka mengkhianati keberadaan
Republik tersebut.
Upaya yang mereka lakukan
pertama kali adalah sebatas pertentangan terhadap Republik dengan perdebatan
dan penghasutan antar suku dan etnis yang selama ini di persatukan oleh Nabi
Muhammad SAW, dalam Madina Carter. Upaya selanjutnya adalah mereka mendukung
invasi Musyrikin Mekkah terhadap Republik Madinah. Hal ini di realisasikan
dalam perang Badr. Serta berbagai teror di dalam negeri. Upaya selanjutnya
adalah mencoba melakukan pembunuhan terhadap Nabi Muhammad SAW.
E. Ekspansi Ke Mekkah dan kota-kota
lainnya
Adalah sebuah even
spektakuler di masa awal perkembangan Islam, bertepatan dengan tanggal 20
Ramadhan, bulan Rasulullah SAW, pertama kali menerima wahyu, di kota Mekkah
seorang yang pernah di usir dengan kasar kini kembali dengan misi kemenangan
dengan kekuatan bersenjata, melihat tentara Islam yang berjalan
berkelompok-kelompok yang sangat teratur, maka kepanikan meruyak di kalangan
masyarakat Mekkah, karena yakin saat pembalasan atas kedzoliman mereka terhadap
Muhammad, karena sadar akan kesalahan mereka saat sebelumya, maka masyarakat
Mekkah menunggu segala kemungkinan keputusan yang keluar dari mulut Rasulullah
SAW, dengan memakai sorban Produk Yaman, Nabi Muhammad SAW, merunduk pasrah
kepada Allah. Rasulullah SAW, berhasil melakukan invasi pertamanya tanpa ada
halangan satupun.
Para ahli sejarah Eropa
menyatakan: sepanjang sejarah peradaban dunia, tidak pernah terjadi penaklukan
yang penuh kemenangan seperti yang diperankan oleh Muhammad, tidak pernah
terjadi sebuah invasi / penaklukan tanpa adanya pertumpahan darah setetespun.
Dan tidak pernah terjadi Amnesti massal seperti yang dilakukan oleh Muhammad.
(Prof K. Ali, 2000: 70)
Dengan penaklukan Mekkah ini secara otomatis
menjadikan Muhammad sebagai penguasa seluruh semenanjung Arabia.
No comments:
Post a Comment