Sunday, 25 March 2018

Peran pembelajaran Pancasila di LPTK untuk meningkatkan konsep diri akademik dalam mengantisipasi dehumanisasi pendidikan

Peran pembelajaran Pancasila di LPTK untuk meningkatkan konsep diri akademik dalam mengantisipasi dehumanisasi pendidikan pada semester II Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto 

Aan Eko Khusni Ubaidillah a* 

aProgram Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto 

*Koresponden penulis: ubaidillah_01@jurnal.stitradenwijaya.ac.id 

Abstract 

This study aims to find out how the role of learning Pancasila in LPTK to improve academic self-concept in anticipating the dehumanization of education in the second semester of Islamic Higher Education Studies Program Tarbiyah High School Raden Wijaya Mojokerto. This research includes field research, qualitative models, case studies. Determination of purposive sample with snow balling characteristics to obtain variation and extend information so that it can be contrasted with other information. Observation Data Collection Methods, Interviews and Documentation. Data Analysis uses analytical descriptive by doing Triangulation checking the validity of other source data outside the existing data as a comparison to obtain data unity. The result of the research shows: 1) the implementation of Pancasila Learning besides emphasizing the cognitive aspect has also emphasized the affective and psychomotor aspect, it is realized in one of the learning method using problem solving method, beside that the Institution also support with national and religious activities. 2) The role of learning Pancasila directly is still less realized in the real level in the field, but at least the initial capital to be able to have good behavior, of course the next expectation is the existence of good behavior then dehumanisasi education on students can be suppressed, to further maximize the results Learning required student awareness, cooperation between lecturers, lecturers and stakeholders. 3) There are several inhibiting factors, namely institutional policy factors, family factors, student behavior starting at home, other factors are the student's own personal which is difficult to change and improve through formal education media. Factor of learning and education second after parent. And the last factor is the environment, it refers to the role of society.

Keywords: learning, pancasila, de humanization of education

Pendahuluan

Ujian berat dalam era globalisasi serta usaha kita untuk meningkatkan kesadaran terhadap kesatuan dan persatuan bangsadi dalam rangka Wawasan Nusantara. Dalam kaitan ini penghayatan dan pengamalan Pancasila melalui jalur-jalur pendidikan menjadi sangat penting (Tilaar, 1998) tidak hanya terbatas pada aspek-aspek pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor) saja, melainkan juga meliputi aspek akhlak (afektif) serta bertanggung jawab sesuai yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila (Afandi, 2011).
Menurut pandangan hidup Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa, manusia memiliki hak dan kewajiban dalam hidupnya. Setiap hak senantiasa disertai dengan kewajiban begitu juga sebaliknya (Wardhani, 2016). Penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai kebaikan tanpa diikuti dengan proses pembelajaran nilai yang baik maka tidak akan terbentuk manusia yang berbudi baik dan menghasilkan warga negara yang aktif yaitu warga negara yang memiliki kompetensi yang diperlukan dalam lingkungan hidupnya (Wardhani, 2016). Intinya bahwa nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa dapat diidentifikasi dari sumber-sumber Agama, Pancasila, Budaya dan Tujuan Pendidikan Nasional (Hakim, 2012).
Kembali kepada hakikat pendidikan, Paulo Freire memandang bahwa kodrat manusia hanya pemanusiaan (humanisasi). Akan tetapi dalam kehidupan, manusia mempunyai dua kemungkinan yang bertentangan, yaitu humanisasi dan dehumanisasi. Dehumanisasi adalah keadaan kuning dari manusia atau tidak lagi manusia yang menunjukkan suatu kondisi kemanusiaan yang dirampas, diinjak, dan tidak diakui. Yang pada gilirannya juga sama dengan pihak yang merampas atau tidak mengakui. Jadi, baik yang dirampas atau tidak diakui kodratnya sama dengan yang merampas atau tidak mengakui kodrat manusia, yaitu sama-sama dehumanisasi. Oleh karena itu menurut Paulo Freire pendidikan adalah sebuah upaya untuk membebaskan manusia terhadap dehumanisasi. Sebaliknya, pendidikan merupakan sebuah upaya humanisasi, yaitu pendidikan yang memanusiakan (Panjaitan, Darmawan, Purba, Rachmad, & Simanjuntak 2014).
Apa yang membuat manusia unik adalah keragaman, keingintahuan, dan kreativitas mereka. Suatu sistem yang menghilangkan sifat manusia dari persamaan, atau dengan kata lain proses pembelajaran 'tidak manusiawi' hanya mempromosikan penyesuaian yang akhirnya mengarah pada keadaan biasa-biasa saja (Akram, 2017). Tidak ada yang salah dalam memverifikasi apa yang telah dipelajari siswa melalui mekanisme pengujian formal, tetapi kesalahannya terletak ketika 'kesesuaian' siswa dengan cepat dipastikan berdasarkan hasil tes saja. Nilai, pada umumnya tetap satu-satunya kriteria, untuk mengayunkan sekelompok siswa yang dipercaya untuk memberikan lebih dari yang lain. Ini adalah gagasan yang berlebihan, karena seluruh sistem diasah setelah mendapatkan nilai bagus dan dalam prosesnya konsep 'belajar' terlempar keluar dari jendela. (Akram, 2017). Pada suatu titik waktu, sebagian besar dari kita telah menjumpai satu atau dua siswa dengan nilai yang sangat baik, berlayar melalui kriteria penerimaan perguruan tinggi profesional dengan relatif mudah, namun mereka berada di teluk ketika mereka memasuki sebuah perguruan tinggi. Alasan para siswa ini berjuang untuk tetap bertahan di perguruan tinggi profesional adalah bahwa mereka mungkin telah 'memperoleh' keterampilan mempertahankan dan mereproduksi informasi dan data dengan relatif mudah, mereka tidak memiliki kemampuan untuk belajar, mengeksplorasi yang tidak diketahui, menciptakan daripada memperoleh pengetahuan baru karena sistem itu membuat mereka memakai penutup mata sehingga terlalu menyempitkan fokus dan ketidakmampuan mereka untuk melihat gambar yang lebih besar (Akram, 2017).
Tujuan dan fungsi pendidikan humanis tidak hanya bersifat memberi pengetahuan yang bersifat kognitif saja, tetapi juga melibatkan aspek afektif dan psikomotorik yaitu dengan mengajak peserta didik untuk menghayati, memahami, dan menyelami berbagai bentuk ekspresi kemanusiaan dengan beragam dimensinya (Umar, 2016). Dengan demikian, tidak hanya potensi intelektual peserta didik yang tergarap, tetapi juga masalah kemanusiaan dengan beragam dimensinya.Dengan demikian, tidak hanya potensi intelektualnya saja yang tergarap, tetapi juga masalah kemanusiaannya sendiri, baik secara individu maupun dalam konteks kehidupannya sebagai warga masyarakat, bahkan bangsa dan negara (Umar, 2016).
Dehumanisasi adalah keadaan kurang dari manusia atau tidak lagi manusia yang menunjukkan suatu kondisi kemanusiaan yang dirampas, diinjak, dan tidak diakui. Yang pada gilirannya juga sama dengan pihak yang merampas atau tidak mengakui. Jadi, baik yang dirampas atau tidak diakui kodratnya sama dengan yang merampas atau tidak mengakui kodrat manusia, yaitu sama-sama dehumanisasi (Panjaitan, Darmawan, Purba, Rachmad, & Simanjuntak 2014).
Dehumanisasi pendidikan telah terjadi, sebagai akibat dari investasi aliran pendidikan yang lebih mengutamakan pendekatan dan hasil serba perilaku teramati sehingga pengembangan perilaku dan budaya dalam bentuk transformasi nilai dan perkembangan moral-yang menjadi fondasi penting bagi hubungan sosial manusia dalam konteks hubungan antar orang dan bahkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara-amat terabaikan. Ketidakseimbangan dalam pendidikan secara tidak langsung membelah kepribadian anak sejak di TK hingga perguruan tinggi. Tujuan yang diutamakan adalah penguasaan materi/ informasi, disertai dengan pendekatan pengajaran yang dikejar-kejar oleh target dan pencapaian standar. Sistem evaluasi mendikte proses, sehingga dampak akumulatif yang dirasakan setelah seseorang mengikuti pendidikan bertahun-tahun hingga tamat dari PT misalnya adalah, seseorang yang menjadi sarjana, namun bukan menjadi sarjana paripurna yang mampu berfikir holistik dalam mengatasi masalah hidup nyata yang dihadapinya, apalagi berpartisipasi dalam memecahkan masalah-masalah sosial (Fip-Upi, 2007).
Secara umum, konsep diri dirumuskan dalam dimensi yang berbeda-beda bergantung pada sudut pandang masing-masing ahli. Song & Hattie (1984) menyatakan bahwa aspek-aspek konsep diri dibedakan menjadi konsep diri akademis dan konsep diri non-akademis. Konsep diri non-akademis dibedakan lagi menjadi konsep diri sosial dan penampilan diri. Jadi, pada dasarnya konsep diri mencakup aspek konsep diri akademis, konsep diri sosial dan penampilan diri. Jika dicermati lebih jauh tentang pengertian konsep diri, maka secara implisit sebenarnya sudah tercakup aspek-aspek atau dimensi konsep diri (Myers-Walls et al, 2000), misalnya, dalam pandangannya tentang konsep diri secara implisit membedakan konsep diri atas dua kategori utama, yaitu konsep diri secara umum (general self-concept) dan konsep diri secara spesifik termasuk konsep diri dalam kaitannya dengan bidang akademik, karier, atletik, kemampuan artistik, dan fisik (Thalib, 2017).
Konsep diri akademik, positif apabila ia menganggap bahwa dirinya mampu berprestasi secara akademik, dihargai oleh teman-temannya, merasa nyaman berada di lingkungan tempat belajarnya, menghargai orang yang memberi ilmu kepadanya, tekun dalam mempelajari segala hal, dan bangga akan prestasi yang diraihnya, negatif apabila ia memandang dirinya tidak cukup mampu berprestasi, merasa tidak disukai oleh teman-teman di lingkungan tempatnya belajar, tidak menghargai orang yang memberi ilmu kepadanya, serta tidak merasa bangga dengan prestasi yang diraihnya (Shives, 2008; Muhith, 2015)
Konsep diri adalah operating system komputer mental kita. Konsep diri menentukan kinerja kita. Level konsep diri menentukan level prestasi hidup. Konsep diri terdiri dari tiga komponen yaitu diri ideal (ideal self), citra diri (self image), dan harga diri (self esteem). Diri ideal adalah siapa diri kita di masa depan. Diri ideal adalah pribadi sukses kita. Orang yang kita ingin menjadi. Citra diri adalah bagaimana kita melihat diri kita sendiri saat ini. Ini adalah gambaran mental mengenai diri kita di masa sekarang. Sedangkan harga diri adalah perbandingan antara citra diri dan diri ideal. Bila harga diri kita rendah, prestasi hidup kita pasti rendah. Demikian pula sebaliknya (Gunawan, 2006, 2010).
Konsep diri sebagai gambaran atau pengetahuan tentang diri sendiri mencakup diri jasmaniah, diri sosial, dan diri spiritual. James percaya bahwa ketiga jenis konsep diri itu merupakan konstruk yang bersifat hierarkis dan menempatkan konsep diri jasmaniah sebagai basis, kemudian konsep diri sosial dan konsep diri spiritual. Hattie (2000) menggolongkan konsep diri atas dua kategori utama, yaitu: konsep diri umum dan konsep diri khusus. Konsep diri khusus men¬cakup konsep diri akademik, konsep diri sosial, dan presentasi diri. Konsep diri akademik mencakup kemampuan akademik, prestasi aka¬demik, dan konsep diri berkelas. Konsep diri sosial termasuk konsep diri dalam hubungannya dengan teman sebaya dan keluarga. Presentasi diri mencakup kepercayaan diri dan penampilan fisik (Thalib, 2017).
Konsep diri seseorang adalah “siapa dirinya.” Hal itu menjadi pusat dunianya, kerangka acuannya, realita pribadinya, kedudukan menguntungkan yang dimilikinya (untuk “menyerang” dan untuk “mempertahankan diri”). Konsep diri merupakan tabir, melalui mana seseorang melihat, mendengar, mengevaluasi, dan memahami segala sesuatu di luar dirinya. Hal itu merupakan penyaring bagi dirinya (Simatur & Pratiwi, 2014).
Individu sering berusaha keras untuk mengabaikan pengalaman yang tidak menunjang konsep dirinya, atau mungkin mendistorsikannya sehingga tidak mengalami konflik. Misalnya, mahasiswa yang mempersepsi diri sebagai intelektualis akan menghabiskan waktu di perpustakaan begitu juga sebaliknya. Perubahan yang sangat cepat pada pendidikan akibat pesatnya globalisasi dan teknologi informasi dengan generasi-z itu, maka yang utama sangat terganggu adalah perilaku peserta didik dan untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan tentang perilaku (behavioral Science) dan ilmu mengenal diri sendiri, konsep diri (selfconcept) untuk kuat menghadapi zaman yang selalu berubah. Dan untuk itu, ilmu tentang landasan pendidikan menjadi penting, sebab kita belajar mengenal diri sendiri, mengenal diri apa saya kuat menghadapi perubahan akibat globalisasi atau teknologi informasi yang sangat cepat. Pada intinya, mengenal diri itu artinya dapat mengelola diri untuk menghadapi tantangan apa pun, karena mengenal diri sendiri adalah mengoreksi diri: apakah akrab hidup dengan Tuhan, akrab dengan sesama manusia, jujur, adil, harmonis dengan lingkungan, mencintai keluarga, mencintai kemajuan bangsa, mencintai persatuan, tidak pemarah, mencintai pemimpin, pokoknya menciptakan suasana yang nyaman, agar hidup damai dan sejahtera (Neolaka & Neolaka, 2017).
Alhasil, sekolah/universitas di masa depan dituntut untuk lebih menghargai keunikan dan otonomi individu serta mengembangkan iklim yang kondusif bagi pembentukan konsep diri yang positif. Pemuliaan terhadap aneka inteligensia dan pengembangan konsep diri yang positif ini bisa mendorong lahirnya manusia unggul di segala bidang dengan merit dan karakter yang tangguh. yakni, manusia yang memiliki keunggulan khas, dapat diandalkan, dan memiliki daya tahan dalam kesulitan dan persaingan (Hidayat & Widjanarko, 2008).
Penghargaan tersebut perlu dilakukan pada seluruh tahap perkembangan manusia. Pada tahap perkembangan awal sebagian besar waktu anak pada umumnya dihabiskan di lingkungan rumah atau dalam pengawasan keluarga. Berarti bahwa perkembangan mental, fisik dan sosial remaja ada di bawah bimbingan orang tua atau terpola melalui pendidikan yang berlaku dalam rumah tangga. Di samping keluarga, sekolah merupakan lingkungan kedua yang ikut mempengaruhi terbentuknya kenakalan anak. Mengapa demikian, karena tidak jarang sekolah yang sangat longgar dalam menangani anak yang bermasalah, atau mungkin kurang berfungsinya bimbingan konseling (BK) di sekolah tersebut, serta tidak lancarnya komunikasi antara dosen dan orang tua yang menyebabkan kurangnya peran orang tua dalam kemajuan pendidikan anaknya.
Faktor lingkungan, yaitu meliputi peranan masyarakat, multimedia dan berbagai fasilitas, seperti pusat-pusat hiburan, kalau hal tersebut bersifat negatif dapat menumbuhkan dan meningkatkan kenakalan remaja. Kondisi lingkungan yang demikian menjadikan pada diri remaja melakukan pergaulan bebas yang menyimpang.
Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dimana ditandai dengan perubahan pada sejumlah aspek perkembangan, meliputi; fisik, emosi, intelektual, moral dan sosial. Perubahan tersebut menuntut remaja mengadakan perubahan besar dalam sikap dan perilakunya, sesuai dengan tugas dan perkembangannya, dengan cara yang adaptif. Bagi sebagian remaja, tugas perkembangan tersebut menyebabkan tekanan yang dialaminya semakin bertambah kuat. Pada saat yang sama mereka harus mampu menyesuaikan diri dengan sejumlah perubahan yang sedang terjadi akibat perubahan fisiknya. Kondisi keluarga yang tidak menguntungkan sehingga remaja tidak memiliki kesempatan untuk belajar menyesuaikan diri dengan perubahan yang sedang dialami, dan kuatnya pengaruh negatif kelompok sebaya, membuat konflik dan tekanan yang dialami remaja semakin kuat.
Dalam konteks pendidikan pancasila di LPTK, pendidikan moral (perilaku) adalah esensi, pondasi untuk menata etika, moral dan karakter umat manusia. Karena baik buruknya suatu bangsa salah satunya didasarkan sejauhmana etika, moral, dan perilaku yang dimiliki bangsa tersebut.

Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, antara lain;
1. Untuk mengetahui Pelaksanaan Pembelajaran Pancasila di LPTK pada semester II Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto.
2. Untuk mengetahui peran pembelajaran Pancasila di LPTK untuk meningkatkan konsep diri akademik dalam mengantisipasi dehumanisasi pendidikan pada semester II Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto.
3. Untuk mengetahui faktor penghambat Pembelajaran Pancasila di LPTK untuk meningkatkan konsep diri akademik dalam mengantisipasi dehumanisasi pendidikan pada semester II Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto.
Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang pengumpulan datanya dilakukan dilapangan, penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan data kualitatif; dimana penelitian ini dilakukan untuk memahami fenomena sosial. Penelitian ini juga dikategorikan sebagai penelitian studi kasus, yaitu pada Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto tentang Pembelajaran Pancasila di LPTK untuk meningkatkan konsep diri akademik dalam mengantisipasi dehumanisasi pendidikan pada semester II, penulis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi agama (Islam). Onjek penelitian ini adalah Pembelajaran Pancasila di LPTK, dehumanisasi pendidikan serta faktor penghambat Pembelajaran Pancasila di LPTK dalam mengantisipasi dehumanisasi pendidikan pada semester II Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto.
Metode pengumpulan data yang dipakai di dalam penelitian ini adalah a. Observasi, b. Interviú atau Wawancara, c. Dokumentasi. Data yang diperoleh dengan menggunakan metode diskriptif analitik, yaitu: dinyatakan oleh sumber, baik secara lisan maupun tulisan yang dipelajari sebagai sesuatu yang utuh, yaitu dengan menggabungkan antara permasalahan dan data yang diperoleh untuk tercapainya kesimpulan tertentu sehingga diperoleh hasil yang signifikan dan ilmiah. Sebelum melakukan analisis dalam penelitian ini, peneliti melakukan Triangulasi yang merupakan tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sumber lain diluar data itu sebagai pembanding terhadap data itu untuk memperoleh kesatuan data.
Simpulan 1. Bahwa pelaksanaan Pembelajaran Pancasila di LPTK pada semester II Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto selain menekankan aspek kognitif juga telah menekankan aspek afektif dan psikomotorik, hal ini terwujud dalam salah satu metode pembelajarannya menggunakan metode pemecahan masalah, selain itu Institusi juga mendukung dengan kegiatan-kegiatan yang bernuansa kebangsaan dan keagamaan.
2. Peran pembelajaran Pancasila di LPTK untuk meningkatkan konsep diri akademik dalam mengantisipasi dehumanisasi pendidikan pada semester II Prodi pendidikan agama islam secara langsung memang masih kurang terealisir dalam tataran riil dilapangan, namun paling tidak Pembelajaran Pancasila di LPTK telah memberi mereka modal awal untuk dapat mempunyai perilaku yang baik, tentu harapan selanjutnya adalah dengan adanya perilaku yang baik maka dehumanisasi pendidikan pada mahasiswa dapat ditekan, untuk lebih memaksimalkan hasil Pembelajaran Pancasila di LPTK untuk meningkatkan konsep diri akademik dalam mengantisipasi dehumanisasi pendidikan pada semester II diperlukan kesadaran mahasiswa, keijasama antara dosen pengampu mata kuliah, dosen pembimbing dan stakeholder.
3. Ada beberapa faktor penghambat Pembelajaran Pancasila di LPTK untuk meningkatkan konsep diri akademik dalam mengantisipasi dehumanisasi pendidikan pada semester II Prodi pendidikan agama islam, yaitu faktor kebijakan lembaga, faktor keluarga, perilaku mahasiswa bermula di rumah. faktor lain adalah pribadi mahasiswa itu sendiri yang memang sulit untuk berubah dan diperbaiki lewat media pendidikan formal. Faktor sekolah, sekolah merupakan tempat memberi pengajaran dan pendidikan kedua kepada setelah orangtua, faktor keempat adalah lingkungan, hal ini merujuk kepada peranan masyarakat.
Daftar Pustaka

Afandi, R. (2011). Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. PEDAGOGIA: Jurnal Pendidikan, 1(1), 85-98.

Akram, N. (2017) Dehumanization of Education System, https://www.linkedin.com/pulse/dehumanization-education-system-mohammad-nadeem-akram-khan/

Carter Andrews, D. J., Bartell, T., & Richmond, G. (2016). Teaching in dehumanizing times: The professionalization imperative. Journal of Teacher Education 67(3)

Fip-Upi, T. P. I. P. (2007). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan I: Ilmu Pendidikan Teoretis. PT Imperial Bhakti Utama.

Gunawan, A. W. (2006). Kesalahan fatal dalam mengejar impian. Gramedia Pustaka Utama.

Gunawan. (2010). A to Z Cara Mendidik Anak. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Hakim, D. (2012). Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Prosiding Seminar, 1(2).

Hidayat, K., & Widjanarko, P. (2008). Reinventing Indonesia: menemukan kembali masa depan bangsa. Bandung: PT Mizan Publika.

Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk DayaSaing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.

Muhith, A. (2015). Pendidikan keperawatan jiwa: Teori dan aplikasi. Penerbit Andi.

Myers-Walls, J. A. (2000). Family diversity and family life education. Handbook of family diversity, 359-379.

Neolaka, A & Neolaka, G. A. A. (2017) Landasan Pendidikan Dasar Pengenalan Diri Sendiri Menuju Perubahan Hidup, Edisi Pertama, depok: Kencana

Panjaitan, A. P., Darmawan, A., Purba, I. R., Rachmad, Y., & Simanjuntak, R. (2014). Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan: Membangun Pendidikan Berbasis Budaya Lokal. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Shives, L. R. (2008). Basic concepts of psychiatric-mental health nursing. Lippincott Williams & Wilkins.

Simatur, Z., & Pratiwi, F. (2014). Babon Psikotes Paling Update. Jakarta: Visimedia

Song, I. S., & Hattie, J. (1984). Home environment, self-concept, and academic achievement: A causal modeling approach. Journal of Educational psychology, 76(6), 1269.

Thalib, S. B., & Si, M. (2017). Psikologi pendidikan berbasis analisis empiris aplikatif. Jakarta: Prenada Media.

Tilaar, H. A. R. (1998). Beberapa agenda reformasi pendidikan nasional dalam perspektif abad 21. IndonesiaTera.

Umar, (2016) Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Transformatif, Ed.l, Cet. 1, Yogyakarta: Deepublish

Wardhani, N. W. (2016). Pembelajaran Nilai-nilai Kearifan Lokal Sebagai Penguat Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Informal. Jurnal Penelitian Pendidikan, 13(1).

No comments:

Post a Comment