Wednesday, 15 March 2017

Sejarah Administrasi dan Kontribusinya terhadap Peradaban Islam 4

BAB IV
ADMINISTRASI ZAMAN RASULULLAH SAW
 A.   Nasab Nabi Muhammad SAW, sebagai Sang Administrator
Suku Quraisy adalah sebuah keluarga terhormat keturunan dari Nabi Ismail. Salah satu keturunan Nabi Ismail terdapat seorang yang berhasil mempersatukan suku-suku bangsa Arab yang bernama Fihr atau sering dalam sejarah kebudayaan Islam disebut sebagai Qusay. Qusay kemudian menguasai ka’bah dan mendirikan Dar Al Nadwah (Gedung Musyawarah), sebagai tempat berkumpulnya pemuka suku quraisy dan kepala suku yang ada di Arabia saat itu. Dan bertempat disinilah Qusay menjalankan urusan Administrasi pemerintahannya.
Abduddar anak Qusay melanjutkan tapuk pemerintahan dalam memimpin Hijaz dengan pusat pemerintahan di Makkah, sepeninggal Abduddar kekuatan dibagi antara putranya dan putra saudaranya, Abd Manaf. Putra Abd Manaf yang bernama Abdus Syam menangani urusan administrasi dan keuangan sedangkan putra Abduddar sendiri yaitu Umayyah menangani urusan militer. Sedangkan Abdus Syam menyerahkan kekuasaanya kepada saudaranya yang bernama Hasyim, Umayyah berusaha mengambil otoritas Hasyim yang menurutnya jabatan tersebut adalah merupakan haknya, namun karena kuatnya Hasyim dalam memegang supremasi, maka Umayyah tersingkir dalam perkelahian perebutan kekuasaan tersebut hingga akhirnya ia mendapatkan vonis pengasingan luar kota selama sepuluh tahun oleh Dewan hukum dan pengadilan, hal inilah picu utama dari perseteruan keturunan Umayyah dan keturunan Hasyim di masa-masa selanjutnya.
Hasyim dalam perkawinannya dengan wanita Madinah melahirkan seorang laki-laki yang bernama Syabih, setelah kematian Hasyim, Syabih Mutthallib sebagai saudara Hasyim membawa Syabih ke Mekkah. Orang Madinah menyangka Syabih sebagai budak Muttholib sehingga masyarakat Mekkah menyebutnya “Syabih Abdul Mutholib” yang selanjutnya dalam sejarah Islam nama Syabih menjadi nama Abdul Muttholib.
Sifat-dermawan dan kebijaksanaan serta dengan bekal genetis sebagai administrator, ia dipercayai dan diakui sebagai pemimpin di tengah-tengah suku Quraisy, namun Harb sebagai putra Umayyah yang merupakan musuh bebuyutan Hasyim tidak mengakui kepemimpinan Syabih atau yang lebih terkenal dengan sebutan Abdul Mutholib tersebut.
Ketika Abdul Muttholib berusia 70 tahun ia masih mempunyai dua orang anak seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mekah mendapat serangan mendadak yang menurut masyarakat Arab saat itu disebutnya serangan aneh, yaitu serangan militer kristen Yaman yang dipimpin Abrahah dengan mengendarai gajah.
Namun malang bagi barikade gajah tersebut karena dalam perjalanan jauh memelahkan dan sudah sampai ke tujuan yaitu sudah memasuki kota tetapi niat tersebut tidak tersampaikan. Betapa tidak, pasukan militer Kristen Yaman tersebut sesampainya di kota Mekkah terkena serangan wabah epidemik dan secara tiba-tiba datang badai panas gurun pasir yang ganas dan mampu menerbangkan bebatuan kecil yang ada disekitar kejadian. Dan akhirnya seluruh pasukan lenyap dan konon Abrahah berhasil melarikan diri, namun sesampainya di Yaman ia meninggal akibat power syndrome yang dihadapinya.
Sebelum terjadi peristiwa tersebut, ketika mendengar Kota Mekkah akan mendapat serangan, maka Abdul Muthholib menitipkan putranya yang bernama Abdullah untuk berlindung di rumah Wahhab, seorang kepala suku dari bani Zahra. Di rumah inilah Abdullah di kawinkan dengan Aminah putri Wahhab.
Abdullah hidup bersama Aminah hanya tiga hari di rumah Wahhab, kemudian ia meninggalkan istrinya untuk berbisnis ke kota Syiria, namun takdirnya menggariskan dalam perjalanan pulang Abdullah jatuh sakit dan meninggal di dekat Yatsrib, Abdullah meninggalkan warisan kepada Muhammad kelak berupa lima ekor unta, sejumlah biri-biri dan seorang budak perempuan yang bernama Ummu Aiman.
Al-Din al-Islam sebagaimana agama-agama samawi sebelumnya, maka pembawa risalah Al-Din al-Islam adalah seorang yang bangsawan dan administrator yang handal, orang tersebut adalah Muhammad Ibn Abdullah. Al-Din al-Islam merupakan suatu Undang Undang yang mencakup segala aspek keduniaan dan aspek akhirat.
Dalam kurun waktu yang sangat singkat menurut ukuran seorang reformasi total yaitu ± 23 tahun. Al-Din al-Islam dengan Muhammad Ibn Abdullah sebagai pembawanya. Mampu memdirikan sebuah Imperium baru, meskipun belum ada nama dari sebuah negara, namun dengan ber Ibukota Madina Al Munawwarah Al-Din al-Islam dengan Muhammad Ibn Abdullah sebagai pembawanya mampu manandingi dan bahkan melebihi kelihaian para moyangnya dalam hal manajemen organisasi dan administrasi kenegaraan.
Sebelumnya para ahli sejarah telah mencatat bahwa Hammurabi seorang kaisar Negeri Babylonia, berhasil membukukan sebuah Undang Undang tertulis pertama. Namun dalam analisa sejarah modern karya Hammurabi tersebut belum layak disebut sebagai Undang Undang Dasar Negara.
Al-Din al-Islam yang datang beberapa abad setelahnya dengan Muhammad Ibn Abdullah yang masih serumpun dengan Hammurabi, berhasil meletakkan dasar Kenegaraan dengan Undang Undang Dasar yang lengkap dan dapat diterima oleh segenap lapisan masyarakat, baik itu masyarakat yang berbeda etnis, agama, golongan, maupun kesukuan.
Al-Din al-Islam sebagai agama untuk umat Islam, namun dalam pranata yang dibawa jika di telaah secara detail ayat demi ayat maka Al-Din al-Islam adalah merupakan rahmat bagi sekalian alam. Bagaimana mungkin Al-Din al-Islam juga mengatur hubungan dengan orang yang tidak mau bahkan mengingkari keberadaan Al-Din al-Islam, disana juga mengatur hak-hak orang yang justru menentangnya.
Betapa indahnya suatu sistim kenegaraan yang segala pranatanya serba baru dan di manaj oleh seorang yang dari masa mudanya sudah terkenal Sebagai Al Amin serta secara genetika memang berdarah bangsawan yang legislator dan Administrator yang handal, meskipun demikian Muhammad Ibn Abdullah senantiasa menghargai pendapat para sahabatnya dalam hal menjadi roda pemerintahan yang baru dibentuknya. Dan juga Muhammad Ibn Abdullah meski dari seorang yatim piatu dan dari kecilnya sudah di sia-siakan oleh kaumnya, namun setelah menjabat sebagai seorang yang mempunyai otoritas penuh tanpa sedikitpun mempunyai kesombongan, kecongkakan dan keserakahan.
Muhammad Ibn Abdullah meskipun mencapai kesuksesan yang besar dalam sejarah peradaban dunia, akan tetapi setiap berhasil memenangkan suatu peperangan atau penaklukan, Muhammad Ibn Abdullah semakin merunduk dengan rasa syukur dan merasakan bahwa dirinya tidak ada apa-apanya, Muhammad Ibn Abdullah hanya ingin disebut sebagai hamba yang paling bersyukur terhadap Tuhannya.
Setelah lengkap dalam meletakkan dasar-dasar suatu imperium, Muhammad Ibn Abdullah tidak meninggalkan warisan apapun kepada keluarganya, tapuk kepemimpinan negara pun akhirnya di teruskan oleh sahabat-sahabatnya yang setia dalam mendampinginya.
Perjalanan para sahabatnya antara lain: adalah Abu bakar Ash Shiddiq, Umar Bin Khottob, dan Usman Bin Affan sahabat sejati Muhammad Ibn Abdullah. Dalam meneruskan kepemimpinan negara meskipun mereka senantiasa menyempurnakan kebijakan pendirinya, tetapi tidak satupun menghilangkan atau mengurangi atau mengamandemen segala aturan perundang undangan yang telah ditetapkan sebelumnya, meskipun aturan itu merugikan dirinya secara material.
 B.    Kelahiran dan Awal Kehidupan Muhammad
Janda Aminah melahirkan seorang laki-laki pada hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awwal 571 M. anak tersebut diberi nama Ahmad oleh Ibunya dan oleh kakeknya di beri nama Muhammad, kedua nama ini banyak di singgung didalam Al Qur-an.
Sesuai dengan budaya Arab Mekkah, dalam pemeliharaan anaknya senantiasa menyerahkan kepada orang lain. Muhamad pun dipelihara oleh Halimah seorang dari Suku Sa’id, dalam asuhan Halimah, Muhammad selain hidup di desa yang menu makanannya penuh sayuran yang bergizi lengkap dan adat serta pergaulan dalam Suku Sa’id yang terkenal dengan lughat Arab yang paling murni, paling indah dan paling fasih di semenanjung Arabia, maka berkembanglah Muhammad dalam segala kemurnian tersebut selama lima tahun.
Pada usia enam tahun ia di serahkan kepada ibunya, selang beberapa hari Muhammad diajak ibunya ke Yatsrib untuk memperkenalkan kepada saudara-saudaranya dan sekaligus berziarah ke pusara ayahnya.
Ketika sampai di desa Abwa Aminah jatuh sakit dan wafat disana, Muhammad dengan ditemani Oleh Sahaya setianya yaitu Ummu Aiman kembali ke Mekkah kedalam pangkuan kakeknya, ± hanya 2 tahun dalam pelukan kakeknya, muhammad pun ditinggal oleh kakeknya.
Sepeninggal Abdul Mutholib, Muhammad diasuh oleh Pamannya yang dalam segi ekonomi tergolong menengah kebawah. Dalam asuhan pamannya tersebut Muhammad di training dalam etos kerja yang tinggi demi sesuap nasi, menyadari kenyataan-kenyataan yang ada dengan renungan menjadikan Muhammad sebagai pemuda yang sensitif, ramah dan arif. Kearifan dan kejujuran Muhammad tersebut dikenal oleh masyarakat Kota Mekkah saat itu hingga ia digelari “Al Amin.”.
Pada usia 12 tahun, ketika ikut pamannya berniaga ke Negri Syria, bertemu dengan pendeta Kristen yang bernama Buhira / Bahra, pendeta tersebut memeriksa tanda-tanda kenabian Muhammad, maka dari itu kepada Abu Tholib dipesankan agar menjaga kemenakannya dengan baik dan melarang melanjutkan pernalanan niaganya, karena dihawatirkan ketika di Negeri Syiria, tanda-tanda kerasulan Muhammad diketahui oleh pendeta Yahudi disana, dan Muhammad akan dibunuh.
Tatkala Muhammad berusia 15 tahun, terjadilan perang antar suku keturu­nan Kinanah dan Quraisy (yang melibatkan Bani Hasim) di satu pihak melawan kabilah Hawazin di pihak lain. Perang ini dikenal dengan perang Fijar yang artinya pendurhakaan. Disebut demikian karena awal terjadinya disebabkan oleh pelanggaran atas larangan permusuhan pada bulan-bulan suci yang sangat dihormati berdasar aturan dan adat serempat.
Muhammad membantu pamannya untuk mengumpulkan mata panah yang dilemparkan oleh musuh dan diserahkan kepada Abu Tholib dan pada saat itu Muhammad cenderung mempelajari Ilmu Perang dari pamannya.
Perang ini berakhir atas prakarsa generasi muda yang tehimpun dalam Hilful Fudzul melalui perundingan yang melahirkan kesepakatan membentuk sebuah persyarikatan yang disebut Hilful Fudzul yang atinya sumpah utama. Tujuan utama hilf al fudlul adalah untuk memberikan perlindungan bagi yang teraniaya di kota Mekah, baik oleh pcnduduknya sendiri maupun oleh pihak Iain. Muhammad terpilih menjadi salah satu anggotanya dan merupakan anggota termuda.
C.   Perkawinan Muhammad dengan Khadijah dan perilaku administrasinya menjelang kerasulan.
Perkawinan Muhammad dengan Khodijah berjalan dengan baik, meskipun beda usia mereka jauh, yaitu Muhammad berusia 25 tahun dan Khodijah berusia 42 tahun. Perkawinan mereka berjalan dengan mulus dan dikarunian beberapa orang anak.
Dari perkawinan dengan pengusaha eksport import yang ternama di kota Mekkah tersebut Muhammad banyak belajar mengenai Business Administration (Administrasi Niaga). Serta dengan kebijakan dan kejujuran Muhammad yang terkenal hingga seluruh penjuru Arabia, Muhammad dengan dibantu oleh istrinya Khadijah belajar tentang Public Administration (Administrasi Negara).
D.   Dakwah Muhammad dalam Melawan Simbol Supremasi Sosial dan politik Kaum Musyrikin Quraisy.
Setelah Muhammad menerima risalah kenabian pada usia 40 tahun. Mulailah ia mendakwahkan risalah tersebut kedalam ketersesatan masyarakat Mekkah dengan pokok risalah Tauhid, menuju kepada kehidupan yang lebih baik, dengan meninggalkan segala Ilah fisik maupun Ilah non fisik yang menjadi tradisi masyarakat Mekkah saat itu. Orang yang pertama kali menerima ajakan tersebut adalah Khodijah, Ali Bin Abi Tholib, Abu bakar, usman, Abdurrahman, Zaid, Zubair dan Thalhah. Hingga penyebaran selama 3 – 4 tahun tercatat hanya 40 orang pengikut.
Penyebaran risalah tersebut pada awalnya hanya dicemooh oleh sebagian besar masyarakat kota Mekkah, namun menyadari kemajuan seruan Muhammad tersebut merupakan ancaman maka masyarakat kota Mekkah berbalik arah dari sekedar mencemooh menjadi memusuhi, menyakiti dan bahkan menumpas Muhammad dan para pengikutnya.
Sebenarnya penolakan terhadap seruan risalah Muhammad bukan semata penolakan terhadap ajaran tauhid saja, lebih dari itu, penolakan mereka didasarkan pada risalah Islam yang menghendaki perombakan total terhadap supremasi sosial, ekonomi dan politik yang ada saat itu yang dalam sejarah kebudayaan Islam dikenal dengan Supremasi jahiliyah.
Dasar keyakinan Muhammad Secara otomatis, selain bertentangan dengan dasar keyakinan mereka, mereka tidak menghendaki adanya perombakan tatanan sosial, ekonomi dan politik mereka baik secara administratif maupun secara non administratif. Ka’bah dengan ratusan berhala yang mengitarinya disamping merupakan simbol supremasi politik, juga merupakan income yang besar pada musim haji saat itu.
Ketika gerakan Rasulullah makin meluas, jumlah pengikutnya bertambah banyak dan seruannya makin tegas dan lantang, bahkan secara terang-terangan mengecam agama berhala dan mencela kebodohan nenek moyang mereka yang memuja-muja berhala itu. Orang-orang Quraisy terkejut dan marah. Mereka bangkit menentang dakwah Rasulullah dan dengan berbagai macam cara berusaha menghalang-halanginya.
Menurut Syalabi ada lima faktor yang menyebabkan orang Quraisy menentang da'wah Rasulallah, yaitu:
1.      Takut kehilangan kekuasaan. Mereka belum bisa membedakan antara kenabian dengan kerajaan. Mereka mengira memenuhi scruan Rasulullah berarti tunduk kepada Bani Abd al-Muthalib. Hal ini, menurut anggapan mereka, akan menyebabkan suku-suku Arab secara administratif kehilangan otoritas statis sosial politik dan ekonomi dalam masyarakat, sehingga jika mereka tunduk kepada Risalah muhammad mereka akan kalah dalam percaturan politik yang saat itu dipegang bani Abdis Syam.
2.      Persamaan derajat. Rasulullah mengajarkan persamaan derajat di antara umat manusia. Hal ini berlawanan dengan tradisi Arab jahiliah yang membeda-bedakan derajat manusia berdasarkan kedudukan dan status sosial. Bangsawan Quraisy belum siap menerima ajaran yang akan meruntuhkan tradisi dan dasar-dasar kehidupan mereka yang sudah terstratifikasi dalam kasta, sebagaimana adanya persamaan status dan hak azasi seorang budak dengan tuannya, kaya dan miskin dan sebagainya.
3.      Takut dibangkitkan kembali setelah mati. Gambaran tentang kebangkitan kembali setelah mati sebagaimana diajarkan Islam, sangat mengerikan di mata pemimpin-pemimpin Quraisy. Oleh karena itu mereka enggan me­meluk Islam yang mengajarkan bahwa manusia akan dibangkitkan kembali dari kematiannya untuk mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya sewaktu hidup di dunia, sedangkan dalam pandangan umum suku Quraisy kehidupan di dunia ini adalah supremasi kekuasaan dan pengaruh, sedangkan dalam islam hal tersebut harus di tinggalkan.
4.      Taklid kepada nenek moyang (Tradisi). Bangsa Arab jahiliah menganggap, bahwa tradisi nenek moyang merupakan sesuatu yang mutlak dan tidak boleh diganggu gugat. Terlampau berat bagi mereka meninggalkan agama nenek moyangnya, apalagi yang diajarkan Rasuluilah itu bertolak belakang dengan keyakinan yang mereka anut, karena dengan menerima risalah Muhammad berarti melanggar tradisi yang dipegang teguh oleh nenek moyang mereka.
5.      Perniagaan patung (Ekonomi). Larangan menyembah patung dan larangan me­mahat dan memperjual-belikannya merupakan ancaman yang akan mematikan usaha pemahat dan penjual patung. Lebih dari itu, para penjaga Ka'bah juga tidak mau kehilangan sumber penghasilan dan pengaruh yang diperoleh dari jasa pelayanan terhadap orang-orang yang datang ke Mekah untuk menyembah patung dalam berhaji mereka.
Dengan alasan tersebut diatas, kaum kafir Quraisy menolak dengan keras dibarengi dengan berbagai penekanan dan teror terhadap pengikut Muhammad. Namun demikian semakin ditekan risalah yang dibawa Muhammad semakin berkembang saja, oleh karenanya kaum kafir Quraisy melakukan pemboikotan terhadap dua kabilah pendukung dakwah Muhammad, yakni banu Hasyim dan banu Muthollib dengan isi pembikotan yang ditempel pada dinding Ka’bah dengan isi:
Seluruh kabilah di arab memutuskan hubungan dengan kabilah banu Hasyim dan Banu Muthollib termasuk hubungan perkawinan, jual-beli, ziarah-menziarahi,
Akibat dari pemboikotan ini banu Hasyim dan banu Muthollib menderita kelaparan, kemiskinan dan kesengasaraan yang berat.
 E.    Perjanjian Aqabah I dan Aqabah II sebagai Konsolidasi Organisasi dalam Administrasi Islam di Madinah
Dari berbagai penekanan dan siksaan dari kaum Quraisy yang semakin menjadi-jadi, maka strategi ekspansi Islam di Mekkah sepertinya kurang berhasil, maka ekspansi pengembangan risalah yang dibawa Muhammad di arahkan kepada rombongan haji dari berbagai kota di semenanjung Arabia.
Ketika musim haji yang di tunggu-tunggu tiba, Muhammad mendatangi suatu tempat yang telah disepakati sebelumnya dengan rombongan haji dari Yatsrib di bukit Aqabah. Dari kesepakatan tersebut 12 pemuda dari Kota Yatsrib menyatakan beriman kepada apa yang disampaikan oleh Muhammad, mereka bersama-sama mengangkat tangan Muhammad seraya bersyahadah menyatakan bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Peristiwa ini dikenal sebagai “Bai’ah al Aqabah ula’ (Perjanjian Aqabah Pertama).
Pada musim haji berikutnya, 73 pemuda Yatsrib bersumpah akan menolong Nabi Muhammad dan melindungi nabi Muhammad. Mereka juga mengundang Nabi Muhammad SAW, singgah ke kota mereka. Namun nabi menangguhkan undangan tersebut.
Strategi awal yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, adalah mengutus Mus'ab sebagai ustadz dan mempelajari kondisi dan budaya masyarakat Yatsrib yang sebenarnya, ketika mendapat laporan detail dari Mus'ab tentang perkembangan Islam di Yatsrib yang sangat pesat karena didukung oleh kultur masyarakat yang majemuk dan kondisi geografis dan geologis yang mendukung perkembangan Islam. Maka berangkatlah Nabi Muhammad SAW, dan pengikutnya hijrah ke Yatsrib melalui beberapa tahap.
Berbeda dengan kultur masyarakat Arab yang mengandalkan sistim Aristokrasi sebagaimana dalam suku Quraisy, maka dalam sistim politik Yatsrib tidak mengenal hal ini sehingga perkembangan Islam lebih mudah diterima.
Selain itu pertimbangan politis hijrah Nabi Muhammad SAW, berdasarkan keterangan Mus'ab adalah diantara suku yang ada di Yatsrib dilanda perseteruan yang berkepanjangan dan menghabiskan banyak korban baik harta maupun nyawa, mereka sangat merindukan seorang tokoh berkepribadian besar, yang bijak dan mampu menciptakan perdamaian diantara mereka.
Disamping mereka telah mendengar andil Nabi Muhammad SAW, dalam Halful Fudzul serta upaya-upaya yang lainnya dalam menata administrasi dan politik kota Mekkah, masyarakat Yatsrib juga mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW, adalah keturunan Yatsrib dari Suku Khazraj. Yakni Hasyim telah mengawini wanita Yatsrib dan melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama “Syabih Abdul Mutholib” atau Abdul Muttholib yakni kakek Nabi Muhammad SAW.
Disamping alasan-alasan hijrah Nabi Muhammad SAW, diatas dan karena dorongan untuk mendamaikan pertikaian antar suku yang berkepanjangan di Yatsrib, hijrah Nabi Muhammad SAW, secara obyektif diterima oleh kaum Yahudi yang berada di Yatsrib berdasarkan kitab mereka yang mengabarkan akan datangnya seorang Rasul yang terakhir dan bernama Ahmad atau Muhammad, maka Yatsrib terkondisikan untuk menerima kedatangan Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW, sampai di Yatsrib pada 2 Juli 622 M, dan moment ini, dijadikan moment penting karena secara administratif moment inilah yang dijadikan pijakan perhitungan penanggalan Islam yaitu tahun Hijriyah. Dan kedatangan Nabi Muhammad SAW, di Yatsrib tersebut menjadikan perubahan nama kota dari Yatsrib menjadi “al Madinatu al Munawwaroh.” Yang artinya kota yang bersinar dan berseri-seri.
Di Yatsrib Kekuasaan dan kedudukan Nabi Muhammad SAW, mulai diakui, dan Islam tersebar dengan pesat dari hari demi hari. Beberapa tokoh barat menarik tokoh-tokoh sejarah ke belakang. (K.Hitti) dari seorang imigran karena tekanan dan siksaan, kepada seorang misionaris Islam, hingga diakui sebagai seorang politik dan negarawan yang piawai.
F.    Kebijakan Politik Yang Ditempuh Nabi Muhammad SAW
Kebijakan politik pertama kali yang ditempuh Nabi Muhammad SAW, di Madinah adalah menghapus jurang pemisah antar suku dan menyatukan seluruh masyarakat Madinah yang terdiri dari beberapa etnis dan agama, Nabi Muhammad SAW, hanya menggolongkan masyarakat yang dipimpinnya menjadi dua golongan.
Golongan pertama adalah seluruh masyarakat Madinah baik yang muslim maupun non muslim, atau suku apa saja yang ada di Madinah sebagai kaum Anshar atau golongan penolong.
Sementara golongan kedua adalah golongan Muhajirin, yaitu golongan yang melakukan imigrasi dari Mekkah mengikuti risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Pekerjaan besar yang dilakukan Rasulullah dalam periode Madinah adalah pembinaan terhadap masyarakat Islam yang baru terbentuk. Karena masyarakat merupakan wadah dari pengembangan kebudayaan, maka berbarengan dengan pembinaan masyarakat itu diletakkan pula dasar-dasar kebudayaan Islam, sehingga terwujud sebuah masyarakat Islam yang kokoh dan kuat. Dasar-dasar kebudayaan yang diletakkan oleh Rasulullah itu pada Mulanya merupakan sejumlah nilai dan norma yang mengatur manusia dan tuhannya, dalam hal urusan manusia dengan sesamanya dalam hal kegiatan ekonomi dan politik yatng bersumber dari al-Qur'an dan al-Sunnah.
Lembaga utama dan pertama yang dibangun Rasulullah dalam rangka pembinaan masyarakat ini adalah masjid. Pertama masjid Quba, selanjutnya Masjid Nabawi dibangun setelah Rasulullah tiba di Yatsrib.
Muhammad ternyata bukan hanya seorang nabi dan rasul, tetapi juga seorang ahli politik dan diplomat dengan senantiasa melandasi kebijakan. Dalam setiap kebijakannya khususnya mengenai pembentukan masyarakat Madinah,
Agaknya Nabi Muhammad SAW menyadari bahwa Imperiun Islam tidak akan kuat ketika tidak adanya fondasi sebagai landasannya tersebut tidak ada kerukunan baik kerukunan internal seagama maupun kerukunan antar agama, serta perlu adanya dukungan dari seluruh lapisan masyarakat yang terdiri dari segala etnis yang ada di Madinah.
 Muhammad senantiasa mengutamakan unsur unsur sebagai berikut:
a.      Al-ikha (persaudaraan) merupakan salah satu asas utama dalam setiap kebijakan khususnya dalam pembentukan masyarakat Islam yang diletakkan oleh Rasulullah. persaudaraan yang hakiki adalah persaudaraan seiman dan seagama. Dengan meninggalkan rasa kesukuan dan menggantinya dengan corak baru dan identitas baru yaitu Islam. Demikian pula loyalitas kabilah atau suku ditukar dengan loyalitas Islam.
b.     Al Musyawah (persamaan), hal senantiasa ditanamkan rasulullah adalah setiap manusia didunia ini mempunyai kedudukan yang sama, diciptakan dari keturunan yang sama, setiap manusia mempunyai hak azasi dan kemerdekaan yang sama, Al Musyawah (persamaan) ini menjadi landasan dari rumusan tentang Hak Azasi Manusia (The Human right). Sekarang ini.
c.       Al – Tasammuh (toleransi) Umat Islam siap ditanamkan untuk bisa hidup berdampingan dengan umat lain. Dari toleransi ini ditanamkan juga suaka terhadap umat lain.
d.     Al-tasyawur (muryawarah) (surat Ali Imran ayat 159, al-Syura ayat 38), musyawarah mempunyai status yang tinggi dan terhormat dalam masyarakat, dalam sistim permusyawaratan yang ditanamkan oleh Rasulullah tidak memandang pendapat tersebut dari siapa, mengenai urusan keduniaan, tidak jarang rasulullah menggunakan ide dari para sahabat, meskipun masih dalam status mu’allaf.
e.      Al-taawwun (tolong menolong) (al-Ma'idah: 25) Piagam Madinah merupa­kan bukti kuat berkaitan dengan pelaksanaan prinsip ini. 
f. Al-adalah (keadilan) bcrkaitan dengan hak dan kewajiban individu dalam bermasyarakat. (al-Ma'idah ayat 8, al-Nisa ayat 58.)

No comments:

Post a Comment