Saturday, 11 March 2017

Pembelajaran berbasis Al Qur'an 2



BAB II
KONFIGURASI KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI KELAS BERBASIS AL QUR’AN

Pola pendekatan (konfigurasi) kegiatan belajar mengajar di kelas berbasis al Qur’an hendaknya didukung 4 elemen, yaitu : Pilar-Pilar Pendidikan Islam, Kegiatan Belajar Mengajar dalam kelas, Konstruksi Kegiatan Belajar Mengajar berbasis Al Qur’an, Motivasi.


A.    Pilar-Pilar Pendidikan Islam
Secara hirarkhis struktural, sifat kurikuler dan operasional pendidikan Islam sebagaimana hal yang kita warisi dari tokoh pendidikan Islam terdahulu belum menyentuh kepada konsep yang mendasar yang bertujuan menjadikan siswa sebagai Ulil al-Baab (Cendekiawan) dalam arti yang luas, secara aplikatif pilar pendidikan Islam sudah tertuang pada wahyu yang pertama kali dituruhkan kepada nabi Muhammad SAW, yaitu Surat Al Alaq ayat 1 – 5 dengan penjabaran operasionalnya sebagai berikut :
1.      Belajar Mengenal Tuhan, dan mengetahui segala ciptaanya (learning to know).
2.      Belajar mengenal dan memahami diri sebagai ciptan Tuhan, (learning to be).
3.      Belajar mengenal dan memahami lingkungan sosial kemasyarakatan dan lingkungan hayati demi kebersamaan dan keseimbangan hidup dalam satu ekosistem (learning to live togather).
4.      Belajar mempersiapkan diri dalam memilih minat dan bakat sesuai dengan pekerjaan yang dipilihnya sesuai dengan kesiapan dan potensi yang dimilikinya. (learning to do).
5.      Belajar mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat dengan mengamalkan segala apa yang telah dipelajarinya dan senantiasa belajar (learning to learn), dalam artian senantiasa melakukan research.

B.    Kegiatan Belajar Mengajar Dalam Kelas
Sebagaimana perintah pertama kali adalah Iqra’, arti secara harfiah adalah belajar. Ketika kelas dimulai, tugas guru adalah mengkondisikan kembali para siswa kedalam mental dan fisiologis yang positif melalui berbagai cara sugesti yang terang-terangan dan halus (sebagaimana konsep Lyle Palmer). Guru akan langsung mengucapkan assalamu’alaikum, selamat pagi,  salam sejahtera dan sebagainya lalu memulai presentasi materi dan menganggap siswa secara otomatis jika sudah berangkat ke sekolah maka siswa siap menerima pelajaran, (bahkan tidak jarang kita mendengar guru menanyakan kepada muridnya : sampai dimana pelajaran kita .. ?, ini adalah bukti ketidaksiapan guru dalam mengajar dengan berbagai arogansi dan sok pintarnya) Guru tidak mempunyai kepedulian akan situasi masing-masing siswanya sebelum berangkat ke sekolah, sedangkan guru dituntut mampu menciptakan kelas belajar yang menghasilkan jiwa positif, mendukung pelaksanaan kreatif, inovatif dan mudah, dalam hal ini penulis sepakat dengan konsep Lyle Palmer.
Pembelajaran Islam yang teraplikasi dalam kegiatan belajar mengajar di kelas berbasis al Qur’an mempunyai visi, misi dan tujuan yang amat komplek dan jelas, namun juga sangat rinci dan sistematis. Sesuai dengan yang diajarkan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw, untuk kali pertamanya adalah kumpulan ayat yang belum menjadi satu surat, namun mempunyai nilai pedagogis yang cukup luas dan mendalam untuk dijadikan sebagai landasan pembelajaran di kelas.
Adapun langkah-langkah kegiatan belajar mengajar dikelas yang dikonfigurasikan oleh Malaikat Jibril kepada sang Niraksarawan atau Al Ummi (buta huruf) tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Persiapan Kegiatan belajar mengajar
(Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan).
Term iqra’ tidak hanya berarti membaca secara tekstual, tapi juga berarti menghimpun. Sehingga dari ”menghimpun” itu lahir aneka ragam makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak tertulis. (Quraish Shihab, Prof. Dr. 2003 : 433)
Untuk mencapai apa yang dimaksud dalam term iqra’ diatas subtansinya tidak akan terpenuhi tanpa adanya penyucian jiwa (soul hallowing) atau sentuhan ruhaniah (soul touch). Dalam kegiatan belajar mengajar mungkin hanya jika kita hendak memegang al qur’an sebagai kitab suci saja kita ingat berwudlu dan ingat pula untuk menyarankan siswa kita untuk berwudlu, sementara pembelajaran agama (suatu misal pembelajaran agama yang meskipun berisi ayat-ayat al qur’an, akan tetapi sepanjang tidak menyentuh kitab sucinya) apalagi mata pelajaran umum seakan kita menganggap bahwa berwudlu sebagai bagian kecil dalam penyucian jiwa untuk memulai suatu kegiatan khususnya kegiatan belajar mengajar adalah tidak terlalu penting (suatu pemahaman yang kurang tepat untuk melaksanakan perintah wudlu). Oleh karenanya lembaga pendidikan Islam akan terasa unggul dan menjadi lembaga pendidikan yang mempunyai rahmat bagi lembaga pendidikan lainnya dan keummatan pada umumnya bila berani tampil beda dengan melatih siswanya berwudlu pada setiap kelas (kegiatan belajar mengajar) akan dimulai, dan tidak berlebihan jika selanjutnya menyarankan siswa untuk senantiasa berwudlu setiap hendak melaksanakan sesuatu yang baik di luar kelas.
Konfigurasi Kegiatan Belajar Mengajar dalam kelas adalah dimulai dengan bacaan ayat dengan tartil, do’a-do’a, nazam, puji-pujian, serta nasyid yang mengandung pesan mendidik yang mengarah pada sugesti emosional (Emotional suggestion) dan penguatan moral (moral reinforcement) siswa. Hal ini perlu dilakukan selain karena dengan kekuatan do’a dan ucapan syukur sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai akan mampu membangkitkan ruh belajar (mengkondisikan siswa kedalam mental dan fisiologis) yang positif sehingga betul-betul siap dalam menerima dan menyerap ilmu yang dipresentasikan oleh guru, juga akan menjadikan siswa betul-betul dalam kondisi konsentrasi, siap akibat relaksasi yang dilakukan berkenaan dengan wudlu dan bacaan ayat-ayat secara tartil maupun do’a dan nasyid yang telah dilantunkan. sesuai dengan firman Allah : Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman ; dan keduanya mengucapkan : "Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba Nya yang beriman". (An Naml : 15)
Dr. George Lazanof, yang tehnik pemercepatan belajarnya menjadikan musik jenis barok seperti : bach,(nada pengiring abad 17 berkombinasi [pola teladan Perancis yang berirama Tarian lemah gemulai, nyanyian Italia, dan seluk beluk keruwetan dari nada pengiring Jerman] dalam satu komposisi. kekayaan mutu nada dan konstruksi yang unik pada penghubungan teks dengan musik itu, untuk menguraikan lagu-lagu khristiani), handel, (peran utama utama adalah sebagai pengiring opera dan pidato-pidato, teater, dan pengiring paduan suara gereja yang pertama kali melantunkan lagu halleluya dengan berbagai kualitas Jerman, Perancis, dan composisional gaya Italia. yang dikombinasikan Dengan Tradisi bahasa Inggris), dan vivaldi (iringan musik religius, mencakup Oratorio Juditha Triumphans (1716), Gloria di (1708), musik nya lebih konservatif dibanding konser nya, dan musik religiusnya sering mencerminkan gaya berhubungan dengan opera dari hari seperti halnya pertukaran dari pemain tunggal dan kelompok penuh yang ia membantu menetapkan konser itu).
Ketiga musik jenis Baroque yang rata-rata mempunyai tempo enam puluh ketukan per menit, sebagai kunci dalam melahirkan pelajar-pelajar yang istimewa, maka jauh sebelum musik sebagai kunci keberhasilan pendidikan barat yang skuler, lantunan ayat-ayat Al Qur’an secara tartil mempunyai ketukan yang bahkan lebih dinamis dan akurat dari pada musik jenis barok hasil temuan Dr. george Lazanof.
Oleh karena itu pembiasaan membaca ayat-ayat Al Qur-an secara tartil pada persiapan kegiatan belajar mengajar dikelas berbasis al Qur’an mempunyai beberapa keuntungan dan sangat mengena kedalam lubuk hati siswa yang dalam, keuntungan pertama : dengan bacaan ayat-ayat Al Qur-an secara tartil yang diulang-ulang setiap hari akan menjadikan siswa mudah menghafal tanpa meluangkan waktu khusus untuk pemberian tugas menghafal, hafalan melalui bacaan ayat-ayat Al Qur-an secara tartil dengan metode drill ini akan membekas dan sulit untuk dilupakan oleh siswa, keuntungan kedua : terlepas dari hasil penelitian para pakar pendidikan barat yang skuler, pekerjaan mental yang melelahkan akan tetap relaks dan siswa akan mudah berkonsentrasi karena bacaan ayat-ayat Al Qur-an. (pembuktian mengenai hal ini terjadi di berbagai daerah banyak siswa yang mempunyai peningkatan baik intelektual maupun budi pekerti yang sangat signifikan setelah mereka masuk lembaga taman Pendidikan Al Qur-an).
Syaikh Ibrahim bin Ismail dalam karyanya Ta'lim al Muta'alim halaman 41, sebuah kitab yang mengupas tata krama mencari ilmu berkata, "Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang kuat ingatan atau hafalannya, diantaranya, menyedikitkan makan, membiasakan melaksanakan ibadah salat malam, dan membaca Alquran sambil melihat kepada mushaf". Selanjutnya ia berkata, "Tak ada lagi bacaan yang dapat meningkatkan terhadap daya ingat dan memberikan ketenangan kepada seseorang kecuali membaca Alquran".
Dr. Al Qadhi, melalui penelitiannya yang panjang dan serius di Klinik Besar Florida Amerika Serikat, berhasil membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat Alquran, seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa Arab maupun bukan, dapat merasakan perubahan fisiologis yang sangat besar.
Penurunan depresi, kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, menangkal berbagai macam penyakit merupakan pengaruh umum yang dirasakan orang-orang yang menjadi objek penelitiannya. Penemuan sang dokter ahli jiwa ini tidak serampangan. Penelitiannya ditunjang dengan bantuan peralatan elektronik terbaru untuk mendeteksi tekanan darah, detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik. Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan Alquran berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit.
Penelitian Dr. Al Qadhi ini diperkuat pula oleh penelitian lainnya yang dilakukan oleh dokter yang berbeda. Dalam laporan sebuah penelitian yang disampaikan dalam Konferensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984, disebutkan, Alquran terbukti mampu mendatangkan ketenangan sampai 97% bagi mereka yang mendengarkannya.
Kesimpulan hasil uji coba tersebut diperkuat lagi oleh penelitian Muhammad Salim yang dipublikasikan Universitas Boston. Objek penelitiannya terhadap 5 orang sukarelawan yang terdiri dari 3 pria dan 2 wanita. Kelima orang tersebut sama sekali tidak mengerti bahasa Arab dan mereka pun tidak diberi tahu bahwa yang akan diperdengarkan-nya adalah Alquran.
Penelitian yang dilakukan sebanyak 210 kali ini terbagi dua sesi, yakni membacakan Alquran dengan tartil dan membacakan bahasa Arab yang bukan dari Alquran. Kesimpulannya, responden mendapatkan ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan bacaan Alquran dan mendapatkan ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab yang bukan dari Alquran.
Alquran memberikan pengaruh besar jika diperdengarkan kepada bayi. Hal tersebut diungkapkan Dr. Nurhayati dari Malaysia dalam Seminar Konseling dan Psikoterapi Islam di Malaysia pada tahun 1997. Menurut penelitiannya, bayi yang berusia 48 jam yang kepadanya diperdengarkan ayat-ayat Alquran dari tape recorder menunjukkan respons tersenyum dan menjadi lebih tenang.
Sungguh suatu kebahagiaan dan merupakan kenikmatan yang besar, kita memiliki Alquran. Selain menjadi ibadah dalam membacanya, bacaannya memberikan pengaruh besar bagi kehidupan jasmani dan rohani kita. Jika mendengarkan musik klasik dapat memengaruhi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) seseorang, bacaan Alquran lebih dari itu. Selain memengaruhi IQ dan EQ, bacaan Alquran memengaruhi kecerdasan spiritual (SQ).
Hal lain yang lebih perlu dilaksanakan adalah jika memungkinkan, siswa diarahkan kepada sholat dhuha. Sholat dhuha bisa dilaksanakan sebelum kelas dimulai maupun ketika sedang istirahat. Banyaknya kekerasan dan kebrutalan serta pemakaian narkoba pada siswa usia sekolah dapat dikatakan kurangnya sentuhan rohani karena terbatasnya pendidikan agama yang nyaris sama sekali tidak ada yang diarahkan pada tataran aplikasi murni (prakek nyata), sholat dhuha dilaksanakan di sekolah sangat perlu dan tidak ada alasan lain, karena pada era modern ini penyediaan infrastruktur pendidikan seperti musholla menjadi prioritas utama oleh pemerintah dengan mengabaikan mata pelajaran tertentu yang mengarah kepada pemanfaatan musholla tersebut sebagai pusat aktifitas keagamaan siswa selain sholat wajib dan kegiatan peringatan hari-hari besar Islam.
Suatu pandangan filosofis tentang pemahaman konsep pendidikan Islam adalah al hikmah atau kefahaman sebagaimana firman Nya : Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (Al Baqoroh : 269).
Tataran ayat diatas merupakan tataran dzikir dimana tujuan utama dari kegiatan belajar mengajar tuntas adalah insan kamil yang disinggung dalam al Qur’an sebagai ulil al Baab yakni orang yang berdzikir lalu berfikir sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah surat Ali Imron (3) 190 – 191. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil al baab. Yaitu mereka yang berdzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau duduk, atau berbaring, dan mereka yang berfikir tentang kejadian langit dan bumi. …………..
Dari berdzikir dan kemudian berfikir sebagaimana dikehendaki dalam ayat diatas adalah cara yang sangat tepat untuk memadukan kemampuan mekanis dan bakat kinetis fitrah manusia (siswa) untuk mengikuti sunnah Allah dalam rangka pencapaian penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan pemeliharaan nilai-nilai fitrah manusia. Bagaimana mengarahkan teknologi yang dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai rabbani, atau dengan kata lain bagaimana memadukan dzikir dan fikir, ilmu dan iman ?
Pola dzikir sebelum kelas (kegiatan belajar mengajar) yang banyak diterapkan banyak lembaga pendidikan Islam pada tahun 70-an dan sekarang sulit kita jumpai prakteknya pada lembaga Pendidikan Islam adalah ketika bel berbunyi, siswa masuk dengan tertib lalu tanpa ada yang memberi aba-aba atau semacam komando, para siswa langsung melafalkan surat al Fatihah lalu berdo’a : Qul robbi zidni ilma (berdo’alah [hai Muhammad] “wahai tuhan ku tambahkanlah untukku ilmu pengetahuan” Qs. Thaha (20) : 114,  dan seterusnya ……… hingga diakhiri dengan bacaan surat-surat pendek yang tiada bosannya dilantunkan oleh para siswa madrasah saat itu. Pada zaman sekarang pola tersebut diatas perlu dikembangkan lagi dengan kemasan yang mungkin lebih baik dan lebih inovatif.
Kemudian dalam memasuki suatu kelas guru harus memahami Landasan filosofi tentang Pemisahan siswa dalam suatu kelas berdasarkan usia dan kemampuan mereka dalam hal ini sebagaimana  firman Allah : Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (Al Qhasash : 14).
Ayat diatas sangat tepat sebagai dasar Kelas akselerasi karena pembedaan kelas selain umur juga karena prestasi yang dilakukan oleh siswa, jika dalam suatu kelas siswa mempunyai kesamaan dalam tingkatan umur dan tingkatan intelektualnya, maka persiapan kegiatan belajar mengajar dikelas berbasis Al Qur-an akan lebih mudah dilaksanakan dan kondisi mental maupun fisiologi siswa dalam keadaan betul-betul siap menerima pelajaran karena adanya homogenitas kemampuan atau umur.

2.      Presentasi materi dan Riset
(Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah).
Keterpautan term Iqra’ (sebagaimana di artikan oleh Prof. Dr. Quraish Shihab lebih dominan dilaksanakan oleh seorang guru akseleratif sebagai metode transmisi suatu ilmu pengetahuan. Guru dalam persiapan mengajar sudah harus menghimpun segala sumber daya yang dimiliki dan yang akan ditransmisikan kepada siswanya, guru akseleratif menyampaikan materi yang diajarkan dengan cara-cara demonstrasi yang Islami, berintonasi yang santun dan melakukan gerakan-gerakan pengajaran yang dramatis sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW, senantiasa mengucapkan kalimah thoyyibah : menerangkan kemahahebatan Allah dengan kalimat Subhaanallah, dan seterusnya.
Apapun yang diterangkan oleh seorang guru, baik mata pelajaran eksakta, pelajaran umum lainnya senantiasa dihubungkan dengan ayat-ayat al Qur’an atau hadits Nabi. Subtansi dari topik ini adalah bagaimana guru akseleratif mampu mengarahkan siswa untuk mengikuti alur cerita atau materi yang sedang diajarkannya, ketika guru akseleratif sanggup membangkitkan semangat siswa melalui pola presentasi materi diatas maka insya’Allah siswa mempunyai greget atau perhatian yang lebih serius untuk belajar dan materi yang disampaikan dengan cara ini akan lebih mudah diingat bahkan dikenang seterusnya oleh para siswa yang dididiknya.
Dari pola pembelajaran diatas guru seyognyanya mampu menelaah daya tangkap siswa melalui keseriusan mengikuti materi yang diajarkannya, hal ini dapat dilaksanakan secara bersamaan dengan presentasi materi tersebut, sehingga guru akan langsung mengetahui dan mampu mengevaluasi mana siswa yang mengikuti presentasi dengan serius dan mana siswa yang seakan serius dalam mengikuti presentasi materi namun siswa tersebut seakan melukis tanpa kanvas alias melamun. Guru dalam presentasi materi harus juga mampu mendalami penyerapan materi oleh siswa serta meneliti faktor yang menyebabkan siswa serius mengikuti presentasi dan yang menyebabkan siswa cenderung melamun atau mengantuk.
Dari presentasi materi yang disampaikan beberapa menit, selanjutnya guru bisa meminta siswa didiknya secara acak untuk merepresentasi (memaparkan ulang) dari apa yang di sampaikan oleh seorang guru, dalam meminta siswa untuk merepresentasi ulang dan guru tidak boleh secara konstan menggunakan pola tersebut, mungkin suatu kesempatan meminta siswa yang bersedia untuk merepresentasi ulang paparan yang disampaikan oleh guru, mungkin juga pada kesempatan lain seluruh siswa di arahkan untuk menulis atau menyimpulkan hasil dari presentasi materi yang disampaikan dengan bahasa dan cara yang dikuasai oleh siswa atau bahkan siswa bisa diarahkan memberikan saran atau tambahan materi dalam tugas menulis tersebut.
Dari presentasi materi dan riset yang harus disampaikan oleh guru, siswa tidak hanya diharapkan mampu menguasai topik yang telah disampaikan, namun dengan presentasi materi seperti diatas siswa akan mampu :
-         Menyerap materi lebih banyak dari apa yang disampaikan oleh guru;
-         Siswa mampu melatih diri untuk menyampaikan materi, sehingga pada suatu saat nanti siswa akan memetik hasil dari pola presentasi materi semacam ini dengan terlibat langsung secara nyata ketika mereka kembali kepada masyarakat, siswa akan mampu memimpin masyarakat.
-         Siswa mempunyai retorika dan protokoler yang lebih baik karena pola presentasi materi semacam ini akan menggugah siswa semakin terbiasa dan berani berpidato memaparkan sesuatu materi.
-         Siswa mempunyai nalar yang lebih panjang karena siswa dibiasakan untuk menganalisis materi, sehingga kelak siswa jika berprofesi sebagai penulis akan menjadi penulis yang handal, jika berprofesi sebagai guru akan menjadi guru yang profesional dan apapun profesi yang digelutinya nanti, pola presentasi materi ini akan menjadikan landasan yang santun dan siswa tersebut ketika kembali kepada masyarakat akan menjadi masyarakat yang baik.
Secara filosofi konstruksi kegiatan belajar mengajar menggunakan konfigurasi dan akselerasi pembelajaran yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dimana kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil yang disebut halaqah sehingga siswa diarahkan untuk:
-          Diskusi dengan menyediakan porsi yang sama antara siswa yang satu dengan yang lain melalui curah gagasan.
-          Research lapangan melalui magang dan penugasan dari hasil yang telah mereka diskusikan secara matang dan setelah ditarik konklusi secara matang pula.
-          Demonstrasi dan aplikasi hasil research pada kegiatan magang dan penugasan sebagai sumbangan pengabdian kepada masyarakat.
“Maka Maha Tinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (Thaaha : 114)
Dalam presentasi materi juga perlu diperhatikan kultur dalam suatu daerah, anatomis rata-rata masyarakat, serta latar belakang pendidikan orang tua mereka termasuk latar belakang genetika mereka, hal ini diperlukan untuk menentukan tahapan serta capaian target pembelajaran di kelas berbasis Al Qur-an.
Dengan diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) oleh Pemerintah, semoga dapat terealisasikan dengan baik khususnya pada lembaga pendidikan Islam. Dengan KTSP ini jika didukung oleh Sumber Daya Insani yang mantap, maka capaian target pembelajaran di kelas berbasis Al Qur-an akan dapat dirasakan hasilnya.
3.      Aktivasi,
(Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah),
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini mengindikasikan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ulang membaca atau membaca dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi rabbik (demi Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikianlah pesan yang dikandung Iqra’ wa rabbukal akram. (Prof. Dr. Quraish Shihab, 2003 : 434).
Pengulangan bacan ayat-ayat, do’a-do’a dan nasyid pada fase persiapan diatas merupakan inti aplikasi dari maksud pada ayat ini, namun dengan term iqra’ sebagaimana dikemukakan Prof. Dr. Quraish Shihab bahwa pelajaran yang dipresentasikan oleh guru diulang dengan dipresentasikan oleh siswa, diulang topiknya dengan didiskusikan, ditulis ulang dengan versi siswa dan ditelaah / diteliti ulang oleh siswa.
Asumsi lainnya atas diulangnya perintah membaca pada surat al Alaq ini adalah setelah siswa sudah lancar membaca dan menulis, baru siswa membaca dalam konteks yang diartikan oleh Prof. Dr. Quraish Shihab.
Aktivasi merupakan suatu penggolongan kenyataan pada prinsip etis, memberi definisi menyangkut berbagai aspek kenyataan, dan Unsur-unsur diskusi, yang pengenalan jenis kepribadian, konsep dasar psikologis, Pengaktifansecara mendalam tentang hubungan sebab akibat antara mental dan gejala fisik dengan mengedepan minat para siswa, dan yang dipolakan dan menomori daftar material atau membuat ringkasan hasil diskusi yang disajikan untuk perenungan dan pengingat kembali.
Guru seharusnya mampu membangkitkan kembali memori siswa dalam fokus setelah jeda, pola aktivasi pasca jeda tidak boleh sama dengan pola presentasi materi sebelumnya, karena pada aktivasi ini siswa diarahkan untuk melakukan diskusi atas presentasi materi dan riset yang telah disampaikan oleh guru sebelumnya.
Dalam aktivasi ini siswa tidak hanya diarahkan untuk berdiskusi saja, namun lebih dari itu siswa diarahkan untuk menggunakan materi pelajaran dalam simulasi atau main peran, serta kuis sebagaimana Lyle Palmer mengembangkan teknik Ledakan Ekstasi Pendidikannya, namun hal yang dilupakan oleh Lyle Palmer  adalah pada sesi ini muncul karakter dasar dan naluri alamiah siswa ketika mereka melakukan konfrontasi dalam berdiskusi diantara sesama, mereka memulai menampakkan eksistensi diri dan karekter dasarnya saling menghegemoni dan lain sebagainya, oleh karenanya yang lebih perlu diperhatikan oleh guru selain pada sesi ini guru hendaknya melakukan evaluasi sisipan maupun evaluasi akhir adalah guru hendaknya menghimpun, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu alamiah setiap siswa didiknya dan membentengi dengan batasan moral agamis.
Dari pembahasan ini khususnya pada sesi tanya jawab dan diskusi sebagai sesi pasca presentasi materi dan jeda, mengingat porsi kelas sepenuhnya diberikan kepada siswa, maka batasan moral agama perlu dijadikan norma yang kuat oleh karenanya penulis sependapat dengan argument ahli hukum dan cendekiawan terkenal A.K. Brohi, dalam tulisannya Morality and Law in Modern Society yang dimuat pada harian muslim (Friday Magazine Section, 27 April 1984), dalam tulisan tersebut A.K. Brohi membuka sebuah pandangan baru berdasarkan penelitiannya tentang moralitas dengan mengasumsikan bahwa “Manusia mencari kekuasaan diatas temannya tetapi karena persaingan dieksploitir tersebut selamanya, maka konsekwensi yang tidak dapat dielakkan adalah bahwa eksploitasi tersebut memberi reaksi kepada pengeksploitir itu sendiri, dengan demikian pengeksploitir itu dapat memegang dan menggunakan kekuasaan diatas pesaing itu hanya dengan mengorbankan perkembangan evolusionernya sendiri dan ras yang dimilikinya”.
Kemudian A.K. Brohi meresume argumentasi-nya sebagai berikut : “sifat moral dari suatu perbuatan mampu dirasakan oleh kemampuan misterius yang kita sebut dengan suara hati. Ia adalah sesuatu yang kita sadari sebagai pemberi reaksi pada sebuah keadaan sulit yang merupakan pilihan alternatif dari banyak perbuatan”
Mengingat resume argumentasi  A.K. Brohi  diatas, sekali lagi guru dalam sesi diskusi dan tanya jawab ini akan memberikan batasan norma bagaimana siswa yang semula dalam berdiskusi lebih menonjolkan aku-nya dalam mengemukakan pendapat dalam berdiskusi (mungkin akan mempertahankan atau mendominasi forum dalam kelompok tersebut dengan didasarkan ego yang tinggi) bergeser menjadi kerjasaman saling tukar pendapat dan ta’awwun untuk mencari solusi terbaik dalam penbahasan materi yang dipresentasikan oleh guru sebelumnya dalam koridor norma-norma yang baik.
Guru dalam term iqro’ sebagaimana dikehendaki dalam ayat pertama Al Alaq yang menghimpun, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu alamiah setiap siswa didiknya akan melakukan pengawasan dan pengembangan karakter (Caracter expans) yang lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata pelajaran apapun dapat dikaitkan dengan pendidikan karakter yang harus dilakukan secara sistematis dan berkesinam-bungan dengan melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. yang pada prakteknya selama ini lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”).
Semoga belajar model ini akan mampu lebih meningkatkan prestasi akademik siswa, meskipun tes/evaluasi dilakukan beberapa bulan selanjutnya.
4.      Elaborasi dan Penggunaan Media
(yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam)
Masa elaborasi (masa pengembangan) adalah masa yang tidak kalah pentingnya dengan masa-masa pembelajaran dikelas sebelumnya. Term ayat 2 surat al alaq : yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, dari sini terdapat dua cara perolehan dan pengembangan ilmu untuk diajarkan kepada para siswa, yaitu Allah mengajarkan dengan perantara pena yang telah diketahui oleh manusia sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. (Prof. Dr. Quraish Shihab, 2003 : 434). Dan dalam hal ini penulis lebih cenderung untuk memaknai perantara kalam sebagai aplikasi pembelajaran di kelas adalah penggunaan media pembelajaran yang akan penulis pertajam dalam bab lain dalam buku ini.
Namun perlu disadari, tingkat kebenaran ilmu hanya mungkin benar, bukan mutlak benar seperti wahyu. Selanjutnya baru mungkin dilakukan integrasi ilmu melalui proses uji kebenaran ilmu yang selama ini disebut ilmu sekuler. Hasil uji ini pun perlu diletakkan dalam tanda kutip, karena hanya mungkin benar. Dari sini baru bisa dilakukan pengembangan pendidikan Islam dengan sebuah sistem kurikulum yang tidak lagi harus memilih antara ilmu umum dan ilmu sekuler atau ilmu agama. Demikian pula dengan keharusan memilih ketaatan pada ajaran Islam yang tersusun dalam ilmu-ilmu agama dan kepentingan duniawi.
Oleh karena itu, ilmu fisika, matematika, biologi, kimia, sejarah, dan ilmu lainnya adalah Islam (kalam Allah) sepanjang didukung bukti kebenarannya berdasarkan wahyu. Ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu lain yang selama ini disebut dengan ilmu agama harus hanya disebut dengan ilmu-ilmu itu sendiri tanpa pemberian label ilmu agama karena tidak menutup kemungkinan ilmu-ilmu tersebut masih belum layak disebut ilmu Islam karena kompleksitas permasalahan aktual yang perlu dipecahkan dengan fiqih suatu misal, namun para mujtahid modern dalam menghukumi masih kurang tepat. Keyakinan tauhid mungkin tumbuh melalui studi sejarah, fisika, dan biologi, seperti hal itu bisa dilihat dari pola penuturan Al Quran, bukan hanya dengan menguasai teori tentang Tuhan seperti tersusun dalam ilmu tauhid.
Permasalahan sekarang yang lebih penting adalah apakah umat Islam bersedia dan berani membebaskan diri dari ideologisasi ilmu-ilmu Islam yang selama ini ditempatkan sebagai satu-satunya ilmu yang benar secara teologis dengan mengabaikan perkembangan permasalahan khilafiah berikut pemecahan dan solusi atas perkembangan yang lebih aktual yang muncul pada abad ini. Jika seluruh realitas diyakini sebagai ciptaan Allah, maka semua ilmu baik rekayasa maupun tidak adalah Islam karena ilmu adalah konsep tentang realitas alam, sosial dan humaniora.
Resiko dari pandangan ini ialah tidak mungkinnya lagi umat Islam melakukan klaim sepihak, ilmu tertentu sebagai Islam, sistem pendidikan tertentu sebagai sistem pendidikan Islam, dan sistem sosial tertentu sebagai sistem sosial Islam, sementara yang lain bukan Islam. Melalui cara ini, justru Islam akan benar-benar ditempatkan sebagai akar semua ilmu, sistem pendidikan, dan sistem sosial.
Oleh karena itu, penyebutan madrasah sebagai sekolah umum berciri khusus agama, seharusnya bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif. Penyebutan demikian merupakan pangkal bagi model pendidikan kritis yang tidak lagi meletakkan pendidikan sebagai transfer ilmu atau transfer nilai, tetapi merupakan suatu media belajar hidup yang terus dikembangkan dan didaur ulang inovasinya.
Tujuan utama dari kegiatan belajar mengajar berbasis al qur’an adalah bagaimana transformasi informasi baik teori maupun terapan dari seorang guru kepada peserta didik sebanyak mungkin dapat diserap oleh siswa. Namun, umumnya para guru hanya mengandalkan media pengajaran klasik, seperti ceramah dan gambar sebagai ilustrasi. Padahal sesungguhnya untuk tujuan tercapainya proses belajar tuntas, seorang guru diberikan kebebasan berkreasi. (Abdul Munir Mulkhan, 2001).

a).  Pembelajaran dengan cerita dan perumpamaan.
Kandungan ayat yang mengajarkan manusia dengan perantara kalam atau pena, tersirat dalam seluruh ayat dalam al qur’an bahwa pesan wahyu Ilahi tersebut senantiasa menceritakan kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan. Seperti di dalam ayat berikut ini :
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik. (Yusuf, 12 : 3) Dan semua kisah Rasul-rasul yang Kami ceritakan kepadamu, adalah kisah-kisan yang dengannya Kami teguhkan hatimu …… (Hud, 11 : 120)
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia ; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Al Ankabut : 43)
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (Al A’raf : 176)
Menceritakan kisah yang paling baik, sebagaimana digambarkan dalam surat Yusuf ayat 3 diatas pada zaman sekarang perlu disampaikan se sportif mungkin dengan memodifikasi metodologi penyampaiannya agar cerita tersebut sebagai media pembelajaran tampak hidup dan siswa mampu memahami sekaligus lebih cepat mencerna dan moncontohnya.
Sedangkan penyampaian semua kisah Rasul-rasul kepada siswa sebagaimana diceritakan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad Saw, bukan berarti kita sebagai guru mengajak siswa beraktifitas seperti para rasul yang diceritakan tersebut, akan tetapi hikmah yang lebih mendalam dari kisah-kisah para Rasul tersebut dengan motivasi utama pada keteguhan hati para siswa dalam menerima dan menyerap materi pembelajaran serta agar siswa teguh dalam menghadapi segala cobaan pada realitas kehidupan yang semakin tahun semakin sulit.
Al qur’an memberi pelajaran dengan cerita dan perumpamaan-perumpamaan ini secara nyata akan lebih meningkatkan daya fakir dan daya ingat, kegiatan belajar mengajar pada lembaga pendidikan Islam selama ini sudah melakukan hal ini, namun sistem metodologi dan settingnya masih konvensional, padahal seharusnya presentasi materi dengan cerita dan perumpamaan sebagaimana metode penyampaian oleh al qur’an tersebut akan memberikan keajaiban perkembangan daya fikir dan kreatifitas sebagai berikut :
Pertama : cerita dan perumpamaan mampu mengembangkan kapasitas untuk mengingat fakta-fakta yang terjadi pada masa lampau, layaknya sebuah dongeng baik yang diceritakan oleh orang tua sebelum tidur maupun dongeng yang diceritakan oleh guru dikelas, maka cerita dan perumpamaan yang lebih pas kita sebut dongeng saja yang diceritakan melalui media visualisasi penceritaan akan mampu menyelami hati pendengar lebih mendalam, memori pendengar berselancar mengikuti alur cerita dan pendengar seakan merasa ikut terlibat dalam aktifitas tokoh yang didongengkan secara detail-detail, dan ketika pendongeng berhenti sejenak karena intonasi yang harus dibuat sedemikian rupa, maka saat itu memori pendengar tidak ikut dalam jeda sesaat tersebut, akan tetapi pendengar akan memikirkan tentang hal-hal yang harus dilakukan, hal-hal yang akan terjadi dan hal-hal yang perlu diluruskan.
Kedua, setelah dongeng selesai pendengar mempunyai asosiasi yang berbeda, namun alur cerita dalam dongeng tersebut tidak akan terlepas dari memori pendengar, oleh karenanya, jika pembelajaran dengan cara ini disampaikan dengan baik maka siswa secara ajaib akan mudah mengingat daftar nama-nama, nomor-nomor dan hal-hal lain.
Ketiga, ketika guru menyampaikan cerita dan perumpamaan kepada siswa maka secara tidak sadar guru tersebut mempunyai peningkatan keyakinan saat presentasi materi, sedangkan siswa dengan daya ingat akan hal ini mengalami peningkatan yang pesat, maka nalar siswa dengan pembiasaan pembelajaran model ini akan meningkat pula dan merambah pada pembelajaran lain yang secara sinergis mampu mencetak generasi yang bernalar kuat sebagaimana disebut dalam al Qur’an sebagai ulil al baab atau cendekiawan yang menyadari bahwa daya ingat atau memori dalam otak manusia sangat dan sangatlah tidak terbatas, Maka surat Al A’raf : 176 diatas sebagai jaminan landasan pemikiran ini.
Keempat, cerita dan perumpamaan menimbulkan otak mengalami depolarisasi, yaitu suatu perubahan cepat yang dapat menyerap air atau gas dari selaput sel. Ketika masukan berhubungan dengan perasaan atau semacamnya akan merangsang neuron, dapat menyerap air atau gas selaput diubah, membiarkan suatu penerangan ion sodium yang mendadak ke dalam sel itu. konsentrasi sodium yang tinggi, atau tindakan potensial, mengalami perubahan keseluruhan beban di dalam sel dari hal negatif ke hal positif. perubahan di dalam konsentrasi ion mencetuskan reaksi serupa sepanjang selaput, menyebarkan dorongan atau gerakan hati syaraf. selama konsentrasi yang bersifat ion kembali ke beristirahat, neuron dapat mengulangi proses ini.

b).  Dialog interaktif dalam kelas
Kegiatan Belajar Mengajar di kelas berbasis al Qur’an, yang terejawantahkan dalam sistim belajar klasikal dan non klasikal, dengan semangat halaqah maka pendidikan atau tarbiyah Islamiah tersebut dilaksanakan untuk mengembangkan tasawwur (konsep) dan pemahaman terhadap kehidupan berlandaskan al-Quran di dalam jiwa para siswa sebagai peserta didik. landasan sistem pendidikan ini adalah hakikat bertauhid kepada Allah berdasarkan pendekatan normatif (Al Qur-an dan al-Sunnah) terdapat metodologi (kaidah) bagi siswa. Metodologi tersebut telah menimbulkan dampak nyata serta senantiasa berkesan mendidik pada generasi yang lebih awal.
Dengan memahami jiwa siswa yang tidak ubah bagaikan peti yang terkunci rapat manakala memahami jiwa menjadi kuncinya. Sebenarnya sistem pendidikan yang teraplikasikan dalam kegiatan belajar mengajar berbasis Al Qur-an yang paling berkesan dan mampu membawa perubahan menyeluruh dalam diri siswa adalah sistem pendidikan  yang berupaya dialog sinergis (dua arah) dengan jiwa atau karakter siswa sebagaimana terapinya berpatokan pada pendekatan normatif (Al Qur-an dan al-Sunnah) yang perlu dihidupkan dalam suasana dialog.
Dialog tidak selamanya harus interaktif dalam suatu kelompok, dialog adalah media penyelesaian suatu masalah, mungkin saat ini guru mampu menyelesaiakan suatu permasahalan siswa secara kolektif, namun yang masih kurang selama ini adalah guru kurang mampu membantu siswa dalam mengatasi permasalahan siswa secara pribadi, kalaupun mampu membantu hanyalah permasalahan eksternal siswa saja seperti permasalahan kenakalan siswa, permasalahan keluarga, permasalahan kesulitan belajar siswa dan sebagainya, dan penyelesaian tersebut cenderung tidak spontan, tidak sportif dan selalu menghakimi, keberadaan guru BP/BK selama ini kurang membantu siswa yang mempunyai permasalahan atau konflik dalam diri siswa. Banyak siswa yang mempunyai beban yang hampir meledak dan tidak ada penyelesaian-nya. Kasus demikian biasanya justru kasus yang sangat tidak diduga oleh guru, karena siswa yang mempunyai permasalahan ini biasanya menjalar pada siswa yang cenderung pendiam, penurut dan mempunyai kecerdasan rata-rata, yang intinya siswa dalam kasus ini adalah siswa yang tidak mendapat perhatian karena kenakalannya atau karena prestasi akademiknya.
Pada kegiatan belajar mengajar berbasis al qur’an, guru hendaknya mencatat dan meneliti setiap munculnya gagasan-gagasan siswa yang terjadi secara spontan dan dalam penyelesaiannya jangan sekali-kali guru secara spontan juga akan menghakimi, karena kasus selama ini dalam sesi diskusi dan dialog interaktif guru akan mudah terpancing emosinya ketika menerima kritik, atau ide luar biasa dari siswa dan guru akan langsung menghakiminya. Oleh karenanya dalam mengantisipasi hal ini pelu adanya pemecahan kelompok diskusi sebagaimana halaqah yang dikembangkan oleh Rasulullah Saw, dalam mendidik para sahabatnya.
Dialog interaktif lebih efektif dalam kelompok-kelompok kecil (halaqah), karena dengan halaqah ini efek kumulatif dari masing-masing pemikiran akan dirangsang oleh kreatifitas yang lain. Dan setelah selesai diskusi pada halaqah kecil diadakan sharing bersama melalui halaqah yang lebih besar mungkin dapat disebut dengan majelis kelas. Majelis kelas akan mencetak suatu lompatan mental ke arah masa depan yang lebih baik dari ide kumulatif tentang gagasan-gagasan berani yang dirumuskan oleh sistem dan model dialog interaktif.
c).   Mengajarnya pandai berbicara
yang Maha Pemurah telah mengajarkan Al-Qur'an. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. (QS. ar-Rahmân: 1-4).
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu : "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al Mujadilah : 11)
Ayat diatas mengindikasikan bahwa seorang guru dalam memberikan presentasi materi atau memberikan pelajaran hendaknya berlapang dada dan senantiasa bersabar untuk mengetahui tipe belajar yang dimiliki oleh siswa.
Bagi siswa yang bertipe belajar visual, yang memegang peranan penting adalah mata sebagai alat penglihatan (visual), dalam hal ini metode pengajaran yang digunakan guru sebaiknya lebih banyak dititikberatkan pada peragaan melalui media, ajak mereka ke obyek-obyek yang berkaitan dengan pelajaran tersebut, atau dengan cara menunjukkan alat peraganya langsung pada siswa atau menggambarkannya di papan tulis.
Siswa yang bertipe auditif akan mengandalkan kesuksesan belajarnya melalui telinga (alat pendengarannya), untuk itu maka guru sebaiknya harus memperhatikan siswanya hingga ke alat pendengarannya. Karena akan sia-sialah guru yang menerangkan kepada siswa tuli, walaupun guru tersebut menerangkan dengan lantang, jelas dan dengan intonasi yang tepat.
Siswa yang bertipe belajar Kinestetik belajarnya melalui gerak dan sentuhan, Taktil artinya rabaan atau sentuhan. Siswa yang seperti ini penyerapan hasil pendidikannya melaui alat peraba yaitu tangan atau kulit. Contoh : mengatur ruang ibadah, menentukan buah-buahan yang rusak (busuk). Keberhasilan siswa yang bertipe olfaktoris, tergantung pada alat indra pencium, tipe siswa ini akan sangat cepat menyesuaikan dirinya dengan suasana bau lingkungan. Siswa tipe ini akan cocok bila bekerja di : laboratorium. Siswa yang bertipe gustative (kemampuan mencicipi) adalah mereka yang mencirikan belajarnya lebih mengandalkan kecapan lidah. Mereka akan lebih cepat memahami apa yang dipelajarinya melalui indra kecapnya. Siswa bertipe kombinatif adalah siswa yang dapat dan mampu mengikuti pelajaran dengan menggunakan lebih dari satu alat indra. Ia dapat menerima pelajaran dangan mata dan telinga sekaligus ketika belajar.
Karena banyak ragam tipe belajar siswa, maka kita sebagai pendidik hendaknya mengenali betul anak didik kita dan hendaknya pendidik memiliki berbagai metode mengajar, agar siswa dapat menerima atau mengerti apa yang disampaikan oleh gurunya dengan seefektif dan seefisien mungkin.
Pendidik yang bijaksana dalam pelaksanaan pengajaran (pembelajaran) selalu berfikir bagaimana murid-muridnya, apakah murid-muridnya dapat mengerti apa yang disampaikan, apakah murid mengalami proses belajar, apakah materinya sesuai dengan pemahaman dan kematangan anak, dan sebagainya. Dari pemahaman gaya masing-masing inilah guru melalui pendekatan kognitif (cognitive approach) akan mampu mengkombinasikan bagaimana mendalami gaya belajar serta tipe masing-masing siswa dengan mengajarkan dan melatih kepada mereka untuk berbicara baik melalui diskusi atau mempresentasi ulang materi yang diajarkan sebelumnya.
Menjadikan siswa berani dan mampu serta pandai berbicara, perlu dimulai dari skenario dalam pembelajaran melalui cerita dan perumpamaan, dalam pembahasan diatas ketika guru berhenti sejenak dalam menceritakan sesuatu dan mengumpamakan serta menghubungkan dengan realitas yang ada, maka saat itu juga siswa yang memorinya terbuka lebar, siswa akan berbicara pada diri sendiri, siswa dialog dalam benaknya antara hati dan pikiran dan akhirnya jika tidak dituangkan dalam pelatihan berbicara, maka terjadilah permasalahan siswa dari dalam (inner problem) yang tidak tersolusikan. Melalui mengajarkan siswa pandai berbicara inilah segala uneg-uneg, konflik batin siswa dapat tersalurkan.
Dalam mengajarkan siswa pandai berbicara banyak perlakuan yang sering dilakukan disekitar kita dan perlu juga kita contoh, suatu misal kita mengajak para siswa kita menuju ke sebuah alam terbuka dan mempersilakan siswa untuk mengutarakan gumpalan permasalahnnya atau uneg-unegnya dengan cara berteriak di alam terbuka, atau menyarankan siswa untuk menenggelamkan kepalanya dalam bak mandi yang penuh air seraya berteriak sekeras mungkin. Namun hal ini masih efektif jika pada pra pembelajaran nadzam, hafalan surat pendek, nasyid kurang berhasil diaplikasikan.

d). Perlunya refreshing (permainan) dan jeda sesaat.
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (Al Ankabut : 64).
Guru senantiasa melakukan jeda sesaat setiap akan merubah pola, sesi dan bahkan pada sesi pergantian topik pada saat presentasi materi karena secara umum memori akan mampu menyerap lebih banyak ketika pada awal sesi dan akhir sesi. Dengan jeda sesering mungkin akan menjadikan siswa lebih banyak menyerap informasi yang disampaikan oleh guru.
Refreshing (permainan) dan jeda sangat dibutuhkan oleh siswa karena keterbatasan daya serap otak yang dimiliki oleh siswa tersebut, dalam hal ini tentunya didasarkan pada selain usia, kelas juga kemampuan rata-rata siswa. Selain itu diperlukannya refreshing (permainan) dan jeda sesaat untuk menjaga stabilitas kesegaran fisik (kesehatan) serta mempertahankan fisiologi siswa. Dan dengan permainan akan menimbulkan wawasan segar, meningkatkan kreatifitas, karena terciptanya keesimbangan antara belajar dan bermain.
Refreshing (permainan) dan jeda juga tidak harus selalu di konotasikan untuk bermain saja, guru seyogyanya memasukkan pelajaran tertentu yang membuat pikiran siswa jadi fresh, suatu misal diajak untuk senam otak, berwudlu, membaca al qur’an dan bahkan jika waktu memungkinkan atau tersedia cukup waktu, maka siswa bisa saja diajak ke musholla untuk melakukan sholat dhuha.
Refreshing (permainan) dan jeda diperlukan untuk melakukan manipulasi daya serap otak, karena otak aktif mempunyai masa yang sangat terbatas dan perlu selalu dilakukan manipulasi melalui refreshing.

e).  Kegiatan tulis menulis
Tulis menulis merupakan metoda komunikasi antar manusia dengan bantuan tanda visuil yang membentuk suatu sistem. Penulisan dapat dicapai di dalam  sistem penuh atau terbatas, suatu sistem penuh mampu menjadikan suatu pernyataan secara terang tentang konsep yang dapat dirumuskan di dalam bahasa.
Sistem penulisan terbatas biasanya digunakan untuk tujuan seperti mencatat transaksi keuangan atau sebagai mnemonic (ingatan) alat untuk pengingatan fakta penting atau menyampaikan maksud secara umum. Disebut subwriting, membatasi sistem penulisan melalui gambar (pictography), dan penggunaan object sebagai alat mnemonic (ingatan). Karena penafsiran alasan ini suatu sistem terbatas pada umumnya tidak terikat pada bahasa. Tujuan pictogram, huruf gambar, atau obyek akan mengingat lagi suatu kesan atau gambaran yang dinyatakan di (dalam) bahasa.
Sedangkan suatu sistem penulisan penuh adalah untuk pernyataan konsep yang dapat dirumuskan dalam bahasa. Sistem penulisan penuh seperti surat menyurat antara tanda dari  penulisan unsur-unsur dan sistem bahasa. Unsur bahasa mewakili, kata-kata, suku kata, atau fonem yang paling kecil yang mencirikan dua ucapan berbeda dalam suatu bahasa. Ini tidak berarti bahwa suatu sistem penulisan diikat untuk satu bahasa. Sesungguhnya, sistem menulis adalah memudahkan dalam mentransfer bahasa kepada individu lain.
Penyebutan siswa sebagai obyek pendidikan sebenarnya kurang efektif karena siswa pada usianya mempunyai rasa keingin tahuan (curiosity) yang tinggi, karena itu pendidikan normatif perlu di utamakan dalam mengarahkan keingintahuan siswa tersebut ke dalam wujud schemata (struktur kognitif) pada diri siswa, konstruksi pendidikan Islam senantiasa menempatkan siswa sebagai “Arsitek” dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga dengan schemata (struktur kognitif) struktur afektif dan psikomotorik akan tercapai dengan sendirinya dan guru hanya sebatas fasilitator dan Uswah yang baik dalam hal ini.
Konfigurasi kegiatan belajar mengajar akan nampak hasilnya jika siswa mempunyai gambaran nyata yang dapat dituangkan dalam kegiatan menulis ulang presentasi materi yang dipaparkan oleh gurunya dengan bahasa dan gaya yang dimiliki oleh masing-masing siswa, sehingga pada akhirnya siswa mampu memetakan pokok-pokok pikiran dan sekaligus uraiannya kedalam tulisan yang dibuat oleh siswa.
Kegiatan tulis menulis dimulai siswa aktif mendengarkan sebagaimana Allah melarang menggerak-kan lidahnya sebelum ayat selesai dibacakan. Mendengarkan disini bukan berarti tanpa melakukan aktifitas lain, akan tetapi siswa disarankan untuk mencatat point-point atau topik-topik penting yang diterangkan oleh guru dengan senantiasa memperhatikan petunjuk-petunjuk penting yang disampaikan oleh guru.
5.      Evaluasi
(Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya)
Tahap akhir dari langkah-langkah yang diajarkan oleh Jibril kepada sang Niraksarawan atau Al Ummi (buta huruf) tersebut adalah tahap evaluasi, evaluasi dalam hal ini sesungguhnya tidak hanya merupakan evaluasi akhir (pos tes) saja, akan tetapi evaluasi dari setiap sesi diatas seyogyanya sudah dilakukan oleh guru. Hal yang paling mendasar menurut penulis perlu dijelaskan adalah pemahaman kita tentang evaluasi selama ini adalah sebatas untuk mengukur prestasi akademik yang telah dicapai oleh siswa.
Namun dalam evaluasi kita perlu menelaah ulang metode evaluasi yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi Adam AS. Sebagaimana Firman Nya : Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-bebda) seluruhnya kemudian mengemukakan-nya kepada para malaikat lalu berfirman : sebutkanlah kepada – Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.
Mereka menjawab : maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Allah berfirman : hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini, maka setelah diberitahukan kepada mereka nama-nama benda-benda itu, Allah berfirman : “bukankan telah Ku-katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan”. (Al Baqarah : 31,32,33)
Dari ketiga ayat diatas kita jadikan pijakan dalam melakukan evaluasi, setelah materi dipresentasikan, guru akan melakukan evaluasi dengan menanyakan materi yang telah dipresentasikan, hal ini sudah biasa dilakukan dalam setiap pembelajaran, akan tetapi pertanyaan yang diberikan rata-rata masih bersifat verbal yang akhirnya kelas terasa mati dari aktifitas pembelajaran.
Jika melihat ayat diatas guru hanya sebatas mediator dalam kegiatan evaluasi, guru sekali melontarkan suatu pertanyaan berkaitan dengan materi pelajaran yang telah disampaikan, dan ketika siswa tidak bisa menjawab, atau bahkan bisa menjawab namun kurang sempurna, guru seyogyanya melontarkan kepada siswa lainnya, dan jika sudah sempurna jawaban tersebut maka guru hendaknya melontarkan kemungkinan adanya jawaban lain yang lebih sempurna dengan berbagai alasannya.
Untuk mendalami kemampuan siswa dalam menguasai suatu materi pembelajaran, dalam melakukan evaluasi guru hendaknya berpijak pada landasan ayat dibawah ini :
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (An nisa : 6).
Kelima konsep diatas menjadi pilar pendidikan global yang dikembangkan oleh peneliti dan praktisi barat setelah melakukan research bertahun-tahun, dan ironisnya konsep wahyu yang turun pertama kali tersebut belum seluruhnya kita telaah secara kritis apalagi menjadikan landasan filosofis pendidikan Islam, namun justru kita mengadopsinya dari pemikiran barat yang notabene sudah dikemas dengan menjauhkannya dan bahkan membuang jauh-jauh nilai keagamaannya. Untuk lebih jaun dalam memahami ini lihat protokol Freemasonry, Rotary Club, Lions Club dan sebagainya.

C.    Konstruksi Kegiatan Belajar Mengajar berbasis Al Qur’an
Secara filosofi konstruksi kegiatan belajar mengajar menggunakan konfigurasi dan akselerasi pembelajaran yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dalam Kelas (halaqah) yang diterapkannya dimana kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil sehingga siswa diarahkan untuk :

1.      Diskusi dengan menyediakan porsi yang sama.
Dalam kegiatan belajar mengajar berbasis al qur’an, Siswa diperlakukan sebagai arsitek, siswa perlu diajak berfikir dengan cara dimintai pendapatnya tentang permasalahan yang sedang diajarkan oleh guru, siswa dikondisikan untuk berfikir kritis dan mencari solusi atas permasalahan tersebut dengan cara diskusi kelompok. Konstruksi ini akan menjadikan siswa jauh lebih mudah memahami pelajaran yang diberikan daripada ia harus menghafal pelajarannya secara terus menerus.
Konsep ini sebagaimana kita ketahui pada pendidikan zaman Rasulullah saw, setelah di Madinah, pendidikan yang diselenggarakan di masjid, sahabat sebagai siswa dan guru saling berbagi pengetahuan di setiap halaqoh (kelompok kelompok kecil yang disebut majelis yang membahas ilmu-ilmu agama dan umum) setelah topik utama diberikan oleh Rasulullah Saw.
Dalam membagi kelompok pada majelis tersebut Nabi sangat selektif, dengan konfigurasi dan akselerasi yang diterapkan, Nabi memahami kapasitas kemampuan masing-masing sahabatnya, sehingga akselerasi berjalan dengan baik. Keberhasilan dakwah intern Rasulullah Saw, seperti ini terbukti pada kemampuan ingatan dan hafalan atas pelajaran yang diberikan oleh rasul serta kepekaan sosial yang tinggi yang dimiliki oleh para siswa (sahabat).
2.      Research lapangan melalui magang dan penugasan.
Turunnya ayat al Qur'an secara berangsur-angsur secara umum mengindikasikan bahwa dalam setiap pelaksanaan kegiatan maupun adanya permasalahan di lapangan, Nabi sering menugaskan para sahabatnya terlebih dahulu dan mengajak berdiskusi, bahkan tidak jarang ketika diskusi mengalami kebuntuan atau timbul permasalahan yang tidak mampu dicarikan solusinya, baru turun ayat yang menjelaskan permasalahan tersebut.
Research lapangan melalui magang dan penugasan sebagai metode latihan, menandakan prinsip yang memandu kepada arah riset ilmiah sebagai basis filosofis. Ilmu pengetahuan modern biasanya dipertimbangkan untuk dimulai dengan kebangkitan kembali, dasar pendekatan ilmiah ke pengetahuan dapat diamati sepanjang sejarah manusia.
Research lapangan melalui magang dan penugasan sebagai metode latihan menggunakan konsep seperti pendekatan obyektif terhadap kemampuan menerima hasil studi ilmiah. Obyektifitas menandai adanya usaha untuk mengamati hal-hal sebagaimana adanya, tanpa memalsukan pengamatan untuk sesuai dengan beberapa dugaan. Metode latihan juga melibatkan saling mempengaruhi pemikiran induktif dan pemikiran deduktif.
3.      Demonstrasi dan aplikasi hasil research.
Metode uswatun hasanah sebagai umat yang terbaik mengedepankan efek santun dan kejujuran, dimana hampir seluruh misi para sahabat yang ditugaskan oleh Rasulullah mendapat simpati secara signifikan.
Kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah sebaliknya, simpati murid atas guru pengajarnya kurang dimiliki oleh siswa. Banyak siswa yang bahkan mendendam pada guru karena hilangnya simpati atas perilaku yang dilakukan oleh guru. Hal ini menjadi catatan kita semua : bagaimana mungkin transfer ilmu pengetahuan dapat dilakukan jika simpati itu kurang atau bahkan tidak ada, apapun baiknya fasilitas, metode dan sistim pembelajaran jika guru (oknum) tidak mampu meraih simpati.
Dalam demonstrasi dan aplikasi hasil research ini guru dalam mempresentasikan materi harus betul-betul mampu meningkatkan minat dan keseriusan siswa, dan bukan memaksa siswa untuk serius mengikuti presentasinya, guru harus menelaah hasil penelitian sesaat sebelumnya tentang karakter dan gaya belajar yang dimiliki oleh para siswa didiknya.

D.   Motivasi
Motivasi sebagai penyebab suatu perilaku, atau alasan menyelesaikan beberapa aktivitas, tingkatan motivasi untuk mencukupi kebutuhan dasar, seperti untuk makanan, oksigen, dan air, dan tingkatan motivasi untuk memenuhi kebutuhan sosial seperti prestasi dan persahabatan. kebutuhan yang utama harus dicukupi dapat mengindahkan pengarah sekunder.
Dari motivasi timbul adanya hirarki alasan yang menentukan tingkah laku manusia dalam rangka mencukupi kebutuhannya seperti kebutuhan : (1) fisiologis; (2) keselamatan dan keamanan; (3) rasa keterlibatan dan cinta; (4) kemampuan/ wewenang, gengsi, dan penghargaan; (5) pemenuhan diri; dan (6) kecurigaan.
Teori kognitif merupakan motivasi terbaru, bagaimanapun juga motivasi adalah upaya untuk mengarahkan manusia mengoptimalkan dan bukan memperkecil rangsangan terhadap kebutuhan akan variasi, reaksi aesthetic, dan kecurigaan.
Motivasi yang diberikan dalam konfigurasi dan akselerasi kegiatan belajar mengajar selain mengarahkan siswa mencari kebermaknaan hidup (kecerdasan bertahan hidup) yang tekait dengan bakat, minat dan pengetahuan serta tata nilai, siswa juga mempunyai motivasi belajar yang bertendensikan pada apa yang telah dijanjikan oleh Allah Swt, yang berupa Jannah dan Ridla terhadap para insan kamil.
Motivasi menurut hemat penulis lebih cenderung untuk diarahkan kepada pendidikan emosi, pertama : siswa diarahkan mampu mengenali perasaan yang timbul beserta penyebabnya. Materi lain yang juga penting adalah mengetahui hubungan antara pikiran, perasaan dan perbuatan. Pikiran dapat menyebabkan timbulnya suatu perasaan dan perasaan mendasari adanya suatu perbuatan. Jadi walaupun sifatnya berlainan, namun ketiga hal ini sangat berkaitan erat satu sama lain sebagai identitas yang melakat pada manusia yang bergelar ulil al baab yakni setelah berdzikir, lalu berfikir yang bermanfaat, merasakan efek samping dari hasil yang telah difikirkan serta ditindaklanjuti dengan kegiatan nyata.
Kedua : Dalam menyelesaikan masalah tanpa masalah bukanlah hal mudah. Faktor ini membutuhkan kemampuan anak untuk mengetahui penyebabnya sehingga dapat memilih cara penyelesaian yang tepat. Satu hal yang harus dihindari adalah pemikiran negatif akan diri sendiri. Pengenalan jalan keluar yang baik akan suatu masalah dapat memacu siswa untuk mengarahkan dirinya sendiri secara positif pada saat kondisi mereka sedang menurun, seperti marah, takut, cemas atau sedih.
Ketiga : Kesadaran akan lingkungan sekitar membutuhkan pengertian terhadap sesama, dalam arti mengetahui perasaan dan perspektif orang lain (Empati). Contoh terbaik adalah dengan mendengarkan segala keluhan mereka tanpa terbawa oleh emosi pribadi. Siswa diharapkan mampu membedakan antara perbuatan dan perkataan orang lain dengan pemikiran dan reaksi pribadi.
Keempat : Membangun suatu hubungan yang baik sangatlah menguntungkan semua pihak (komunikasi). Dengan komunikasi siswa dapat mengekspresikan pemikiran mereka secara aktif tanpa harus diwarnai kemarahan.
Kelima : Kerja sama yang efektif adalah tahu kapan harus memimpin dan pada saat apa mereka harus mengikuti. pendidikan yang efektif tidak dibangun berdasarkan pada dominasi, tapi pada kemampuan diri dalam menolong orang supaya mau bekerja bersama-sama mencapai tujuan bersama. Mengenali masukan yang telah diberikan pihak lain dan mendorong mereka supaya berpartisipasi yang diharapkan mempunyai efek yang lebih baik ketimbang menyuruh dan mengkritik. Dari sini siswa akan bertanggung jawab pada konsekuensi dari setiap keputusan yang mereka ambil. Dan Keenam : usahakan siswa tidak yang terjebak dalam konflik terkunci oleh lingkaran emosinya sendiri. Jadi resolusinya adalah pemantapan kelima elemen diatas.
Dari keenam motivasi yang diarahkan pada peningkatan kecerdasan emosi tanpa sedikitpun memasukkan pada kurikulum, siswa akan tidak mudah kehilangan semangat, kecewa, putus-asa, lupa apa yang telah dipelajari, tidak menumpukan perhatian pada suatu masalah yang siswa tidak mampu mengatasinya.
Dan selalu ingatlah firman Allah tentang variasi anak sbagai peserta didik : Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata. (As shoffat 113).
 Motivasi utama yang layak diberikan dan dapat diterima oleh siswa adalah guru tidak pernah menyakiti siswanya baik secara fisik maupun non fisik, dalam memberikan motivasi ini guru harus selalu menandaskan bahwa belajar dan ketrampilan yang dipelajari secara terus menerus dan diperoleh oleh siswa akan dapat dimanfaatkan oleh siswa itu sendiri pada masa yang akan datang. [(.)]




No comments:

Post a Comment