BAB IX
AKSELERASI KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR BERBASIS AL QUR’AN
Program Pemerintah
tentang akselerasi belajar melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)
yang di uji cobakan untuk anak berbakat intelektual sejak tahun ajaran
1998/1999. Dengan program ini, lama belajar siswa dapat dipercepat selama satu
tahun pada setiap satuan pendidikan.
Program yang
diperuntukkan siswa dengan kemampuan di atas rata-rata, kreatif, dan tanggung
jawab terhadap tugas ini pelaksanaannya mengalami berbagai masalah, seperti
siswa terlihat kurang komunikasi, mengalami ketegangan, kurang bergaul dan,
tidak suka pada pelajaran olah raga. Mereka tegang seperti robot. Sementara
dirumah siswa yang mengikuti program ini sulit berkomunikasi dengan anggota
keluarganya. (siwa mengalami kemunduran bersosialisasi).
Tidak tercapainya salah satu tujuan
program akselerasi yang diprogramkan oleh pemerintah sejak tahun ajaran
1998/1999 dikarenakan beberapa sebab antara lain: pertama, anak dipacu untuk mengembangkan bakat intelektual (IQ),
dan tidak diikuti dengan meningkatkan kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan
spiritual (SQ).
Kedua, akselerasi yang
dilaksanakan di Indonesia masih menggunakan berbasis kurikulum nasional dengan
memakai jenis kurikulum Teleskop (Telescoping
curriculum) dan Kurikulum yang dimampatkan (Compacting curriculum). Alasan pemilihan jenis ini agar siswa
tidak meninggalkan salah satu pelajaran tersebut. Jadi siswa mendapatkan semua
pelajaran dalam sistem pendidikan nasional. Tekniknya, dengan mengambil
pelajaran yang esensial saja sedangkan materi-materi yang tidak esensial bisa
dipelajari sendiri oleh siswa. Tidak perlu tatap muka. Dengan cara seperti ini,
siswa dapat menyelesaikan pendidikannya dalam waktu lebih cepat.
Ketiga, sistem
pendidikan Indonesia yang sentralistik. Jumlah pelajaran sangat banyak, namum
belum ada layanan individual sesuai dengan bakat dan minat.
Keempat, sistem pendidikan
yang kurang fleksibel. Artinya dalam sistem pendidikan nasional, pemerintah
kurang memberikan kebebasan kepada tiap satuan pendidikan pada tingkat provinsi
atau tingkat kabupaten kota untuk mengelola pendidikan sesuai bakat dan minat.
Kelima, tujuan pendidikan
nasional masih pada tujuan secara umum dan tidak didasarkan atas kompetensi
dasar yang harus dimiliki oleh masyarakat setelah lulus.
Program akselerasi di
Amerika, peserta didik yang mengikuti program akselerasi tidak diberikan semua
mata pelajaran. Anak berbakat matematika memiliki kurikulum khusus di bidang
matematika. Jumlah pelajaran pun tak banyak. Antara lain: computer science, Humanities, Math, science course dan writing course (www.Jhu/Gifted/teaching).
Bagi siswa yang telah
menguasai sejumlah pelajaran matematika pada satu tingkatan maka dia
perbolehkan mempelajari matematika pada tingkat yang lebih lanjut. Misalnya
loncat ke kelas yang lebih tinggi, belajar matematika pada tingkat universitas,
kelas gabungan, telescoping kurikulum,
dan sebagainya. Program yang diselenggarakan hanya semata bertujuan
meningkatkan efisiensi, efektivitas, memberikan penghargaan, kesempatan untuk
berkarir lebih cepat dan meningkatkan produktivitas.
A. Pemanfaatan Bakat Alami siswa
Berbakat
dikendalikan oleh suatu kemauan atau hasrat dasar untuk menguasai sesuatu yang
timbul dari diri siswa, siswa mempunyai suatu minat yang kuat di dalam dirinya,
di mana mereka mempunyai keahlian atau kemampuan (ability) yang tinggi seperti kemampuan hitung menghitung (ability—mathematics), kemampuan
mengolah kata-kata, dan sebagainya, mereka dapat dengan serius dalam memusatkan
perhatian bertujuan untuk pekerjaan yang diminatinya, sehingga mereka cenderung
menghilangkan perasaan atau pengertian dan bahkan mengabaikan dunia luar.
Dalam
hal ini anak-anak terlihat mampu memberi pengajaran kepada diri mereka seperti
anak kecil yang baru belajar jalan, yang pada gilirannya anak tersebut menyamai
kemampuan dan bahkan melebihi dari yang dilakukan oleh kebanyakan orang dewasa.
Kombinasi beruntung dari minat mereka selama ini adalah untuk mempunyai
kemampuan belajar dengan mudah dapat mendorong kearah prestasi tinggi pada
bidang yang menjadi pilihan mereka, dan anak-anak berbakat lebih peka untuk
berinteraksi sosial yang didukung faktor emosional.
Inti
dari Pemanfaatan bakat Alami siswa adalah bahwa guru hendaknya memberi motivasi
yang tinggi kepada siswanya, guru harus mampu mengkondisikan siswa selalu tetap
bersemangat, tidak hanya ketika anak mampu mengolah dan mempunyai kecerdasan lebih
dari anak-anak lain tetapi juga ketika anak mempunyai kesehatan atau stamina
yang masih segar, sikap moral dan penyesuaian sosial.
Pada
situasi ini guru dengan mudah memberikan materi dan siswa secara alami akan
mudah menerima pelajaran, guru mungkin melewatkan situasi ini, siswa berbakat
itu adalah siswa yang canggung, penyendiri atau meragukan untuk menerima
pengajaran. guru mampu membangkitkan bakat alami siswa dengan evaluasi
kepribadian dan penyesuaian sosial pada masing-masing siswa dengan hasil
pemberian penghargaan yang sama atas hasil evaluasi tersebut.
Kemudahan
mengajar dengan modal bakat alami menjadikan anak-anak mempunyai kemampuan yang
tinggi dalam mempelajari segala sesuatu, dan mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitarnya yang tidak hanya pada bidang tertentu seperti bidang
akademis saja, akan tetapi anak mempunyai kemampuan yang tinggi dalam seni dan
bahkan pada bidang olah raga. Anak-Anak cenderung menjadi mandiri.
B. Modifikasi Kurikulum
Akselerasi
Kegiatan Belajar Mengajar adalah upaya mengadaptasikan program pendidikan
sedemikian rupa sehingga para siswa didorong maju sampai pada penguasaan
material pokok tertentu lebih cepat dari pada umumnya. Modifikasi ini bisa
dilaksanakan dalam kelas reguler yang membolehkan siswa terlibat dalam mengubah
penempatan akademis di dalam kelas tertentu. Bagi anak berbakat memperoleh
kesempatan memasuki kelas yang lebih tinggi melalui prosedur tes yang sangat
ketat, dan bisa lulus lebih cepat. Program ideal untuk para siswa berbakat mempertimbangkan
kebutuhan individu anak-anak dan penawaran berbagai pilihan. Program ini
mengedepan akselerasi dan material kursus.
Kurikulum
harus memperhatikan hal-hal yang berhubungan kesesuaian penempatan akademis
untuk menilai prestasi akademis siswa, untuk mengidentifikasi keserasian
individu, untuk menyelidiki minat kejuruan, dan untuk menguji karakteristik
pribadi. Test digunakan juga untuk mengidentifikasi para siswa berbakat dan
mereka yang mempunyai permasalahan pelajaran khusus.
C. Akselerasi
Kegiatan belajar mengajar dengan Pola Halaqoh
Halaqah
merupakan alternatif sistem pendidikan Islam yang cukup efektif untuk membentuk
muslim berkepribadian Islami (syakhsiyah Islamiyah). Fenomena halaqah
walau mungkin dengan nama yang berbeda. Penyebaran halaqah yang pesat tidak
bisa dilepaskan dari keberhasilannya dalam mendidik pesertanya, saat ini
halaqah menjadi sebuah alternatif pendidikan keislaman yang merakyat. Halaqah
telah menjadi sebuah wadah pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) yang
semakin inklusif saat ini.
Pola
halaqah sangat penting untuk keberadaan pendidikan Islam. Dengan pola halaqah
terbentuk watak, kepribadian, prestasi akademik dan bahkan mampu membentuk
ikatan emosional secara bersamaan, sistem pendidikan halaqah merupakan proses
pembentukan umat yang Islami (takwinul ummah) akan mengalami akselarasi,
hingga siswa benar-benar memahami materi pelajaran lebih tepat. Hal ini akan berdampak
pada kehidupan siswa secara menye1uruh yang lebih berpihak pada nilai-nilai
kebenaran dan keadilan.
Halaqah
juga bermanfaat bagi pengem-bangan pribadi (self development) para
pesertanya. Halaqah yang berlangsung secara rutin dengan peserta yang tetap
biasanya berlangsung dengan semangat kebersamaan (ukhuwwah Islamiyah).
Dengan nuansa semacam itu, siswa bukan hanya menerima materi pelajaran, tapi
juga belajar untuk bekerjasama, saling memimpin dan dipimpin, belajar disiplin
terhadap aturan yang mereka buat bersama, belajar berdiskusi, menyampaikan ide,
belajar mengambil keputusan dan juga belajar berkomunikasi. Semua itu sangat
penting bagi kematangan pribadi siswa untuk mencapai tujuan hidupnya.
Salah
seorang pemikir da’wah, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, mengemukan pendapatnya
tentang sistem halaqah yang tak tergantikan: “Tarbiyah melalui sistem halaqoh merupakan tarbiyah yang sesungguhnya
dan tak tergantikan, karena dalam sistem halaqoh inilah didapatkan kearifan,
kejelian dan langsung di bawah asuhan seorang murobbi yang ia adalah pemimpin
halaqoh itu sendiri. Sedang program-programnya bersumber dari Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya yang diatur dengan jadwal yang sudah dikaji sebelumnya".
D. Sistematisasi Kelas Akselerasi Kegiatan belajar mengajar
Islam
tidak mengenal jamaah yang tanpa sistem. Sampai-sampai jamaah kecil dalam
shalat saja diatur oleh sebuah sistem. Misalnya bahwa Allah tidak akan melihat
kepada shaf (barisan) yang bengkok; shaf harus rapat, tidak boleh membiarkan
ada celah di dalam shaf, sebab setiap celah akan diisi oleh syaitan; bahu
seseorang berdekatan dengan bahu saudaranya, kaki dengan kaki; sama dalam
gerakan dan penampilan. Seperti kesamaan dalam akidah dan orientasi.
Imam
harus meluruskan shaf dibelakangnya sampai rapat dan bersambung. la harus
menasihati para makmum untuk melunakkan tangan-tangan terhadap saudaranya.
Jadi, jamaah membutuhkan kadar tertentu kelembutan dan fleksibilitas agar
terjadi harmoni dalam barisan.
Setelah
itu, wajib taat kepada imam. “Imam itu diangkat tidak lain kecuali untuk
ditaati. Apabila ia bertakbir maka bertakbirlah kalian. Apabila ia rukuk, maka
rukuklah kalian. Apabila ia sujud, maka sujudlah kalian. Dan apabila ia membaca
maka dengarkanlah.”
Tidak
sah bila seseorang melenceng dari shaf dan mendahului imam. Misalnya dengan
rukuk sebelum imam rukuk, atau sujud sebelum imam sujud. Kemudian membuat
penyimpangan dalam bangunan yang tertata itu. Siapa yang melakukan hal itu,
maka dikhawatirkan akan Allah ganti kepalanya dengan kepala keledai. Akan
tetapi, jika si imam itu salah, maka kewajiban para makmum adalah mengingatkan
dan mengoreksi kesalahannya. Baik karena keliru maupun karena lupa. Baik
kekeliruan itu terjadi dalam ucapan atau perbuatan; baik pada bacaan atau pada
rukun shalat lainnya. Sampai-sampai kaum perempuan yang berada pada shaf yang
jauh saja pun dianjurkan untuk bertepuk tangan untuk mengingatkan imam yang
keliru itu.
Itulah
miniatur sistem jamaah islamiyyah. Dan begitulah seharusnya hubungan antara
pimpinan dengan prajurit. Pemimpin bukanlah orang yang terpelihara dari
kesalahan. Makanya tidak boleh taat secara buta. Begitulah pemahaman kita
tentang Islam. Dan untuk menegakkan pemahaman itu harus ada amal jama’i yang
sistemik.
Perhatian
Islam terhadap seseorang secara personal tidak lain adalah dalam rangka
mencetaknya menjadi batu-bata jamaah yang berkualitas tinggi, yang akan mampu
mengemban segala beban dakwah, berjihad untuk membelanya.
Oleh
karena itu, seluruh ibadah dalam Islam bersifat kolektif atau paling tidak
menyerukan kepada jamaah. Shalat berjamaah misalnya, lebih utama 27 derajat
dibandingkan dengan shalat sendirian. Shalat Jumat tidak sah kecuali bila
dilaksanakan secara berjamaah. Demikian pula Shalat ‘Idain, bahkan
sampai-sampai qiyamur-ramadhan pun dianjurkan dilaksanakan secara berjamaah.
Zakat
dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir. Sehingga
terjalinlah antara mereka kasih-sayang dan hilanglah kedengkian serta sikap
mementingkan diri sendiri. Dan itu pun mendukung terbentuknya jamaah. Puasa
juga mendorong orang-orang kaya untuk mengasihi orang-orang miskin. Maka
terwujudlah persatuan dan saling mencintai. Haji pun merupakan kewajiban yang
dilaksanakan secara jama’i. Semua orang yang sedang melaksanakannya sama dalam
hal pakaian dan perbuatan. Mereka sama-sama meninggalkan dunia dan menghadap
kepada Allah. Lalu hati mereka menjadi berpadu, perasaan mereka menyatu, dan
ikatan ukhuwah semakin kuat. Maka menjadi kuatlah ikatan jamaah.
Amal
jama’i adalah pesan Rasulullah kepada kaum Muslimin. Sabdanya: “Tangan Allah beserta jamaah dan siapa yang
menyendiri, menyendiri pula di dalam neraka.” (At-Tirmidzi) Sabdanya pula: “Kalian harus berjamaah. Sebab serigala
banya akan memangsa kambing yang menyendiri.” (HR. Ahmad) “Siapa yang menginginkan naungan surga maka
hendaklah ia berpegang teguh dengan jamaah.” (At-Tirmidzi)
Tentang
jamaah, ‘Abdullah Bin Mas’ud mengatakan, “Ia adalah tali Allah yang kuat yang
Dia perintahkan untuk memegangnya. Dan apa yang kalian tidak sukai dalam jamaah
dan ketaatan adalah lebih baik dari apa yang kamu sukai dalam perpecahan.” ‘Ali
Bin Abi Thalib mengatakan, “Kekeruhan dalam jamaah lebih haik dari pada
kebeningan dalam kesendirian.”
Jamaah
– seperti sudah dijelaskan – yang terdiri dari anggota, pemimpin, dan manhaj
menumbuhkan umat yang memerintahkan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Dan kemenangan jamaah adalah merupakan janji Allah yang
pasti terjadi. “Dan sesungguhnya tentara
Kami, mereka itulah yang akan menang.” (Qs. Ash-Shaffaat, 37: 173)
“Dan siapa yang menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman sebagai penolong, maka sesungguhnya kelompok
(pendukung) Allah itulah yang akan menang.” (Qs. Al Maaidah, 5: 56)
Islam
adalah agama yang harus dilaksanakan oleh individu-individu. Dari situ kemudian
mereka membentuk jamaah yang bergerak bersama pemimpin yang menjadi pelopor
dalam mengemban tugas, dan bertekad untuk bekerja secara ikhlas tanpa henti
siang dan malam. Sebagaimana yang dikatakan Umar Bin Khaththab kepada Mu’awiyah
Bin Khadij yang mengunjunginya guna menyampaikan berita gembira tentang
penaklukan Iskandariyyah, “Jika aku tidur di siang hari berarti aku
menelantarkan rakyat. Dan jika aku tidur di malam hari berarti aku
menelantarkan diriku. Lalu bagaimana pula jika aku tidur di kedua waktu itu,
wahai Mu’awiyah?”‘
Islam
adalah agama yang yang dianut oleh segala usia dan kalangan. Orang dewasa tetap
memegang teguh Islam hingga meninggal dunia. Anak kecil terus teguh hingga ia
menjadi tua. Orang non-Arab menjadi fasih dengan Islam. Dan orang Arab
berhijrah dengan dorongan agama itu pula. Mereka yakin tidak ada kebenaran selain
Islam. Dia bukanlah agama yang hanya bisa sebatas mengatakan kepada orang yang
melakukan kesalahan, “Jangan kamu lakukan kesalahan." Lebih dari itu,
Islam mempersiapkan bagi orang yang melakukan kesalahan sebuah masyarakat dan
jalan untuk membantunya memperbaiki diri dan tolong menolong dalam kebaikan
serta ketakwaan. Agar kata-kata mewujud menjadi perbuatan dan teori berubah
menjadi aplikasi. Adakah hal itu bisa terwujud oleh seseorang – betapapun ia
ikhlas dalam ibadah – ataukah harus dengan jamaah yang kokoh dan kuat?
Nah,
bangunan jamaah itu tidak akan sempurna tanpa adanya ta’aruf (saling mengenal),
tafahum (saling memahami), dan takaful (solidaritas) yang mengaplikasikan
tolong-menolong yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan jamaah yang luhur
dengan semangat ukhuwah dan tekad baja.
Untuk
hikmah yang tinggi itulah Allah menjadikan seluruh umat Islam sebagai umat
dakwah. Manakala Allah swt mengutus Muhammad saw kepada umat ini dan kepada
seluruh manusia, maka umatnya pun diutus untuk seluruh manusia. Oleh karena itu
ketika Rustum bertanya kepada Rib’i Bin ‘Amir, "Untuk apa kamu datang
kemari?” ia segera menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengutus kami untuk
mengeluarkan orang yang mau agar keluar dari penyembahan terhadap sesama
manusia menuju penyembahan kepada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju
keluasannya, dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.” Itu disebabkan
karena Rasulullah saw mengatakan kepada kaum Muslimin, “Sampaikanlah apa-apa
yang datang dariku walaupun hanya satu ayat.” Mereka adalah orang-orang yang
menyampaikan apa yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Ibnu
Khaldun mengatakan bahwa mengangkat imam telah diketahui kewajibannya dalam
syariat berdasarkan ijma’ sahabat dan tabi’in dan tidak ada seorang pun yang
berpandangan berbeda dari itu. Sedangkan Imam Juwaini mengatakan bahwa
pengangkatan imam berpijak di atas landasan ijma‘ yang kokoh. Imam
As-Sihristani mengatakan bahwa Abu Bakar Shiddiq, setelah khutbah di Saqifah
Bani Sa’idah, mengatakan, “Harus ada orang yang menegakkan agama ini."
Maka orang-orang berteriak dari berbagai sudut, “Anda benar wahai Abu
Bakar." Hal seperti itu disampaikan pula oleh Imam Al Mawardi. “Imamah
ditegakkan untuk menggantikan Nabi dalam memelihara agama dan mengatur dunia.”
Benarlah perkataan seorang ulama, “Agama itu pangkal dan kekuasaan adalah
penjaganya. Apa saja yang tidak punya pangkal maka akan hancurlah ia. Dan
apa-apa yang tidak mempunyai penjaga maka ia akan lenyap.”
Nah,
untuk mewujudkan tujuan yang ingin kita capai itu, maka kita harus menentukan
tujuan yang harus dicapai oleh jamaah, yakni: individu Muslim, keluarga Muslim,
masyarakat islami. Karenanya, jamaah yang menyerukan pada pemahaman seperti
disebutkan di atas itu, dengan langkah-langkah ta’rif (memberikan pemahaman), takwin
(pembentukan), dan tanfidz (aplikasi), dialah jamaah yang menjalankan
kewajiban. Sebab, sesuatu yang membuat kewajiban menjadi tidak sempurna bila ia
tidak ada, maka “si suatu” itu hukumnya wajib.
Tiada
Islam tanpa jamaah. Tidak ada jamaah tanpa imarah (kepemimpinan). Dan tidak ada
imarah tanpa ketaatan. Sebab, Islam adalah sistem dan ketaatan. Dalil yang
paling kuat untuk itu adalah adanya seruan yang bersifat jama’i dalam Al Quran,
“Wahai orang-orang yang beriman.” Dan bahkan awal surat Al Baqarah menegaskan
bahwa orang-orang yang akan mendapatkan petunjuk adalah al muttaqin (dalam
bentuk jamak: orang-orang yang bertakwa) bukan al muttaqi (dalam bentuk
tunggal: seorang yang bertakwa). “Itulah kitab (Al Quran), merupakan petunjuk
hagi orang-orang yang bertakwa.” Kemudian Allah swt menyebutkan sifat-sifat
mereka, “Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat,
dan menginfakkan sebagian harta yang Kami berikan kepada mereka.” Semua itu
menunjukkan sifat kolektif, seperti yang Anda lihat. Bahkan Allah swt
mengingatkan kita tentang nilai kebersamaan itu dengan ungkapan yang kita
ulang-ulang setiap shalat, “Hanya kepada Engkau kami beribadah dan banya kepada
Engkau kami mohon pertolongan.” Di situ digambarkan beribadah dan mohon pertolongan
dalam kebersamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
Moslem, Islam Transformatif, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1997,.
Azra, Azyumardi, Prof,
Dr. MA, Pendidikan Islam (Tradisi dan
modernisasi Menuju Milenium Baru), Logos WAcana Ilmu, Jakarta, 2000.
Beane, J.A., Toepfer,
C.F., Alessi, SJ. Curriculum Planning and
Development. Boston: Allyn adn Bacon Inc, 1986.
Buro, Hasan, Drs, MM, Sejarah Administrasi dan Kontribusinya
terhadap Peradaban Islam, Jauhar, Surabaya, 2006.
Depdiknas, Kegiatan Belajar Mengajar, Pusat
Kurikulum, Balitbang Depdiknas, Jakarta. 2002
Bobby De Porter &
Mickey Hernacky, Quantum Learning,Terj.
Alwiyah Abdurrahman, Kaifa, Bandung, 2000
Freire, Paulo. et.al. Menggugat Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1970.
Harian Pikiran Rakyat, Berhasil
Mencapai Kejayaan Panjang, Sejarah Menulis & Membaca Dalam Islam, Selasa, 01 Maret 2005
Hassan, Mohd
Kamal, Dr, Tuan Haji Faisal Haji Othman, Encik Razali Haji Nawawi, Konsep Pendidikan Islam dan Matlamat
Persekolahan Ugama/Arab di Malaysia, Kertas Kerja, Fakulti Pengajian
Islam, 1976.
http://pepak.sabda.org/pustaka/061266/
http://www./Republika on line Jumat, 30 April 2004
http://www.al-shia.com/html/id/books/ensan-jahan/29.htm
http://www.Jhu/Gifted/teaching
http:/www.Smu.net/ Dokumenter:
Metode Pengajaran Alternatif Agar
Menarik, oleh Rudarti, 12 Agustus 2002
|
Kafrawi, Pembaharuan Sistim Pendidikan Pondok
Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan
Bangsa, Cemara Indah, Jakarta, 1978.
Makdisi, George, The Rise of colleges: Institution of
learning in Islam and the west, Edinburgh University Press, 1981
Makdisi, George, The Rise of humanism in classical Islam and
the christian west, Edinburgh, Edinburgh University, 1990.
Mulkhan, Abdul Munir,
Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia, harian Kompas, Jumat, 23 November 2001.
Nasir, Ridwan, Prof, Dr.
MA, Pendidikan Berbasis Masyarkat,
Opini dalam harian Surya, Surabaya, 2003.
Rahim, Husni, DR. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Logos
Wacana Ilmu, Jakarta, Cet I, 2001.
Rosenthal, Frans (dalam
Husni Rahim), Knowledge Triumphant (Leiden:
Ej Brill, 1970). Lihat Juga Rosenthal, “Muslim Definition Of Knowledge,” dalam The Conflict of Traditionalism and modernism
in the middle east (Austin: The Humanities Research Centre, 1966)
Scheerens, J. Effective
Schoolling: Research Theory and Practice. London Willer House: Cassel, 1992.
Shihab Quraish, Prof.
Dr. Wawasan Al Qur’an, Mizan,
Jakarta. 2003
The Daily Muslim, Islamabad, Friday
Magazine Section, 27 April 1984
Syaltout, Muhammad, Tafsir Al Qur’anul Karim (Pendekatan
Syaltout dalam Menggali Essensi Al Qur’an), Terj. Husein Bahreisj,
Diponegoro, Bandung, 1989.
Arifin, Bey, Samudera Al FAtihah, PT. Bina Ilmu,
Surabaya, 1994.
Zuhairini, Drs,. Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara,
Jakarta,
http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2004/0217/man01.html
Henderson, Allan
J. The e-learning Question and Answer
Book, 2003
http://beranda.blogsome.com/2007/01/03/merutinkan-amal-sholeh/trackback/
http://teknologipendidikan.wordpress.com/2006/03/21/prinsip-pengembangan-media
pendidikan -sebuah-pengantar/
Bovee,
Courland. 1997. Business Communication Today, Prentice Hall: New York,
1997
Mohammed
Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, Jakarta: INIS, 1997
Sudaryat,
Ade, Musik Klasik, Alquran, dan Ketenangan Jiwa, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/
1104/26/renungan_jumat.htm
No comments:
Post a Comment