Pengembangan model penugasan melalui media sosial untuk meningkatkan hasil belajar bahasa Arab di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto
Musta'ina*
aProgram Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto
*Koresponden penulis: mustain_01@jurnal.stitradenwijaya.ac.id
Abstract
Facebook as a social networking tool has the potential to become a transformational technique for learning and teaching. It is therefore important that educators understand the academic and social background of their students before reflecting and planning their lessons, the pedagogical techniques they intend to use and the type of assessment that they believe will greatly engage students in the learning process. The purpose of this development are: 1) Developing the model assignment through appropriate social media used for MTs Nurul Jadid Mojokerto City 2) Improving the learning outcomes by using the assignment model through social media in learning Arabic in MTs Nurul Jadid Mojokerto. From the results of this research development can be concluded: 1) The results of the validation of experts and testing, the model assignment through social media is feasible to be used for the subjects of Arabic, because the product developed not revised by the expert but from the results of the questionnaire dissemination students declared that should Revised are: (a) Improving the look of the model or changing its learning strategy, and (b) improving the use of resources in applying the model. 2) Product development model assignment through social media can improve learning result of Arabic Language student at MTs Nurul Jadid City of Mojokerto. From the experimental class experiencing the improvement of learning completeness from Pre Test and Post Test that is each 77.78% rose to 91.67%.
Keywords: Model assignments, social media, learning outcomes
TA’DIBIA JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, Volume 5 Nomor : 1 Mei 2015, ISSN: 2088-4540
A. Latar Belakang
Upaya peningkatan pendidikan dilakukan dengan berbagai pendekatan kelembagaan, legal formal maupun pemberdayaan sumber daya pendidikan. Pendekatan kelembagaan salah satunya melalui lahirnya Direktorata Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK). Pendekatan legal formal melalui serangkaian perundang-undangan (peraturan) yang berkaitan dengan pendidikan seperti UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan UU Nomor 14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen. Pendekatan pemberdayaan sumber daya pendidikan dilakukan dengan melakukan kegiatan peningkatan kompetensi dan kualitas tenaga pendidikan dan kependidikan secara sistematis dan berkesinambungan.
Kenyataan tersebut menjadi proyek besar bagi negara kita adalah bagaimana menjadikan jumlah penduduk yang demikian besar bukan menjadi beban, melainkan harus diubah menjadi aset negara yang produktif. Pemikiran ini tidak berarti pendidikan kita harus terfokus untuk menjadikan peserta didik sebagai tukang, melainkan bagaimana mereka menjadikan putra-putri bangsa yang aktif, inovatif kreatif, dan memiliki komitmen kebangsaan dan kemanusiaan yang kuat dan mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa dalam pergaulan dunia.
Peranan pendidikan dalam kehidupan diakui sebagai salah satu kekuatan yang dominan serta menjadi faktor penentu bagi prestasi dan produktivitas seseorang. Realitas ini tampak dalam kehidupan bermasyarakat, bahwa tak satu pun fungsi dan jabatan diperoleh tanpa melalui jenjang pendidikan. Hal ini sesuai dengan esensi dari tujuan pendidikan berdasarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU Sisdiknas, 2003).
Paradigma pembelajaran meliputi teacher centered dan student centered. Paradigma teacher centered merupakan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru. Paradigma ini dianggap sebagai pembelajaran deduktif tradisional, sedangkan paradigma student centered merupakan paradigma pembelajaran yang berpusat pada siswa. Paradigma ini sering disebut sebagai sebuah pembelajaran dengan pendekatan berorientasi pada proses (process oriented approach). Pembelajaran yang umum digunakan di Asia Tenggara menggunakan paradigma teacher centered. Pembelajaran student centered atau pembelajaran berorientasi proses masih jarang digunakan (Bourke, 2004). Pembelajaran student centered membutuhkan proses belajar dan pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan kurikulum yang mendukung pembelajaran. Untuk mengembangkan pebelajar yang mandiri (self-regulated learner) yang mampu memberdayakan kemampuan berpikir kritis, paradigma student centered lebih tepat digunakan (Noor, 2007). Kebanyakan penulis berpendapat bahwa berpikir kritis berkaitan dengan aktivitas “tingkat tinggi” seperti kemampuan dalam memecahakan masalah, menetapkan keputusan, berpikir reflektif, berpikir kreatif, dan mengambil kesimpulan secara logis (Nickerson, 1998).
Dalam Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyatakan bahwa dalam kegiatan inti pembelajaran merupakan proses untuk mencapai Kompetensi Dasar (KD) yang harus dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, krativitas, dan keadirian sesuai denganbakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik. Kegiatan pembelajaran ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
Joosten (2012) mendefinisikan media sosial sebagai istilah untuk menggambarkan sejumlah sistem teknologi yang berkaitan dengan kolaborasi dan masyarakat, termasuk situs jejaring sosial. Pesatnya pertumbuhan media sosial seperti wiki, blog, Facebook dan Myspace telah masuk ke dalam kehidupan jutaan orang di seluruh dunia. Meskipun demikian, komunitas pendidikan agak curiga tentang peran bahwa situs tersebut harus bermain dalam proses belajar mengajar yang efektif. Sejauh Situs Jaringan Sosial (medsos) Putuskan potensial antara teknologi yang dipilih siswa saat ini bertentangan dengan apa yang sebenarnya digunakan pendidik. Putusan ini menghambat keterlibatan siswa dan pembelajaran yang disengaja sebagai siswa mahir medsos tidak belajar di lingkungan yang mereka paling nyaman. Institusi pendidikan mulai menyadari bahwa siswa mereka saat ini semakin mahir dalam hal jejaring sosial dan karena itu perlu mempertimbangkan bagaimana untuk memenuhi kebutuhan perilaku digital dan kebiasaan siswa mereka.
Facebook adalah salah satu situs oleh orang-orang dari semua kelompok umur yang paling umum digunakan, tidak hanya sebagai situs jaringan sosial, tetapi juga sebagai platform pembelajaran online berbasis pedagogis. Facebook memiliki banyak aplikasi yang mendukung pengajaran dan pembelajaran dan telah ditemukan untuk menumbuhkan pengalaman belajar yang positif serta untuk meningkatkan hubungan antara pendidik dan siswa (Mazer et al., 2007). Tujuan utama dari seorang pendidik adalah untuk memastikan belajar siswa berlangsung. Meskipun mungkin hak prerogatif pendidik untuk memilih jenis teknik pengajaran dan pembelajaran bahwa ia mungkin ingin bekerja di kelas, hak istimewa ini agak dibatasi oleh pemandangan yang selalu berubah dan sangat beragam dan generasi siswa tech-savvy yang mencari pendidikan yang lebih tinggi, memaksa pendidik hari ini untuk mengambil keterampilan baru dan memanfaatkan pengajaran dan pembelajaran teknik transformasional yang dianggap cocok untuk saat ini.
Sementara studi menyelidiki penggunaan Facebook untuk mengajar dan belajar (Wang et al, 2012;. Roblyer et al, 2010;. Selwyn, 2009; Bosch, 2009; Barnes, Marateo dan Ferrisare, 2007) masih dalam tahap awal, studi ini menunjukkan bahwa Facebook sebagai alat jejaring sosial memiliki potensi untuk menjadi teknik transformasional untuk belajar dan mengajar di lembaga pendidikan. Oleh karena itu penting bahwa pendidik memahami latar belakang akademik dan sosial siswa mereka sebelum mencerminkan dan merencanakan pelajaran mereka, teknik pedagogis mereka berniat untuk menggunakan dan jenis penilaian yang mereka percaya akan sangat melibatkan siswa dalam proses pembelajaran.
Sesuai judul penelitian, maka perlu adanya model penugasan melalui media sosial dalam meningkatkan hasil belajar bahasa Arab di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat di kemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mengembangkan model penugasan melalui media sosial yang layak digunakan untuk MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto?
2. Apakah penggunan model penugasan melalui melalui media sosial dapat meningkatkan hasil belajar bahasa Arab di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Mengembangkan model penugasan melalui media sosial yang layak digunakan untuk MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto
2. Meningkatkan hasil belajar dengan menggunakan model penugasan melalui media sosial dalam belajar bahasa Arab di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto
D. Kajian pustaka
1. Model Penugasan Melalui Media Sosial
Media sosial (Social networking) menjadi fenomena yang cukup menarik untuk diteliti, karena dengan seiiring perkembangannya segala macam aktifitas dan kegiatan dapat diterapkan, salah satunya sebagai media pendidikan. Social networking memiliki pengertian, pranata sosial yang terdiri dari beberapa elemen baik individu maupun organisasi. Jejaring ini merupakan suatu jalan dimana setiap individu maupun organisai berhubungan baik kesamaan hobi dan sosial, media sosial ini diperkenalkan oleh Prof. Barnes pada tahun 1954. Menurut Barnes (1954), media sosial “Suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan”.
Media sosial yang banyak bermunculan yang dapat ditemui diantaranya friendster, twitter, facebook, myspace, ebudy. Penelitian tentang standar yang berfokus pada pembelajaran e-learning, salah satunya pemanfaatannya melalui jajaring social facebook telah banyak dilakukan. Dengan menggunakan konsep e-learning sebagai infrastruktur pembelajaran berbasis content, dimungkinkan materi yang disajikan dapat disesuaikan (flexibelity) dengan kebutuhan pengguna (Permana, 2005), sedangkan Hambali (2008), mengemukakan istilah e-learning sama dengan komunikasi dalam suatu lingkungan, dimana komunikasi merupakan salah satu hal paling penting. Dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat, komunikasi dapat dilakukan berbagai berbagai cara, salah satunya yang sekarang berkembang adalah melalui situs media sosial facebook.
Sekarang banyak siswa dan siswi yang sudah memiliki akun di media sosial seperti Facebook dan Twitter walaupun usianya belum genap 13 tahun. Mereka rata-rata mencuri umur agar bisa membuat akun di media sosial tersebut, dan agar dianggap gaul dan tidak gaptek (gagap teknologi) oleh teman-temannya.
Siswa memiliki akun media sosial tidak usah dilarang oleh guru atau orang tua. Asalkan orang tua dan guru memberi penjelasan mengenai dampak positif dan negatif dari sosial media. Facebook memiliki kemungkinan negatif lebih banyak dibandingkan dengan twitter. Karena Facebook selain memuat teks, juga bisa mengunggah gambar dan video dengan mudah ke media sosial tersebut.
Sedangkan Twitter, media sosial ini memiliki keterbatasan yakni hanya berisi 140 karakter. Twitter juga bisa memuat teks, gambar dan video tetapi untuk gambar dan video tidak bisa langsung terbaca jika kita tidak mengkliknya. Jadi saya lebih sedikit dampak negatif twitter dibandingkan facebook, tetapi jika yang ditulis di media sosial kata-kata yang kurang patut dan tidak sopan tentu sama saja bisa berdampak buruk bagi siswa sebagai penggunanya.
Untuk mensiasati permasalah dampak negatif media sosial, sebaiknya guru memanfaatkan media sosial untuk pembelajaran. Caranya adalah sebagai berikut:
1. Membuat materi pelajaran yang sedang diajarkan di sekolah. Dengan cara ini siswa yang memiliki akun media sosial bisa mendapatkan pengetahuan atau ilmu dari media sosial yang kini bisa diakses dimana saja dan kapan saja melalui handphone, tablet atau komputer pribadi.
2. Membuat soal latihan di media sosial seperti facebook, siswa diharapkan menjawab pertanyaan tersebut melalui pesan di inbox, group atau melalui komentar yang ada di bawah soal latihan tersebut. Tidak masalah siswa copy paste jawaban dari orang lain, tetapi minimal siswa sudah membaca soal tersebut.
3. Mencantumkan link soal latihan di media sosial yang mengarah ke blog guru mata pelajaran. Sehingga selain siswa bisa belajar tentang materi soal pelajaran, blog guru tersebut juga akan kebanjiran pengunjung yang tidak lain adalah para siswanya sendiri.
Dengan cara seperti itu siswa akan dituntun untuk menggunakan media sosial sebagai sarana pembelajaran mata pelajaran apa saja, dan kita sebagai seorang guru bisa memperhatikan gerak-gerik siswa dan siswi kita di media sosial. Apakah mereka menulis atau mengunggah hal-hal yang positif atau negatif.
2. Hasil Belajar
Setelah mengetahui pengertian belajar dan faktor yang mempengaruhinya, maka akan dikemukakan apa itu hasil belajar. Sudjana (2005: 5) menyatakan bahwa hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku dan sebagai umpan balik dalam upaya memperbaiki proses belajar mengajar. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian luas mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotorik.
Suratinah Tirtonegoro (2001:43) mengemukakan hasil belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa dalam periode tertentu. Syaiful Bahri Djamarah (1996:23) mengungkapkan hasil belajar adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar.
Widoyoko (2009:1), mengemukakan bahwa hasil belajar terkait dengan pengukuran, kemudian akan terjadi suatu penilaian dan menuju evaluasi baik menggunakan tes maupun non-tes. Pengukuran, penilaian dan evaluasi bersifat hirarki. Evaluasi didahului dengan penilaian (assessment), sedangkan penilaian didahului dengan pengukuran.
Bloom (Nana Sudjana , 2010: 22-31) mengemukakan secara garis besar membagi hasil belajar menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik.
a. Ranah kognitif
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah:
1) Pengetahuan
2) Pemahaman
3) Aplikasi
4) Analisis
5) Sintesis
6) Evaluasi
b. Ranah Afektif
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai yang terdiri dari lima aspek. Kelima aspek dimulai dari tingkat dasar atau sederhana sampai tingkat yang kompleks sebagai berikut.
1) Reciving/ attending (penerimaan)
2) Responding (jawaban)
3) Valuing (penilaian)
4) Organisasi
5) Karakteristik nilai atau internalisasi nilai
c. Ranah Psikomotor
Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Ada enam tingkatan keterampilan, yakni:
1) gerakan refleks yaitu keterampilan pada gerakan yang tidak sadar;
2) keterampilan pada gerakan-gerakan dasar;
3) kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual, membedakan auditif, motoris dan lain-lain;
4) kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan dan ketepatan;
5) gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks;
6) kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresif dan interpretatif.
Tohirin (2006:155) mengungkapkan seseorang yang berubah tingkat kognitifnya sebenarnya dalam kadar tertentu telah berubah pula sikap dan perilakunya. Suharsimi Arikunto (2007: 121) mengungkapkan ranah kognitif pada siswa SD yang cocok diterapkan adalah ingatan, pemahaman dan aplikasi, sedangkan untuk analisis, sintesis, baru dapat dilatih di SLTP dan SMU dan Perguruan Tinggi secara bertahap sesuai urutan yang ada. Pengetahuan atau ingatan merupakan proses berfikir yang paling rendah, misalnya mengingat rumus, istilah, nama-nama tokoh atau nama-nama kota. Kemudian pemahaman adalah tipe hasil belajar yang lebih tinggi daripada pengetahuan, misalnya memberi contoh lain dari yang telah dicontohkan atau menggunakan petunjuk penerapan pada kasus lain. Sedangkan aplikasi adalah penggunaan abstraksi pada situasi kongkret atau situasi khusus. Menerapkan abstraksi yaitu ide, teori atau petunjuk teknis ke dalam situasi baru disebut aplikasi. Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungkan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, model atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah penilaian hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang diperoleh sebagai akibat usaha kegiatan belajar dan dinilai dalam periode tertentu. Di antara ketiga ranah tersebut, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran (Nana Sudjana, 2005: 23).
3. Pembelajaran Bahasa Arab Sebagai Bahasa Asing
Bahasa adalah perpaduan antara keterampilan dan ilmu. Keterampilan berbahasa ada empat: mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Sedangkan ilmu bahasa terkait dengan gramatika, tatacara menulis, tatacara membaca, dan sebagainya.
Kemampuan berbahasa adalah penguasaan manusia terhadap 4 keterampilan bahasa, bukan terhadap ilmu bahasa. Seseorang yang sudah mampu berdialog dalam suatu bahasa, dia mampu mengucapkan suatu ujaran yang bisa dipahami oleh pendengarnya dan dia mampu memahami apa yang diujarkan oleh lawan bicaranya, maka orang tersebut sudah bisa berbahasa, meskipun secara teori orang itu tidak paham sama sekali tentang kaidah gramatika.
Kemampuan berbahasa ada dua tingkatan, aktif dan pasif. Kemampuan berbahasa aktif adalah kemampuan seseorang untuk berbahasa dalam komunikasi hidup sehari-hari. Sedangkan kemampuan berbahasa pasif adalah kemampuan seseorang untuk memahami bahasa tersebut secara pasif, melalui mendengar dan membaca, serta mampu mengekspresikan hanya dengan cara menulis, tetapi tidak berdaya untuk masuk dalam dialog hidup.
Mempelajari suatu bahasa telah dilakukan oleh manusia sejak lahir. Mempelajari bahasa dimulai dari belajar bahasa ibu, yang merupakan suatu hal yang wajar dan alamiah. Namun lain halnya dengan belajar bahasa kedua atau bahasa asing. Nunan (1989: 13) menyebutkan “the ability to use a second language (knowing “how”) would develop automatically if the learner were required to focus on meaning in the process of using the language to comunicate ”. Pendapat tersebut diartikan bahwa kemampuan untuk menggunakan bahasa kedua (mengetahui bagaimana) akan berkembang secara otomatis jika pelajar diarahkan untuk fokus pada arti proses menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Bahasa kedua yang dimaksud di sini adalah bahasa asing yang pada umumnya dipelajari oleh peserta didik di suatu lingkup sekolah.
Menurut Richard dan Schmidt (2002: 206) bahasa asing (foreign language) adalah sebagai berikut.
A language which is not the NATIVE LANGUAGE of large number of people in a particular country or region, is not used as a medium of instruction in school, and is not widely used as a medium of comunication in goverment, media, etc. Foreign language are typically taught as school subjects for the purpose of comunicating with foreigners or for reading printed materials in the language.
Kutipan tersebut mempunyai pengertian, bahwa bahasa asing diartikan sebagai satu bahasa yang bukan bahasa asli dari sebagian besar orang pada satu negara atau daerah tertentu, yang bukan dipergunakan sebagai satu sarana komunikasi dalam pemerintah, media dan sebagainya. Bahasa asing diajarkan sebagai mata pelajaran di sekolah dengan tujuan agar peserta didik dapat berkomunikasi dengan orang asing atau untuk membaca bacaaan dalam bahasa asing tersebut.
Parera (1993: 16) berpendapat bahwa bahasa asing adalah bahasa yang belum dikenal atau tidak dikenal oleh setiap peserta didik pelajar bahasa. Jika bahasa asing itu dipelajari di sekolah, bahasa asing itu menjadi bahasa ajaran, sehingga bahasa asing dalam suatu pembelajaran adalah mengenalkan bahasa baru kepada peserta didiknya sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan pendidikan.
Pemberian pelajaran bahasa asing di tingkat sekolah sangat bermanfaat, karena dengan mempelajari bahasa asing peserta didik dapat berkomunikasi dan mempelajari kebudayaan dari pemilik bahasa asing tersebut. Untuk memperoleh pencapaian pembelajaran bahasa asing yang maksimal diperlukan media, metode, teknik, dan pendekatan tertentu yang sesuai dengan pembelajaran bahasa tersebut. Proses pembelajaran dengan media, metode, teknik, dan pendekatan yang sesuai akan memudahkan materi yang disampaikan terserap dengan baik oleh peserta didik. Adapun pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan komunikatif yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada keaktifan peserta didik dan guru hanya bertindak sebagai fasilitator.
Prinsip dasar pendekatan komunikatif yaitu belajar bahasa berarti belajar berkomunikasi, bukan mempelajari struktur, maupun bunyi atau kosakata secara terpisah. Tujuan utamanya adalah dapat menggunakan bahasa dengan baik dan benar sehingga dapat diterima oleh pendengar secara umum. Pendekatan komunikatif dimaksudkan agar para pembelajar pada akhirnya dapat menangkap seluruh komunikasi tanpa menganalisis bahasa menjadi satuan-satuan gramatika atau unsur-unsur kebahasaan seperti pola kalimat, kosakata, dan sebagainya. Sehingga di dalam proses pengajarannya pun peserta didik lebih banyak diberi pengayaan dalam pengalaman-pengalaman berkomunikasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengajaran kesalahan berbahasa dengan menggunakan pendekatan komunikatif sangat tepat. Karena dengan belajar berkomunikasi menggunakan bahasa yang baik dan benar secara konsisten akan tercipta pola komunikasi yang baik pula. Dalam pembelajaran bahasa asing seorang guru dituntut untuk berkreasi, kreatif dan terampil dalam menyampaikan materi yang akan disampaikan secara bertahap sesuai dengan tingkatan kemampuan peserta didik sehingga peserta didik dapat menerima materi dengan baik. Jadi proses belajar diatur secara ketat mulai dengan memberikan motivasi sebagai persiapan untuk menghadapi teks, kemudian penyajian teks sampai pada latihan untuk mengaktifkan ungkapan yang terdapat dalam teks.
Strauss (2000: 52) membagi proses belajar bahasa asing dalam tiga tingkatan yaitu, (1) mencakup semua kegiatan belajar dan tujuan belajar yang berkaitan dengan pengenalan dan pemahaman teks, (2) meliputi semua kegiatan yang bertujuan mencapai pemantapan pertama ungkapan tersebut dengan cara mengulangnya berkali-kali, (3) dapat disebut tahap mengulangi pelajaran, dalam tahap itu termasuk semua kegiatan belajar peserta didik yang menyangkut pengulangan beberapa ujaran sekaligus sebanyak satu atau dua kali. Ketiga tingkatan belajar tersebut dilandasi oleh tiga tujuan belajar yang terpenting. Realisasi tujuan itu harus dilakukan secara berturut-turut, supaya proses belajar berlangsung dengan efektif dan efesien. Dalam hal ini Strauss (2000: 52) juga mengungkapkan ketiga tujuan belajar yaitu. (1) kemampuan mengerti teks secara garis besar (grobes bzw. kursorisches textverstandnis) serta kemampuan mengerti arti dan maksud ungkapan-ungkapan yang akan diaktifkan, (2) kemampuan memproduksi secara terbatas (erste reproduktionsfahigkeit) yakni kemampuan mengerti arti dan maksud ungkapan yang akan diaktifkan maupun kemampuan memproduksi ungkapan tersebut walaupun belum secara lancar dan sempurna, (3) keterampilan mereproduksi secara lancar (flussige reproduktionsfahigkeit) yaitu kemampuan menggunakan strategi-strategi komunikasi dengan spontan maupun keterampilan memproduksikan secara lancar dan wajar ungkapan-ungkapan yang akan diaktifkan termasuk pengetahuan tentang kesesuaian ungkapan itu secara semantik atau sesuai makna.
Dari pendapat tesebut dapat di ambil kesimpulan bahwa dalam mempelajari bahasa asing harus berdasarkan tingkatan yang sudah ditentukan. Selain itu, juga untuk mencapai tingkatan tersebut harus dilandasi dengan tujuan belajar sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa asing, guru dituntut kreatif untuk terus menggunakan dan mengembangkan media pembelajaran yang menarik untuk mampu menciptakan suasana yang komunikatif dan menyenangkan, sehingga dapat memotivasi peserta didik untuk belajar lebih baik.
E. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian yang berjudul Pengembangan model penugasan melalui media sosial untuk meningkatkan hasil belajar bahasa Arab di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto adalah (research and development) atau penelitian pengembangan. Penelitian ini diarahkan pada pengembangan suatu produk model penugasan melalui media sosial bahasa Arab di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto Produk yang model penugasan melalui media sosial.
Saat proses pengembangan, diberlakukan uji ahli dan uji coba produk. Uji ahli dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan produk yang dihasilkan berdasarkan kesesuaian produk dilihat dari segi isi/ materi dan desain media pembelajaran. Sedangkan uji coba produk juga dilakukan untuk mengetahui tingkat kemenarikan produk yang telah dihasilkan dari penelitian pengembangan ini.
Proses uji coba penggunaan produk dilakukan menggunakan desain penelitian Dick and Carey. Desain penelitian ini digunakan untuk meneliti satu kelompok dengan diberi satu kali perlakuan. Efek atau pengaruh perlakuan yang ingin diketahui melalui uji coba produk adalah tingkat kemenarikan produk hasil pengembangan sabagai media pembelajaran. Tingkat kemenarikan tersebut dapat dilihat dari hasil penilaian yang diberikan setelah uji coba penggunaan produk.
F. Subjek Penelitian
Penelitian pengembangan ini dilaksanakan pada semester genap tahun pelajaran 2014/2015 di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto. Subjek dalam penelitian ini adalah para ahli yang menguji kevalidan model model penugasan melalui media sosial yang terdiri dari pakar pendidikan dan siswa kelas VIII sebagai pengguna yang menilai tingkat kemenarikan, kemanfaatan dan kemudahan model penugasan melalui media sosial yang dikembangkan. Sedangkan objek penelitian ini adalah model penugasan melalui media sosial.
G. Prosedur Pengembangan
Prosedur pengembangan dilakukan melalui 5 tahap yakni 1) menentukan model yang akan dikembangkan; 2) mengidentifikasi silabus mata pelajaran; 3) persiapan pengembangan dengan mengikuti langkah-langkah Dick & Carey; 4) pengembangan prototipe yang terdiri: a) petunjuk, b) tujuan umum, c) tujuan khusus, d) kerangka isi, e) uraian isi, f) rangkuman, g) tugas/latihan dan jawaban/penilaian tugas/latihan; 5) tahap merancang dan melakukan evaluasi formatif terdiri: 1. tinjauan ahli matapelatihan (isi), ahli rancangan, ahli media, 2. uji coba perorangan, dan 3. uji coba kelompok.
H. Analisis Data
1. Analisis Data Validasi Model penugasan melalui media sosial Oleh Ahli
Analisis data dari ahli dilakukan dengan mengubah data dalam bentuk huruf menjadi dalam bentuk angka.
Analisis dilakukan dengan membandingkan setiap komponen yang merupakan indikator dengan standar skor minimum. Skor batas minimum tersebut adalah 21. Indikator dengan skor 20 ke bawah harus direvisi.
Dilihat hasil analisis kualitas model penugasan melalui media sosial di atas dapat disimpulkan bahwa RPP/ Skenario Pembelajaran sudah layak digunakan untuk uji coba sebab skor masing-masing komponen yang merupakan indikator untuk model penugasan melalui media sosial tidak ada yang kurang dari 3,0. Pada peilaian ini tidak ada saran untuk revisi.
Dilihat hasil analisis kualitas model penugasan melalui media sosial di atas dapat disimpulkan bahwa Lembar Kerja Siswa (LKS) sudah layak digunakan untuk uji coba sebab skor masing-masing komponen yang merupakan indikator untuk model penugasan melalui media sosial tidak ada yang kurang dari 3,0. Meskipun begitu, Saran dan komentar untuk Lembar Kerja Siswa (LKS) model penugasan melalui media sosial ditanggapi dengan tidak menyertakan revisi.
2. Analisis Data Validasi Model penugasan melalui media sosial oleh Siswa
Hasil pengolahan data angket pembelajaran dengan menggunkan model penugasan melalui media sosial diketahui bahwa rata-rata pilihan siswa adalah 3.60, hal ini dikategorikan Cukup dengan simpang baku 0.31.
Setelah diujicobakan kepada siswa selaku pengguna langsung telah dilakukan beberapa penggantian seperti berikut.
a. Memperbaiki tampilan model atau mengganti strategi pembelajarannya
b. memperbaiki penggunaan sumber dalam menerapkan model
3. Analisis Data hasil belajar mata pelajaran Bahasa Arab siswa Di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto
a. Analisa Hasil Pre Tes
Dengan Pengembangan model penugasan melalui media sosial untuk meningkatkan hasil belajar bahasa Arab di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto diperoleh nilai rata-rata Pemahaman belajar siswa adalah 75.00 % dan ketuntasan belajar mencapai 77.78 % atau ada 28 siswa dari 31 anak sudah tuntas belajar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus pertama secara klasikal siswa belum tuntas belajar, karena siswa yang memperoleh nilai > 70.00 hanya sebesar 77.78 % lebih kecil dari persentase ketuntasan yang dikehendaki yaitu sebesar 100 %. Hal ini disebabkan karena siswa masih merasa baru dan belum mengerti apa yang dimaksudkan dan digunakan guru dengan Pengembangan model penugasan melalui media sosial untuk meningkatkan hasil belajar bahasa Arab di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto.
b. Analisa Hasil Pos Tes
Dengan Pengembangan model penugasan melalui media sosial untuk meningkatkan hasil belajar bahasa Arab di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto diperoleh nilai rata-rata Pemahaman belajar siswa adalah 87.22 % dan ketuntasan belajar mencapai 91.67 % atau ada 33 siswa dari 31 anak sudah tuntas belajar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus pertama secara klasikal siswa belum tuntas belajar, karena siswa yang memperoleh nilai > 70.00 hanya sebesar 91.67 % lebih kecil dari persentase ketuntasan yang dikehendaki yaitu sebesar 100 %. Hal ini disebabkan karena siswa masih merasa baru dan belum mengerti apa yang dimaksudkan dan digunakan guru dengan Pengembangan model penugasan melalui media sosial untuk meningkatkan hasil belajar bahasa Arab di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto.
c. Analisa Peningkatan Hasil Belajar
Melalui hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pengembangan model penugasan melalui media sosial memiliki dampak positif dalam meningkatkan hasil belajar mata pelajaran Bahasa Arab siswa Di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto.
I. Verifikasi/Revisi Produk
a. Memperbaiki tampilan model atau mengganti strategi pembelajarannya
b. memperbaiki penggunaan sumber dalam menerapkan model
J. Kesimpulan
Hasil penelitian Pengembangan model penugasan melalui media sosial untuk meningkatkan hasil belajar bahasa Arab pada mata pelajaran bahasa Arab Kelas V Di MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto ini telah melaksanakan langkah-langkah yang telah direncanakan. Langkah-langkah yang telah dilakukan adalah (1) melakukan analisis kebutuhan; (2) menentukan kompetensi dan model pembelajaran; (3) merumuskan judul, SK, dan KD; (4) menyusun program produk; (5) memvalidasi, uji coba produk dan merevisi. Berdasarkan langkah-langkah yang telah dilaksanakan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Hasil dari validasi ahli dan uji coba, model penugasan melalui media sosial ini layak digunakan untuk mata pelajaran bahasa Arab, karena produk yang dikembangkan tidak direvisi oleh ahli akan tetapi dari hasil penyebaran angket siswa dinyatakan yang harus direvisi adalah: (a) Memperbaiki tampilan model atau mengganti strategi pembelajarannya, dan (b) memperbaiki penggunaan sumber dalam menerapkan model.
2. Produk pengembangan model penugasan melalui media sosial dapat meningkatkan hasil belajar mata pelajaran Penjasorkes siswa MTs Nurul Jadid Kota Mojokerto. Dari kelas uji coba mengalami peningkatan ketuntasan belajar dari Pre Tes dan Pos Tes yaitu masing-masing 77.78 % naik menjadi 91.67 %.
K. Saran-Saran
Berdasar simpulan dari penelitian ini, dapat disarankan hal-hal sebagai berikut.
1. Model penugasan melalui media sosial yang dikembangkan bisa juga digunakan sebagai tugas yang dapat diberikan pada saat guru berhalangan hadir.
2. Produk model penugasan melalui media sosial ini dapat dikembangkan oleh para pendidik sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan, memotivasi siswa dan meningkatkan ketuntasan belajar siswa. Pengembangan penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan memanfaatkan model penugasan melalui media sosial yang lebih menarik.
L. Daftar Pustaka
Anderson, L. W., & Bourke, S. F. (2000). Assessing Affective Characteristics in the School. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Azizah, Noor. (2007). Keefektifan Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered-Head-Together) dengan Pemanfaatan LKS (Lembar Kerja Siswa) pada Pokok Bahsan Bangun Ruang Sisi Datar (Kubus dan Balok) Siswa Kelas VIII Semester 2 SMPN 6 Semarang Tahun Pelajaran 2006/2007. Tesis UNNES. Tidak diterbitkan
Barnes, K., Marateo, R. C., & Ferris, S. P. (2006). Teaching and Learning with the Net Generation. Retrieved June 30, 2013, from http://www.innovateonline.info/index.php?view=article&id=382 diakses tanggal 5 Mei 2015
Bosch, T. E., Preez, A., &Michell, L. (2009). Using online social networking for teaching and learning: Facebook use at the University of Cape Town. South African Journal for Communication Theory and Research, 35(2), 185-200.
Bourke, C. (2004). Family violence: perceptions of risk to children. IUC. Journal of Social Work Theory and Practice. University of Hertfordshire.
Daftar Pustaka. Barnes, J.A. 1954. Human Relation. HUM RELAT, vol 7, no , pp. 39-58
Howe, N., & Strauss, W. (2000). Millennial rising: The next great generation. New York: Vintage.
Joosten, T. (2012).Social media for educators. San Francisco, CA: Wiley/Jossey-Bass.
Maher & Zins, (1987); CA Maher, JE Zins (Eds.), Psychoeducational interventions in the schools, Pergamon, New York
Majid, A. (2005). Perencanaan Pembelajaran (mengembangkan kompetensi guru), Bandung. Remaja Rosdakarya,
Mazer, J.P., Murphy, R.E. and Simonds, C.J. (2007). I’ll See You On ‘‘Facebook’’: The Effects of Computer-Mediated Teacher Self-Disclosure on Student Motivation, Affective Learning, and Classroom Climate. Communication Education, 56(1), 1-17.
Mulyani Sumantri, Johar Permana.(2001). Strategi Belajar Mengajar. Bandung:CV Maulana.
Nickerson, R. S. (1998). Confirmation bias: A ubiquitous phenomenon in many guises. Review of general psychology, 2(2), 175.
Nunan, David. (1989). Designing Tasks for The Communicative Classroom. New. York: Cambridge
Parera, J. D. (1997). Linguistik Edukasional Memdologi Pembelajaran Bahasa Analisfs Konotasty Antar bahasa Analisis Kesalahan Berbahasa Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Richards, Jack C and Richard Schmidt, (2002) Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics, 3 rd Ed., London: Pearson Education Limited,
Roblyer, M. D., McDaniel, M., Webb, M., Herman, J., & Witty, J. V. (2010). Findings on Facebook in higher education: A comparison of college faculty and student uses and perceptions of social networking sites. The Internet and Higher Education, 13(3), 134-140. doi:10.1016/j.iheduc.2010.03.002
Selwyn, N. (2009). Faceworking: exploring students’ educationǦrelated use of Facebook. Learning, Media and Technology, 34(2), 157–174. doi:10.1080/17439880902923622
No comments:
Post a Comment