BAB II
KONFIGURASI KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI KELAS BERBASIS
AL QUR’AN
Pola pendekatan (konfigurasi) kegiatan belajar mengajar
di kelas berbasis al Qur’an hendaknya didukung 4 elemen, yaitu : Pilar-Pilar
Pendidikan Islam, Kegiatan Belajar Mengajar dalam kelas, Konstruksi Kegiatan
Belajar Mengajar berbasis Al Qur’an, Motivasi.
A. Pilar-Pilar Pendidikan
Islam
Secara hirarkhis
struktural, sifat kurikuler dan operasional pendidikan Islam sebagaimana hal
yang kita warisi dari tokoh pendidikan Islam terdahulu belum menyentuh kepada
konsep yang mendasar yang bertujuan menjadikan siswa sebagai Ulil al-Baab (Cendekiawan) dalam arti
yang luas, secara aplikatif pilar pendidikan Islam sudah tertuang pada wahyu
yang pertama kali dituruhkan kepada nabi Muhammad SAW, yaitu Surat Al Alaq ayat
1 – 5 dengan penjabaran operasionalnya sebagai berikut :
1. Belajar Mengenal Tuhan, dan mengetahui segala
ciptaanya (learning to know).
2. Belajar mengenal dan memahami diri sebagai ciptan
Tuhan, (learning to be).
3. Belajar mengenal dan memahami lingkungan sosial
kemasyarakatan dan lingkungan hayati demi kebersamaan dan keseimbangan hidup
dalam satu ekosistem (learning to live
togather).
4. Belajar mempersiapkan diri dalam memilih minat dan
bakat sesuai dengan pekerjaan yang dipilihnya sesuai dengan kesiapan dan
potensi yang dimilikinya. (learning to
do).
5. Belajar mengaktualisasikan diri dalam kehidupan
bermasyarakat dengan mengamalkan segala apa yang telah dipelajarinya dan
senantiasa belajar (learning to learn),
dalam artian senantiasa melakukan research.
B. Kegiatan Belajar
Mengajar Dalam Kelas
Sebagaimana perintah pertama kali
adalah Iqra’, arti secara harfiah adalah belajar. Ketika kelas dimulai, tugas
guru adalah mengkondisikan kembali para siswa kedalam mental dan fisiologis
yang positif melalui berbagai cara sugesti yang terang-terangan dan halus
(sebagaimana konsep Lyle Palmer). Guru akan langsung mengucapkan assalamu’alaikum,
selamat pagi, salam sejahtera
dan sebagainya lalu memulai presentasi materi dan menganggap siswa secara
otomatis jika sudah berangkat ke sekolah maka siswa siap menerima pelajaran,
(bahkan tidak jarang kita mendengar guru menanyakan kepada muridnya : sampai dimana pelajaran kita .. ?, ini
adalah bukti ketidaksiapan guru dalam mengajar dengan berbagai arogansi dan sok
pintarnya) Guru tidak mempunyai kepedulian akan situasi masing-masing siswanya
sebelum berangkat ke sekolah, sedangkan guru dituntut mampu
menciptakan kelas belajar yang menghasilkan jiwa positif, mendukung pelaksanaan
kreatif, inovatif dan mudah, dalam hal ini penulis sepakat dengan konsep Lyle
Palmer.
Pembelajaran Islam yang teraplikasi
dalam kegiatan belajar mengajar di kelas berbasis al Qur’an mempunyai visi,
misi dan tujuan yang amat komplek dan jelas, namun juga sangat rinci dan
sistematis. Sesuai dengan yang diajarkan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad Saw, untuk kali pertamanya adalah kumpulan ayat yang belum menjadi
satu surat, namun mempunyai nilai pedagogis yang cukup luas dan mendalam untuk
dijadikan sebagai landasan pembelajaran di kelas.
Adapun langkah-langkah kegiatan
belajar mengajar dikelas yang dikonfigurasikan oleh Malaikat Jibril kepada sang
Niraksarawan atau Al Ummi (buta
huruf) tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Persiapan Kegiatan
belajar mengajar
(Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan).
Term iqra’ tidak hanya berarti membaca
secara tekstual, tapi juga berarti menghimpun. Sehingga dari ”menghimpun” itu
lahir aneka ragam makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak tertulis.
(Quraish Shihab, Prof. Dr. 2003 : 433)
Untuk mencapai apa yang dimaksud dalam
term iqra’ diatas subtansinya tidak akan terpenuhi tanpa adanya penyucian jiwa (soul hallowing) atau sentuhan ruhaniah (soul touch). Dalam kegiatan belajar
mengajar mungkin hanya jika kita hendak memegang al qur’an sebagai kitab suci
saja kita ingat berwudlu dan ingat pula untuk menyarankan siswa kita untuk
berwudlu, sementara pembelajaran agama (suatu misal pembelajaran agama yang
meskipun berisi ayat-ayat al qur’an, akan tetapi sepanjang tidak menyentuh
kitab sucinya) apalagi mata pelajaran umum seakan kita menganggap bahwa
berwudlu sebagai bagian kecil dalam penyucian jiwa untuk memulai suatu kegiatan
khususnya kegiatan belajar mengajar adalah tidak terlalu penting (suatu pemahaman
yang kurang tepat untuk melaksanakan perintah wudlu). Oleh karenanya lembaga
pendidikan Islam akan terasa unggul dan menjadi lembaga pendidikan yang
mempunyai rahmat bagi lembaga pendidikan lainnya dan keummatan pada umumnya
bila berani tampil beda dengan melatih siswanya berwudlu pada setiap kelas
(kegiatan belajar mengajar) akan dimulai, dan tidak berlebihan jika selanjutnya
menyarankan siswa untuk senantiasa berwudlu setiap hendak melaksanakan sesuatu
yang baik di luar kelas.
Konfigurasi Kegiatan Belajar Mengajar
dalam kelas adalah dimulai dengan bacaan ayat dengan tartil, do’a-do’a, nazam,
puji-pujian, serta nasyid yang mengandung pesan mendidik yang mengarah pada
sugesti emosional (Emotional suggestion) dan
penguatan moral (moral reinforcement) siswa.
Hal ini perlu dilakukan selain karena dengan kekuatan do’a dan ucapan syukur
sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai akan mampu membangkitkan ruh belajar
(mengkondisikan siswa kedalam mental dan fisiologis) yang positif sehingga
betul-betul siap dalam menerima dan menyerap ilmu yang dipresentasikan oleh
guru, juga akan menjadikan siswa betul-betul dalam kondisi konsentrasi, siap
akibat relaksasi yang dilakukan berkenaan dengan wudlu dan bacaan ayat-ayat
secara tartil maupun do’a dan nasyid yang telah dilantunkan. sesuai dengan
firman Allah : Dan sesungguhnya Kami
telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman ; dan keduanya mengucapkan :
"Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba
Nya yang beriman". (An Naml : 15)
Dr. George Lazanof, yang tehnik
pemercepatan belajarnya menjadikan musik jenis barok seperti : bach,(nada pengiring abad 17
berkombinasi [pola teladan Perancis yang berirama Tarian lemah gemulai,
nyanyian Italia, dan seluk beluk keruwetan dari nada pengiring Jerman] dalam
satu komposisi. kekayaan mutu nada dan konstruksi yang unik pada penghubungan
teks dengan musik itu, untuk menguraikan lagu-lagu khristiani), handel, (peran utama utama adalah
sebagai pengiring opera dan pidato-pidato, teater, dan pengiring paduan suara
gereja yang pertama kali melantunkan lagu halleluya dengan berbagai kualitas
Jerman, Perancis, dan composisional gaya Italia. yang dikombinasikan Dengan
Tradisi bahasa Inggris), dan vivaldi (iringan
musik religius, mencakup Oratorio Juditha Triumphans (1716), Gloria di (1708),
musik nya lebih konservatif dibanding konser nya, dan musik religiusnya sering
mencerminkan gaya berhubungan dengan opera dari hari seperti halnya pertukaran
dari pemain tunggal dan kelompok penuh yang ia membantu menetapkan konser itu).
Ketiga musik jenis Baroque yang
rata-rata mempunyai tempo enam puluh ketukan per menit, sebagai kunci dalam
melahirkan pelajar-pelajar yang istimewa, maka jauh sebelum musik sebagai kunci
keberhasilan pendidikan barat yang skuler, lantunan ayat-ayat Al Qur’an secara
tartil mempunyai ketukan yang bahkan lebih dinamis dan akurat dari pada musik
jenis barok hasil temuan Dr. george Lazanof.
Oleh karena itu pembiasaan membaca
ayat-ayat Al Qur-an secara tartil pada persiapan kegiatan belajar mengajar
dikelas berbasis al Qur’an mempunyai beberapa keuntungan dan sangat mengena
kedalam lubuk hati siswa yang dalam, keuntungan
pertama : dengan bacaan ayat-ayat Al Qur-an secara tartil yang
diulang-ulang setiap hari akan menjadikan siswa mudah menghafal tanpa meluangkan
waktu khusus untuk pemberian tugas menghafal, hafalan melalui bacaan ayat-ayat
Al Qur-an secara tartil dengan metode drill ini akan membekas dan sulit untuk
dilupakan oleh siswa, keuntungan kedua :
terlepas dari hasil penelitian para pakar pendidikan barat yang skuler,
pekerjaan mental yang melelahkan akan tetap relaks dan siswa akan mudah
berkonsentrasi karena bacaan ayat-ayat Al Qur-an. (pembuktian mengenai hal ini
terjadi di berbagai daerah banyak siswa yang mempunyai peningkatan baik
intelektual maupun budi pekerti yang sangat signifikan setelah mereka masuk
lembaga taman Pendidikan Al Qur-an).
Syaikh Ibrahim bin Ismail dalam
karyanya Ta'lim al Muta'alim halaman
41, sebuah kitab yang mengupas tata krama mencari ilmu berkata, "Terdapat beberapa hal yang dapat
menyebabkan seseorang kuat ingatan atau hafalannya, diantaranya, menyedikitkan
makan, membiasakan melaksanakan ibadah salat malam, dan membaca Alquran sambil
melihat kepada mushaf". Selanjutnya ia berkata, "Tak ada lagi bacaan yang dapat meningkatkan terhadap daya ingat
dan memberikan ketenangan kepada seseorang kecuali membaca Alquran".
Dr. Al Qadhi, melalui penelitiannya
yang panjang dan serius di Klinik Besar Florida Amerika Serikat, berhasil
membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat Alquran, seorang Muslim,
baik mereka yang berbahasa Arab maupun bukan, dapat merasakan perubahan
fisiologis yang sangat besar.
Penurunan depresi, kesedihan,
memperoleh ketenangan jiwa, menangkal berbagai macam penyakit merupakan
pengaruh umum yang dirasakan orang-orang yang menjadi objek penelitiannya.
Penemuan sang dokter ahli jiwa ini tidak serampangan. Penelitiannya ditunjang
dengan bantuan peralatan elektronik terbaru untuk mendeteksi tekanan darah,
detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik.
Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan Alquran berpengaruh besar
hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit.
Penelitian Dr. Al Qadhi ini diperkuat
pula oleh penelitian lainnya yang dilakukan oleh dokter yang berbeda. Dalam
laporan sebuah penelitian yang disampaikan dalam Konferensi Kedokteran Islam
Amerika Utara pada tahun 1984, disebutkan, Alquran terbukti mampu mendatangkan
ketenangan sampai 97% bagi mereka yang mendengarkannya.
Kesimpulan hasil uji coba tersebut
diperkuat lagi oleh penelitian Muhammad Salim yang dipublikasikan Universitas
Boston. Objek penelitiannya terhadap 5 orang sukarelawan yang terdiri dari 3
pria dan 2 wanita. Kelima orang tersebut sama sekali tidak mengerti bahasa Arab
dan mereka pun tidak diberi tahu bahwa yang akan diperdengarkan-nya adalah
Alquran.
Penelitian yang dilakukan sebanyak 210
kali ini terbagi dua sesi, yakni membacakan Alquran dengan tartil dan
membacakan bahasa Arab yang bukan dari Alquran. Kesimpulannya, responden
mendapatkan ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan bacaan Alquran dan
mendapatkan ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab yang bukan
dari Alquran.
Alquran memberikan pengaruh besar jika
diperdengarkan kepada bayi. Hal tersebut diungkapkan Dr. Nurhayati dari
Malaysia dalam Seminar Konseling dan Psikoterapi Islam di Malaysia pada tahun
1997. Menurut penelitiannya, bayi yang berusia 48 jam yang kepadanya
diperdengarkan ayat-ayat Alquran dari tape recorder menunjukkan respons tersenyum
dan menjadi lebih tenang.
Sungguh suatu kebahagiaan dan
merupakan kenikmatan yang besar, kita memiliki Alquran. Selain menjadi ibadah
dalam membacanya, bacaannya memberikan pengaruh besar bagi kehidupan jasmani
dan rohani kita. Jika mendengarkan musik klasik dapat memengaruhi kecerdasan
intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) seseorang, bacaan Alquran lebih dari
itu. Selain memengaruhi IQ dan EQ, bacaan Alquran memengaruhi kecerdasan
spiritual (SQ).
Hal lain yang lebih perlu dilaksanakan
adalah jika memungkinkan, siswa diarahkan kepada sholat dhuha. Sholat dhuha
bisa dilaksanakan sebelum kelas dimulai maupun ketika sedang istirahat.
Banyaknya kekerasan dan kebrutalan serta pemakaian narkoba pada siswa usia
sekolah dapat dikatakan kurangnya sentuhan rohani karena terbatasnya pendidikan
agama yang nyaris sama sekali tidak ada yang diarahkan pada tataran aplikasi
murni (prakek nyata), sholat dhuha dilaksanakan di sekolah sangat perlu dan
tidak ada alasan lain, karena pada era modern ini penyediaan infrastruktur
pendidikan seperti musholla menjadi prioritas utama oleh pemerintah dengan
mengabaikan mata pelajaran tertentu yang mengarah kepada pemanfaatan musholla
tersebut sebagai pusat aktifitas keagamaan siswa selain sholat wajib dan
kegiatan peringatan hari-hari besar Islam.
Suatu pandangan filosofis tentang
pemahaman konsep pendidikan Islam adalah al
hikmah atau kefahaman sebagaimana firman Nya : Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an
dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang
dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak.
Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari
firman Allah). (Al Baqoroh : 269).
Tataran ayat diatas merupakan tataran
dzikir dimana tujuan utama dari kegiatan belajar mengajar tuntas adalah insan kamil yang disinggung dalam al
Qur’an sebagai ulil al Baab yakni
orang yang berdzikir lalu berfikir sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah
surat Ali Imron (3) 190 – 191. “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi ulil al baab. Yaitu mereka yang berdzikir (mengingat) Allah
sambil berdiri, atau duduk, atau berbaring, dan mereka yang berfikir tentang
kejadian langit dan bumi. …………..
Dari berdzikir dan kemudian berfikir
sebagaimana dikehendaki dalam ayat diatas adalah cara yang sangat tepat untuk
memadukan kemampuan mekanis dan bakat kinetis fitrah manusia (siswa) untuk
mengikuti sunnah Allah dalam rangka pencapaian penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan pemeliharaan nilai-nilai fitrah manusia. Bagaimana
mengarahkan teknologi yang dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai rabbani, atau dengan kata lain bagaimana
memadukan dzikir dan fikir, ilmu dan iman ?
Pola dzikir sebelum kelas (kegiatan
belajar mengajar) yang banyak diterapkan banyak lembaga pendidikan Islam pada
tahun 70-an dan sekarang sulit kita jumpai prakteknya pada lembaga Pendidikan
Islam adalah ketika bel berbunyi, siswa masuk dengan tertib lalu tanpa ada yang
memberi aba-aba atau semacam komando, para siswa langsung melafalkan surat al
Fatihah lalu berdo’a : Qul robbi zidni
ilma (berdo’alah [hai Muhammad] “wahai tuhan ku tambahkanlah untukku ilmu
pengetahuan” Qs. Thaha (20) : 114, dan seterusnya ……… hingga diakhiri dengan
bacaan surat-surat pendek yang tiada bosannya dilantunkan oleh para siswa
madrasah saat itu. Pada zaman sekarang pola tersebut diatas perlu dikembangkan
lagi dengan kemasan yang mungkin lebih baik dan lebih inovatif.
Kemudian dalam memasuki suatu kelas
guru harus memahami Landasan filosofi tentang Pemisahan siswa dalam suatu kelas
berdasarkan usia dan kemampuan mereka dalam hal ini sebagaimana firman Allah : Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya
hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. (Al Qhasash : 14).
Ayat diatas sangat tepat sebagai dasar
Kelas akselerasi karena pembedaan kelas selain umur juga karena prestasi yang
dilakukan oleh siswa, jika dalam suatu kelas siswa mempunyai kesamaan dalam
tingkatan umur dan tingkatan intelektualnya, maka persiapan kegiatan belajar
mengajar dikelas berbasis Al Qur-an akan lebih mudah dilaksanakan dan kondisi
mental maupun fisiologi siswa dalam keadaan betul-betul siap menerima pelajaran
karena adanya homogenitas kemampuan atau umur.
2.
Presentasi materi dan
Riset
(Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah).
Keterpautan term Iqra’ (sebagaimana di
artikan oleh Prof. Dr. Quraish Shihab lebih dominan dilaksanakan oleh seorang
guru akseleratif sebagai metode transmisi suatu ilmu pengetahuan. Guru dalam
persiapan mengajar sudah harus menghimpun segala sumber daya yang dimiliki dan
yang akan ditransmisikan kepada siswanya, guru akseleratif menyampaikan materi
yang diajarkan dengan cara-cara demonstrasi yang Islami, berintonasi yang
santun dan melakukan gerakan-gerakan pengajaran yang dramatis sebagaimana
dicontohkan oleh Rasulullah SAW, senantiasa mengucapkan kalimah thoyyibah :
menerangkan kemahahebatan Allah dengan kalimat Subhaanallah, dan seterusnya.
Apapun yang
diterangkan oleh seorang guru, baik mata pelajaran eksakta, pelajaran umum
lainnya senantiasa dihubungkan dengan ayat-ayat al Qur’an atau hadits Nabi. Subtansi dari topik ini adalah bagaimana guru
akseleratif mampu mengarahkan siswa untuk mengikuti alur cerita atau materi
yang sedang diajarkannya, ketika guru akseleratif sanggup membangkitkan
semangat siswa melalui pola presentasi materi diatas maka insya’Allah siswa
mempunyai greget atau perhatian yang lebih serius untuk belajar dan materi yang
disampaikan dengan cara ini akan lebih mudah diingat bahkan dikenang seterusnya
oleh para siswa yang dididiknya.
Dari pola pembelajaran diatas guru
seyognyanya mampu menelaah daya tangkap siswa melalui keseriusan mengikuti
materi yang diajarkannya, hal ini dapat dilaksanakan secara bersamaan dengan
presentasi materi tersebut, sehingga guru akan langsung mengetahui dan mampu
mengevaluasi mana siswa yang mengikuti presentasi dengan serius dan mana siswa
yang seakan serius dalam mengikuti presentasi materi namun siswa tersebut
seakan melukis tanpa kanvas alias melamun. Guru dalam presentasi materi harus
juga mampu mendalami penyerapan materi oleh siswa serta meneliti faktor yang
menyebabkan siswa serius mengikuti presentasi dan yang menyebabkan siswa
cenderung melamun atau mengantuk.
Dari presentasi materi yang
disampaikan beberapa menit, selanjutnya guru bisa meminta siswa didiknya secara
acak untuk merepresentasi (memaparkan ulang) dari apa yang di sampaikan oleh
seorang guru, dalam meminta siswa untuk merepresentasi ulang dan guru tidak
boleh secara konstan menggunakan pola tersebut, mungkin suatu kesempatan
meminta siswa yang bersedia untuk merepresentasi ulang paparan yang disampaikan
oleh guru, mungkin juga pada kesempatan lain seluruh siswa di arahkan untuk
menulis atau menyimpulkan hasil dari presentasi materi yang disampaikan dengan
bahasa dan cara yang dikuasai oleh siswa atau bahkan siswa bisa diarahkan
memberikan saran atau tambahan materi dalam tugas menulis tersebut.
Dari presentasi materi dan riset yang
harus disampaikan oleh guru, siswa tidak hanya diharapkan mampu menguasai topik
yang telah disampaikan, namun dengan presentasi materi seperti diatas siswa
akan mampu :
-
Menyerap
materi lebih banyak dari apa yang disampaikan oleh guru;
-
Siswa
mampu melatih diri untuk menyampaikan materi, sehingga pada suatu saat nanti
siswa akan memetik hasil dari pola presentasi materi semacam ini dengan
terlibat langsung secara nyata ketika mereka kembali kepada masyarakat, siswa
akan mampu memimpin masyarakat.
-
Siswa
mempunyai retorika dan protokoler yang lebih baik karena pola presentasi materi
semacam ini akan menggugah siswa semakin terbiasa dan berani berpidato
memaparkan sesuatu materi.
-
Siswa
mempunyai nalar yang lebih panjang karena siswa dibiasakan untuk menganalisis
materi, sehingga kelak siswa jika berprofesi sebagai penulis akan menjadi
penulis yang handal, jika berprofesi sebagai guru akan menjadi guru yang
profesional dan apapun profesi yang digelutinya nanti, pola presentasi materi
ini akan menjadikan landasan yang santun dan siswa tersebut ketika kembali
kepada masyarakat akan menjadi masyarakat yang baik.
Secara filosofi konstruksi kegiatan
belajar mengajar menggunakan konfigurasi dan akselerasi pembelajaran yang
dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dimana kelas dibagi menjadi beberapa kelompok
kecil yang disebut halaqah sehingga
siswa diarahkan untuk:
-
Diskusi
dengan menyediakan porsi yang sama antara siswa yang satu dengan yang lain
melalui curah gagasan.
-
Research
lapangan melalui magang dan penugasan dari hasil yang telah mereka diskusikan
secara matang dan setelah ditarik konklusi secara matang pula.
-
Demonstrasi
dan aplikasi hasil research pada kegiatan magang dan penugasan sebagai
sumbangan pengabdian kepada masyarakat.
“Maka
Maha Tinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa
membaca Al Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah:
"Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (Thaaha : 114)
Dalam presentasi materi juga perlu
diperhatikan kultur dalam suatu daerah, anatomis rata-rata masyarakat, serta
latar belakang pendidikan orang tua mereka termasuk latar belakang genetika
mereka, hal ini diperlukan untuk menentukan tahapan serta capaian target
pembelajaran di kelas berbasis Al Qur-an.
Dengan diterapkannya Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) oleh Pemerintah, semoga dapat terealisasikan dengan
baik khususnya pada lembaga pendidikan Islam. Dengan KTSP ini jika didukung
oleh Sumber Daya Insani yang mantap, maka capaian target pembelajaran di kelas
berbasis Al Qur-an akan dapat dirasakan hasilnya.
3.
Aktivasi,
(Bacalah,
dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah),
Pengulangan perintah membaca dalam
wahyu pertama ini mengindikasikan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh
kecuali mengulang-ulang membaca atau membaca dilakukan sampai mencapai batas
maksimal kemampuan, tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang
bacaan bismi rabbik (demi Allah) akan
menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu
juga. Demikianlah pesan yang dikandung Iqra’
wa rabbukal akram. (Prof. Dr. Quraish Shihab, 2003 : 434).
Pengulangan bacan
ayat-ayat, do’a-do’a dan nasyid pada fase persiapan diatas merupakan inti
aplikasi dari maksud pada ayat ini, namun dengan term iqra’ sebagaimana dikemukakan Prof. Dr. Quraish Shihab bahwa
pelajaran yang dipresentasikan oleh guru diulang dengan dipresentasikan oleh
siswa, diulang topiknya dengan didiskusikan, ditulis ulang dengan versi siswa
dan ditelaah / diteliti ulang oleh siswa.
Asumsi lainnya atas diulangnya
perintah membaca pada surat al Alaq ini adalah setelah siswa sudah lancar
membaca dan menulis, baru siswa membaca dalam konteks yang diartikan oleh Prof.
Dr. Quraish Shihab.
Aktivasi merupakan suatu penggolongan
kenyataan pada prinsip etis, memberi definisi menyangkut berbagai aspek
kenyataan, dan Unsur-unsur diskusi, yang pengenalan jenis kepribadian, konsep
dasar psikologis, Pengaktifansecara mendalam tentang hubungan sebab akibat
antara mental dan gejala fisik dengan mengedepan minat para siswa, dan yang
dipolakan dan menomori daftar material atau membuat ringkasan hasil diskusi
yang disajikan untuk perenungan dan pengingat kembali.
Guru seharusnya mampu membangkitkan
kembali memori siswa dalam fokus setelah jeda, pola aktivasi pasca jeda tidak
boleh sama dengan pola presentasi materi sebelumnya, karena pada aktivasi ini
siswa diarahkan untuk melakukan diskusi atas presentasi materi dan riset yang
telah disampaikan oleh guru sebelumnya.
Dalam aktivasi
ini siswa tidak hanya diarahkan untuk berdiskusi saja, namun lebih dari itu
siswa diarahkan untuk menggunakan materi pelajaran dalam simulasi atau main
peran, serta kuis sebagaimana Lyle Palmer mengembangkan teknik Ledakan Ekstasi
Pendidikannya, namun hal yang dilupakan oleh Lyle Palmer adalah pada sesi ini muncul karakter dasar
dan naluri alamiah siswa ketika mereka melakukan konfrontasi dalam berdiskusi
diantara sesama, mereka memulai menampakkan eksistensi diri dan karekter
dasarnya saling menghegemoni dan lain sebagainya, oleh karenanya yang lebih
perlu diperhatikan oleh guru selain pada sesi ini guru hendaknya melakukan
evaluasi sisipan maupun evaluasi akhir adalah guru hendaknya menghimpun,
menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu alamiah setiap siswa
didiknya dan membentengi dengan batasan moral agamis.
Dari pembahasan ini khususnya pada
sesi tanya jawab dan diskusi sebagai sesi pasca presentasi materi dan jeda,
mengingat porsi kelas sepenuhnya diberikan kepada siswa, maka batasan moral
agama perlu dijadikan norma yang kuat oleh karenanya penulis sependapat dengan
argument ahli hukum dan cendekiawan terkenal A.K. Brohi, dalam tulisannya Morality and Law in Modern Society yang
dimuat pada harian muslim (Friday
Magazine Section, 27 April 1984), dalam tulisan tersebut A.K. Brohi membuka
sebuah pandangan baru berdasarkan penelitiannya tentang moralitas dengan
mengasumsikan bahwa “Manusia mencari
kekuasaan diatas temannya tetapi karena persaingan dieksploitir tersebut
selamanya, maka konsekwensi yang tidak dapat dielakkan adalah bahwa eksploitasi
tersebut memberi reaksi kepada pengeksploitir itu sendiri, dengan demikian
pengeksploitir itu dapat memegang dan menggunakan kekuasaan diatas pesaing itu
hanya dengan mengorbankan perkembangan evolusionernya sendiri dan ras yang
dimilikinya”.
Kemudian A.K. Brohi meresume
argumentasi-nya sebagai berikut : “sifat
moral dari suatu perbuatan mampu dirasakan oleh kemampuan misterius yang kita
sebut dengan suara hati. Ia adalah sesuatu yang kita sadari sebagai pemberi
reaksi pada sebuah keadaan sulit yang merupakan pilihan alternatif dari banyak
perbuatan”
Mengingat resume argumentasi A.K. Brohi
diatas, sekali lagi guru dalam sesi diskusi dan tanya jawab ini akan
memberikan batasan norma bagaimana siswa yang semula dalam berdiskusi lebih
menonjolkan aku-nya dalam mengemukakan pendapat dalam berdiskusi (mungkin akan
mempertahankan atau mendominasi forum dalam kelompok tersebut dengan didasarkan
ego yang tinggi) bergeser menjadi kerjasaman saling tukar pendapat dan ta’awwun untuk mencari solusi terbaik
dalam penbahasan materi yang dipresentasikan oleh guru sebelumnya dalam koridor
norma-norma yang baik.
Guru dalam term iqro’ sebagaimana
dikehendaki dalam ayat pertama Al Alaq yang menghimpun, menelaah, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri sesuatu alamiah setiap siswa didiknya akan melakukan
pengawasan dan pengembangan karakter (Caracter
expans) yang lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata
pelajaran apapun dapat dikaitkan dengan pendidikan karakter yang harus
dilakukan secara sistematis dan berkesinam-bungan dengan melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. yang pada prakteknya selama ini
lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”).
Semoga belajar model ini akan mampu
lebih meningkatkan prestasi akademik siswa, meskipun tes/evaluasi dilakukan
beberapa bulan selanjutnya.
4.
Elaborasi dan Penggunaan
Media
(yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam)
Masa elaborasi (masa pengembangan)
adalah masa yang tidak kalah pentingnya dengan masa-masa pembelajaran dikelas
sebelumnya. Term ayat 2 surat al alaq : yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, dari sini terdapat dua cara
perolehan dan pengembangan ilmu untuk diajarkan kepada
para siswa, yaitu Allah mengajarkan dengan perantara pena yang telah diketahui
oleh manusia sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum
diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha
manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. (Prof.
Dr. Quraish Shihab, 2003 : 434). Dan dalam hal ini penulis lebih cenderung
untuk memaknai perantara kalam sebagai aplikasi pembelajaran di kelas adalah
penggunaan media pembelajaran yang akan penulis pertajam dalam bab lain dalam buku
ini.
Namun perlu disadari, tingkat
kebenaran ilmu hanya mungkin benar, bukan mutlak benar seperti wahyu.
Selanjutnya baru mungkin dilakukan integrasi ilmu melalui proses uji kebenaran
ilmu yang selama ini disebut ilmu sekuler. Hasil uji ini pun perlu diletakkan
dalam tanda kutip, karena hanya mungkin benar. Dari sini baru bisa dilakukan
pengembangan pendidikan Islam dengan sebuah sistem kurikulum yang tidak lagi
harus memilih antara ilmu umum dan ilmu sekuler atau ilmu agama. Demikian pula
dengan keharusan memilih ketaatan pada ajaran Islam yang tersusun dalam
ilmu-ilmu agama dan kepentingan duniawi.
Oleh karena itu, ilmu fisika,
matematika, biologi, kimia, sejarah, dan ilmu lainnya adalah Islam (kalam
Allah) sepanjang didukung bukti kebenarannya berdasarkan wahyu. Ilmu tauhid,
ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu lain yang selama ini disebut dengan ilmu
agama harus hanya disebut dengan ilmu-ilmu itu sendiri tanpa pemberian label
ilmu agama karena tidak menutup kemungkinan ilmu-ilmu tersebut masih belum layak
disebut ilmu Islam karena kompleksitas permasalahan aktual yang perlu
dipecahkan dengan fiqih suatu misal, namun para mujtahid modern dalam
menghukumi masih kurang tepat. Keyakinan tauhid mungkin tumbuh melalui studi
sejarah, fisika, dan biologi, seperti hal itu bisa dilihat dari pola penuturan
Al Quran, bukan hanya dengan menguasai teori tentang Tuhan seperti tersusun
dalam ilmu tauhid.
Permasalahan sekarang yang lebih
penting adalah apakah umat Islam bersedia dan berani membebaskan diri dari
ideologisasi ilmu-ilmu Islam yang selama ini ditempatkan sebagai satu-satunya
ilmu yang benar secara teologis dengan mengabaikan perkembangan permasalahan
khilafiah berikut pemecahan dan solusi atas perkembangan yang lebih aktual yang
muncul pada abad ini. Jika seluruh realitas diyakini sebagai ciptaan Allah,
maka semua ilmu baik rekayasa maupun tidak adalah Islam karena ilmu adalah
konsep tentang realitas alam, sosial dan humaniora.
Resiko dari pandangan ini ialah tidak
mungkinnya lagi umat Islam melakukan klaim sepihak, ilmu tertentu sebagai
Islam, sistem pendidikan tertentu sebagai sistem pendidikan Islam, dan sistem
sosial tertentu sebagai sistem sosial Islam, sementara yang lain bukan Islam.
Melalui cara ini, justru Islam akan benar-benar ditempatkan sebagai akar semua
ilmu, sistem pendidikan, dan sistem sosial.
Oleh karena itu, penyebutan madrasah
sebagai sekolah umum berciri khusus agama, seharusnya bisa dijadikan dasar
untuk mengembangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif. Penyebutan
demikian merupakan pangkal bagi model pendidikan kritis yang tidak lagi
meletakkan pendidikan sebagai transfer ilmu atau transfer nilai, tetapi
merupakan suatu media belajar hidup yang terus dikembangkan dan didaur ulang
inovasinya.
Tujuan utama dari kegiatan belajar
mengajar berbasis al qur’an adalah bagaimana transformasi informasi baik teori
maupun terapan dari seorang guru kepada peserta didik sebanyak mungkin dapat
diserap oleh siswa. Namun, umumnya para guru hanya mengandalkan media
pengajaran klasik, seperti ceramah dan gambar sebagai ilustrasi. Padahal
sesungguhnya untuk tujuan tercapainya proses belajar tuntas, seorang guru
diberikan kebebasan berkreasi. (Abdul Munir Mulkhan, 2001).
a). Pembelajaran dengan cerita dan perumpamaan.
Kandungan ayat yang mengajarkan
manusia dengan perantara kalam atau pena, tersirat dalam seluruh ayat dalam al
qur’an bahwa pesan wahyu Ilahi tersebut senantiasa menceritakan kisah-kisah dan
perumpamaan-perumpamaan. Seperti di dalam ayat berikut ini :
Kami
menceritakan kepadamu kisah yang paling baik. (Yusuf, 12 : 3) Dan
semua kisah Rasul-rasul yang Kami ceritakan kepadamu, adalah kisah-kisan yang
dengannya Kami teguhkan hatimu …… (Hud, 11 : 120)
Dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia ; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Al Ankabut : 43)
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika
kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia
mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu
agar mereka berfikir. (Al
A’raf : 176)
Menceritakan kisah yang paling baik,
sebagaimana digambarkan dalam surat Yusuf ayat 3 diatas pada zaman sekarang
perlu disampaikan se sportif mungkin dengan memodifikasi metodologi
penyampaiannya agar cerita tersebut sebagai media pembelajaran tampak hidup dan siswa mampu memahami sekaligus lebih cepat mencerna dan moncontohnya.
Sedangkan penyampaian semua kisah
Rasul-rasul kepada siswa sebagaimana diceritakan oleh Allah kepada Rasulullah
Muhammad Saw, bukan berarti kita sebagai guru mengajak siswa beraktifitas
seperti para rasul yang diceritakan tersebut, akan tetapi hikmah yang lebih
mendalam dari kisah-kisah para Rasul tersebut dengan motivasi utama pada
keteguhan hati para siswa dalam menerima dan menyerap materi pembelajaran serta
agar siswa teguh dalam menghadapi segala cobaan pada realitas kehidupan yang
semakin tahun semakin sulit.
Al qur’an memberi
pelajaran dengan cerita dan perumpamaan-perumpamaan ini secara nyata akan lebih
meningkatkan daya fakir dan daya ingat, kegiatan belajar mengajar pada lembaga
pendidikan Islam selama ini sudah melakukan hal ini, namun sistem metodologi
dan settingnya masih konvensional, padahal seharusnya presentasi materi dengan
cerita dan perumpamaan sebagaimana metode penyampaian oleh al qur’an tersebut
akan memberikan keajaiban perkembangan daya fikir dan kreatifitas sebagai
berikut :
Pertama
: cerita dan perumpamaan mampu
mengembangkan kapasitas untuk mengingat fakta-fakta yang terjadi pada masa
lampau, layaknya sebuah dongeng baik yang diceritakan oleh orang tua sebelum
tidur maupun dongeng yang diceritakan oleh guru dikelas, maka cerita dan
perumpamaan yang lebih pas kita sebut dongeng saja yang diceritakan melalui
media visualisasi penceritaan akan mampu menyelami hati pendengar lebih
mendalam, memori pendengar berselancar mengikuti alur cerita dan pendengar
seakan merasa ikut terlibat dalam aktifitas tokoh yang didongengkan secara
detail-detail, dan ketika pendongeng berhenti sejenak karena intonasi yang
harus dibuat sedemikian rupa, maka saat itu memori pendengar tidak ikut dalam
jeda sesaat tersebut, akan tetapi pendengar akan memikirkan tentang hal-hal
yang harus dilakukan, hal-hal yang akan terjadi dan hal-hal yang perlu
diluruskan.
Kedua, setelah dongeng selesai pendengar mempunyai asosiasi
yang berbeda, namun alur cerita dalam dongeng tersebut tidak akan terlepas dari
memori pendengar, oleh karenanya, jika pembelajaran dengan cara ini disampaikan
dengan baik maka siswa secara ajaib akan mudah mengingat daftar nama-nama,
nomor-nomor dan hal-hal lain.
Ketiga,
ketika guru menyampaikan cerita dan
perumpamaan kepada siswa maka secara tidak sadar guru tersebut mempunyai
peningkatan keyakinan saat presentasi materi, sedangkan siswa dengan daya ingat
akan hal ini mengalami peningkatan yang pesat, maka nalar siswa dengan
pembiasaan pembelajaran model ini akan meningkat pula dan merambah pada
pembelajaran lain yang secara sinergis mampu mencetak generasi yang bernalar
kuat sebagaimana disebut dalam al Qur’an sebagai ulil al baab atau cendekiawan yang menyadari bahwa daya ingat atau
memori dalam otak manusia sangat dan sangatlah tidak terbatas, Maka surat Al
A’raf : 176 diatas sebagai jaminan landasan pemikiran ini.
Keempat,
cerita dan perumpamaan menimbulkan
otak mengalami depolarisasi, yaitu suatu perubahan cepat yang dapat menyerap
air atau gas dari selaput sel. Ketika masukan berhubungan dengan perasaan atau
semacamnya akan merangsang neuron, dapat menyerap air atau gas selaput diubah,
membiarkan suatu penerangan ion sodium yang mendadak ke dalam sel itu.
konsentrasi sodium yang tinggi, atau tindakan potensial, mengalami perubahan
keseluruhan beban di dalam sel dari hal negatif ke hal positif. perubahan di
dalam konsentrasi ion mencetuskan reaksi serupa sepanjang selaput, menyebarkan
dorongan atau gerakan hati syaraf. selama konsentrasi yang bersifat ion kembali
ke beristirahat, neuron dapat mengulangi proses ini.
b). Dialog interaktif dalam kelas
Kegiatan Belajar Mengajar di kelas
berbasis al Qur’an, yang terejawantahkan dalam sistim belajar klasikal dan non
klasikal, dengan semangat halaqah maka
pendidikan atau tarbiyah Islamiah tersebut
dilaksanakan untuk mengembangkan tasawwur
(konsep) dan pemahaman terhadap kehidupan berlandaskan al-Quran di dalam
jiwa para siswa sebagai peserta didik. landasan sistem pendidikan ini adalah
hakikat bertauhid kepada Allah berdasarkan pendekatan normatif (Al Qur-an dan
al-Sunnah) terdapat metodologi (kaidah) bagi siswa. Metodologi tersebut
telah menimbulkan dampak nyata serta senantiasa berkesan mendidik pada generasi
yang lebih awal.
Dengan memahami jiwa siswa yang tidak
ubah bagaikan peti yang terkunci rapat manakala memahami jiwa menjadi kuncinya.
Sebenarnya sistem pendidikan yang teraplikasikan dalam kegiatan belajar
mengajar berbasis Al Qur-an yang paling berkesan dan mampu membawa perubahan
menyeluruh dalam diri siswa adalah sistem pendidikan yang berupaya dialog
sinergis (dua arah) dengan jiwa atau
karakter siswa sebagaimana terapinya berpatokan pada pendekatan normatif (Al
Qur-an dan al-Sunnah) yang perlu dihidupkan dalam suasana dialog.
Dialog tidak selamanya harus
interaktif dalam suatu kelompok, dialog adalah media penyelesaian suatu
masalah, mungkin saat ini guru mampu menyelesaiakan suatu permasahalan siswa
secara kolektif, namun yang masih kurang selama ini adalah guru kurang mampu
membantu siswa dalam mengatasi permasalahan siswa secara pribadi, kalaupun
mampu membantu hanyalah permasalahan eksternal siswa saja seperti permasalahan
kenakalan siswa, permasalahan keluarga, permasalahan kesulitan belajar siswa
dan sebagainya, dan penyelesaian tersebut cenderung tidak spontan, tidak
sportif dan selalu menghakimi, keberadaan guru BP/BK selama ini kurang membantu
siswa yang mempunyai permasalahan atau konflik dalam diri siswa. Banyak siswa
yang mempunyai beban yang hampir meledak dan tidak ada penyelesaian-nya. Kasus demikian biasanya justru kasus yang sangat tidak
diduga oleh guru, karena siswa yang mempunyai permasalahan ini biasanya
menjalar pada siswa yang cenderung pendiam, penurut dan mempunyai kecerdasan
rata-rata, yang intinya siswa dalam kasus ini adalah siswa yang tidak mendapat
perhatian karena kenakalannya atau karena prestasi akademiknya.
Pada kegiatan belajar mengajar
berbasis al qur’an, guru hendaknya mencatat dan meneliti setiap munculnya
gagasan-gagasan siswa yang terjadi secara spontan dan dalam penyelesaiannya
jangan sekali-kali guru secara spontan juga akan menghakimi, karena kasus
selama ini dalam sesi diskusi dan dialog interaktif guru akan mudah terpancing
emosinya ketika menerima kritik, atau ide luar biasa dari siswa dan guru akan
langsung menghakiminya. Oleh karenanya dalam mengantisipasi hal ini pelu adanya
pemecahan kelompok diskusi sebagaimana halaqah
yang dikembangkan oleh Rasulullah Saw, dalam mendidik para sahabatnya.
Dialog interaktif lebih efektif dalam
kelompok-kelompok kecil (halaqah), karena
dengan halaqah ini efek kumulatif dari masing-masing pemikiran akan dirangsang
oleh kreatifitas yang lain. Dan setelah selesai diskusi pada halaqah kecil
diadakan sharing bersama melalui halaqah yang lebih besar mungkin dapat disebut
dengan majelis kelas. Majelis kelas akan mencetak suatu lompatan mental ke arah
masa depan yang lebih baik dari ide kumulatif tentang gagasan-gagasan berani
yang dirumuskan oleh sistem dan model dialog interaktif.
c). Mengajarnya pandai berbicara
yang
Maha Pemurah telah mengajarkan Al-Qur'an. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya
pandai berbicara. (QS. ar-Rahmân: 1-4).
Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu : "Berlapang-lapanglah
dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan. (al
Mujadilah : 11)
Ayat diatas mengindikasikan bahwa
seorang guru dalam memberikan presentasi materi atau memberikan pelajaran
hendaknya berlapang dada dan senantiasa bersabar untuk mengetahui tipe belajar
yang dimiliki oleh siswa.
Bagi siswa yang bertipe belajar
visual, yang memegang peranan penting adalah mata sebagai alat penglihatan
(visual), dalam hal ini metode pengajaran yang digunakan guru sebaiknya lebih
banyak dititikberatkan pada peragaan melalui media, ajak mereka ke obyek-obyek
yang berkaitan dengan pelajaran tersebut, atau dengan cara menunjukkan alat
peraganya langsung pada siswa atau menggambarkannya di papan tulis.
Siswa yang bertipe auditif akan mengandalkan
kesuksesan belajarnya melalui telinga (alat pendengarannya), untuk itu maka
guru sebaiknya harus memperhatikan siswanya hingga ke alat pendengarannya.
Karena akan sia-sialah guru yang menerangkan kepada siswa tuli, walaupun guru
tersebut menerangkan dengan lantang, jelas dan dengan intonasi yang tepat.
Siswa yang bertipe belajar Kinestetik
belajarnya melalui gerak dan sentuhan, Taktil artinya rabaan atau sentuhan.
Siswa yang seperti ini penyerapan hasil pendidikannya melaui alat peraba yaitu
tangan atau kulit. Contoh : mengatur ruang ibadah, menentukan buah-buahan yang
rusak (busuk). Keberhasilan siswa yang bertipe olfaktoris, tergantung
pada alat indra pencium, tipe siswa ini akan sangat cepat menyesuaikan dirinya
dengan suasana bau lingkungan. Siswa tipe ini akan cocok bila bekerja di :
laboratorium. Siswa yang bertipe gustative (kemampuan mencicipi) adalah
mereka yang mencirikan belajarnya lebih mengandalkan kecapan lidah. Mereka akan
lebih cepat memahami apa yang dipelajarinya melalui indra kecapnya. Siswa
bertipe kombinatif adalah siswa yang dapat dan mampu mengikuti pelajaran dengan
menggunakan lebih dari satu alat indra. Ia dapat menerima pelajaran dangan mata
dan telinga sekaligus ketika belajar.
Karena banyak
ragam tipe belajar siswa, maka kita sebagai pendidik hendaknya mengenali betul
anak didik kita dan hendaknya pendidik memiliki berbagai metode mengajar, agar
siswa dapat menerima atau mengerti apa yang disampaikan oleh gurunya dengan
seefektif dan seefisien mungkin.
Pendidik yang bijaksana dalam
pelaksanaan pengajaran (pembelajaran) selalu berfikir bagaimana murid-muridnya,
apakah murid-muridnya dapat mengerti apa yang disampaikan, apakah murid
mengalami proses belajar, apakah materinya sesuai dengan pemahaman dan
kematangan anak, dan sebagainya. Dari pemahaman gaya masing-masing inilah guru
melalui pendekatan kognitif (cognitive
approach) akan mampu mengkombinasikan bagaimana mendalami gaya belajar
serta tipe masing-masing siswa dengan mengajarkan dan melatih kepada mereka
untuk berbicara baik melalui diskusi atau mempresentasi ulang materi yang
diajarkan sebelumnya.
Menjadikan siswa berani dan mampu
serta pandai berbicara, perlu dimulai dari skenario dalam pembelajaran melalui
cerita dan perumpamaan, dalam pembahasan diatas ketika guru berhenti sejenak
dalam menceritakan sesuatu dan mengumpamakan serta menghubungkan dengan
realitas yang ada, maka saat itu juga siswa yang memorinya terbuka lebar, siswa
akan berbicara pada diri sendiri, siswa dialog dalam benaknya antara hati dan pikiran
dan akhirnya jika tidak dituangkan dalam pelatihan berbicara, maka terjadilah
permasalahan siswa dari dalam (inner
problem) yang tidak tersolusikan. Melalui mengajarkan siswa pandai
berbicara inilah segala uneg-uneg, konflik batin siswa dapat tersalurkan.
Dalam mengajarkan siswa pandai
berbicara banyak perlakuan yang sering dilakukan disekitar kita dan perlu juga
kita contoh, suatu misal kita mengajak para siswa kita menuju ke sebuah alam
terbuka dan mempersilakan siswa untuk mengutarakan gumpalan permasalahnnya atau
uneg-unegnya dengan cara berteriak di alam terbuka, atau menyarankan siswa
untuk menenggelamkan kepalanya dalam bak mandi yang penuh air seraya berteriak
sekeras mungkin. Namun hal ini
masih efektif jika pada pra pembelajaran nadzam, hafalan surat pendek, nasyid
kurang berhasil diaplikasikan.
d). Perlunya refreshing (permainan) dan jeda sesaat.
Dan
tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.
(Al Ankabut : 64).
Guru senantiasa melakukan jeda sesaat
setiap akan merubah pola, sesi dan bahkan pada sesi pergantian topik pada saat
presentasi materi karena secara umum memori akan mampu menyerap lebih banyak
ketika pada awal sesi dan akhir sesi. Dengan jeda sesering mungkin akan
menjadikan siswa lebih banyak menyerap informasi yang disampaikan oleh guru.
Refreshing (permainan) dan jeda sangat
dibutuhkan oleh siswa karena keterbatasan daya serap otak yang dimiliki oleh
siswa tersebut, dalam hal ini tentunya didasarkan pada selain usia, kelas juga
kemampuan rata-rata siswa. Selain itu diperlukannya refreshing (permainan) dan
jeda sesaat untuk menjaga stabilitas kesegaran fisik (kesehatan) serta
mempertahankan fisiologi siswa. Dan dengan permainan akan menimbulkan wawasan
segar, meningkatkan kreatifitas, karena terciptanya keesimbangan antara belajar
dan bermain.
Refreshing (permainan) dan jeda juga
tidak harus selalu di konotasikan untuk bermain saja, guru seyogyanya memasukkan pelajaran tertentu yang
membuat pikiran siswa jadi fresh, suatu misal diajak untuk senam otak, berwudlu, membaca al qur’an dan bahkan jika waktu
memungkinkan atau tersedia cukup waktu, maka siswa bisa saja diajak ke musholla
untuk melakukan sholat dhuha.
Refreshing (permainan) dan jeda
diperlukan untuk melakukan manipulasi daya serap otak, karena otak aktif
mempunyai masa yang sangat terbatas dan perlu selalu dilakukan manipulasi
melalui refreshing.
e). Kegiatan tulis menulis
Tulis menulis merupakan metoda
komunikasi antar manusia dengan bantuan tanda visuil yang membentuk suatu
sistem. Penulisan dapat dicapai di dalam
sistem penuh atau terbatas, suatu sistem penuh mampu menjadikan suatu
pernyataan secara terang tentang konsep yang dapat dirumuskan di dalam bahasa.
Sistem penulisan terbatas biasanya
digunakan untuk tujuan seperti mencatat transaksi keuangan atau sebagai mnemonic (ingatan) alat untuk
pengingatan fakta penting atau menyampaikan maksud secara umum. Disebut subwriting, membatasi sistem penulisan
melalui gambar (pictography), dan penggunaan object sebagai alat mnemonic (ingatan). Karena penafsiran
alasan ini suatu sistem terbatas pada umumnya tidak terikat pada bahasa. Tujuan
pictogram, huruf gambar, atau obyek
akan mengingat lagi suatu kesan atau gambaran yang dinyatakan di (dalam)
bahasa.
Sedangkan suatu sistem penulisan penuh
adalah untuk pernyataan konsep yang dapat dirumuskan dalam bahasa. Sistem
penulisan penuh seperti surat menyurat antara tanda dari penulisan unsur-unsur dan sistem bahasa.
Unsur bahasa mewakili, kata-kata, suku kata, atau fonem yang paling kecil yang
mencirikan dua ucapan berbeda dalam suatu bahasa. Ini tidak berarti bahwa suatu
sistem penulisan diikat untuk satu bahasa. Sesungguhnya, sistem menulis adalah
memudahkan dalam mentransfer bahasa kepada individu lain.
Penyebutan siswa sebagai obyek
pendidikan sebenarnya kurang efektif karena siswa pada usianya mempunyai rasa
keingin tahuan (curiosity) yang
tinggi, karena itu pendidikan normatif perlu di utamakan dalam mengarahkan
keingintahuan siswa tersebut ke dalam wujud schemata
(struktur kognitif) pada diri siswa, konstruksi pendidikan Islam senantiasa
menempatkan siswa sebagai “Arsitek” dalam
kegiatan belajar mengajar, sehingga dengan schemata
(struktur kognitif) struktur afektif dan
psikomotorik akan tercapai dengan
sendirinya dan guru hanya sebatas fasilitator dan Uswah yang baik dalam hal ini.
Konfigurasi kegiatan belajar mengajar
akan nampak hasilnya jika siswa mempunyai gambaran nyata yang dapat dituangkan
dalam kegiatan menulis ulang presentasi materi yang dipaparkan oleh gurunya
dengan bahasa dan gaya yang dimiliki oleh masing-masing siswa, sehingga pada
akhirnya siswa mampu memetakan pokok-pokok pikiran dan sekaligus uraiannya
kedalam tulisan yang dibuat oleh siswa.
Kegiatan tulis menulis dimulai siswa
aktif mendengarkan sebagaimana Allah melarang menggerak-kan lidahnya sebelum ayat selesai dibacakan. Mendengarkan
disini bukan berarti tanpa melakukan aktifitas lain, akan tetapi siswa
disarankan untuk mencatat point-point atau topik-topik penting yang diterangkan
oleh guru dengan senantiasa memperhatikan petunjuk-petunjuk penting yang disampaikan
oleh guru.
5.
Evaluasi
(Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya)
Tahap akhir dari langkah-langkah yang
diajarkan oleh Jibril kepada sang Niraksarawan atau Al Ummi (buta huruf) tersebut adalah tahap evaluasi, evaluasi dalam
hal ini sesungguhnya tidak hanya merupakan evaluasi akhir (pos tes) saja, akan tetapi evaluasi dari setiap sesi diatas
seyogyanya sudah dilakukan oleh guru. Hal yang paling mendasar menurut penulis
perlu dijelaskan adalah pemahaman kita tentang evaluasi selama ini adalah
sebatas untuk mengukur prestasi akademik yang telah dicapai oleh siswa.
Namun dalam evaluasi kita perlu
menelaah ulang metode evaluasi yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi Adam AS.
Sebagaimana Firman Nya : Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-bebda) seluruhnya kemudian
mengemukakan-nya kepada para malaikat lalu berfirman : sebutkanlah kepada – Ku
nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.
Mereka
menjawab : maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah yang Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
Allah
berfirman : hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini, maka
setelah diberitahukan kepada mereka nama-nama benda-benda itu, Allah berfirman
: “bukankan telah Ku-katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia
langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu
sembunyikan”. (Al Baqarah :
31,32,33)
Dari ketiga ayat diatas kita jadikan
pijakan dalam melakukan evaluasi, setelah materi dipresentasikan, guru akan melakukan evaluasi dengan menanyakan materi yang
telah dipresentasikan, hal ini sudah biasa dilakukan dalam setiap pembelajaran,
akan tetapi pertanyaan yang diberikan rata-rata masih bersifat verbal yang
akhirnya kelas terasa mati dari aktifitas pembelajaran.
Jika melihat ayat diatas guru hanya
sebatas mediator dalam kegiatan evaluasi, guru sekali melontarkan suatu pertanyaan
berkaitan dengan materi pelajaran yang telah disampaikan, dan ketika siswa
tidak bisa menjawab, atau bahkan bisa menjawab namun kurang sempurna, guru
seyogyanya melontarkan kepada siswa lainnya, dan jika sudah sempurna jawaban
tersebut maka guru hendaknya melontarkan kemungkinan adanya jawaban lain yang
lebih sempurna dengan berbagai alasannya.
Untuk mendalami kemampuan siswa dalam
menguasai suatu materi pembelajaran, dalam melakukan evaluasi guru hendaknya
berpijak pada landasan ayat dibawah ini :
Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara
itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah
sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (An nisa : 6).
Kelima konsep diatas menjadi pilar pendidikan
global yang dikembangkan oleh peneliti dan praktisi barat setelah melakukan
research bertahun-tahun, dan ironisnya konsep wahyu yang turun pertama kali
tersebut belum seluruhnya kita telaah secara kritis apalagi menjadikan landasan
filosofis pendidikan Islam, namun justru kita mengadopsinya dari pemikiran
barat yang notabene sudah dikemas dengan menjauhkannya dan bahkan membuang
jauh-jauh nilai keagamaannya. Untuk lebih jaun dalam memahami ini lihat
protokol Freemasonry, Rotary Club, Lions Club dan sebagainya.
C. Konstruksi Kegiatan Belajar Mengajar berbasis Al Qur’an
Secara filosofi konstruksi kegiatan
belajar mengajar menggunakan konfigurasi dan akselerasi pembelajaran yang
dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dalam Kelas (halaqah)
yang diterapkannya dimana kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil sehingga
siswa diarahkan untuk :
1. Diskusi dengan menyediakan porsi yang sama.
Dalam kegiatan belajar mengajar
berbasis al qur’an, Siswa diperlakukan sebagai arsitek, siswa perlu diajak
berfikir dengan cara dimintai pendapatnya tentang permasalahan yang sedang
diajarkan oleh guru, siswa dikondisikan untuk berfikir kritis dan mencari solusi atas permasalahan tersebut dengan cara
diskusi kelompok. Konstruksi ini akan menjadikan siswa jauh lebih mudah
memahami pelajaran yang diberikan daripada ia harus menghafal pelajarannya
secara terus menerus.
Konsep ini sebagaimana kita ketahui
pada pendidikan zaman Rasulullah saw, setelah di Madinah, pendidikan yang
diselenggarakan di masjid, sahabat sebagai siswa dan guru saling berbagi
pengetahuan di setiap halaqoh (kelompok kelompok kecil yang disebut majelis
yang membahas ilmu-ilmu agama dan umum) setelah topik utama diberikan oleh
Rasulullah Saw.
Dalam membagi kelompok pada majelis
tersebut Nabi sangat selektif, dengan konfigurasi dan akselerasi yang
diterapkan, Nabi memahami kapasitas kemampuan masing-masing sahabatnya,
sehingga akselerasi berjalan dengan baik. Keberhasilan dakwah intern Rasulullah Saw, seperti ini
terbukti pada kemampuan ingatan dan hafalan atas pelajaran yang diberikan oleh
rasul serta kepekaan sosial yang tinggi yang dimiliki oleh para siswa
(sahabat).
2. Research lapangan melalui magang dan penugasan.
Turunnya ayat al Qur'an secara
berangsur-angsur secara umum mengindikasikan bahwa dalam setiap pelaksanaan
kegiatan maupun adanya permasalahan di lapangan, Nabi sering menugaskan para
sahabatnya terlebih dahulu dan mengajak berdiskusi, bahkan tidak jarang ketika
diskusi mengalami kebuntuan atau timbul permasalahan yang tidak mampu dicarikan
solusinya, baru turun ayat yang menjelaskan permasalahan tersebut.
Research lapangan melalui magang dan
penugasan sebagai metode latihan, menandakan prinsip yang memandu kepada arah
riset ilmiah sebagai basis filosofis. Ilmu pengetahuan modern biasanya
dipertimbangkan untuk dimulai dengan kebangkitan kembali, dasar pendekatan
ilmiah ke pengetahuan dapat diamati sepanjang sejarah manusia.
Research lapangan melalui magang dan
penugasan sebagai metode latihan menggunakan konsep seperti pendekatan obyektif
terhadap kemampuan menerima hasil studi ilmiah. Obyektifitas menandai adanya
usaha untuk mengamati hal-hal sebagaimana adanya, tanpa memalsukan pengamatan
untuk sesuai dengan beberapa dugaan. Metode latihan juga melibatkan saling
mempengaruhi pemikiran induktif dan pemikiran deduktif.
3. Demonstrasi dan aplikasi hasil research.
Metode uswatun hasanah sebagai umat
yang terbaik mengedepankan efek santun dan kejujuran, dimana hampir
seluruh misi para sahabat yang ditugaskan oleh Rasulullah mendapat simpati
secara signifikan.
Kenyataan yang kita hadapi sekarang
adalah sebaliknya, simpati murid atas guru pengajarnya kurang dimiliki oleh
siswa. Banyak siswa yang bahkan mendendam pada guru karena hilangnya simpati
atas perilaku yang dilakukan oleh guru. Hal ini menjadi catatan kita semua :
bagaimana mungkin transfer ilmu pengetahuan dapat dilakukan jika simpati itu
kurang atau bahkan tidak ada, apapun baiknya fasilitas, metode dan sistim
pembelajaran jika guru (oknum) tidak mampu meraih simpati.
Dalam demonstrasi dan aplikasi hasil
research ini guru dalam mempresentasikan materi harus betul-betul mampu
meningkatkan minat dan keseriusan siswa, dan bukan memaksa siswa untuk serius
mengikuti presentasinya, guru harus menelaah hasil penelitian sesaat sebelumnya
tentang karakter dan gaya belajar yang dimiliki oleh para siswa didiknya.
D.
Motivasi
Motivasi sebagai penyebab suatu
perilaku, atau alasan menyelesaikan beberapa aktivitas, tingkatan motivasi
untuk mencukupi kebutuhan dasar, seperti untuk makanan, oksigen, dan air, dan
tingkatan motivasi untuk memenuhi kebutuhan sosial seperti prestasi dan
persahabatan. kebutuhan yang utama harus dicukupi dapat mengindahkan pengarah
sekunder.
Dari motivasi
timbul adanya hirarki alasan yang menentukan tingkah laku manusia dalam rangka
mencukupi kebutuhannya seperti kebutuhan : (1) fisiologis; (2) keselamatan dan
keamanan; (3) rasa keterlibatan dan cinta; (4) kemampuan/ wewenang, gengsi, dan
penghargaan; (5) pemenuhan diri; dan (6) kecurigaan.
Teori kognitif
merupakan motivasi terbaru, bagaimanapun juga motivasi adalah upaya untuk
mengarahkan manusia mengoptimalkan dan bukan memperkecil rangsangan terhadap
kebutuhan akan variasi, reaksi aesthetic, dan kecurigaan.
Motivasi yang diberikan dalam
konfigurasi dan akselerasi kegiatan belajar mengajar selain mengarahkan siswa
mencari kebermaknaan hidup (kecerdasan bertahan hidup) yang tekait dengan
bakat, minat dan pengetahuan serta tata nilai, siswa juga mempunyai motivasi
belajar yang bertendensikan pada apa yang telah dijanjikan oleh Allah Swt, yang
berupa Jannah dan Ridla terhadap para insan kamil.
Motivasi menurut hemat penulis lebih
cenderung untuk diarahkan kepada pendidikan emosi, pertama : siswa diarahkan mampu mengenali perasaan yang timbul
beserta penyebabnya. Materi lain yang juga penting adalah mengetahui hubungan
antara pikiran, perasaan dan perbuatan. Pikiran dapat menyebabkan timbulnya
suatu perasaan dan perasaan mendasari adanya suatu perbuatan. Jadi walaupun
sifatnya berlainan, namun ketiga hal ini sangat berkaitan erat satu sama lain
sebagai identitas yang melakat pada manusia yang bergelar ulil al baab
yakni setelah berdzikir, lalu berfikir yang bermanfaat, merasakan efek samping
dari hasil yang telah difikirkan serta ditindaklanjuti dengan kegiatan nyata.
Kedua : Dalam
menyelesaikan masalah tanpa masalah bukanlah hal mudah. Faktor ini membutuhkan
kemampuan anak untuk mengetahui penyebabnya sehingga dapat memilih cara
penyelesaian yang tepat. Satu hal yang harus dihindari adalah pemikiran negatif
akan diri sendiri. Pengenalan jalan keluar yang baik akan suatu masalah dapat
memacu siswa untuk mengarahkan dirinya sendiri secara positif pada saat kondisi
mereka sedang menurun, seperti marah, takut, cemas atau sedih.
Ketiga : Kesadaran
akan lingkungan sekitar membutuhkan pengertian terhadap sesama, dalam arti
mengetahui perasaan dan perspektif orang lain (Empati). Contoh terbaik adalah dengan mendengarkan segala keluhan
mereka tanpa terbawa oleh emosi pribadi. Siswa diharapkan mampu membedakan
antara perbuatan dan perkataan orang lain dengan pemikiran dan reaksi pribadi.
Keempat : Membangun
suatu hubungan yang baik sangatlah menguntungkan semua pihak (komunikasi).
Dengan komunikasi siswa dapat mengekspresikan pemikiran mereka secara aktif
tanpa harus diwarnai kemarahan.
Kelima : Kerja
sama yang efektif adalah tahu kapan harus memimpin dan pada saat apa mereka
harus mengikuti. pendidikan yang efektif tidak dibangun berdasarkan pada
dominasi, tapi pada kemampuan diri dalam menolong orang supaya mau bekerja
bersama-sama mencapai tujuan bersama. Mengenali masukan yang telah diberikan
pihak lain dan mendorong mereka supaya berpartisipasi yang diharapkan mempunyai
efek yang lebih baik ketimbang menyuruh dan mengkritik. Dari sini siswa akan
bertanggung jawab pada konsekuensi dari setiap keputusan yang mereka ambil. Dan
Keenam : usahakan siswa tidak yang
terjebak dalam konflik terkunci oleh lingkaran emosinya sendiri. Jadi
resolusinya adalah pemantapan kelima elemen diatas.
Dari keenam motivasi yang diarahkan
pada peningkatan kecerdasan emosi tanpa sedikitpun memasukkan pada kurikulum, siswa akan tidak mudah kehilangan semangat, kecewa,
putus-asa, lupa apa yang telah dipelajari, tidak menumpukan perhatian pada
suatu masalah yang siswa tidak mampu mengatasinya.
Dan selalu ingatlah firman Allah
tentang variasi anak sbagai peserta didik : Kami
limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada
yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan
nyata. (As shoffat 113).
Motivasi utama yang layak diberikan dan dapat diterima
oleh siswa adalah guru tidak pernah menyakiti siswanya baik secara fisik maupun
non fisik, dalam memberikan motivasi ini guru harus selalu menandaskan bahwa
belajar dan ketrampilan yang dipelajari secara terus menerus dan diperoleh oleh
siswa akan dapat dimanfaatkan oleh siswa itu sendiri pada masa yang akan
datang. [(.)]
No comments:
Post a Comment